Share

Chapter 5

Seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk ke kamarku. Aku membuka mataku.

”Maaf, Nona. Pangeran Tom memberikan ini untukmu.”

Ternyata dia, Amy.

”Baiklah, Amy. Letakkan di sana. Nanti aku pakai setelah membersihkan badanku terlebih dahulu.”

”Izinkan saya merias Anda, Nona.”

”Baiklah, tapi jangan panggil aku Nona.”

”Baik, Nona. Eh, Jane.”

Aku pergi mandi.

Aku mengenakan gaun yang sudah disiapkan Tom, dibantu Amy memakaikan korset. Aku benci sekali dengan korset ini. Gaun ini berwarna merah muda—sangat muda seperti bunga mawar yang baru mekar. Meskipun acara malam hari yang seharusnya berwarna gelap. Namun, aku yakin Tom memilih ini tanpa ragu. Dia pikir ini cocok denganku dan aku suka, sangat suka.

Amy menata rambutku sedemikian rupa. Dia menyanggul rambutku ke belakang, dan membiarkan rambut depanku terurai. Rambut yang tidak bisa tersanggul karena terlalu pendek. Dia menyanggul lebih rapi daripada sebelumnya. Amy memberikanku hiasan mutiara-mutiara kecil di rambutku. Terasa lebih hidup. Namun, sebenarnya lebih cocok jika acaranya pagi. Hanya saja jika aku memakai gaun yang lebih gelap, itu tidak akan cocok padaku karena aku merasa tidak percaya diri. Aku akan memakai pakaian gelap jika itu dipeerlukan.

Tangan Amy sangat lihai bergerak memakai alat rias ke wajahku. Aku memejamkan mata, dan Amy melarangku untuk membuka mata jika dia belum selesai. Tangannya bergerak, aku merasakan bulu lembut menyentuh pipiku dan mengusap di atas kulitku. Lalu tangannya bergerak menuju mataku. Dia menganggat daguku lalu menyentuh bibirku dan mulai mengoleskan sesuatu.

Telapak tangannya menepuk bahuku dengan lembut. "Sekarang turunkan dagumu, dan buka matamu."

Aku membuka mataku dengan perlahan-lahan, dan melihat bayanganku di cermin. Aku melihat sosok yang berbeda di balik cermin. Aku tidak ingat jika aku pernah mengenakan riasan sebelumnya. Namun, bayanganku sekarang seperti bukan diriku yang sering aku lihat di cermin.

"Kau seperti melakukan sihir terhadap mukaku, Amy."

Dia tersenyum.

"Pada dasarnya memang kau sudah cantik, Jane. Sehingga aku tidak perlu memberikan riasan yang tebal. Kau akan membuat semua orang terpesona melihat kecantikanmu, dan aku akan iri."

Dia mendekatkan wajahnya kearahku, sehingga pipinya menyentuh pipiku. Kini kami bisa melihat wajah kami di cermin secara bersamaan.

"Kau lihat perbedaannya?"

"Amy! Kau cantik! Jangan kau banding-bandingkan dengan mukaku yang memakai riasan!"

Amy tertawa, dan menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

Aku tidak begitu suka menjadi sorotan. Setidaknya bisa membuat orang terkesan, itu sudah cukup.

"Um, Amy. Aku merasa sangat tidak canggung saat bersamamu. Apakah aku pernah menjadi temanmu?"

Amy terdiam, dan merubah posisi menjadi berdiri di sampingku.

"Maafkan perkataanku, jika itu menyinggungmu."

Aku merasa bersalah dengan perkataan dan pertanyaan yang aku lontarkan tadi. Amy mendadak langsung diam ketika aku berucap.

Amy kembali tersenyum. "Tidak. Kau tidak menyinggungku sama sekali. Sayangnya aku tidak mengenalimu sebelum ini, tapi aku pun demikian. Aku berharap jika memang sebelumnya aku adalah temanmu dan berharap ke depannya bisa menjadi temanmu."

Dia tersenyum.

Aku bercermin memutar badanku. Gaun yang indah. Bagian bahu memang terbuka dan agak sedikit kurang nyaman. Aku sepertinya tidak terbiasa dengan pakaian terbuka seperti ini. Akan tetapi lebih baik aku memberanikan diri untuk percaya diri daripada mempermalukan keluarga Tom.

Gaun ini seperti melekat di tubuhku. Tidak ada ruang untuk bernapas dengan lega. Aku memakai sepatu berhak rendah. Namun, sepatuku tidak begitu terlihat karena gaun ini terlalu panjang sehingga menutupi sepatuku. Sangat disayangkan, padahal sepatu ini bagus sekali. Mengkilap berwarna senada dengan gaunku.

Aku bergegas keluar, aku melihat Marry di depan pintu kamarku. Mukanya sudah berantakan.

”Hei! Bukannya kau seharusnya mendandaniku? Mengapa dia yang kau layani?“ Dia berteriak kepada Amy, dan menatapku sinis.

Amy hanya menunduk dan bergegas pergi menghampiri Marry, tanpa mengatakan apapun kepadaku. Aku memaklumi.

Ah, wanita menyebalkan.

Aku pergi menuju ballroom. 

