Apakah Tuhan butuh alasan ketika menimpakan cobaan kepada seseorang? Ataukah semua manusia memang sudah seharusnya menghadapi cobaan versi masing-masing meskipun dia berusaha menjadi hamba yang baik dan tidak neko-neko? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Davina Zaila Hamidah. Dirinya sudah mencoba menjalani hidup dengan sebesar-besarnya kemampuan menjaga rumah tangganya. Perempuan keturunan Arab-Sunda berhidung mancung dan berkulit putih bersih itu masih memikirkan kenapa bisa semua orang yang dicintai akhirnya berbalik memusuhi dan merebut kebahagiaan yang tengah direguknya.
"Kamu tega sekali melakukan ini kepadaku, Mas! Kamu benar-benar lelaki biadab! Mereka semua sahabatku, tega-teganya kamu berselingkuh dengan sahabat-sahabatku!" jerit Davina sambil menunjuk wajah Fathan, suaminya yang hanya bisa duduk terpekur di kursi sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Fathan hanya terdiam. Dia membiarkan wanita yang telah memberinya seorang anak perempuan itu mengurai kemarahannya. Dia memang pantas menerima semua caci-maki Davina."Aku meninggalkan karierku yang sedang berada di puncak untuk menikah denganmu! Aku melupakan keinginan kuliah lagi untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anakmu! Aku rela melepas semua mimpiku demi menjadi istrimu, tetapi begini balasan yang aku terima!"Suara Davina terhalang tangis yang mulai tak bisa dibendungnya. Hatinya patah oleh sekejam-kejamnya pengkhianatan Fathan.Seandainya, seandainya saja dia tahu bahwa keempat sahabatnya adalah orang yang tega menusuknya dari belakang, tak akan pernah dia menjadi pencetus ide terbentuknya Geng Cokelat. Kini sesalnya berlapis-lapis. Otak warasnya bahkan nyaris tak mampu menerima kenyataan bahwa sahabat-sahabat yang sangat dia sayangi tak lebih dari burung hantu berbulu cendrawasih."Sayang, aku minta maaf untuk semuanya. Aku memang laki-laki bodoh. Seharusnya aku tidak melayani kemauan mereka," sesal Fathan."Kemauan mereka? Oh ... jadi cuma mereka yang salah dan kamu yang suci? Jadi ini semua adalah kesalahan mereka dan kamu tidak ada andil di dalamnya?" Davina meradang. Napasnya memburu seperti singa lapar yang hendak menerkam musuh."Aku sudah bilang ini juga salahku! Oke, semua ini aku yang salah! Sayang, aku tidak bermaksud mengkhianati kamu. Semua ini terjadi di luar kuasaku. Semua terjadi begitu saja. Saat aku tersadar, ternyata aku sudah tersesat jauh. Maafkan aku, Sayang. Please, maafkan aku. Kita mulai semuanya dari awal lagi. Aku janji setelah ini kita akan baik-baik saja, Sayang." Fathan bangkit dari duduknya lalu bersimpuh di kaki istrinya.Davina memalingkan wajahnya. Jika suaminya berselingkuh dengan orang yang tidak dikenalnya, mungkin tidak akan sehancur ini hatinya. Jika Fathan menduakannya dengan satu orang, mungkin tak seremuk ini perasaannya. Ini sudah melewati batas kesabaran dan pemaklumannya sebagai istri, sebagai wanita, juga sebagai manusia."Aku akan membawa Nafasha ke apartemen. Kami akan tinggal di sana untuk waktu yang tidak ditentukan. Aku butuh sendiri dulu untuk menjernihkan pikiran dari kelakuan busuk kalian.""Sayang, jangan pergi. Kalau kamu muak sama aku, biar aku saja yang pindah ke apartemen. Kamu tetap di sini sama Nafasya.""Aku bukan mau pindah ke apartemen kamu, tapi ke apartemenku sendiri. Jangan