[Davina, apakah kamu tahu bahwa hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang aku inginkan? Kamu memiliki segalanya, tetapi terus merasa kurang. Berbagi Fathan pasti bukan masalah besar untukmu. Sepanjang kamu tidak tahu, dan akan terus begitu)
*Perbincangan dengan ketiga sahabatnya ternyata tidak menemui titik temu. Baik Faiza, Arumi maupun Ghina tidak ada yang mengakui telah membunuh Lulu. Semua tetap menjadi misteri hingga polisi harus berhasil mengungkap pembunuh itu. Davina masih yakin salah satu dari ketiga sahabatnya atau suaminya adalah pelakunya. Keyakinan yang sama juga dipikirkan ketiga kawannya. Mereka berpikir Davina adalah pelakunya karena dia satu-satunya korban yang tersakiti dari situasi ini. Ada saatnya kita yakin saat mengambil satu jalan, sebelum akhirnya tahu bahwa jalan yang kita pilih ternyata buntu. Jalan yang tidak bisa membawa kita kemana-mana selain harus kembali melewatinya sekali lagi untuk mencari pintu keluar. Setelahnya, mungkin kita berandai-andai jika tak melewati jalan itu, kita tak akan pernah tersesat. Selanjutnya, penyesalan hanya omong kosong jika tak disertai tindakan nyata.Davina juga tidak pernah menyangka pernikahannya dengan Fathan akan menemui masalah seberat ini. Harga dirinya sebagai istri terkoyak. Kepercayaannya kepada suami yang dinikahinya atas dasar cinta itu tercabik. Rasa hormat terhadap imam keluarganya terhempas pada titik terendah. Semua kepahitan yang sekarang dia telan ini berawal dari pemberontakan saat dirinya remaja. Davina dididik papanya dengan nilai-nilai agama yang kental. Semenjak TK, Davina disekolahkan di TK Islam terbaik, begitu juga saat masuk SD, lalu SMP dan SMA. Davina bersekolah di sekolah yang sama, sekolah swasta di bawah naungan sebuah yayasan yang juga mempunyai Universitas ternama. Papanya memang seorang pemuka agama. Mamanya aktivis sebuah partai agamis yang akhirnya membawanya duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat di Bogor, kota kelahirannya. Hidup Davina sangat nyaman sejak kecil. Semua kebutuhannya tercukupi dan masa depannya sudah tertata rapi. Ibarat tangga, Davina tinggal menapakinya satu persatu. Hingga saat SMA, Davina mulai merasa muak dengan lingkungannya. Meskipun bersekolah dengan akar agama yang kuat, kawan-kawannya lebih senang bergaul dengan kelompoknya masing-masing. Mereka rata-rata berasal dari keluarga berada, tak jarang memandang kaum miskin hanya merusak pandangan. Davina merasa sebagian besar temannya terlalu eksklusif dan membeda-bedakan teman. Puncaknya, saat menginjak kelas 2 SMA Davina meminta kepada papanya agar dipindahkan ke sekolah umum. "Davina ingin tahu juga rasanya sekolah umum, Pa. Dari TK sampai sekarang teman Davina itu-itu saja. Bosan!" ungkapnya kesal. Bagi Davina saat itu hidupnya hanya untuk sekolah, tugas, pulang, mandi, makan. Kedua orangtuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Davina mulai merasa sekolah adalah lembaga yang sangat diandalkan orang tuanya sebagai solusi 'membuang' anak. Hanya di sekolah, karena ketika di rumah mereka nyaris tak pernah ada interaksi. "Papa sudah perintahkan kamu supaya masuk pesantren sejak SMP kemarin. Kamu menolak. Sekarang sudah setengah jalan sekolah, masih ingin pindah lagi. Kamu maunya apa, sih?" tanya papanya kesal. "Davina tidak mau di pesantren. Pasti rasanya kayak di penjara. Setiap hari hafalan ayat-ayat. Davina kepingin menjadi anak normal, Pa. Davina mau memilih masa depan sendiri." "Bagaimana dengan kuliah kamu nanti? Kamu sudah setuju untuk