[Davina, apakah kamu tahu bahwa hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang aku inginkan? Kamu memiliki segalanya, tetapi terus merasa kurang. Berbagi Fathan pasti bukan masalah besar untukmu. Sepanjang kamu tidak tahu, dan akan terus begitu)
*Perbincangan dengan ketiga sahabatnya ternyata tidak menemui titik temu. Baik Faiza, Arumi maupun Ghina tidak ada yang mengakui telah membunuh Lulu. Semua tetap menjadi misteri hingga polisi harus berhasil mengungkap pembunuh itu. Davina masih yakin salah satu dari ketiga sahabatnya atau suaminya adalah pelakunya. Keyakinan yang sama juga dipikirkan ketiga kawannya. Mereka berpikir Davina adalah pelakunya karena dia satu-satunya korban yang tersakiti dari situasi ini. Ada saatnya kita yakin saat mengambil satu jalan, sebelum akhirnya tahu bahwa jalan yang kita pilih ternyata buntu. Jalan yang tidak bisa membawa kita kemana-mana selain harus kembali melewatinya sekali lagi untuk mencari pintu keluar. Setelahnya, mungkin kita berandai-andai jika tak melewati jalan itu, kita tak akan pernah tersesat. Selanjutnya, penyesalan hanya omong kosong jika tak disertai tindakan nyata.Davina juga tidak pernah menyangka pernikahannya dengan Fathan akan menemui masalah seberat ini. Harga dirinya sebagai istri terkoyak. Kepercayaannya kepada suami yang dinikahinya atas dasar cinta itu tercabik. Rasa hormat terhadap imam keluarganya terhempas pada titik terendah. Semua kepahitan yang sekarang dia telan ini berawal dari pemberontakan saat dirinya remaja. Davina dididik papanya dengan nilai-nilai agama yang kental. Semenjak TK, Davina disekolahkan di TK Islam terbaik, begitu juga saat masuk SD, lalu SMP dan SMA. Davina bersekolah di sekolah yang sama, sekolah swasta di bawah naungan sebuah yayasan yang juga mempunyai Universitas ternama. Papanya memang seorang pemuka agama. Mamanya aktivis sebuah partai agamis yang akhirnya membawanya duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat di Bogor, kota kelahirannya. Hidup Davina sangat nyaman sejak kecil. Semua kebutuhannya tercukupi dan masa depannya sudah tertata rapi. Ibarat tangga, Davina tinggal menapakinya satu persatu. Hingga saat SMA, Davina mulai merasa muak dengan lingkungannya. Meskipun bersekolah dengan akar agama yang kuat, kawan-kawannya lebih senang bergaul dengan kelompoknya masing-masing. Mereka rata-rata berasal dari keluarga berada, tak jarang memandang kaum miskin hanya merusak pandangan. Davina merasa sebagian besar temannya terlalu eksklusif dan membeda-bedakan teman. Puncaknya, saat menginjak kelas 2 SMA Davina meminta kepada papanya agar dipindahkan ke sekolah umum. "Davina ingin tahu juga rasanya sekolah umum, Pa. Dari TK sampai sekarang teman Davina itu-itu saja. Bosan!" ungkapnya kesal. Bagi Davina saat itu hidupnya hanya untuk sekolah, tugas, pulang, mandi, makan. Kedua orangtuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Davina mulai merasa sekolah adalah lembaga yang sangat diandalkan orang tuanya sebagai solusi 'membuang' anak. Hanya di sekolah, karena ketika di rumah mereka nyaris tak pernah ada interaksi. "Papa sudah perintahkan kamu supaya masuk pesantren sejak SMP kemarin. Kamu menolak. Sekarang sudah setengah jalan sekolah, masih ingin pindah lagi. Kamu maunya apa, sih?" tanya papanya kesal. "Davina tidak mau di pesantren. Pasti rasanya kayak di penjara. Setiap hari hafalan ayat-ayat. Davina kepingin menjadi anak normal, Pa. Davina mau memilih masa depan sendiri." "Bagaimana dengan kuliah kamu nanti? Kamu sudah setuju untuk kuliah di jurusan yang kita sepakati di Turki. Jalannya akan lebih mudah kalau kamu menamatkan SMA kamu sekarang, bukan SMA umum." "Kenapa Davina tidak boleh memilih sesuai