Share

Catatan Usang
Catatan Usang
Penulis: ERIA YURIKA

Tujuh Puluh Ribu

“Dek, tolong catat semua hadiah yang udah aku kasih ke kamu. Bonnya ada di tasku!”

“Catat lagi?”

“Iyalah kita harus menghemat. Pengeluaran dan pemasukan harus ada notanya. Tidak boleh kita pakai berlebihan sehari hanya boleh 70 ribu. Tidak boleh lebih.”

Tak ada sahutan dari istriku. Ia malah menatap lurus dengan pandangan kosong. Aku mendekat untuk memastikan dia mendengarnya atau tidak.

“Kamu dengar tidak, Dek?”

Baru saja kau ingin menyentuh pundaknya. Prily sudah lebih dahulu berjalan menghindar. 

“Hmm,” sahutnya tak acuh.

Bahkan barang-barang yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita saja dia abaikan.

Bukankah dia pernah bilang menginginkan long dress dengan berwarna merah muda dengan aksen renda.

Sudah aku repot-repot memesannya diam-diam lewat market place online. Prily justru membiarkan gamis beserta cokelat yang kupesan khusus untuknya tergeletak di meja.

Ck, kenapa perempuan susah sekali dimengerti? Sungguh membuatku frustrasi saja. Lebih baik bermain game dari pada terus memikirkan hal-hal yang hanya memancing emosi.

~

Di sore hari Prily biasanya akan berdiri di atas balkon. Aku sudah hafal dengan kebiasaannya. Kamar kami mengarah ke lapangan, yang biasa dipakai anak-anak kompleks untuk bermain di pagi dan sore hari. Prily tak pernah melewatkan melihat canda tawa mereka di balik jendela, barang sekali. 

“Mau sampai kapan berdiri di situ?” tanyaku sembari memakai kaus lengan pendek, lalu mengeringkan kepalaku dengan handuk. Prily segera mendekat lalu tangannya begitu cekatan menggosokkan handuk itu ke kepalaku.

“Padahal aku punya hair dryer loh. Mas bisa pakai kalau mau.”

“Kamu saja yang pakai, aku tidak perlu lah. Ini 10 menit juga kering.”

“Ya, aku tahu,” ucapnya senyum yang sejak tadi mekar itu tiba-tiba menghilang begitu saja.

Dia selalu saja begitu setiap kali mengingatkan dirinya untuk lebih berhemat. Bukankah ini juga demi kebaikannya? Aku tahu di masa lalu Prily hidup dengan bergelimang harta, tetapi seharusnya dia bisa belajar. Roda kehidupan itu akan selalu berputar.

Saat keluarganya jatuh miskin karena mengalami kebangkrutan, orang tuanya yang sakit-sakitan, bukankah semua itu butuh biaya? Siapa lagi yang menanggungnya kalau bukan aku? Dia bahkan sama sekali tak menghasilkan uang.

“Sudah kering, Mas.”

Prily berjalan ke arah balkon untuk mengeringkan handuk, lalu dia akan kembali berdiri sembari menatap anak-anak tetangga yang asyik berlarian di lapangan.

“Kau ini kenapa enggak ada bosannya melihat anak-anak.”

“Kapan ya kita bisa punya anak?"

“Ly, kita ‘kan sudah pernah membahasnya. Kita akan punya anak setelah kita punya rumah dan mobil. Tinggal beberapa bulan lagi, tabunganku akan cukup untuk membeli mobil impian kita. Bersabarlah sebentar.”

“Ya, Mas,” ucapnya lalu segera berpaling kembali menatap anak-anak itu lagi.

Ini tahun ke lima kami menikah, tapi aku sudah berhasil membeli rumah cash dengan usahaku sendiri. Bukankah sebuah pencapaian yang baik?

Aku bukanlah anak yang lahir dari keluarga kaya. Semua ini kudapatkan dengan kerja keras. Kami sudah sepakat melakukan KB sampai ekonomi kami stabil.