kuliah di jurusan yang kita sepakati di Turki. Jalannya akan lebih mudah kalau kamu menamatkan SMA kamu sekarang, bukan SMA umum." "Kenapa Davina tidak boleh memilih sesuai keinginan Davina sendiri?" timpal gadis yang ABG yang mulai mengenal kata pemberontakan. "Karena kamu memang belum bisa memutuskan yang terbaik untuk dirimu sendiri." Mama menimpali. Davina melengos melihat mamanya yang tiba-tiba datang dan memberikan pendapatnya. Dia bukan benci mamanya, tetapi melihat wanita yang disebutnya mama, rasanya mereka tidak terikat apa pun kecuali predikat ibu dan anak. Davina ingin lebih diperhatikan dan didengarkan, tapi mamanya terlalu sibuk untuk sekadar menanyakan kabarnya. "Davina sudah tujuh belas tahun, Pa. Terserah kalau Papa tidak setuju, lebih baik Davina tidak sekolah." "Davina, makin enggak sopan kamu sama orang tua!" bentak mamanya. "Sebaiknya mama urusi pekerjaan mama, Davina bisa mengurusi diri sendiri!" Gadis remaja itu berlari menuju kamarnya.Seharusnya dia berlari kepada mamanya lalu menumpahkan semua isi hatinya. Namun, semenjak menjadi anggota dewan, waktu mamanya nyaris tidak tersisa untuknya. Mama hanya senang mendengar berita pencapaian, itupun sekilas. Untuk sebuah kegundahan hati, Davina nyaris tak mempunyai tempat untuk berbagi. Hanya amarah dan tuntutan yang akhirnya Davina dengarkan dari perempuan yang melahirkannya. Dan benar saja, mama menyusulnya ke kamar untuk menekannya. Lagi. "Davina kamu apa-apaan? Sudah bagus masuk SMA mahal malah mau pindah ke SMA umum. Kamu mau jadi anak yang masa depannya enggak jelas? Mama tidak mengizinkan kamu pindah sekolah!" Davina hanya menanggapi sinis teriakan mamanya. Dia sudah berani mengambil sikap mogok sekolah, sampai akhirnya kedua orang tuanya menyerah. Gadis itu menang dengan pindah ke sekolah umum dengan satu syarat, dia harus tetap memakai jilbab. Tentu saja Davina setuju. Meskipun pada akhirnya dia lebih sering membuka jilbab ketika pergi nonton bioskop dengan teman-temannya. Di SMA itulah Davina bertemu dengan Faiza, Lulu, Arumi juga Ghina. Pada suatu pagi Davina melihat mendung menggantung di wajah Arumi. Gadis tinggi kurus itu memang jarang tersenyum, tetapi pagi itu bukan hanya senyum yang tak tampak di wajahnya. Biasanya matanya berbinar saat memasuki gerbang sekolah. Pagi itu mata Arumi terlihat sembab. "Kamu sakit, Arumi?" tanya Davina ketika mereka duduk bersanding. Arumi kawan sebangkunya. Gadis itu hanya menggeleng lemah. Davina tahu ada yang tidak beres dengan Arumi. Akhirnya mereka berlima berkumpul di warung bakso di dekat sekolah. "Kamu cerita saja, Arumi. Kita bersahabat. Kita akan saling menjadi mata untuk menujukkan jalan, telinga untuk mendengarkan cerita, dan mulut untuk mengingatkan jika ada yang berbuat kesalahan," ujar Davina. "Kita akan berbagi beban juga kebahagiaan, Arumi." Ghina menimpali. "Aku ... rasanya udah enggak tahan lagi tinggal di rumah orang tua angkatku." Akhirnya Arumi membuka suara. "Dia itu gila, aku enggak tahan lagi!' Arumi menelungkupkan wajahnya di atas meja. Keempat sahabatnya saling memandangi satu sama lain. "Edo itu binatang!" Arumi akhirnya mengatakan rahasia yang selama ini disimpannya rapat-rapat. Gadis itu menjadi korban pelecehan seksual dari anak keluarga yang menjadi orang tua angkatnya. Rahasia itu akhirnya menjadi rahasia berlima. Mereka saling menguatkan Arumi yang semakin hari mulai bisa mendongakkan kepalanya. Masa-masa sekolah yang lebih sering mereka habiskan dengan berkumpul bersama menceritakan masalah mereka masing-masing. Tiga