keinginan Davina sendiri?" timpal gadis yang ABG yang mulai mengenal kata pemberontakan. "Karena kamu memang belum bisa memutuskan yang terbaik untuk dirimu sendiri." Mama menimpali. Davina melengos melihat mamanya yang tiba-tiba datang dan memberikan pendapatnya. Dia bukan benci mamanya, tetapi melihat wanita yang disebutnya mama, rasanya mereka tidak terikat apa pun kecuali predikat ibu dan anak. Davina ingin lebih diperhatikan dan didengarkan, tapi mamanya terlalu sibuk untuk sekadar menanyakan kabarnya. "Davina sudah tujuh belas tahun, Pa. Terserah kalau Papa tidak setuju, lebih baik Davina tidak sekolah." "Davina, makin enggak sopan kamu sama orang tua!" bentak mamanya. "Sebaiknya mama urusi pekerjaan mama, Davina bisa mengurusi diri sendiri!" Gadis remaja itu berlari menuju kamarnya.Seharusnya dia berlari kepada mamanya lalu menumpahkan semua isi hatinya. Namun, semenjak menjadi anggota dewan, waktu mamanya nyaris tidak tersisa untuknya. Mama hanya senang mendengar berita pencapaian, itupun sekilas. Untuk sebuah kegundahan hati, Davina nyaris tak mempunyai tempat untuk berbagi. Hanya amarah dan tuntutan yang akhirnya Davina dengarkan dari perempuan yang melahirkannya. Dan benar saja, mama menyusulnya ke kamar untuk menekannya. Lagi. "Davina kamu apa-apaan? Sudah bagus masuk SMA mahal malah mau pindah ke SMA umum. Kamu mau jadi anak yang masa depannya enggak jelas? Mama tidak mengizinkan kamu pindah sekolah!" Davina hanya menanggapi sinis teriakan mamanya. Dia sudah berani mengambil sikap mogok sekolah, sampai akhirnya kedua orang tuanya menyerah. Gadis itu menang dengan pindah ke sekolah umum dengan satu syarat, dia harus tetap memakai jilbab. Tentu saja Davina setuju. Meskipun pada akhirnya dia lebih sering membuka jilbab ketika pergi nonton bioskop dengan teman-temannya. Di SMA itulah Davina bertemu dengan Faiza, Lulu, Arumi juga Ghina. Pada suatu pagi Davina melihat mendung menggantung di wajah Arumi. Gadis tinggi kurus itu memang jarang tersenyum, tetapi pagi itu bukan hanya senyum yang tak tampak di wajahnya. Biasanya matanya berbinar saat memasuki gerbang sekolah. Pagi itu mata Arumi terlihat sembab. "Kamu sakit, Arumi?" tanya Davina ketika mereka duduk bersanding. Arumi kawan sebangkunya. Gadis itu hanya menggeleng lemah. Davina tahu ada yang tidak beres dengan Arumi. Akhirnya mereka berlima berkumpul di warung bakso di dekat sekolah. "Kamu cerita saja, Arumi. Kita bersahabat. Kita akan saling menjadi mata untuk menujukkan jalan, telinga untuk mendengarkan cerita, dan mulut untuk mengingatkan jika ada yang berbuat kesalahan," ujar Davina. "Kita akan berbagi beban juga kebahagiaan, Arumi." Ghina menimpali. "Aku ... rasanya udah enggak tahan lagi tinggal di rumah orang tua angkatku." Akhirnya Arumi membuka suara. "Dia itu gila, aku enggak tahan lagi!' Arumi menelungkupkan wajahnya di atas meja. Keempat sahabatnya saling memandangi satu sama lain. "Edo itu binatang!" Arumi akhirnya mengatakan rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat. Gadis itu menjadi korban pelecehan seksual dari anak keluarga yang menjadi orang tua angkatnya. Rahasia itu akhirnya menjadi rahasia berlima. Mereka saling menguatkan Arumi yang semakin hari mulai bisa mendongakkan kepalanya. Masa-masa sekolah yang lebih sering mereka habiskan dengan berkumpul bersama menceritakan masalah mereka masing-masing. Tiga bulan kemudian Arumi memberikan sebuah kabar. "Edo ditangkap polisi karena menjual narkoba." Tentu saja kabar itu disambut gembira oleh Davina dan kawan yang lain. Mereka merayakannya di kafe D’Chocco seperti biasanya. Arumi bisa tersenyum lagi setelah sekian lama wajahnya tersaput mendung. Senyum yang terus mengembang di