Seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk ke kamarku. Aku membuka mataku.
”Maaf, Nona. Pangeran Tom memberikan ini untukmu.”
Ternyata dia, Amy.
”Baiklah, Amy. Letakkan di sana. Nanti aku pakai setelah membersihkan badanku terlebih dahulu.”
”Izinkan saya merias Anda, Nona.”
”Baiklah, tapi jangan panggil aku Nona.”
”Baik, Nona. Eh, Jane.”
Aku pergi mandi.
Aku mengenakan gaun yang sudah disiapkan Tom, dibantu Amy memakaikan korset. Aku benci sekali dengan korset ini. Gaun ini berwarna merah muda—sangat muda seperti bunga mawar yang baru mekar. Meskipun acara malam hari yang seharusnya berwarna gelap. Namun, aku yakin Tom memilih ini tanpa ragu. Dia pikir ini cocok denganku dan aku suka, sangat suka.
Amy menata rambutku sedemikian rupa. Dia menyanggul rambutku ke belakang, dan membiarkan rambut depanku terurai. Rambut yang tidak bisa tersanggul karena terlalu pendek. Dia menyanggul lebih rapi daripada sebelumnya. Amy memberikanku hiasan mutiara-mutiara kecil di rambutku. Terasa lebih hidup. Namun, sebenarnya lebih cocok jika acaranya pagi. Hanya saja jika aku memakai gaun yang lebih gelap, itu tidak akan cocok padaku karena aku merasa tidak percaya diri. Aku akan memakai pakaian gelap jika itu dipeerlukan.
Tangan Amy sangat lihai bergerak memakai alat rias ke wajahku. Aku memejamkan mata, dan Amy melarangku untuk membuka mata jika dia belum selesai. Tangannya bergerak, aku merasakan bulu lembut menyentuh pipiku dan mengusap di atas kulitku. Lalu tangannya bergerak menuju mataku. Dia menganggat daguku lalu menyentuh bibirku dan mulai mengoleskan sesuatu.
Telapak tangannya menepuk bahuku dengan lembut. "Sekarang turunkan dagumu, dan buka matamu."
Aku membuka mataku dengan perlahan-lahan, dan melihat bayanganku di cermin. Aku melihat sosok yang berbeda di balik cermin. Aku tidak ingat jika aku pernah mengenakan riasan sebelumnya. Namun, bayanganku sekarang seperti bukan diriku yang sering aku lihat di cermin.
"Kau seperti melakukan sihir terhadap mukaku, Amy."
Dia tersenyum.
"Pada dasarnya memang kau sudah cantik, Jane. Sehingga aku tidak perlu memberikan riasan yang tebal. Kau akan membuat semua orang terpesona melihat kecantikanmu, dan aku akan iri."
Dia mendekatkan wajahnya kearahku, sehingga pipinya menyentuh pipiku. Kini kami bisa melihat wajah kami di cermin secara bersamaan.
"Kau lihat perbedaannya?"
"Amy! Kau cantik! Jangan kau banding-bandingkan dengan mukaku yang memakai riasan!"
Amy tertawa, dan menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
Aku tidak begitu suka menjadi sorotan. Setidaknya bisa membuat orang terkesan, itu sudah cukup.
"Um, Amy. Aku merasa sangat tidak canggung saat bersamamu. Apakah aku pernah menjadi temanmu?"
Amy terdiam, dan merubah posisi menjadi berdiri di sampingku.
"Maafkan perkataanku, jika itu menyinggungmu."
Aku merasa bersalah dengan perkataan dan pertanyaan yang aku lontarkan tadi. Amy mendadak langsung diam ketika aku berucap.
Amy kembali tersenyum. "Tidak. Kau tidak menyinggungku sama sekali. Sayangnya aku tidak mengenalimu sebelum ini, tapi aku pun demikian. Aku berharap jika memang sebelumnya aku adalah temanmu dan berharap ke depannya bisa menjadi temanmu."
Dia tersenyum.
Aku bercermin memutar badanku. Gaun yang indah. Bagian bahu memang terbuka dan agak sedikit kurang nyaman. Aku sepertinya tidak terbiasa dengan pakaian terbuka seperti ini. Akan tetapi lebih baik aku memberanikan diri untuk percaya diri daripada mempermalukan keluarga Tom.
