Share

Chapter 6

Pikiranku kosong. Air mata mengalir begitu saja, tapi tidak seperti sebelumnya. Aku menangis tapi ada perasaan senang di dalamnya. Apa ada hal sesuatu yang telah terjadi? Apa aku pernah bertemu dengan Tom sebelumnya? Namun, Tom mengatakan bahwa dia belum pernah menemuiku. Jika dia belum pernah bertemu denganku, mengapa dia bisa mengutarakan perasaannya meski baru bertemu beberapa hari? Padahal kami baru dekat pada saat sedang berdansa.

Aku membasuh muka dan kedua tanganku. Aku melihat diriku sendiri di cermin. Riasanku mulai memudar, tapi aku tidak memikirkannya. Aku mencoba menenangkan detakan jantungku, dan air mataku sudah berhenti mengalir. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Rasanya akan canggung sekali. Aku tidak bisa mengatasinya.

Aku melamunkan diri di hadapan cermin. Tujuanku sebenarnya adalah mencari tahu mengapa aku hilang ingatan, tapi aku merasakan ada hal yang berbeda. Ada apa dengan ini? Apa aku mengingat sesuatu? Mengapa jantungku tidak bisa berhenti kembali normal? Ah, sial aku tidak bisa mengingat sama sekali.

Akhirnya aku bisa menenangkan diri, meskipun aku baru merasakan bahwa kepalaku sedikit pusing. Aku keluar dari kamar mandi, dan aku mendapati Marry sedang berciuman dengan laki-laki lain. Siapa itu? Lebih baik jika aku tidak mencampuri urusannya. Akan lebih merepotkan.

Tom menghampiriku. “Jane, kau tidak apa-apa? Aku khawatir, apa yang terjadi?”

”Aku baik-baik saja, Tom. Hanya saja kepalaku agak sedikit pusing.”

”Hei, Tom,” sahut laki-laki itu.

”Ada apa kau dengannya?”

”Ah, hanya berbincang-bincang biasa.”

”Aku harap kau tidak mendekati wanita itu.”

Rupanya Tom tidak melihat mereka sedang berciuman. Aku membalikkan badan, dan Marry sudah tidak ada di situ.

Williams datang menghampiri kami. “Ada apa? Mengapa semuanya berdiam di sini?”

”Hanya kebetulan,” ujar Tom, dan laki-laki itu pergi.

Kami hendak kembali ke ballroom. Langkahku terhenti. Kakiku tidak bisa bergerak seketika. Aku melihat Raja itu sedang berdiri di sana—dia berbincang dengan Raja Aaron. Masih untung dia tidak melihatku. Mengapa dia ada di sini? Apa dia tahu aku berada di sini? Siapa yang memberitahunya? Sedangkan aku mengatakan kepada Tom, bahwa aku hilang ingatan ketika terjatuh.

”Maafkan aku Tom. Sepertinya aku butuh udara segar. Kau bersenang-senanglah. Nanti aku menyusulmu,” aku berbisik kepada Tom.

Ternyata Williams sudah tidak ada di sampingku.

Aku bergegas pergi dari kerumunan. Karena gaun ini sangat merepotkan, jadi aku mengangkat sedikit agar bisa melangkah dengan leluasa. Sebisa mungkin aku harus menghindarinya. Astaga, aku harus bagaimana? Sedangkan mereka tampak akrab. Bagaimana jika Raja Aaron mengetahui bahwa aku mempunyai hubungan dengan Raja itu? Akan lebih merepotkan. Aku pasti akan terpaksa kembali ke sana.

Udara malam ini cukup dingin. Hembusan anginnya terasa sekali. Gaunku terlalu terbuka untuk saat ini. Biarlah. Mungkin hanya sebentar. Jika pesta ini hampir selesai, aku akan kembali. Aku memasuki ke dalam halaman depan, mencari sesuatu yang bisa aku duduki. Sedikit gelap, hanya dibantu oleh beberapa lampu taman. Itu pun hanya menerangi jalan yang bisa dilalui oleh kereta kuda. Aku mendapati sebuah taman dilengkapi dengan beberapa kursi taman—terdapat lampu yang menerangi kursi itu juga. Tidak terlalu gelap, dan tidak terlalu dingin. Aku bisa merasakan kehangatan di situ, meskipun hanya sedikit.

Aku menduduki kursi itu. Hanya bisa merenung apa yang harus kulakukan setelahnya. Aku benar-benar sangat bingung. Harusnya aku melakukan sesuai keinginanku, bukan diatur seperti ini. Sepertinya aku memang dari kalangan rakyat biasa. Terbukti bahwa pemikiranku ingin bebas, tidak terikat dengan aturan yang membuatku sesak seperti memakai gaun ini yang dilengkapi dengan korsetnya. Sangat tidak nyaman.

Seseorang menduduki kursi dan berada di sampingku. Aku menoleh ke samping. Dia Williams. Mengapa dia ada di sini? Apa dia pergi karena menghindari Marry?

”Sedang apa kau di sini?”

”Aku hanya mencari udara segar. Bagaimana denganmu?”

”Aku menghindari seseorang, lebih tepatnya ayahku.”

Ayahnya? Seperti apa ayahnya Williams? Inginku bertanya, tapi aku tahan. Aku tidak berani menanyakan lebih dalam.