***

Ballroom hampir dipenuhi oleh para bangsawan dan mereka menikmati pesta sambil meminum wine dan kudapan manis. Ada beberapa meja yang menyiapkan kudapan manis, akan tetapi para pelajan yang sibuk mondar-mandir mengantarkan sebuah botol berisi wine dan nampan berisi kudapan manis. Aku rasa jika para tamu seharusnya lebih mandiri mengambil makanan dan minuman sendiri tanpa bantuan pelayan. Jarak antara meja dan mereka tidaklah jauh, melainkan sangat dekat. Ah, aku tidak habis pikir dengan isi pikiran para bangsawan ini. Mungkin saja mereka memang tidak berniat menikmati makanan dan minuman, mereka hanya ingin berpesta dan berbincang-bincang dengan orang lain. Sehingga para pelayan harus menghidangkan langsung makanan dan minuman agar mereka bisa menikmatinya, tanpa menggabaikan makanan dan minuman.

Waktu menunjukkan pukul 9 malam lebih. Acara memang sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Sepertinya aku agak terlambat, gara-gara aku tertidur.

Aku menuruni tangga. Semua orang melihatku dan berbisik-bisik. Ya, mungkin karena mereka tidak tahu siapa aku dan melihatku seperti diperlakukan istimewa oleh Raja Aaron. Aku hanya bisa berharap mereka tidak membenciku. Jangan sampai manusia seperti Marry menyebar luas. Aku pasti pusing dibuatnya.

Tom sudah berdiri di bawah sana, dia memakai tuxedo berwarna putih kusam dengan kerah menutupi sebagian besar lehernya. Tuxedo itu sangat ketat, sehingga membentuk lekukan tubuhnya. Aku bisa melihat dadanya begitu lebar. Dia sedang menungguku dan tersenyum kepadaku. Aku membalasnya. 

Aku tidak melihat Williams. Di mana dia?

Ketika aku menuruni tangga terakhir. Williams menghampiri kami dengan napas tersenggal-senggal. Sepertinya dia akan mengatakan sesuatu, tetapi dia terlihat sedang mengatur napasnya. Apa yang sudah terjadi?

”Ah, Se—” kalimatku terpotong oleh kedatangan Marry.

Dia datang menghampiri Williams.

”Ah, Sebaiknya kau istirahat dulu.” Itu kalimat yang ingin kuucapkan.

“Williams, mari kita berdansa,” ajak Marry.

Aku berharap jika Williams akan menolak ajakan Marry, dan berdansa bersamaku. Akan tetapi, aku hanya bisa diam.

”Aku tidak suka berdansa. Pergilah cari pasanganmu.” Williams pergi.

Aku bisa melihat wajah Marry yang mendadak berubah menjadi kesal. Ketika Williams pergi, dia mengentakkan kakinya dan pergi juga.

Tom dan aku terdiam.

Tom menatapku dan tersenyum. Lalu dia menundukkan badan mengajakku dansa.

”Jane, maukah kau berdansa denganku?” Dia mengulurkan tangannya.

Aku bingung, sebenarnya aku lebih mengharapkan Williams daripada Tom.

Aku membalas uluran tangan Tom. “Tapi aku tidak bisa berdansa sama sekali”

“Tidak masalah,” ujar Tom sambil meletakkan tangannya di pinggangku dan mendekatkan badanku. Dia meletakkan tanganku di dada kirinya, dan tangan kami menggenggam satu sama lainnya. Aku bisa merasakan detakan jantungnya. Berirama halus.

Dadaku berdegup kencang. Aku bisa mencium aromanya yang khas. Wangi—sedikit tajam dan cocok untuk karakternya. Aku melihat lehernya lebih panjang. Dia lebih tinggi dariku, aku menatap matanya dan leherku tertarik ke atas. Dia mempunyai mata berwarna coklat. Karena kami sangat dekat, aku bisa merasakan napasnya. Napasnya sangat teratur. Jika dia bisa merasakannya, mungkin aku akan terlihat sangat memalukan. Aku tidak bisa mengatur napasku.

Kami berdansa.

Aku hanya mengikuti alur yang Tom arahkan. Meskipun aku banyak melakukan kesalahan, dia bisa mengatasinya dan aku ikut larut ke dalamnya. Benar-benar indah, membuatku merasa nyaman. Aku tahu dansa kami tidak begitu indah, tapi kurasa Tom tidak memikirkan hal itu.

Musik berganti dengan ritme menjadi lebih pelan. Dia menarik tanganku dan meletakkan kedua tanganku di lehernya. Kedua tanganku menyentuh bagian belakang lehernya. Halus sekali. Tom pun mengganti gerakannya. Sangat lambat. Aku bisa merasakan detakan jantungnya yang mulai terasa kencang. Kurasa, dia mulai kelelahan.

”Jane,” bisiknya.

Aku bisa merasakan suara yang begitu dalam, diikuti dengan hembusan napasnya.

“Ya?” Aku menatapnya. Jarak kami benar-benar dekat. Dadaku berdegup lebih kencang.

”Aku menyukaimu.” kini dia bicara dengan suara yang lebih pelan.

Aku bisa melihat tatapan matanya dan gerakan bibirnya.

Dadaku terasa menyakitkan dari sebelumnya, detakan ini lebih kencang dan tidak seirama, kurasa. Perasaan apa ini? Mengapa dia bisa menyukaiku? Atas dasar apa? Ini membuatku canggung seketika. Aku hanya tersenyum dan menundukkan kepala. Karena aku kebingungan, aku menyisipkan rambutku yang terurai ke belakang daun telinga. Aku berhenti berdansa.

”Ah Tom, terima kasih. Bolehkah aku pergi ke kamar mandi sebentar?”

Dia mematung, dan aku bergegas pergi meninggalkannya.

Maafkan aku, Tom.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status