bibirnya, karena dialah yang melaporkan Edo kepada polisi. Arumi memang sejenius itu membalas dendamnya. Ikatan lima sahabat ini semakin menguat dari hari ke hari. Setelah kelulusan SMA Davina kembali dihadapkan pada masalah yang sama. Dia bertengkar hebat dengan papanya. "Kamu sudah setuju kuliah di Turki, kenapa sekarang jadi berubah pikiran?" murka papanya dengan suara keras. "Davina ingin masuk jurusan Ekonomi saja, Pa. Di sini banyak universitas yang bagus kenapa harus ke Turki?" Davina memang sudah malas kuliah. Otaknya terlalu penuh dijejali bermacam-macam ilmu sejak kecil. Sekali lagi dia merasa hidupnya hanya untuk sekolah dan kuliah. Kegiatannya dari itu ke itu saja. Kesibukan orang tuanya tetap sama. Bersama kawan-kawannya Davina menemukan dunia baru. Dunia remaja yang menantang dan mengasyikkan. Sesekali bolos sekolah, dan memilih ke mall untuk belanja accesories remaja, dilanjutkan nonton bioskop dan berburu makanan diskon di food court. Bukankah masa muda memang harus dihabiskan dengan bersenang-senang?"Kalau papa dan mama tidak mengizinkan, Davina akan langsung bekerja saja. Supaya papa dan mama tidak perlu membiayai hidup Davina lagi. Cukup Via saja yang masih harus dibiayai." Dia melirik ke arah Viandra yang berdiri tegang di dekat tangga. Viandra, adik semata wayangnya yang sangat patuh kepada papa dan mamanya. Anak kesayangan yang selalu menurut tanpa membantah bagai robot. Davina tentu saja tidak mau menjadi robot seperti adiknya. "Oke papa sudah putuskan, kamu kuliah ambil jurusan Ekonomi Syariah!" Papa mengacungkan tangan ke wajah Davina. Napasnya turun naik. Sepertinya laki,-laki itu sudah sampai pada batas kesabarannya.Melihat papanya dengan wajah merah padam, juga tatapan murka mama dan adiknya, Davina akhirnya hanya bisa diam. Diam-diam dia pergi meninggalkan rumah dan menginap berhari-hari di rumah Ghina, lalu ke rumah Faiza, juga ke rumah Lulu yang saat itu tinggal bersama neneknya. Rupanya cara itu tak mempan lagi. Kedua orangtuanya bahkan tidak mencarinya. Setelah kehabisan uang, Davina kembali ke rumah dan terpaksa menerima keputusan papanya. Kuliah dengan jurusan yang tidak pernah dia inginkan. Hari-hari seperti menjadi robot dia lalui dengan setengah hati. Sambil kuliah, Davina bekerja menjadi waitress di sebuah kedai kopi ternama. Tentu saja hal itu ia lakukan diam-diam sampai akhirnya Davina mempunyai keberanian untuk keluar dari rumah. Siang itu bersama Faiza, dia mendatangi satu perumahan yang sedang ada promo besar-besaran. Davina bukan ingin membeli rumah, tetapi menyewa rumah untuk tempatnya tinggal selama kuliah. Seorang pemuda menyambutnya dengan senyum ramah di kantor marketing real estate tersebut. "Saya ingin menyewa rumah," jawabnya ketika pemuda yang memperkenalkan diri bernama Fathan itu menanyakan maksud kedatangannya. "Baik, ada beberapa rumah disewakan di blok A. Anda bisa melihatnya di katalog ini. Ada nomor yang bisa dihubungi juga, tetapi kami bisa membantu juga." Fathan menyodorkan sebuah katalog tebal kepada Davina. Sebenarnya siang itu Fathan hanya mampir sebentar ke kantornya, ingin mengambil berkas. Ternyata berkas tersebut harus difotokopi, sehingga karyawan yang bertugas melayani tamu keluar kantor untuk fotocopi. Mungkin memang nasib baik sedang menghampirinya hingga siang itu dia bertemu dua orang gadis cantik. Yang satu gadis cantik berpakaian tertutup dan berkerudung. Satunya lagi gadis cantik sekali dengan dandanan modis memakai celana di bawah lutut bersepatu kets, mengenakan t-shirt tipis putih dan rompi jeans biru senada dengan celananya. Dua-duanya memukau pandangannya. Davina tersentak mengingat lagi kejadian pertemuannya dengan Fathan tujuh tahun