Share

3. Tidak Ada Jalan untuk Kembali

[Davina, apakah kamu tahu bahwa hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang aku inginkan? Kamu memiliki segalanya, tetapi terus merasa kurang. Berbagi Fathan pasti bukan masalah besar untukmu. Sepanjang kamu tidak tahu, dan akan terus begitu) 

*

Perbincangan dengan ketiga sahabatnya ternyata tidak menemui titik temu. Baik Faiza, Arumi maupun Ghina tidak ada yang mengakui telah membunuh Lulu. Semua tetap menjadi misteri hingga polisi harus berhasil mengungkap pembunuh itu. Davina masih yakin salah satu dari ketiga sahabatnya atau suaminya adalah pelakunya. Keyakinan yang sama juga dipikirkan ketiga kawannya. Mereka berpikir Davina adalah pelakunya karena dia satu-satunya korban yang tersakiti dari situasi ini. 

Ada saatnya kita yakin saat mengambil satu jalan, sebelum akhirnya tahu bahwa jalan yang kita pilih ternyata buntu. Jalan yang tidak bisa membawa kita kemana-mana selain harus kembali melewatinya sekali lagi untuk mencari pintu keluar. Setelahnya, mungkin kita berandai-andai jika tak melewati jalan itu, kita tak akan pernah tersesat. Selanjutnya, penyesalan hanya omong kosong jika tak disertai tindakan nyata.

Davina juga tidak pernah menyangka pernikahannya dengan Fathan akan menemui masalah seberat ini. Harga dirinya sebagai istri terkoyak. Kepercayaannya kepada suami yang dinikahinya atas dasar cinta itu tercabik. Rasa hormat terhadap imam keluarganya terhempas pada titik terendah. Semua kepahitan yang sekarang dia telan ini berawal dari pemberontakan saat dirinya remaja. 

Davina dididik papanya dengan nilai-nilai agama yang kental. Semenjak TK, Davina disekolahkan di TK Islam terbaik, begitu juga saat masuk SD, lalu SMP dan SMA. Davina bersekolah di sekolah yang sama, sekolah swasta di bawah naungan sebuah yayasan yang juga mempunyai Universitas ternama. Papanya memang seorang pemuka agama. Mamanya aktivis sebuah partai agamis yang akhirnya membawanya duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat di Bogor, kota kelahirannya. 

Hidup Davina sangat nyaman sejak kecil. Semua kebutuhannya tercukupi dan masa depannya sudah tertata rapi. Ibarat tangga, Davina tinggal menapakinya satu persatu. Hingga saat SMA, Davina mulai merasa muak dengan lingkungannya. Meskipun bersekolah dengan akar agama yang kuat, kawan-kawannya lebih senang bergaul dengan kelompoknya masing-masing. Mereka rata-rata berasal dari keluarga berada, tak jarang memandang kaum miskin hanya merusak pandangan. Davina merasa sebagian besar temannya terlalu eksklusif dan membeda-bedakan teman. Puncaknya, saat menginjak kelas 2 SMA Davina meminta kepada papanya agar dipindahkan ke sekolah umum. 

"Davina ingin tahu juga rasanya sekolah umum, Pa. Dari TK sampai sekarang teman Davina itu-itu saja. Bosan!" ungkapnya kesal. Bagi Davina saat itu hidupnya hanya untuk sekolah, tugas, pulang, mandi, makan. Kedua orangtuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Davina mulai merasa sekolah adalah lembaga yang sangat diandalkan orang tuanya sebagai solusi 'membuang' anak. Hanya di sekolah, karena ketika di rumah mereka nyaris tak pernah ada interaksi. 

"Papa sudah perintahkan kamu supaya masuk pesantren sejak SMP kemarin. Kamu menolak. Sekarang sudah setengah jalan sekolah, masih ingin pindah lagi. Kamu maunya apa, sih?" tanya papanya kesal. 

"Davina tidak mau di pesantren. Pasti rasanya kayak di penjara. Setiap hari hafalan ayat-ayat. Davina kepingin menjadi anak normal, Pa. Davina mau memilih masa depan sendiri." 