Aku hanya mengangguk canggung.

”Um, Jane. Maafkan perkataanku tadi siang. Aku hanya khawatir jika kau kepanasan. Lebih khawatir jika kau terluka karena ikut melakukan permainan itu. Aku hanya menginginkan kau untuk duduk melihat kami. Aku tidak mempunyai maksud apa-apa, sungguh.” Dia menatapku.

Aku bisa melihat hembusan napasnya. Mungkin karena udaranya sangat dingin.

”Tak masalah. Bukan karena itu aku pergi.”

Dia mengerutkan dahinya. ”Kau mungkin tidak percaya. Aku memang belum mengenalimu saat itu. Namun, aku merasa panik ketika melihatmu terkapar begitu saja di atas rerumputan. Tidak ada luka, hanya saja kau tampak lemah. Aku pikir kau sudah mati. Aku mengecek nadimu, dan ternyata kau masih hidup.” Sepertinya bukan ini yang akan dia lontarkan, hanya saja dia tidak ingin membuatku tambah sedih.

”Terima kasih telah menyelamatkan nyawaku. Jika terlambat mungkin saja aku sudah tidak di sini mengobrol bersamamu.” Aku tersenyum.

Dia membalas senyumanku. Senyumannya sangat indah.

”Um, Jane.” Dia mengeluarkan sesuatu dibalik tuxedo-nya. Sebuah kotak.

”Sebenarnya aku menyiapkan lebih dari ini. Hanya saja, baru ini yang kubawa.”

Dia menyerahkan kotak itu kepadaku.

”Bukalah.” Dia tersenyum malu.

Aku membukanya, apa ini? Terlihat seperti ukiran dedaunan tapi tidak beraturan. Namun,dilengkapi beberapa berlian untuk menghiasinya agar terkesan lebih hidup. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tidak terlalu kecil pula. Aku mengangkatnya dari kotak tersebut. Ternyata sebuah jepit rambut. Cantik sekali.

”Aku rasa ini cocok untukmu. Pakailah.”

Aku memakainya dan menjepit rambut depanku yang terurai.

”Bagaimana?”

”Cocok sekali.” Dia tersenyum. Aku baru melihatnya tersenyum seperti ini. Selama ini dia menyebalkan sekali, sehingga aku tidak pernah melihat bibirnya tersenyum.

Dia melepaskan tuxedo miliknya, dan memakainya kepadaku.

”Udara malam sangat dingin. Pakailah.” Aku bisa merasakan suaranya begitu dalam, hembusan napasnya masuk ke telingaku.

”Tidak usah, Wil. Nanti kau akan kedinginan.”

Dia hanya menggeleng dan tersenyum.

Sepertinya hari ini dia lebih banyak tersenyum daripada sebelumnya. Ah terserah, aku tidak mau memikirkannya. Bukannya lebih baik jika dia seperti ini?

Aku memakai tuxedo miliknya. Harum. Dia memakai aroma lebih lembut daripada Tom. Aroma yang khas dan cocok untuknya. Saat ini kami hanya terdiam. Aku bingung harus memulai percakapan apa lagi? Aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kastil.

”Wil, sebaiknya kita kembali.” Aku bangun dari kursi, diikuti oleh Williams.

Aku mengembalikan tuxedo miliknya. Aku tidak enak, jika harus memakai tuxedo miliknya. Tidak sopan, kurasa. Ketika hendak keluar dari taman, Tom memergoki kami sedang berjalan. Dia berlari menghampiri kami.

”Jane, kau tak apa?” Dia memegang lenganku.

Aku mengangguk.

”Lebih baik kau masuk. Badanmu dingin sekali.” Dia melepas tuxedo miliknya, dan memakaikannya kepadaku. Aku sempat menolak, tapi Tom mungkin tidak sadar. Setelah terpasang di badanku. Dia memegang kedua bahuku dan merangkulku sambil berjalan.

Kami meninggalkan Williams. Aku benar-benar ingin mengajaknya masuk bersama-sama. Akan tetapi Tom sungguh mengkhawatirkanku, jadi dia mengabaikan kehadiran Williams.

”Aku tak apa, sungguh.”

”Aku melihat wajahmu memerah, Jane. Boleh aku pegang keningmu.”

Aku hanya terdiam.

”Badanmu panas, Jane. Sebaiknya kau istirahat dikamar. Biar aku mengantarmu.”

Aku hanya mengikuti perintah Tom.

”Di mana Williams?”

”Dia pergi begitu melihatku. Entah ke mana.”

Aku memasuki ballrom, Tom masih merangkulku. Aku hanya menunduk, aku merasa bahwa semua orang sedang melihatku dan itu membuatku merasa tidak nyaman. Aku ingin segera memasuki kamar. Kepalaku mulai terasa sangat berat. Jangan sampai pingsan, kumohon. Akan sangat memalukan jika aku sampai pingsan.

Tiba di kamarku. Tom membantuku untuk berbaring di atas kasur. Dia mengatakan bahwa, nanti pelayan akan membantuku menggantikan pakaian ini. Ya, memang benar. Baju ini terasa sangat sesak. Dadaku sakit, kepalaku pusing dan terasa berat, ditambah lagi badanku mulai terasa menggigil. Aku tertidur di saat seperti ini. Badanku memang membutuhkan istirahat. Aku terlalu berpikir sangat keras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status