silam. Bagaimana dia bisa sebuta itu tidak menyadari pandangan penuh arti dari Fathan kepada Faiza? Ya, saat itu Faiza yang biasanya banyak bicara mendadak banyak diam dan mematung. Faiza sudah menyukai Fathan sejak pertama mereka bertemu! Brengsek mereka memang! Suara dering ponsel mengagetkannya. Mamanya menelepon. "Davina, apakah benar berita yang mama baca di koran? Sekretaris suamimu meninggal karena dibunuh? Teman-teman mama ramai sekali membicarakan kejadian ini. Kenapa kamu tidak memberitahu mama?" Davina menarik napas panjang. Sudah sepekan berita itu beredar dan diperbincangkan hampir semua orang, tetapi mamanya baru tahu sekarang. Ya itulah mamanya. Urusan anak tidak pernah lebih penting dari urusan pekerjaan. "Kamu lebih baik pulang saja ke rumah sama Nafasya. Begini akibatnya kalau selalu menentang orang tua. Papa akan jemput kamu sekarang, siap-siap bawa barang seperlunya." Kali ini suara papanya terdengar tegas. "Davina baik-baik saja, Pa. Di sini aman. Davina hanya berdua sama Nafasya. Mas Fathan sudah pindah ke apartemen." "Dalam keadaan begini dia meninggalkan kamu? Dasar laki-laki pengecut. Suami macam apa yang tega meninggalkan istrinya saat ada masalah begini? Sudah ... kamu tunggu di situ, sebentar lagi papa jemput!" Teriakan papa terdengar begitu keras. Dalam keadaan seperti ini Davina butuh berpikir jernih. Bersama papa dan mamanya, jelas pikirannya akan bertambah kalut. "Davina yang mau, Pa. Davina butuh ketenangan. Terima kasih papa dan mama mau peduli. Ini masalah Davina, semua akan Davina selesaikan sendiri bersama pengacara. Davina cuma minta doa dari papa dan mama. Davina ... minta maaf jika ada salah." Davina mengakhiri pembicaraan. Tangisnya pecah menyadari betapa jalan yang dipilihnya ternyata sangat terjal dan berliku. Sebuah mobil terdengar memasuki halaman. Dari balik jendela Davina melihat mobil Fathan menuju garasi. Perempuan itu segera menyusut air matanya dan hendak berlari menuju kamarnya di lantai dua. Namun saat dia berlari menaiki tangga, Fathan berteriak ke arahnya. "Davina, kita harus bicara! Aku sudah tahu siapa pembunuh Lulu!"Viandra sedang mengamati layar laptopnya, memerhatikan satu persatu angka yang tertera di dalam rekening yayasan. Setelah acara lelang barang branded berakhir, tugasnya mencatat semua uang yang masuk di rekening. Dahinya berkerut saat mendapati satu berita pada bukti transfer. Segera ia mengambil kertas lalu mulai mencetak bukti uang masuk. Ada sepuluh halaman kertas yang kini berjejer di mejanya. Jarinya dengan cekatan melingkari nomor rekening yang namanya sama. Ada satu nama dan berita transfer yang membuatnya bertanya-tanya. "Kak, ada yang aneh dengan donatur ini, deh. dia mengirimkan donasi dalam jumlah yang sama selama enam bulan ini. Setiap tanggal dua puluh dia mengirimkan donasi seratus juta. Beritanya juga sama 'Geng Cokelat' ini maksudnya apa, ya?"Davina terkejut mendengar nama yang setahun ini tidak pernah dia dengar lagi, dan memang sudah dia hapus dari memorinya. "Pengirimnya atas nama siapa?" selidiknya. "Ghina Ulya. Kakak kenal?'Davina segera mendekati Viandra
Udara pagi yang dingin menerpa wajah Fathan saat mama mematikan lampu dan membuka jendela kamarnya."Fathan bangun, ayo salat Subuh dulu. Sudah azan, segeralah pergi ke masjid!" Mama menarik selimut tebal yang membungkus tubuh Fathan, lalu menepuk-nepuk punggung anak semata wayangnya."Hoam ... dingin sekali, Ma," keluh Fathan sambil menguap begitu menyadari hawa dingin menusuk tulangnya. Mereka sedang berada di villa. Sejak perceraiannya dengan Davina diketuk palu, Fathan tidak lagi punya gairah pada dunia bersenang-senang. Dia lebih memilih menemani mamanya yang sekarang sudah tidak lagi aktif berbisnis, hanya mengawasi dan sesekali menjadi penasehat. Mereka memutuskan rehat seminggu di villa."Ayolah bangun, jangan malas. Perkara nomor satu yang mesti kau perbaiki adalah hubunganmu dengan Tuhan." Suara mama masih saja yang lembut membuat Fathan mau tak mau membuka matanya."Allah mau kamu kembali, Fathan. Dari semua lika-liku perjalanan dan masalah yang kau lalui kemarin, sekarang