temui kami sebelum aku izinkan." Davina bergegas meninggalkan Fathan yang masih meringkuk di lantai. Dia paham sifat istrinya. Jika sedang marah harus dibiarkan sendiri dulu. Iya, untuk kemarahan jika dirinya melakukan kesalahan-kesalahan kecil seperti pulang terlambat atau tak sengaja menyakiti perasaan Davina. Sekarang ... kesalahan yang dilakukannya adalah kesalahan fatal. Empat tahun pernikahan, badai yang dibuatnya terlalu sulit untuk tidak menenggelamkan kapal yang sedang dia kemudikan bersama anak dan istrinya.Karam. Apakah kapal mereka akan karam? Apakah Davina akan memintanya untuk bercerai? Membayangkan kemungkinan itu Fathan segera berlari menuju kamarnya. Pintu kamar mereka terkunci rapat."Sayang, tolong buka pintunya. Buka pintunya!" teriaknya keras. Tidak terdengar jawaban dari dalam kamar. Davina sedang sibuk memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Setelah kopernya penuh, dia merapikan beberapa perlengkapan. Kosmetik, obat-obatan, sepatu dan sandal tak lupa dimasukkan ke dalam tas. Setelah dirasa beres semuanya, dia membuka pintu kamar. Fathan meraih bahunya, tetapi dengan cepat Davina menepisnya.Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu melangkah cepat menuju kamar Nafasya, putri kecilnya yang baru berusia tiga tahun.Terlihat Nafasya masih tertidur pulas. Di sofa kamar Suster Ratna, baby sitter pengasuh Nafasha tampak terkejut dengan kehadirannya. Perempuan itu pucat dan ketakutan mendengar pertengkaran tuan dan nyonya rumah."Sus, tolong bantu packing baju-baju Nafasha. Setelah itu baju Suster juga dibawa. Kita akan pindah ke apartemen, tolong cepat sedikit.""Ba-baik, Bu." Suster Ratna segera mengeluarkan koper dan tas untuk perlengkapan Nafasya. Davina mendekati putri kecilnya yang tidak terganggu dengan teriakannya tadi. Ada sesal menelusup halus ke dalam dadanya. Sesal dan kesal yang membuatnya hilang akal.Sekali lagi ingatannya menelusuri satu demi satu nama-nama sahabatnya yang menebar luka. Arumi yang pendiam, Faiza sang bintang, Ghina yang dewasa, serta Lulu yang jenius. Kenapa mereka melakukan hal ini kepadanya? Apakah keempat sahabatnya sengaja bersekongkol untuk merebut kebahagiaannya?Ah, Lulu. Semoga dia berbahagia di alam sana. Meski didera perih dalam hatinya, Davina lirih mendoakan agar Lulu mendapat tempat terbaik dalam keabadian. Lulu wanita paling periang di antara mereka. Kenapa Lulu harus mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini? Lulu diduga memasukkan racun sianida ke dalam minumannya. Jasadnya ditemukan keesokan hari di ruangan kerjanya.Perlahan bulir bening membasahi pipi Davina. Rasanya tidak mungkin jika Lulu berniat mengakhiri hidupnya. Namun, jelas ada permohonan maaf di file yang tersimpan di dalam komputernya."Aku yang akan pergi. Davina, aku yang akan keluar dari rumah ini. Kamu tetap di rumah bersama Nafasya. Aku yang harus dihukum untuk semua kesalahan ini. Tolong jaga Nafasha baik-baik." Fathan muncul di depan pintu dengan wajah kuyu. Davina hanya meliriknya sesaat. Baginya lelaki itu sudah mati. Dia bahkan tak sudi melihat wajah suaminya lagi.Fathan berlalu menuju kamar dan mengemasi beberapa pakaiannya. Dia menyambar kunci mobil lalu segera meninggalkan rumah mereka. Rumah yang berisi banyak kenangan bersama Davina yang sangat dicintainya. Berkali-kali