Gaun ini seperti melekat di tubuhku. Tidak ada ruang untuk bernapas dengan lega. Aku memakai sepatu berhak rendah. Namun, sepatuku tidak begitu terlihat karena gaun ini terlalu panjang sehingga menutupi sepatuku. Sangat disayangkan, padahal sepatu ini bagus sekali. Mengkilap berwarna senada dengan gaunku.
Aku bergegas keluar, aku melihat Marry di depan pintu kamarku. Mukanya sudah berantakan.
”Hei! Bukannya kau seharusnya mendandaniku? Mengapa dia yang kau layani?“ Dia berteriak kepada Amy, dan menatapku sinis.
Amy hanya menunduk dan bergegas pergi menghampiri Marry, tanpa mengatakan apapun kepadaku. Aku memaklumi.
Ah, wanita menyebalkan.
Aku pergi menuju ballroom.
***
Ballroom hampir dipenuhi oleh para bangsawan dan mereka menikmati pesta sambil meminum wine dan kudapan manis. Ada beberapa meja yang menyiapkan kudapan manis, akan tetapi para pelajan yang sibuk mondar-mandir mengantarkan sebuah botol berisi wine dan nampan berisi kudapan manis. Aku rasa jika para tamu seharusnya lebih mandiri mengambil makanan dan minuman sendiri tanpa bantuan pelayan. Jarak antara meja dan mereka tidaklah jauh, melainkan sangat dekat. Ah, aku tidak habis pikir dengan isi pikiran para bangsawan ini. Mungkin saja mereka memang tidak berniat menikmati makanan dan minuman, mereka hanya ingin berpesta dan berbincang-bincang dengan orang lain. Sehingga para pelayan harus menghidangkan langsung makanan dan minuman agar mereka bisa menikmatinya, tanpa menggabaikan makanan dan minuman.
Waktu menunjukkan pukul 9 malam lebih. Acara memang sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Sepertinya aku agak terlambat, gara-gara aku tertidur.
Aku menuruni tangga. Semua orang melihatku dan berbisik-bisik. Ya, mungkin karena mereka tidak tahu siapa aku dan melihatku seperti diperlakukan istimewa oleh Raja Aaron. Aku hanya bisa berharap mereka tidak membenciku. Jangan sampai manusia seperti Marry menyebar luas. Aku pasti pusing dibuatnya.
Tom sudah berdiri di bawah sana, dia memakai tuxedo berwarna putih kusam dengan kerah menutupi sebagian besar lehernya. Tuxedo itu sangat ketat, sehingga membentuk lekukan tubuhnya. Aku bisa melihat dadanya begitu lebar. Dia sedang menungguku dan tersenyum kepadaku. Aku membalasnya.
Aku tidak melihat Williams. Di mana dia?
Ketika aku menuruni tangga terakhir. Williams menghampiri kami dengan napas tersenggal-senggal. Sepertinya dia akan mengatakan sesuatu, tetapi dia terlihat sedang mengatur napasnya. Apa yang sudah terjadi?
”Ah, Se—” kalimatku terpotong oleh kedatangan Marry.
Dia datang menghampiri Williams.
”Ah, Sebaiknya kau istirahat dulu.” Itu kalimat yang ingin kuucapkan.
“Williams, mari kita berdansa,” ajak Marry.
Aku berharap jika Williams akan menolak ajakan Marry, dan berdansa bersamaku. Akan tetapi, aku hanya bisa diam.
”Aku tidak suka berdansa. Pergilah cari pasanganmu.” Williams pergi.
Aku bisa melihat wajah Marry yang mendadak berubah menjadi kesal. Ketika Williams pergi, dia mengentakkan kakinya dan pergi juga.
Tom dan aku terdiam.
Tom menatapku dan tersenyum. Lalu dia menundukkan badan mengajakku dansa.
”Jane, maukah kau berdansa denganku?” Dia mengulurkan tangannya.
Aku bingung, sebenarnya aku lebih mengharapkan Williams daripada Tom.