bulan kemudian Arumi memberikan sebuah kabar. "Edo ditangkap polisi karena menjual narkoba." Tentu saja kabar itu disambut gembira oleh Davina dan kawan yang lain. Mereka merayakannya di kafe D’Chocco seperti biasanya. Arumi bisa tersenyum lagi setelah sekian lama wajahnya tersaput mendung. Senyum yang terus mengembang di bibirnya, karena dialah yang melaporkan Edo kepada polisi. Arumi memang sejenius itu membalas dendamnya. Ikatan lima sahabat ini semakin menguat dari hari ke hari. Setelah kelulusan SMA Davina kembali dihadapkan pada masalah yang sama. Dia bertengkar hebat dengan papanya. "Kamu sudah setuju kuliah di Turki, kenapa sekarang jadi berubah pikiran?" murka papanya dengan suara keras. "Davina ingin masuk jurusan Ekonomi saja, Pa. Di sini banyak universitas yang bagus kenapa harus ke Turki?" Davina memang sudah malas kuliah. Otaknya terlalu penuh dijejali bermacam-macam ilmu sejak kecil. Sekali lagi dia merasa hidupnya hanya untuk sekolah dan kuliah. Kegiatannya dari itu ke itu saja. Kesibukan orang tuanya tetap sama. Bersama kawan-kawannya Davina menemukan dunia baru. Dunia remaja yang menantang dan mengasyikkan. Sesekali bolos sekolah, dan memilih ke mall untuk belanja accesories remaja, dilanjutkan nonton bioskop dan berburu makanan diskon di food court. Bukankah masa muda memang harus dihabiskan dengan bersenang-senang?"Kalau papa dan mama tidak mengizinkan, Davina akan langsung bekerja saja. Supaya papa dan mama tidak perlu membiayai hidup Davina lagi. Cukup Via saja yang masih harus dibiayai." Dia melirik ke arah Viandra yang berdiri tegang di dekat tangga. Viandra, adik semata wayangnya yang sangat patuh kepada papa dan mamanya. Anak kesayangan yang selalu menurut tanpa membantah bagai robot. Davina tentu saja tidak mau menjadi robot seperti adiknya. "Oke papa sudah putuskan, kamu kuliah ambil jurusan Ekonomi Syariah!" Papa mengacungkan tangan ke wajah Davina. Napasnya turun naik. Sepertinya laki,-laki itu sudah sampai pada batas kesabarannya.Melihat papanya dengan wajah merah padam, juga tatapan murka mama dan adiknya, Davina akhirnya hanya bisa diam. Diam-diam dia pergi meninggalkan rumah dan menginap berhari-hari di rumah Ghina, lalu ke rumah Faiza, juga ke rumah Lulu yang saat itu tinggal bersama neneknya. Rupanya cara itu tak mempan lagi. Kedua orangtuanya bahkan tidak mencarinya. Setelah kehabisan uang, Davina kembali ke rumah dan terpaksa menerima keputusan papanya. Kuliah dengan jurusan yang tidak pernah dia inginkan. Hari-hari seperti menjadi robot dia lalui dengan setengah hati. Sambil kuliah, Davina bekerja menjadi waitress di sebuah kedai kopi ternama. Tentu saja hal itu ia lakukan diam-diam sampai akhirnya Davina mempunyai keberanian untuk keluar dari rumah. Siang itu bersama Faiza, dia mendatangi satu perumahan yang sedang ada promo besar-besaran. Davina bukan ingin membeli rumah, tetapi menyewa rumah untuk tempatnya tinggal selama kuliah. Seorang pemuda menyambutnya dengan senyum ramah di kantor marketing real estate tersebut. "Saya ingin menyewa rumah," jawabnya ketika pemuda yang memperkenalkan diri bernama Fathan itu menanyakan maksud kedatangannya. "Baik, ada beberapa rumah disewakan di blok A. Anda bisa melihatnya di katalog ini. Ada nomor yang bisa dihubungi juga, tetapi kami bisa membantu juga." Fathan menyodorkan sebuah katalog tebal kepada Davina. Sebenarnya siang itu Fathan hanya mampir sebentar ke kantornya, ingin mengambil berkas. Ternyata berkas tersebut harus difotokopi, sehingga karyawan yang bertugas