***Ternyata ....Om Wilson, dan Tante Ratna sudah terbaring kaku, keduanya kehilangan nyawa.Jeniffer histeris, sedangkan aku langsung menghubungi Dokter Wiliam.Selang beberapa saat, Dokter Wiliam datang dan syok. "Apa yang terjadi?" tanya Dokter Wiliam dengan pucat."Saya tidak tahu, tadi saya mendengar jeritan Nyonya dan Tuan, lalu saya masuk ke dalam kondisi mereka sudah tersungkur di lantai," papar penjaga itu."Jen ...." Dokter Wiliam menatap ke arah Jeniffer."Jeniffer tadi bersama saya di kontrakkan, kami juga terkejut melihat ini," sambungku.Dokter Wiliam membuang nafas kasar. Namun, tak terlihat kesedihan yang dalam di matanya. Sangat berbeda dengan Jeniffer, tubuh gadis cantik itu gemetar, air matanya berjatuhan. Aku dapat merasakan bahwa Jeniffer sangat berduka saat ini."Sebaiknya lakukan otopsi!" ujarku."Tidak! Ini sudah ajal mereka, apa pun penyebabnya, saya tidak ingin orang luar mencari tahunya!" tolak Dokter Wiliam Aku terdiam ....Kenapa?Bukankah harus diperik
***Kini kami bertiga telah berada di rumah Mas Aryo. Mantan mertuaku itu tampak masih pucat, tapi tidak separah kemarin."Terima kasih kalian sudah bersedia datang ke sini," ucap Ibu."Sama-sama, Bu." Aku tersenyum"Kok sekarang berubah jadi baik banget ke kamu Ci," bisik Rena heran."Alhamdulillah dong Ren," sahutku pelan.Ibu dan Mas Aryo memang jauh berubah, aku turut senang melihatnya."Mas dengar acara pernikahamu tak lama lagi akan di gelar ya, Dek?" Mas Aryo membuka suaranya.Rena dan Indah saling tatap, aku hanya tersenyum getir mengingat calon suamiku itu pun masih mengundang teka-teki yang sulit aku pecahkan."Insya Allah, Mas. Jika Allah menghendaki maka kami akan segera bersatu dalam ikatan halal," jawabku dengan lembut.Ibu yang mendengar ucapanku langsung menunduk, entah apa yang beliau fikirkan."Desy mana?" tanya Rena."Desy telah memilih laki-laki lain yang lebih segalanya dan yang jelas bukan laki-laki mandul seperti saya!" Mas Aryo menunudukkan wajahnya juga."Jang
***Aku dan Jeniffer tidak bisa tidur hingga pagi. Setelah matahari mulai terbit, terdengar suara mobil di luar rumah.Sepertinya Dokter Wiliam sudah datang. Aku bergegas membuka pintu."Hey," ucap Dokter Wiliam menyapaku.Aku tersenyum menyambutnya, tapi hatiku terasa pilu.Kami duduk di ruang tengah, Jeniffer gemetar melihat kedatangan Dokter Wiliam."Jen, kenapa?" tanya Dokter Wiliam."Tidak enak badan Kak," sahut Jeniffer."Saya buatkan teh dulu ya," ujarku sembari berlalu.Di dapur aku mengirim pesan pada Rena. [ Ren, Dokter Wiliam sudah datang. ]Setelah menunggu beberapa menit, pesanku dibalas Rena. [ Hati-hati, tetap berusaha tenang dulu, Ci! ]Aku mengirim lagi emot setuju.Kini aku kembali ke ruang tengah membawa secangkir teh panas."Minum dulu!" Aku menyodorkan segelas teh."Terima kasih, hari ini kamu jangan pergi ke ruko ya! Biar saja karywatimu yang mengurus toko itu. Kita akan pergi mencetak undangan bersama nanti, Jeniffer juga ikut!" papar Dokter Wiliam.Aku menarik
***Setelah mobil Dokter Wiliam berhenti, tak lama kemudian ia turun dengan seorang gadis."Ren, ada perempuan bersamanya," ucapku terkejut."Gawat, Ci! Perempuan itu pasti akan jadi korban selanjutnya," sambung Rena."Bagaimana ini Kak?" Jeniffer mulai ketakutan lagi."Kita harus turun sekarang!" ujarku geram.Rena setuju, sedangkan Jeniffer kami biarkan tetap berada di dalam mobil saja."Brengsek!" maki Rena.Dokter Wiliam sontak kaget melihat keberadaan kami berdua."Kalian!" ucapnya yang masih terlihat tenang."Apa yang ingin dokter perbuat di sini bersama seorang perempuan?" tanyaku pura-pura bodoh."Jangan salah faham dulu, Ci! Villa ini milik keluarga saya, bahkan Jeniffer sekalipun tidak mengetahui ini. Ayo kita masuk, di dalam ada beberapa orang yang sedang menunggu saya." Dokter Wiliam masih tersenyum polos."Omong kosong!" hardik Rena."Kenapa anda marah? Wiliam berkata yang sebenarnya, hari ini saya dan Wiliam ke sini untuk suatu tugas dari rumah sakit," ucap perempuan itu
***Waktu