Aku membalas uluran tangan Tom. “Tapi aku tidak bisa berdansa sama sekali”
“Tidak masalah,” ujar Tom sambil meletakkan tangannya di pinggangku dan mendekatkan badanku. Dia meletakkan tanganku di dada kirinya, dan tangan kami menggenggam satu sama lainnya. Aku bisa merasakan detakan jantungnya. Berirama halus.
Dadaku berdegup kencang. Aku bisa mencium aromanya yang khas. Wangi—sedikit tajam dan cocok untuk karakternya. Aku melihat lehernya lebih panjang. Dia lebih tinggi dariku, aku menatap matanya dan leherku tertarik ke atas. Dia mempunyai mata berwarna coklat. Karena kami sangat dekat, aku bisa merasakan napasnya. Napasnya sangat teratur. Jika dia bisa merasakannya, mungkin aku akan terlihat sangat memalukan. Aku tidak bisa mengatur napasku.
Kami berdansa.
Aku hanya mengikuti alur yang Tom arahkan. Meskipun aku banyak melakukan kesalahan, dia bisa mengatasinya dan aku ikut larut ke dalamnya. Benar-benar indah, membuatku merasa nyaman. Aku tahu dansa kami tidak begitu indah, tapi kurasa Tom tidak memikirkan hal itu.
Musik berganti dengan ritme menjadi lebih pelan. Dia menarik tanganku dan meletakkan kedua tanganku di lehernya. Kedua tanganku menyentuh bagian belakang lehernya. Halus sekali. Tom pun mengganti gerakannya. Sangat lambat. Aku bisa merasakan detakan jantungnya yang mulai terasa kencang. Kurasa, dia mulai kelelahan.
”Jane,” bisiknya.
Aku bisa merasakan suara yang begitu dalam, diikuti dengan hembusan napasnya.
“Ya?” Aku menatapnya. Jarak kami benar-benar dekat. Dadaku berdegup lebih kencang.
”Aku menyukaimu.” kini dia bicara dengan suara yang lebih pelan.
Aku bisa melihat tatapan matanya dan gerakan bibirnya.
Dadaku terasa menyakitkan dari sebelumnya, detakan ini lebih kencang dan tidak seirama, kurasa. Perasaan apa ini? Mengapa dia bisa menyukaiku? Atas dasar apa? Ini membuatku canggung seketika. Aku hanya tersenyum dan menundukkan kepala. Karena aku kebingungan, aku menyisipkan rambutku yang terurai ke belakang daun telinga. Aku berhenti berdansa.
”Ah Tom, terima kasih. Bolehkah aku pergi ke kamar mandi sebentar?”
Dia mematung, dan aku bergegas pergi meninggalkannya.
Maafkan aku, Tom.
***
Pikiranku kosong. Air mata mengalir begitu saja, tapi tidak seperti sebelumnya. Aku menangis tapi ada perasaan senang di dalamnya. Apa ada hal sesuatu yang telah terjadi? Apa aku pernah bertemu dengan Tom sebelumnya? Namun, Tom mengatakan bahwa dia belum pernah menemuiku. Jika dia belum pernah bertemu denganku, mengapa dia bisa mengutarakan perasaannya meski baru bertemu beberapa hari? Padahal kami baru dekat pada saat sedang berdansa.Aku membasuh muka dan kedua tanganku. Aku melihat diriku sendiri di cermin. Riasanku mulai memudar, tapi aku tidak memikirkannya. Aku mencoba menenangkan detakan jantungku, dan air mataku sudah berhenti mengalir. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Rasanya akan canggung sekali. Aku tidak bisa mengatasinya.Aku melamunkan diri di hadapan cermin. Tujuanku sebenarnya adalah mencari tahu mengapa aku hilang ingatan, tapi aku merasakan ada hal yang berbeda. Ada apa dengan ini? Apa aku mengingat sesuatu? Mengapa jantungku tidak bisa berhenti kembali normal