melayani tamu keluar kantor untuk fotocopi. Mungkin memang nasib baik sedang menghampirinya hingga siang itu dia bertemu dua orang gadis cantik. Yang satu gadis cantik berpakaian tertutup dan berkerudung. Satunya lagi gadis cantik sekali dengan dandanan modis memakai celana di bawah lutut bersepatu kets, mengenakan t-shirt tipis putih dan rompi jeans biru senada dengan celananya. Dua-duanya memukau pandangannya. Davina tersentak mengingat lagi kejadian pertemuannya dengan Fathan tujuh tahun silam. Bagaimana dia bisa sebuta itu tidak menyadari pandangan penuh arti dari Fathan kepada Faiza? Ya, saat itu Faiza yang biasanya banyak bicara mendadak banyak diam dan mematung. Faiza sudah menyukai Fathan sejak pertama mereka bertemu! Brengsek mereka memang! Suara dering ponsel mengagetkannya. Mamanya menelepon. "Davina, apakah benar berita yang mama baca di koran? Sekretaris suamimu meninggal karena dibunuh? Teman-teman mama ramai sekali membicarakan kejadian ini. Kenapa kamu tidak memberitahu mama?" Davina menarik napas panjang. Sudah sepekan berita itu beredar dan diperbincangkan hampir semua orang, tetapi mamanya baru tahu sekarang. Ya itulah mamanya. Urusan anak tidak pernah lebih penting dari urusan pekerjaan. "Kamu lebih baik pulang saja ke rumah sama Nafasya. Begini akibatnya kalau selalu menentang orang tua. Papa akan jemput kamu sekarang, siap-siap bawa barang seperlunya." Kali ini suara papanya terdengar tegas. "Davina baik-baik saja, Pa. Di sini aman. Davina hanya berdua sama Nafasya. Mas Fathan sudah pindah ke apartemen." "Dalam keadaan begini dia meninggalkan kamu? Dasar laki-laki pengecut. Suami macam apa yang tega meninggalkan istrinya saat ada masalah begini? Sudah ... kamu tunggu di situ, sebentar lagi papa jemput!" Teriakan papa terdengar begitu keras. Dalam keadaan seperti ini Davina butuh berpikir jernih. Bersama papa dan mamanya, jelas pikirannya akan bertambah kalut. "Davina yang mau, Pa. Davina butuh ketenangan. Terima kasih papa dan mama mau peduli. Ini masalah Davina, semua akan Davina selesaikan sendiri bersama pengacara. Davina cuma minta doa dari papa dan mama. Davina ... minta maaf jika ada salah." Davina mengakhiri pembicaraan. Tangisnya pecah menyadari betapa jalan yang dipilihnya ternyata sangat terjal dan berliku. Sebuah mobil terdengar memasuki halaman. Dari balik jendela Davina melihat mobil Fathan menuju garasi. Perempuan itu segera menyusut air matanya dan hendak berlari menuju kamarnya di lantai dua. Namun saat dia berlari menaiki tangga, Fathan berteriak ke arahnya. "Davina, kita harus bicara! Aku sudah tahu siapa pembunuh Lulu!"[Davina, kau masih pemenangnya. Meski Fathan bermain-main dengan kami, hatinya tetap untukmu. Kau tak tergantikan. Kau tetap ratu di hatinya. Jadi tolong jangan salahkan aku jika ikut mencicipi secuil kebahagiaanmu. Kamu tahu kehebatan Fathan, bukan? Baginya kami hanya tempat bersenang-senang. Dia butuh banyak dukungan untuk tetap menjadi lelaki hebat. Bukan hanya dari istri tetapi juga dari sekretaris, ahli hukum, desain interior, juga marketing handal. Kau tidak boleh egois jika benar mencintainya, seperti dia juga mencintaimu.)*Davina menghentikan langkahnya di tengah tangga. Sebenarnya dia sangat muak melihat wajah Fathan yang memberinya luka menyakitkan.“Aku tahu siapa yang membunuh Lulu." Suara Fathan berhasil menghentikan langkahnya. Davina membalikkan badan menghadap ke arah laki-laki tegap yang kini terlihat seperti orang asing baginya. "Kita ke teras belakang, kita perlu bicara." Fathan berjalan mendahuluinya menuju teras belakang. Angin sepoi menyapu wajah Davina, begit