berganti, kini aku dan Rena mengantarkn Jeniffer ke bandara."Terima kasih banyak, Kak Suci, Kak Rena. Kalian sangat baik," ucap Jeniffer."Sama-sama. Jaga dirimu baik-baik di sana!" Aku memeluk tubuh gadis cantik bermata biru itu.Rena juga melakukan hal yang sama.Setelah selesai, aku dan Rena segera pulang. Rena tampak sedih, aku menjadi cemas."Ren," lirihku.Rena tak menjawab, ia hanya membuang nafasnya dengan kasar sambil fokus menyetir.Suasana menjadi hening, hingg kami sampai kembali di kontrakkan."Ren, kamu baik-baik saja kan?" tanyaku memastikan."Aku hanya berpikir tentang masa depanku Ci. Hidupku sudah tak ada artinya lagi sekarang," ucapnya dengan datar."Jangan bicara begitu, Ren! Allah tidak menyukai hambaNya yang berputus asa," lirihku menyemangatinya.Rena memelukku dengan tangisannya yang mulai pecah.Tiba-tiba ponselku berdering!Sebuah panggilan dari pihak kepolisian."Selamat siang, Saudari Suci!" ucapnya."Siang, Pak!""Maaf sebelumnya, saya hanya in
***Mas Aryo mengajak aku duduk di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu. Entah apa yang ingin dibicarakan Mas Aryo, aku mencoba duduk dan mendengarkan dengan serius."Maaf, Dek. Mas hanya ingin bilang sesuatu," ujarnya."Katakan saja, Mas!""Sebenarnya ...." Mas Aryo menunduk sedih.Entah kenapa Mas Aryo tiba-tiba menjadi murung, ia seperti menahan air mata."Ada apa Mas?" tanyaku pelan."Mas mungkin tidak akan bisa bertahan lama. Dokter momvonis Mas dengan penyakit tumor otak stadium lanjut. Mas sering meronta sakit tanpa ada satu orang pun yang tahu, termasuk Ibu."Degh!Debaran jantungku seperti genderang mau perang ketika mendengar penuturan Mas Aryo itu.Aku tidak percaya dengan apa yang ia katakan, tubuhnya tampak sehat-sehat saja. Namun, ternyata Mas Aryo mengindam penyakit serius."Apa ini benar, Mas?" tanyaku menahan bulir bening yang ingin turun.Mas Aryo mengangguk pelan. Air matanya kini sudah berjatuhan."Mas hanya sedih jika ajal Mas datang lebih dulu, maka siapa yan
***Setelah aku selesai dari toilet, aku bergegas menghampiri Indah dan yang lain."Mbak Suci, ini siapa?" tanya Indah polos, melirik pria yang sudah duduk di sebelahnya."Saya juga belum sempat berkenalan tadi, he-he ...," sahutku merasa konyol. "Oya, perkenalkan nama saya Reyhan Adik kandung dari Mas Rian," ujar pemuda tampan itu. "Oh, pantas sedikit mirip," sambungku tersenyum. Indah terlihat malu-malu, dan Reyhan juga terlihat begitu. Kali ini sepertiny aku harus menjadi Mak comblang."Oya, Reyhan! Kenalin ini adalah Adik angkat saya." Aku merangkul Indah sembari memperkenalkannya. Raihan tersenyum menatap ke arah Indah, dan berkata. "Hai senang bisa berkenalan denganmu."Wajah Indah berubah jadi merah merona. Aku dapat mengerti tentang apa yang sedang dirasakan Indah sekarang. Karena, aku juga pernah muda dulu. Sedangkan Mas Aryo hanya tersenyum menanggapi obrolan kami ini. Ia tak lagi banyak bicara. Aku menjadi sedih seketika. Cobaan yang dilalui, Mas Aryo memanglah berat.
***Hari yang ditunggu kini telah tiba. Aku telah memakai kebaya cantik yang berwarna coklat muda. Mas Aryo sudah berjabat tangan dengan Pak penghulu. Janji Suci kini kembali diucap. Mas Aryo melakukan ritual ijab qabul yang kedua bersamaku.Semua berjalan lancar Indah dan Rena juga turut menjadi saksi utuhnya kembali rumah tanggaku dengan Mas Aryo.Setelah semua proses pernikahan selesai, kami duduk bersama. Acara memang tidak begitu mewah, hanya mengundang kerabat dekat saja. Bukan tidak mampu, tapi memang aku ingin yang sederhana."Terima kasih ya, Dek! Mas berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi," ucap Mas Aryo sambil menggenggam erat tanganku."Iya, Mas. Adek percaya, bawa Mas tidak akan mengingkarinya lagi kali ini.""Mbak Rena Mbak Suci kalian sudah menemukan bahagia kalian masing-masing. Sedangkan saya ...." sambung Indah dengan menunduk.Aku tersenyum mendengar ucapan polos Indah itu, begitupun Rena."Hey, Reyhan! Itu adalah sebuah kode, harusnya kamu peka," u