Fathan memukul kemudi. Pikirannya kacau balau. Ternyata harus begini akhir benang kusut yang membelit tubuhnya."Aku memang laki-laki brengsek!" teriaknya sambil memukul kemudi dengan keras lalu kakinya menginjak rem dengan cepat. Mobil berhenti di pinggir jalan. Suara klakson bersahutan membelah jalanan. Fathan tidak peduli. Dia membuka pintu mobil lalu membantingnya keras. Laki-laki tinggi kekar itu berjalan keluar dari mobil sambil meraba sakunya mencari rokok.Hamparan tanah kering dan pecah-pecah terpampang di hadapannya. Sepertinya areal sawah ini usai dipanen padinya. Tampak batang-batang pohon padi yang terpotong setengahnya, juga banyak bulir padi berjatuhan di tanah kering. Fathan menyalakan rokoknya, lalu mengisapnya dalam-dalam. Kepulan asap segera membumbung di atas kepalanya.Fathan pernah menduga jika petualangannya dengan para sahabat Davina suatu hari akan terbongkar. Namun, dia tidak pernah menyangka jika Lulu tega mengakhiri hidupnya dengan cara tragis. Lulu meninggal di kantornya. Semua barang di ruangan dijadikan barang bukti oleh polisi. Namun, Davina berhasil mengcopy file-file penting milik Lulu sebelum polisi mengambilnya.Dari situlah semua bermula. Rahasia yang pada awalnya hanya diketahui Lulu akhirnya sampai ke tangan Davina. Satu tindakan bodoh Lulu benar-benar menghancurkan semuanya. Fathan bahkan sudah berusaha 'membungkam' Lulu dengan mengirimkan 'uang tutup mulut' setiap bulan, meskipun Lulu tak pernah memintanya. Sial!Tiba-tiba ponselnya berdering. Satu panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Fathan menekan tombol hijau."Selamat siang Pak Fathan, bisakah bapak datang ke kantor polisi sekarang? Ada dugaan Ibu Lulu tidak bunuh diri, melainkan sengaja dibunuh. Kami sangat berterima kasih jika Anda mau bekerjasama dengan datang ke kantor kami sekarang juga."Pembunuhan? Jantung Fathan berdegup lebih kencang. Siapakah yang tega membunuh Lulu?Davina mulai membuka catatan yang ditinggalkan Lulu. [Hari ini nyawaku kembali menggenap. Davina sahabat terbaikku menawari pekerjaan di kantor suaminya. Siapa sangka aku bisa menjadi sekretaris seorang bos muda yang tampan dan menawan. Thanks, Davina. Kamu tidak akan menyesal telah memilih aku]*Berdiri di atas duri, begitulah yang dirasakan Fathan setelah mendengar kabar bahwa kematian Lulu bukan karena bunuh diri. Ada seseorang yang mengincar kematiannya. Polisi masih mencari barang bukti dan petunjuk yang bisa mengarahkan kepada pelakunya."Untuk sementara semua kawan-kawan dan orang dekat korban bisa menjadi tersangka. Saya harap Pak Fathan bisa bekerjasama dengan kami dengan membongkar semua fakta tanpa ada yang ditutup-tutupi. Karena TKP berada di kantor bapak, kami akan mulai dari Anda. Apakah Anda sudah menunjuk pengacara?'" tanya Bripda Estu Saragih yang dijawab Fathan dengan anggukan kepala."Kami akan mulai menjadwalkan pekan depan untuk investigasi, termasuk kepada istr