Fathan tidak menyangka Arumi tega mengkhiantinya sejauh itu. Setelah dilakukan investigasi Arumi telah berbuat curang lebih jauh dengan memanfaatkan tanda tangan Fathan dan Davina. Dulu Fathan begitu mempercayainya hingga Arumi memegang semua dokumen asli yang dimilikinya. Habis sudah.Fathan Corp menanggung kerugian tidak sedikit hingga terancam kolaps. Arumi mengambil semuanya. Kontrak yang masih berjalan dialihkan, piutang berjalan juga sudah berhasil ditagih dan masuk ke rekening perusahaan yang dipegang Arumi. Gadis itu begitu lihai terencana melakukan semuanya. "Pa, Fathan minta maaf karena ternyata gagal memimpin perusahaan Papa. Sekarang kita terlilit utang cukup besar. Jika papa mengizinkan, Fathan akan menjual perusahaan kita yang kondisinya sekarat." Fathan duduk dengan muka mienunduk di dekat papanya yang terbaring lemah. Pria tua yang sudah kehilangan semuanya itu, hanya bisa terdiam mendengar laporan anaknya."Robby ... sudah ... lapor ... Elsye ...." Sambil terengah
Fathan tak menyangka Elsye berani menelponnya. Dari mana wanita itu tahu nomor teleponnya. Pasti bukan hal sulit, karena Elsye bisa mencari tahu lewat Aina, sekretarisnya sebelum Lulu. Fathan bertemu Davina saat dirinya lulus kuliah di Kanada. Satu tahun setelah mereka berpacaran, Fathan kembali melanjutkan kuliah S2 di Kanada. "Aku dengar kamu sudah menikah sekarang. Congrats, Dear. Kamu sekarang pasti sudah jadi suami yang hebat.""Elsye, berani-beraninya kamu meneleponku." "Rileks, Than. Mami cuma kangen sama kamu. Masa kangen sama anak nggak boleh? Kamu, kan, anak kesayangan Mami." Suara Elsye mendesah membuat Fathan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Ternyata kamu sudah merencanakan semuanya. Dasar wanita licik!""Oh, Dear. Kenapa bicara kasar sama Mami? Hidup memang harus direncanakan, Sayang. Lihat dirimu sekarang. Kamu masih muda, punya istri cantik, punya anak lucu, punya perusahaan besar. Ah, yang terakhir itu pasti kamu tidak pernah merencanakannya, bukan? Kamu hanya be
Permainan asmara selalu menuntut penyelesaian. Dari mencoba menjadi ketagihan. Waktu sebulan mereka manfaatkan sebaik-baiknya. Hampir setiap hari Fathan dan Elsye saling memuaskan. Bagi Fathan, ibu tirinya adalah sosok ibu peri yang memberinya pengalaman baru yang sangat menyenangkan.Berbagai macam gaya bercinta dari video yang mereka tonton akhirnya mereka praktekkan tanpa bosan, hingga Elsye memetik hasil didikannya kepada pemuda culun itu. Fathan berubah menjadi pemuda yang sangat tangguh di ranjang dan paham memuaskan wanita seperti dirinya. Fathan makin percaya diri ketika Elsye mendandaninya seperti pemuda gaul yang selama ini hanya dia lihat dari sosial media. Selama ini masalah terbesar Fathan adalah kepercayaan dirinya. Tidak ada yang memedulikan penampilannya, cara berjalannya, juga gaya berbicaranya. Bersama Elsye, Fathan seperti menemukan guru privat sekolah kepribadian. Fathan menjelma menjadi pemuda tampan yang mampu memikat lawan jenis pada pertemuan pertama. Pesona
