“Mas Arjuna?” Aku begitu senang saat pintu kamarku terbuka. Aku pikir itu dia ternyata seorang perempuan yang entah siapa. Dia tersenyum ramah, tapi sungguh bukan dia yang aku harapkan kehadirannya.“Maaf kupikir tadi suamiku, Mbak ini siapa?”“Saya dokter Nadia, Mas Arjuna yang minta saya datang ke sini. Boleh saya lihat lukanya.”“Di-dia yang minta?”“Iya, kenapa? Bukankah wajar suami perhatian sama istrinya. Mbak ini beruntung loh, punya suami kayak Mas Juna.” Aku hanya tersenyum, saat dokter Nadia terus saja membanggakan suamiku. Jujur saja aku kurang suka saat dia mengatakan kebaikan-kebaikan Mas Arjuna, seperti menujukan kalau hubungan mereka memang lebih dari sekedar dokter dan pasien.“Dokter kenal Mas Arjuna sudah lama?”“Dia hmm kita kebetulan teman lama sih.”“Oh gitu.” Entah aku merasa ragu, dari wajahnya saja ia seperti menyimpan kebohongan. “Boleh saya lihat lukanya sekarang? Mbak enggak usah sungkan, bajunya dibuka saja!” Meski ragu tapi aku tak boleh terus seperti ini
“Aku tidak bertemu siapa pun malam itu jangan mencoba memutar balikkan fakta!” Mas Arjuna terlihat menahan kesal, ia bahkan sudah bersiap untuk beranjak pergi.“Aku bisa mencium aroma parfum perempuan di kemejamu.” Sejenak ia menghentikan langkah, lantas berbalik.“Jika kamu tahu rasanya cemburu itu menyakitkan, kenapa melakukannya berkali-kali padaku. Aku memang bertemu seseorang malam itu, tapi kami hanya mengobrol biasa, aku tak sehina itu untuk melampiaskan kekesalanku. Beri aku waktu. Aku tidak ingin mengambil keputusan yang salah.”“Bukan soal seberapa lama mau menunggu. Aku hanya ingin membuktikan kalau aku tidak pernah melakukan itu. Jadi kalau suatu hari kita memang harus berpisah. Mas tidak lagi menganggapku kotor.”“Semua ini butuh waktu, Prily. Kita terlalu muda dan sama-sama emosional. Kita mengambil keputusan hanya berdasarkan emosi sesaat. Bagaimana bisa kita memulai hubungan itu sekarang juga? Bukankah kamu mendambakan kehidupan yang normal. Aku bisa memberikannya unt
“Kalau semua itu ada pada suamimu, pertahankan dia. Takutnya kamu tidak akan menemukan sosok sepertinya lagi,” ucap Zahiya sembari mengusap pelan tubuhku.“Terima kasih ya, karena kamu, sekarang aku merasa jauh lebih baik.”“Sama-sama, jangan sungkan untuk cerita. Masalah itu seperti kotoran, Prily. Tidak baik jika selamanya dipendam sendirian. Aku harus pulang, lain waktu kita bertemu lagi.”“Zahi tunggu, apa suamimu baik?”“Suamiku, hmm baik,” katanya ragu, padahal dulu Zahi adalah orang yang sangat terbuka.“Rumahku hanya berjarak 4 rumah darimu, Prily. Kalau ada masalah kamu bisa datang padaku.” Aku mengangguk lalu kami saling melambai untuk terakhir kali. Namun, saat aku akaj kembali menutup pintu gerbang justrudikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba mencekal lenganku. Aku refleks berteriak. Untung saja Zahi masih belum melangkah jauh. Ia segera berlari.“Tolong! Tolong!” Keringat dingin langsung keluar di sahi juga area telapak tanganku yang langsung terasa basah.“Prily, ak
“Aku hanya pergi 2 jam, bukan selamanya.”Aku harap juga begitu. Semoga ini hanya perasaanku saja.Seperti biasa setelah berpamitan ia akan pergi begitu saja. Namun, aku tak menyerah tetap kuulurkan tanganku padanya. Lagi-lagi Mas Arjuna hanya tersenyum.“Aku belum pantas.” Dari pada menerima uluran tanganku. Mas Juna malah mengacak kepalaku yang tertutup hijab.“Kenapa bisa bilang belum pantas, bukankah wajar suami istri melakukannya? Dulu juga kita terbiasa melakukannya.”“Karena aku belum bisa membahagiakanmu, seperti dulu pria itu lakukan padamu.”“Kamu sampai seperti itu, Mas? Apa buku itu membuatmu sakit.”“Tidak juga. Apa aku terlihat begitu? Tenanglah aku tak selemah yang kamu pikirkan, apa lagi hanya karena buku.”“Maafkan aku.” Dia mengangguk lalu kembali mencubit pipiku.“Jangan lupa untuk makan sesuatu.”“Aku akan mengantar Mas sampai depan.”“Tidak usah, istirahatlah di dalam! Biar aku yang akan mengunci pintunya.”~Aku sungguh sangat merindukan kebersamaan kita dulu. Se