[Davina, bukan hanya aku yang telanjur nyaman dan memiliki nyawa kembali ketika bersama Fathan. Semua sahabat kita memiliki kisahnya sendiri dengan suamimu. Aku harap kamu takkan pernah mengetahuinya. Aku tidak bisa membayangkan reaksimu ketika tahu manis madu pernikahanmu juga menjadi candu bagi kami. Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku akan menyimpan rahasia ini sampai mati.]*Sahabat adalah orang yang membangunkanmu meski kamu masih ingin tidur. Itu berarti sahabat adalah orang yang merusak kebahagiaanmu? Setidaknya itulah yang dipikirkan Davina sekarang.Geng Cokelat sebutan bagi lima sahabat yang merasa terhubung satu sama lain sejak mereka duduk di bangku SMA. Persamaan mereka cuma satu kala itu, sama-sama penyuka cokelat. Dari cokelat merk sejuta umat yang sering dipakai sebagai simbol Valentine's Day, hingga cokelat Godiva paling enak yang mereka cicipi dari luar negeri, oleh-oleh dari orang tua Faiza.Pada awalnya mereka hanya menikmati hot chocolate di cafe D’Chocco
[Davina, apakah kamu tahu bahwa hidup yang kamu keluhkan adalah hidup yang aku inginkan? Kamu memiliki segalanya, tetapi terus merasa kurang. Berbagi Fathan pasti bukan masalah besar untukmu. Sepanjang kamu tidak tahu, dan akan terus begitu) *Perbincangan dengan ketiga sahabatnya ternyata tidak menemui titik temu. Baik Faiza, Arumi maupun Ghina tidak ada yang mengakui telah membunuh Lulu. Semua tetap menjadi misteri hingga polisi harus berhasil mengungkap pembunuh itu. Davina masih yakin salah satu dari ketiga sahabatnya atau suaminya adalah pelakunya. Keyakinan yang sama juga dipikirkan ketiga kawannya. Mereka berpikir Davina adalah pelakunya karena dia satu-satunya korban yang tersakiti dari situasi ini. Ada saatnya kita yakin saat mengambil satu jalan, sebelum akhirnya tahu bahwa jalan yang kita pilih ternyata buntu. Jalan yang tidak bisa membawa kita kemana-mana selain harus kembali melewatinya sekali lagi untuk mencari pintu keluar. Setelahnya, mungkin kita berandai-andai jika
[Davina, kau masih pemenangnya. Meski Fathan bermain-main dengan kami, hatinya tetap untukmu. Kau tak tergantikan. Kau tetap ratu di hatinya. Jadi tolong jangan salahkan aku jika ikut mencicipi secuil kebahagiaanmu. Kamu tahu kehebatan Fathan, bukan? Baginya kami hanya tempat bersenang-senang. Dia butuh banyak dukungan untuk tetap menjadi lelaki hebat. Bukan hanya dari istri tetapi juga dari sekretaris, ahli hukum, desain interior, juga marketing handal. Kau tidak boleh egois jika benar mencintainya, seperti dia juga mencintaimu.)*Davina menghentikan langkahnya di tengah tangga. Sebenarnya dia sangat muak melihat wajah Fathan yang memberinya luka menyakitkan.“Aku tahu siapa yang membunuh Lulu." Suara Fathan berhasil menghentikan langkahnya. Davina membalikkan badan menghadap ke arah laki-laki tegap yang kini terlihat seperti orang asing baginya. "Kita ke teras belakang, kita perlu bicara." Fathan berjalan mendahuluinya menuju teras belakang. Angin sepoi menyapu wajah Davina, begit
[Davina, berkali-kali aku mencoba memberitahumu bahwa Fathan dan Ghina bukan hanya partner kerja. Namun, kamu terlalu naif jika tidak mau aku bilang bodoh. Aku pikir kamu juga akan memaklumi ini demi persahabatan kita. Ghina butuh pengganti Omar. Ghina itu hanya casingnya yang dewasa seperti yang ditampilkan di hadapan kita. Hatinya mudah rapuh. Kamu juga turut andil dalam hal ini, berkali-kali kamu bilang supaya Ghina move on. Sekarang dia sudah move on dengan rekan kerjanya. Fathan membuat Ghina kembali bersemangat, seperti juga aku.]*Kondisi Nafasya mulai membaik keesokan harinya. Davina dan Fathan bisa bernapas lega. Setelah melalui banyak pemeriksaan, dokter menyimpulkan Nafasya mengalami gangguan pernafasan. Masih akan ada observasi lanjutan, jadi Nafasya belum diperbolahkan pulang."Aku berangkat kerja dulu, sayang." Fathan berpamitan kepada istrinya. Sikap Fathan tidak berubah. Hal itu membuat Davina serba salah."Hati-hati." Hanya itu yang terucap dari bibirnya. Fathan menc