[Davina, berkali-kali aku mencoba memberitahumu bahwa Fathan dan Ghina bukan hanya partner kerja. Namun, kamu terlalu naif jika tidak mau aku bilang bodoh. Aku pikir kamu juga akan memaklumi ini demi persahabatan kita. Ghina butuh pengganti Omar. Ghina itu hanya casingnya yang dewasa seperti yang ditampilkan di hadapan kita. Hatinya mudah rapuh. Kamu juga turut andil dalam hal ini, berkali-kali kamu bilang supaya Ghina move on. Sekarang dia sudah move on dengan rekan kerjanya. Fathan membuat Ghina kembali bersemangat, seperti juga aku.]*Kondisi Nafasya mulai membaik keesokan harinya. Davina dan Fathan bisa bernapas lega. Setelah melalui banyak pemeriksaan, dokter menyimpulkan Nafasya mengalami gangguan pernafasan. Masih akan ada observasi lanjutan, jadi Nafasya belum diperbolahkan pulang."Aku berangkat kerja dulu, sayang." Fathan berpamitan kepada istrinya. Sikap Fathan tidak berubah. Hal itu membuat Davina serba salah."Hati-hati." Hanya itu yang terucap dari bibirnya. Fathan menc
[Davina, apakah kau tahu saat ini kondisi perusahaan suamimu sedang tidak baik-baik saja? Kami harus memangkas banyak budget agar perusahaan tetap berjalan normal. Pasti kau tidak tahu karena Fathan melarangku memberitahumu. Begitulah caranya mencintaimu. Dia tidak ingin kau melihat kelemahannya. Dia begitu berhati-hati menjagamu. Kami semua akan menjagamu.]*Ghina tidak menyangka Fathan benar-benar menjemputnya di kantor seusai kerja. Pria itu menunggunya di lobi. Dia memakai setelan jas yang sama dengan tadi siang, tetapi baru saat itu Ghina menyadari betapa Fathan memperhatikan banyak soal penampilan karena segala yang dikenakannya terlihat serasi, berkelas, dan mahal. Davina pasti mengurusnya dengan baik. Saat menjadi istri Omar, Ghina juga melakukan hal yang sama. Ah, betapa singkat kebahagiaan itu harus dipeluknya.“Hai!” Ghina menyapa lebih dulu. “Kau menunggu lama? Kenapa tidak telepon?” Ghina mempercepat langkahnya.“Aku, kan, sudah bilang kalau aku akan menjemputmu. Aku ti
[Davina, kecurigaanmu saat itu benar. Tetapi kondisi perusahaan yang sedang sekarat membuatku harus menutupi hal itu darimu. Ghina sudah menghindari Fathan dan bekerja profesional. Kau tahu dia juga berjuang sekuat itu. Ghina kembali harus menelan pil tidurnya untuk bisa bekerja keesokan harinya. Aku masih menyimpan foto-foto mereka. Akan aku simpan dengan aman, supaya kau tidak perlu melihatnya.]*Fathan menemani Ghina mengunjungi workshop dan gudang si pengrajin. Lokasinya lumayan jauh sampai membutuhkan lima jam perjalanan berkendara. Namun pemandangan di sana sangat asri dan hijau, jauh berbeda dari perkotaan tempat biasa mereka tinggal. Setibanya di sana, Fathan tak dapat menahan diri untuk mencuri waktu menikmati kehijauannya.Ghina diam-diam mengambil foto Fathan yang tengah memandangi pegunungan dari belakang, lalu diuunggahnya di instastory. Enjoying the view, begitu caption yang dia tulis.“Gunungnya akan tetap di sana, tetapi workshop-nya sebentar lagi mungkin tutup,” kata