"Bagaimana dengan kuliah kamu nanti? Kamu sudah setuju untuk kuliah di jurusan yang kita sepakati di Turki. Jalannya akan lebih mudah kalau kamu menamatkan SMA kamu sekarang, bukan SMA umum."

 

"Kenapa Davina tidak boleh memilih sesuai keinginan Davina sendiri?" timpal gadis yang ABG yang mulai mengenal kata pemberontakan. 

 

"Karena kamu memang belum bisa memutuskan yang terbaik untuk dirimu sendiri." Mama menimpali. Davina melengos melihat mamanya yang tiba-tiba datang dan memberikan pendapatnya. Dia bukan benci mamanya, tetapi melihat wanita yang disebutnya mama, rasanya mereka tidak terikat apa pun kecuali predikat ibu dan anak. Davina ingin lebih diperhatikan dan didengarkan, tapi mamanya terlalu sibuk untuk sekadar menanyakan kabarnya. 

"Davina sudah tujuh belas tahun, Pa. Terserah kalau Papa tidak setuju, lebih baik Davina tidak sekolah." 

"Davina, makin enggak sopan kamu sama orang tua!" bentak mamanya. 

"Sebaiknya mama urusi pekerjaan mama, Davina bisa mengurusi diri sendiri!" 

Gadis remaja itu berlari menuju kamarnya.

Seharusnya dia berlari kepada mamanya lalu menumpahkan semua isi hatinya. Namun, semenjak menjadi anggota dewan, waktu mamanya nyaris tidak tersisa untuknya. Mama hanya senang mendengar berita pencapaian, itupun sekilas. Untuk sebuah kegundahan hati, Davina nyaris tak mempunyai tempat untuk berbagi. Hanya amarah dan tuntutan yang akhirnya Davina dengarkan dari perempuan yang melahirkannya.  Dan benar saja, mama menyusulnya ke kamar untuk menekannya. Lagi. 

"Davina kamu apa-apaan? Sudah bagus masuk SMA mahal malah mau pindah ke SMA umum. Kamu mau jadi anak yang masa depannya enggak jelas? Mama tidak mengizinkan kamu pindah sekolah!" 

Davina hanya menanggapi sinis teriakan mamanya. Dia sudah berani mengambil sikap mogok sekolah, sampai akhirnya kedua orang tuanya menyerah. Gadis itu menang dengan pindah ke sekolah umum dengan satu syarat, dia harus tetap memakai jilbab. Tentu saja Davina setuju. Meskipun pada akhirnya dia lebih sering membuka jilbab ketika pergi nonton bioskop dengan teman-temannya. Di SMA itulah Davina bertemu dengan Faiza, Lulu, Arumi juga Ghina. 

Pada suatu pagi Davina melihat mendung menggantung di wajah Arumi. Gadis tinggi kurus itu memang jarang tersenyum, tetapi pagi itu bukan hanya senyum yang tak tampak di wajahnya. Biasanya matanya berbinar saat memasuki gerbang sekolah. Pagi itu mata Arumi terlihat sembab. 

"Kamu sakit, Arumi?" tanya Davina ketika mereka duduk bersanding. Arumi kawan sebangkunya. Gadis itu hanya menggeleng lemah. Davina tahu ada yang tidak beres dengan Arumi. Akhirnya mereka berlima berkumpul di warung bakso di dekat sekolah. 

"Kamu cerita saja, Arumi. Kita bersahabat. Kita akan saling menjadi mata untuk menujukkan jalan, telinga untuk mendengarkan cerita, dan mulut untuk mengingatkan jika ada yang berbuat kesalahan," ujar Davina. 

"Kita akan berbagi beban juga kebahagiaan, Arumi." Ghina menimpali. 

"Aku ... rasanya udah enggak tahan lagi tinggal di rumah orang tua angkatku." Akhirnya Arumi membuka suara. 

"Dia itu gila, aku enggak tahan lagi!' Arumi menelungkupkan wajahnya di atas meja. Keempat sahabatnya saling memandangi satu sama lain. 