Sayup-sayup aku mendengar suara perasan air menetes ke bawah genangan air dalam suatu bejana. Tetesan air itu mulai menyentuh keningku. Terasa dingin sekali. Aku mulai membuka mata, memang masih terasa berat. Sepertinya aku tidak membuka mata secara menyeluruh. Entah ini rasa kantukku atau memang aku kelelahan. Amy melakukan ini untukku, dia sudah menyiapkan makanan. Sesungguhnya aku tidak berselera dengan makanan.Aku melihat di sebrang sana, Tom sedang duduk di sofa. Namun, ia sedang tertidur. Dia masih mengenakan kemeja yang semalam ia pakai. Apa semalaman dia tertidur di sini?Badanku masih lemas. Hanya saja aku mencoba untuk berdiri menghampiri Tom. Aku sempat dicegah oleh Amy, tapi aku mengabaikannya. Dia langsung pergi keluar begitu aku membawa selimut dari tempat tidurku, dan memakaikannya kepada Tom. Aku tahu ini sudah siang, tapi aku merasa kasihan sekali kepadanya. Dia mengkhawatirkanku sampai seperti ini. Tom, maafkan aku. Dia terbangun—menggosok matanya."Jane, mengapa ka
Semua orang hampir meninggalkan kamarku begitu Tuan Philip pergi, dan Williams ikut pergi untuk mengantarkannya.Tom masih di sini dan duduk di atas kasur. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan? Setelah kejadian semalam, aku benar-benar merasa canggung. Apakah aku menyakiti hatinya?Kepalanya masih menunduk. Aku sangat yakin dia ingin mengatakan sesuatu, akan tetapi mengingat kejadian semalam, itu membuatnya menjadi canggung. Aku tidak berani berucap, hanya saja pandanganku tidak berpaling darinya. Aku menatap rambutnya yang berwarna keemasan, rasanya aku ingin sekali menyentuh rambutnya yang lembut itu. Kemudian dia mulai menegakkan kepalanya, dan melihat bahwa aku sedang menatapnya.Aku benar-benar memalukan, mungkin dia berpikir jika aku memang sedang memperhatikannya. Meskipun itu memang benar, tapi aku berharap dia tidak berpikir seperti itu."Jane?""Ya? Ada yang ingin kau sampaikan? Aku tidak tahu harus berkata apa? Sedangkan kau hanya melamun menunduk ke bawah."Dia tersen
Keesokan harinya aku merasa bahwa tidak selamanya bermalas-malasan itu menyenangkan dan aku membutuhkan udara yang segar serta pemandangan luar yang cerah. Walaupun aku baru saja menghabiskan waktu sehari di sini, aku mulai bosan dengan udara yang aku hirup dan pemandangan di dalam kamar. Bukan waktu yang lama, tapi aku merasa jika waktu berjalan terlalu lambat. Dua hari terasa seperti dua bulan. Meski kamar ini sangat indah, mataku mesti melihat pemandangan dengan jangkauan yang lebih luas dan tentunya berada di alam terbuka.Setiap kali aku keluar kamar, Amy memergokiku. Dia melarang keras jika aku keluar kamar, dengan alasan perintah dari Pangeran Tom tidak bisa dilanggar. Aku muak mendengarnya, aku benar-benar bosan. Ketika aku mencobanya lagi, aku bertemu dengan Williams di depan pintu. Dia memelototiku. Dia yang lebih menyeramkan daripada ucapan Amy."Tidak bisa kah kau berdiam diri di kamar?" ketus Williams.Baru saja dia bersikap manis kemarin, dan hari ini sifatnya kembali ke
Aku memakai pakaian yang Williams berikan, aku berusaha tidak memedulikan sesuatu yang terjadi di balik pakaian ini. Meskipun terkadang ketika aku memperhatikan pakaian ini secara mendalam, kepalaku kembali terasa sedikit sakit. Aku merapikan pakaian di hadapan cermin, dan mengepang rambutku agak ke samping, yang seharusnya lurus ke belakang. Terlihat sedikit berantakan memang, karena aku melakukannya sendiri tanpa bantuan Amy. Aku belum memotong poniku, terlihat sangat panjang dan ikal, akan sangat mengganggu jika aku melakukan banyak aktivitas. Aku menjepit poniku dengan jepitan yang diberikan Williams. Setelah semuanya selesai, aku mengikat tali sepatuku. Sepatu boot yang panjang sehingga menutupi seluruh betisku. Jujur saja, aku lebih terasa nyaman mengenakan sepatu ini daripada sepatu yang berhak.Pakaian ini sangat melekat di tubuhku. Meskipun terlihat jelas lekukannya, aku masih bisa bernapas lega. Tidak seperti ketika mengenakan korset. Aku merasa sangat nyaman dengan pakaian