"Ini keputusan sulit, tetapi mama dan papa tidak punya solusi lain," ucap Papa pasrah. Setali tiga uang. Ternyata papanya juga begitu enteng bicara tentang perceraian semudah pamit saat akan pergi ke luar kota."Sekarang mungkin kamu belum mengerti meskipun mama dan papa jelaskan. Ada hal-hal di dunia ini yang tidak bisa terjadi seperti keinginan kita. Nanti kalau kamu dewasa, kamu akan paham," imbuh papanya. "Kamu tidak perlu khawatir karena kami tetap orang tuamu. Kamu akan tinggal bersama Mama tetapi bebas datang ke rumah papa, kapanpun kamu mau." Fathan menoleh ke arah mamanya. Mama yang selama ini mendukungnya, malam ini terlihat berbeda. Ada gurat kesedihan yang tak ingin ditampakkan, meskipun begitu Fathan tetap melihat wajah keruh itu."Kamu bebas memilih sekolah yang kamu mau, mama dan papa akan menyekolahkan kamu setinggi-tingginya." Kali ini Fathan menoleh ke arah papanya. Lelaki yang mengajarinya tanggung jawab ini sekarang justru seperti sedang berusaha melepaskan tangg
Fathan mengirimkan pesan kepada Davina. Lelaki itu tak mau menyerah meski Davina sudah memberi jawaban tegas bahwa dia tidak akan menarik gugatan cerainya di Pengadilan agama. Davina tidak sudi melanjutkan hubungan pernikahan mereka.Berkali-kali Fathan melihat ponselnya, menanti jawaban dari Davina tetapi Davina teguh pada pendirian, tak ingin lagi berkomunikasi dengannya. Minggu kemarin bahkan Davina memblokir nomornya di WhatsApp. Baru dua hari lalu Davina membuka blokiran setelah Fathan mengancam akan mendatangi apartemennya. Sebenarnya bukan hanya mengancam, karena Fathan memang mendatangi apartemennya dan marah ketika mendapati Davina sudah pulang ke Bogor.Fathan sudah mendapatkan kabar dari kepolisian bahwa pelaku pembunuhan Lulu telah ditangkap. Berita itu membuatnya lega. Setidaknya satu masalah dia anggap selesai. Kecurigaan Davina terhadapnya tidak terbukti. Tetapi untuk merebut kembali perhatian Davina, Fathan harus berusaha lebih keras. Fathan yang sedang galau meneka
"Semoga bukti ini menjadi bisa menjadi petunjuk bagi pihak kepolisian untuk segera meringkus Rizal. Saya sangat yakin dia pelakunya. Rizal yang membunuh Lulu." Davina tak kuasa menahan kesedihannya di depan Bripda Estu Saragih. Dia menyerahkan file catatan Lulu yang sudah dicopy pada sebuah flashdish juga surat pengunduran diri yang belum sempat dia berikan kepada Fathan."Terima kasih Ibu Davina, informasi ini sangat berharga bagi kami. Kalau saya perhatikan pria di video yang dikirimkan korban kepada Faiza, ciri fisiknya memang mirip dengan Rizal. Ada beberapa foto Rizal di laptop korban. Kami akan mengabari Anda begitu kami bisa meringkus pelakunya.""Terima kasih Bu Estu. Saya permisi. Semoga pembunuh itu membusuk di penjara." Davina meluapkan amarahnya. Sekarang sudah jelas bahwa dia, Fathan dan sahabat-sahabatnya terbebas dari tuduhan sebagai pembunuh Lulu. Davina kembali ke apartemennya untuk mengemasi barang-barangnya. Keesokan harinya Davina mendapat telepon dari Bripda Es
(Davina, jika terjadi sesuatu padaku tolong jaga Keenan untukku. Bidan Danarsih bisa menjadi Ibu yang baik. Tetapi kau tetap harus mengawasi dan menjadi pelindung Keenan. Aku percaya padamu, Vi. Aku capek jadi sapi perahan Rizal. Do'akan kami baik-baik saja. Kamu masih ingat pantai tempat kita dulu sering bolos dan menghabiskan waktu di sana? Aku rindu pantai itu, aku rindu menghabiskan waktu berdua bersamamu.)*"Vi, secepatnya aku akan kasih kabar jika sampai di tempat baru. Makasih banyak karena kamu sudah bantuin aku sejauh ini. Kamu sahabat yang baik, sangat baik.""Hei, apa-apaan ini? Sepertinya kamu akan pergi jauh. No, tidak akan bisa. Di manapun kamu tinggal nanti, aku pasti akan mencarimu. Jangan pernah berharap lepas dari aku lagi."Davina memeluk Lulu sekali lagi. Lulu tak bisa lagi menahan butiran bening di sudut matanya. Sungguh perasaannya bercampur aduk. Dia sangat menyayangi Davina, hingga pengkhianatannya terasa mustahil untuk dimaafkan. Dekat dengan Davina membuatnya