"Edo itu binatang!" Arumi akhirnya mengatakan rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat. Gadis itu menjadi korban pelecehan seksual dari anak keluarga yang menjadi orang tua angkatnya. Rahasia itu akhirnya menjadi rahasia berlima. Mereka saling menguatkan Arumi yang semakin hari mulai bisa mendongakkan kepalanya. Masa-masa sekolah yang lebih sering mereka habiskan dengan berkumpul bersama menceritakan masalah mereka masing-masing. 

Tiga bulan kemudian Arumi memberikan sebuah kabar. "Edo ditangkap polisi karena menjual narkoba." Tentu saja kabar itu disambut gembira oleh Davina dan kawan yang lain. Mereka merayakannya di kafe D’Chocco seperti biasanya. Arumi bisa tersenyum lagi setelah sekian lama wajahnya tersaput mendung. Senyum yang terus mengembang di bibirnya, karena dialah yang melaporkan Edo kepada polisi. Arumi memang sejenius itu membalas dendamnya. Ikatan lima sahabat ini semakin menguat dari hari ke hari. 

Setelah kelulusan SMA Davina kembali dihadapkan pada masalah yang sama. Dia bertengkar hebat dengan papanya. 

"Kamu sudah setuju kuliah di Turki, kenapa sekarang jadi berubah pikiran?" murka papanya dengan suara keras. 

"Davina ingin masuk jurusan Ekonomi saja, Pa. Di sini banyak universitas yang bagus kenapa harus ke Turki?" 

Davina memang sudah malas kuliah. Otaknya terlalu penuh dijejali bermacam-macam ilmu sejak kecil. Sekali lagi dia merasa hidupnya hanya untuk sekolah dan kuliah. Kegiatannya dari itu ke itu saja. Kesibukan orang tuanya tetap sama. Bersama kawan-kawannya Davina menemukan dunia baru. Dunia remaja yang menantang dan mengasyikkan. Sesekali bolos sekolah, dan memilih ke mall untuk belanja accesories remaja, dilanjutkan nonton bioskop dan berburu makanan diskon di food court. Bukankah masa muda memang harus dihabiskan dengan bersenang-senang?

"Kalau papa dan mama tidak mengizinkan, Davina akan langsung bekerja saja. Supaya papa dan mama tidak perlu membiayai hidup Davina lagi. Cukup Via saja yang masih harus dibiayai." Dia melirik ke arah Viandra yang berdiri tegang di dekat tangga. 

Viandra, adik semata wayangnya yang sangat patuh kepada papa dan mamanya. Anak kesayangan yang selalu menurut tanpa membantah bagai robot. Davina tentu saja tidak mau menjadi robot seperti adiknya. 

"Oke papa sudah putuskan, kamu kuliah ambil jurusan Ekonomi Syariah!" 

Papa mengacungkan tangan ke wajah Davina. Napasnya turun naik. Sepertinya laki,-laki itu sudah sampai pada batas kesabarannya.

Melihat papanya dengan wajah merah padam, juga tatapan murka mama dan adiknya, Davina akhirnya hanya bisa diam. Diam-diam dia pergi meninggalkan rumah dan menginap berhari-hari di rumah Ghina, lalu ke rumah Faiza, juga ke rumah Lulu yang saat itu tinggal bersama neneknya. 

Rupanya cara itu tak mempan lagi. Kedua orangtuanya bahkan tidak mencarinya. Setelah kehabisan uang, Davina kembali ke rumah dan terpaksa menerima keputusan papanya. Kuliah dengan jurusan yang tidak pernah dia inginkan. Hari-hari seperti menjadi robot dia lalui dengan setengah hati. Sambil kuliah, Davina bekerja menjadi waitress di sebuah kedai kopi ternama. Tentu saja hal itu ia lakukan diam-diam  sampai akhirnya Davina mempunyai keberanian untuk keluar dari rumah. 