Aku melaju dengan kencang, gerbang kastil terbuka ketika prajurit melihatku. Aku bisa merasakan kecepatan ini, hampir saja angin menghempaskan tubuhku. Setelah sekian jarak yang aku tempuh, aku mulai memperlambat kecepatanku. Entah berapa jarak yang aku tempuh sampai sini. Aku bisa melihat pemukiman warga beberapa meter ke depan. Aku menuruni kuda yang kutunggangi, dan mengikatnya di bawah pohon besar sebelum memasuki ke pemukiman. Ketika aku memasuki pemukiman, di sini ramai sekali. Mereka sedang sibuk dengan masing-masing kegiatannya. Ada yang sedang bertransaksi jual beli, ada pula anak-anak yang sedang bermain berlari ke sana kemari. Ah, terasa sangat bergembira dan tidak ada beban hidup sama sekali. Mereka hanya senang bermain dengan riang. Aku merindukan masa kecilku. Meskipun aku tidak ingat sama sekali, tapi sepertinya aku banyak bermain daripada mempelajari suatu hal. Betapa bodohnya diriku. Aku mencari sebuah tempat agak sepi, untuk beristirahat. Akhirnya aku menemukan sebu
Apakah Tom akan memaklumiku jika aku benar-benar pergi dari sana? Apakah aku bisa bertahan hidup tanpa pekerjaan atau orang yang aku kenal? Apakah jika aku menetap di kediaman Tom, semua kekhawatiran akan terjadi? Apakah aku akan kembali ke Kastil milik Raja tua itu? Apakah aku bisa melalui itu semua? Apakah pada akhirnya aku akan hidup dengan tenang?Aku menghela napas, memikirkan bagaimana aku harus bertindak sekarang dan nanti? Aku tidak tahu harus bagaimana? Sejujurnya aku sangat bergantung kepada Tom dan Williams.Entahlah. Memikirkan semua kekhawatiran itu membuat kepalaku kembali terasa cukup sakit. Aku benar-benar ingin bebas, tanpa terkekang oleh siapa pun.“Jane?” Seseorang membuyarkan lamunanku.Aku mengangkat kepalaku. Williams memberikanku jepitan rambut."Kau menjatuhkan ini.""Maafkan aku, aku tidak berniat menghilangkannya.""Tidak, kau tidak perlu meminta maaf."Aku kembali memakaikannya dan wajahku berpaling ke arahnya. Aku baru menyadari bahwa pakaian yang Williams
Pemandangannya sungguh gelap dan berkabut tebal, tapi sepertinya ini bukan malam hari. Jarak pandangku hanya beberapa meter saja. Aku melangkah dengan perlahan-lahan. Suara ranting patah terdengar begitu jelas ketika aku menginjakinya. Aku berada di dalam hutan. Sunyi sekali, sehingga aku tidak mendengar apa pun bahkan suara serangga sekalipun. Aku hanya berjalan lurus, dan aku tidak tahu arah karena ini gelap sekali. Ada setitik cahaya di depan sana, aku mulai bergegas menghampirinya. Namun, jalan yang aku lalui kini menyempit, aku tetap memaksakan untuk berjalan menuju cahaya itu. Seluruh badanku mulai terasa sakit, seperti tergores benda tajam. Aku merasa bahwa jalan yang aku tempuh melalui tanaman berduri. Aku rasa demikian, karena jalannya seperti menyempit, tapi aku berusaha melalui ini semua dan berjalan ke arah sumber cahaya.Aku berhasil melewati tanaman berduri dan menghampiri sumber cahaya. Kedua lenganku penuh dengan luka tergores dan mengeluarkan darah. Aku membencinya, t