[Davina, kau orang yang paling mengenal Fathan. Seharusnya kau tidak membiarkan Ghina terlalu dekat dengan suamimu. Aku melihat mereka sekarang sering bertemu di luar kantor. Sepertinya kau harus lebih belajar menjaga apa yang sudah engkau miliki. Bisakah kau menangkap percikan api unggun yang telah disapu angin?]*Ghina terkejut melihat foto-foto yang disodorkan Bripda Estu Saragih. Foto itu dia yang mengirimkan kepada Lulu. Foto biasa, saat Ghina dan Fathan sedang menikmati makan malam di pinggir pantai Ancol. Saat itu mereka datang sore sepulang bertemu Arumi untuk membahas masalah kantor. Mereka datang ke pantai bertiga. Saat menikmati sunset, Ghina dan Fathan berdiri di samping cottage dengan posisi bersebelahan. Keisengan Arumi memotret keduanya diam-diam membuat posisi Fathan seolah-olah sedang mencium Ghina. Lulu pasti mendapatkan foto itu dari Arumi. Saat melihat foto itu Ghina sudah memerintahkan Arumi untuk menghapusnya. Ternyata malah Lulu masih menyimpannya."Maaf saya
(Arumi, Kau tidak belajar dari kesalahan. Seharusnya Ghina memberimu pelajaran berharga. Kau baik, teramat baik sampai semua orang tidak ingin menyakitimu. Mungkin kau bisa menyingkirkan Ghina dari Fathan. Tetapi jangan lupa Fathan banyak berutang kepada Ghina. Kondisi perusahaan perlahan membaik, karena budget desain interior bisa ditekan. Tetapi Fathan punya masalah baru dengan perizinan lahan. Ah, kenapa justru kau curhat dengan orang yang salah. Kali ini kau harus menebusnya lebih mahal.)* Penyidik akhirnya mengakhiri penyidikan dengan dua puluh tiga pertanyaan yang cukup melelahkan bagi Ghina. Untung saja pengacara yang disiapkan dari kantor tempat Arumi bekerja cukup bagus. Dirinya tidak lagi perlu menjawab pertanyaan yang mengarah kepada hubungan personalnya dengan Fathan. Pria itu pasti masih menunggunya di ruang tunggu. Ghina tidak ingin lagi mencari masalah. "Pak Barus, maaf boleh saya keluar bersama Bapak? Saya sangat capek dengan penyidikan hari ini. Pak Fathan menung
(Davina, sebenarnya aku ingin bercerita kepadamu tentang Arumi. Beberapa hari lalu seseorang datang ke kantor mencari dia. Aku menyimpan rekaman CCTV yang memperlihatkan sosok pemuda itu, tetapi Fathan melarangku. Saat ini Arumi sedang mengurus perizinan pembebasan tanah di daerah Serpong. Kabarnya situasi tidak menguntungkan untuk kantor kami. Aku bingung harus memberitahumu atau tidak.)*Arumi bukan orang yang buta hukum. Sekarang dia telah terpilih sebagai tim legal di Perusahaan milik Fathan yang mengurus legalitas serta semua hal yang terkait hukum di dalamnya. Arumi tahu, satu jawaban salah atas pertanyaan penyidik bisa berakibat fatal. "Apakah yang Anda maksud dengan 'gift' dan kenapa Anda memintanya kepada saudari Lulu?" Bripda Estu Saragih mengulangi pertanyaannya. "Saya yang mengurus semua perizinan proyek Fathan Corp. Anda tentu paham tentang dunia perizinan kita. Dari bawah sampai atas semua butuh kerja cepat. Kerja cepat hanya bisa dilakukan jika uang bensin cepat di
(Davina, hatiku seperti terbelah. Aku ingin memberitahu bahwa Arumi sekarang bekerja disini, di bagian legal. Fathan melarangku memberitahumu karena dia yang akan melakukannya. Aku harap itu benar. Kamu tahu, Davina, di saat aku ingin berada di pihakmu Fathan seperti tahu yang aku pikirkan. Jika Ghina sudah lebih dulu menjadi partner kerja Fathan, bukankah Arumi juga layak? Kamu tahu Arumi si jenius itu selalu tahu apa yang dilakukannya. Maafkan aku, Davina)* Arumi tesentak kaget mengingat video yang dilihat sekilas dan diputar Bripda Estu Saragih. Apakah video itu yang dikirimkan Lulu via email tetapi belum sempat dibukanya hingga sekarang? Ah, sungguh ceroboh! Arumi kembali berlari menuju ruangan penyidikan. Ruangan itu tertutup rapat. "Belum satu jam Anda sudah kembali Nona Arumi. Apakah Anda sudah merasa lebih baik?" tanya Bripda Estu Saragih yang tiba-tiba muncul di belakangnya."Saya ingin melihat video tadi ..." jawabnya lirih, "dengan lampu yang dinyalakan," imbuhnya. Bri