[Davina, apakah kau tahu saat ini kondisi perusahaan suamimu sedang tidak baik-baik saja? Kami harus memangkas banyak budget agar perusahaan tetap berjalan normal. Pasti kau tidak tahu karena Fathan melarangku memberitahumu. Begitulah caranya mencintaimu. Dia tidak ingin kau melihat kelemahannya. Dia begitu berhati-hati menjagamu. Kami semua akan menjagamu.]*Ghina tidak menyangka Fathan benar-benar menjemputnya di kantor seusai kerja. Pria itu menunggunya di lobi. Dia memakai setelan jas yang sama dengan tadi siang, tetapi baru saat itu Ghina menyadari betapa Fathan memperhatikan banyak soal penampilan karena segala yang dikenakannya terlihat serasi, berkelas, dan mahal. Davina pasti mengurusnya dengan baik. Saat menjadi istri Omar, Ghina juga melakukan hal yang sama. Ah, betapa singkat kebahagiaan itu harus dipeluknya.“Hai!” Ghina menyapa lebih dulu. “Kau menunggu lama? Kenapa tidak telepon?” Ghina mempercepat langkahnya.“Aku, kan, sudah bilang kalau aku akan menjemputmu. Aku ti
[Davina, kecurigaanmu saat itu benar. Tetapi kondisi perusahaan yang sedang sekarat membuatku harus menutupi hal itu darimu. Ghina sudah menghindari Fathan dan bekerja profesional. Kau tahu dia juga berjuang sekuat itu. Ghina kembali harus menelan pil tidurnya untuk bisa bekerja keesokan harinya. Aku masih menyimpan foto-foto mereka. Akan aku simpan dengan aman, supaya kau tidak perlu melihatnya.]*Fathan menemani Ghina mengunjungi workshop dan gudang si pengrajin. Lokasinya lumayan jauh sampai membutuhkan lima jam perjalanan berkendara. Namun pemandangan di sana sangat asri dan hijau, jauh berbeda dari perkotaan tempat biasa mereka tinggal. Setibanya di sana, Fathan tak dapat menahan diri untuk mencuri waktu menikmati kehijauannya.Ghina diam-diam mengambil foto Fathan yang tengah memandangi pegunungan dari belakang, lalu diuunggahnya di instastory. Enjoying the view, begitu caption yang dia tulis.“Gunungnya akan tetap di sana, tetapi workshop-nya sebentar lagi mungkin tutup,” kata
[Davina, kau orang yang paling mengenal Fathan. Seharusnya kau tidak membiarkan Ghina terlalu dekat dengan suamimu. Aku melihat mereka sekarang sering bertemu di luar kantor. Sepertinya kau harus lebih belajar menjaga apa yang sudah engkau miliki. Bisakah kau menangkap percikan api unggun yang telah disapu angin?]*Ghina terkejut melihat foto-foto yang disodorkan Bripda Estu Saragih. Foto itu dia yang mengirimkan kepada Lulu. Foto biasa, saat Ghina dan Fathan sedang menikmati makan malam di pinggir pantai Ancol. Saat itu mereka datang sore sepulang bertemu Arumi untuk membahas masalah kantor. Mereka datang ke pantai bertiga. Saat menikmati sunset, Ghina dan Fathan berdiri di samping cottage dengan posisi bersebelahan. Keisengan Arumi memotret keduanya diam-diam membuat posisi Fathan seolah-olah sedang mencium Ghina. Lulu pasti mendapatkan foto itu dari Arumi. Saat melihat foto itu Ghina sudah memerintahkan Arumi untuk menghapusnya. Ternyata malah Lulu masih menyimpannya."Maaf saya