Siang itu bersama Faiza, dia mendatangi satu perumahan yang sedang ada promo besar-besaran. Davina bukan ingin membeli rumah, tetapi menyewa rumah untuk tempatnya tinggal selama kuliah. Seorang pemuda menyambutnya dengan senyum ramah di kantor marketing real estate tersebut. 

"Saya ingin menyewa rumah," jawabnya ketika pemuda yang memperkenalkan diri bernama Fathan itu menanyakan maksud kedatangannya. 

"Baik, ada beberapa rumah disewakan di blok A. Anda bisa melihatnya di katalog ini. Ada nomor yang bisa dihubungi juga, tetapi kami bisa membantu juga." Fathan menyodorkan sebuah katalog tebal kepada Davina. 

Sebenarnya siang itu Fathan hanya mampir sebentar ke kantornya, ingin mengambil berkas. Ternyata berkas tersebut harus difotokopi, sehingga karyawan yang bertugas melayani tamu keluar kantor untuk fotocopi. Mungkin memang nasib baik sedang menghampirinya hingga siang itu dia bertemu dua orang gadis cantik. 

Yang satu gadis cantik berpakaian tertutup dan berkerudung. Satunya lagi gadis cantik sekali dengan dandanan modis memakai celana di bawah lutut bersepatu kets, mengenakan t-shirt tipis putih dan rompi jeans biru senada dengan celananya. Dua-duanya memukau pandangannya. 

Davina tersentak mengingat lagi kejadian pertemuannya dengan Fathan tujuh tahun silam. Bagaimana dia bisa sebuta itu tidak menyadari pandangan penuh arti dari Fathan kepada Faiza? Ya, saat itu Faiza yang biasanya banyak bicara mendadak banyak diam dan mematung. Faiza sudah menyukai Fathan sejak pertama mereka bertemu! Brengsek mereka memang! 

Suara dering ponsel mengagetkannya.  Mamanya menelepon. 

"Davina, apakah benar berita yang mama baca di koran? Sekretaris suamimu meninggal karena dibunuh? Teman-teman mama ramai sekali membicarakan kejadian ini. Kenapa kamu tidak memberitahu mama?" 

Davina menarik napas panjang. Sudah sepekan berita itu beredar dan diperbincangkan hampir semua orang, tetapi mamanya baru tahu sekarang. Ya itulah mamanya. Urusan anak tidak pernah lebih penting dari urusan pekerjaan. 

"Kamu lebih baik pulang saja ke rumah sama Nafasya. Begini akibatnya kalau selalu menentang orang tua. Papa akan jemput kamu sekarang, siap-siap bawa barang seperlunya." Kali ini suara papanya terdengar tegas. 

"Davina baik-baik saja, Pa. Di sini aman. Davina hanya berdua sama Nafasya. Mas Fathan sudah pindah ke apartemen." 

"Dalam keadaan begini dia meninggalkan kamu? Dasar laki-laki pengecut. Suami macam apa yang tega meninggalkan istrinya saat ada masalah begini? Sudah ... kamu tunggu di situ, sebentar lagi papa jemput!" Teriakan papa terdengar begitu keras. Dalam keadaan seperti ini Davina butuh berpikir jernih. Bersama papa dan mamanya, jelas pikirannya akan bertambah kalut. 

"Davina yang mau, Pa. Davina butuh ketenangan. Terima kasih papa dan mama mau peduli. Ini masalah Davina, semua akan Davina selesaikan sendiri bersama pengacara. Davina cuma minta doa dari papa dan mama. Davina ... minta maaf jika ada salah." Davina mengakhiri pembicaraan. Tangisnya pecah menyadari betapa jalan yang dipilihnya ternyata sangat terjal dan berliku. 

Sebuah mobil terdengar memasuki halaman. Dari balik jendela Davina melihat mobil Fathan menuju garasi. Perempuan itu segera menyusut air matanya dan hendak berlari menuju kamarnya di lantai dua. Namun saat dia berlari menaiki tangga, Fathan berteriak ke arahnya. "Davina, kita harus bicara! Aku sudah tahu siapa pembunuh Lulu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status