Perasaan malu menyelimuti hati Prily, tatkala bibir Arjuna menyentuh miliknya. Hening melanda, hanya detak jarum jam yang terdengar beriringan dengan irama jantung keduanya yang kian bersahut merdu. Prily mengulum senyum seiring dengan wajah yang sejak tadi mendominasi pikirannya kian menjauh. Sambil terus mencoba mengatur nafasnya, wanita itu menunduk malu. Berbeda dengan Arjuna yang justru menatapnya sambil tersenyum tipis. “K-kenapa kamu cium aku, Mas?”“Kamu bicara terlalu banyak, untuk orang yang baik-baik saja. Jangan terlalu khawatir. Aku tidak selemah itu.” Arjuna malah mengusap lembut kepala istrinya yang masih lengkap dengan hijab merah muda bercorak floral. Setelah memasak ia sengaja memakai setelan berwarna merah muda, sesuai dengan isi hatinya yang berbunga-bunga sejak Arjuna memanggilnya Sayang tadi siang. Ia bisa dengan mudah melewati hal yang seharusnya membangkitkan perasaan traumatisnya, karena kembali dihadapkan dengan Akbar, karena pelukan Arjuna yang menghalau ra
“Mas Juna , tolong buka pintunya dulu! Biarkan aku masuk ke dalam!” Tak ada sahutan dari dalam toilet hanya gemircik air yang terdengar mendominasi. Hal itu membuat Prily makin panik. Selama berbagi tempat tinggal dengan Arjuna, tak pernah sekali pun ia mendapati suaminya mimisan. Segala pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Ia ingin menepis, tapi lagi-lagi sepengetahuannya mimisan terjadi akibat penyakit dalam yang tentu tak bisa disepelekan.“Mas tolong buka, hiks? Aku sangat khawatir. Buka!” Prily terus berusaha menggedor daun pintu yang masih tertutup rapat itu, bersamaan dengan bulir bening yang mengalir tanpa permisi, membasahi wajahnya yang merona merah. Hari ini, ia sengaja memoles wajahnya dengan make up tipis-tipis. Hanya demi terlihat menarik bagi suaminya. Prily bahkan sanggup melakukan hal-hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Namun, kenapa Tuhan seakan selalu saja merenggut kebahagiaannya. Baru saja ia meneguknya sedikit, kebahagiaan itu sudah lebih dulu m
“Ka-kamu ke-kenapa tiba-tiba mau tidur di sini?” Prily begitu gugup hingga ia terbata-bata. Belum lagi Arjuna yang terus saja mendekat ke arahnya. Membuat debaran di jantungnya kian melonjak naik. Nafas Prily memburu, seiring dengan Arjuna yang nyaris tanpa jarak. Ia ingin menghindar, sayangnya justru punggungnya membentur tembok, untung saja sempat ditahan oleh lengan suaminya. Prily langsung menarik lengan yang sempat menahan punggungnya itu,“Apakah sakit?” tanyanya.“Lebih sakit, melihat wajahmu,” kata Arjuna dengan suara beratnya. Dengan begitu polosnya Prily lantas menyentuh wajahnya dengan telapak tangan.“Kenapa dengan wajahku?” “Kamu menangis ‘kan, kenapa?”“Hmm itu, aku tidak menangis kok. Mas salah, ini wajahku begini, karena bangun tidur.”“Prily berhentilah menutupi semuanya. Aku bukan anak kecil yang tidak bisa membedakan kedua hal itu.” Prily tertunduk ia kalah berdebat.“Seperti Mas yang memilih menyembunyikan rasa sakit itu dariku. Maka apa hakku menunjukkan kesedih
“Iya aku akan membantumu mandi.” Prily tersenyum dengan begitu percaya diri.“Bagaimana kalau aku tidak mau?”“Aku akan memaksa.” Wanita itu menjadi tidak tahu diri hanya dalam semalam saja.“Prily, aku enggak bercanda. Aku enggak mengizinkanmu melakukannya.”“Terserah, aku tidak perlu izinmu,” ucap Prily enteng. Ia lantas berjalan keluar hendak mengambilkan pakaian untuk suaminya di lantai atas.“Tolong ambilkan aku hoodie dan celana jeans saja. Aku ingin berangkat dengan memakainya,” ucap Juna setelah Prily tinggal selangkah lagi menuju keluar kamarnya.“Oke.” Prily tersenyum begitu lebar. Arjuna yang merasa heran dengan perubahan sikap Prily yang dirasa terlalu mendadak. Lantas, ia mulai mempertanyakan tentang apa yang terjadi semalam. Sayangnya tak ada yang dia ingat selain hanya ia yang memaksa Prily tetap berada dalam pelukannya. Arjuna berusaha untuk bangun, tetapi begitu pandangannya ke lantai, ia mendapati kakinya yang sudah dipakaikan kaus kaki bunga-bunga.Bibirnya kembali