Awalnya semua berjalan baik, tetapi akhir-akhir ini setelah kami pindah ke rumah baru, Prily menjadi lebih banyak diam. Meski sejak menikah dengannya pun Prily bukankah gadis yang ceria. Dia terlalu misterius, meski aku begitu menyayanginya. Dia terlihat berbeda dengan gadis kebanyakan.

Satu yang paling kukagumi, dia begitu penurut dan tak banyak menuntut, lembut dan begitu santun. Hanya satu saja yang membuatku kesal. Dia selalu meminta untuk menghentikan program KB padahal hanya beberapa bulan lagi, tetapi akibat hal ini kami jadi sering bertengkar.

 Entah ini bisa dikatakan bertengkar atau tidak, karena saat itu sepertinya hanya aku yang terlihat berapi-api, sedangkan Prily terlihat acuh tak acuh. Dia hanya menjadi lebih pendiam dari biasanya.

Semua pasangan juga ingin memiliki keturunan. Tak terkecuali aku, tetapi semua juga harus terencana dengan baik. Jangan sampai hanya punya banyak anak, tetapi mengabaikan kehidupannya dan pendidikannya. Kami menikah karena sebuah perjodohan.

 Ayah kami berteman, awalnya aku ingin menolak, tetapi setelah melihat parasnya yang begitu menawan. Aku yakin tak ada satu pun pria yang akan menolak dijodohkan dengan wanita sepertinya.

“Masuklah ke dalam, gak baik hujan masih di sini. Dingin, nanti kamu sakit. Bukannya dari kemarin kamu bilang sedang enggak enak badan?”

“Alhamdulillah, sudah membaik abis minum obat.”

“Syukurlah, aku ke bawah dulu.”

“Aku masih mau di sini, Mas duluan saja.”

Sudah sepekan, Prily mengeluhkan sakit kepala. Selama ini aku memang menyuruhnya untuk meminum Paracetamol yang memang tersedia di kotak P3K.

Semua uangku sudah habis untuk ditabung. Apalagi gaji bulananku baru turun sepekan lagi. Tak mungkin juga aku harus menjual emas hanya untuk berobat.

Sepertinya aku ketiduran di sofa cukup lama. Kenapa Prily membiarkanku? Padahal biasanya dia selalu membangunkan.

Ini bahkan sudah pukul 2 dini hari. Beberapa kali aku menguap saat berjalan menuju kamar. Aku pikir Prily sedang tidur, tetapi wanita itu tak ada di sana.

“Ly, kamu di mana?”

“Ly?”

“Prily!”

Tak ada sahutan juga. Dia benar—benar-benar keterlaluan! Wanita macam apa yang keluar malam-malam tanpa izin suaminya. Sepertinya aku memang terlalu memanjakannya.

Lekas, kuambil jaket dan kunci motor. Mungkin saja masih di sekitar kompleks. Namun, bersiap keluar kamar, Prily justru berada di depanku.

“Loh, kamu habis ke mana?” tanyaku.

“Dapur.”

“Ly, setidaknya kamu bisa ‘kan nyahutin Mas waktu dipanggil! Jangan diem aja!”

“Maaf.”

“Ck, kamu kenapa sih? Marah enggak jelas, kalau ada masalah ngomong. Aku bukan Tuhan yang bisa mengerti tanpa ada penjelasan.”

“Enggak ada apa-apa, aku mau tidur. Permisi.”

Tubuh mungil itu malah menyelinap paksa. Aku bahkan belum bergeser sedikit pun dari ambang pintu. 

“Enggak bisa. Maumu itu apa?”

“Aku mau ....”

Dia malah menatapku sebentar.

“Gak jadi,” lanjutnya kemudian.

“Kamu ini! Katakan, jangan membuatku emosi. Kamu tahu aku bisa saja berbuat sesuatu yang membuatmu tak suka. Jadi tolong jangan terus memancing emosiku.”

“Mas Arjuna, aku hanya ingin tidur. Apa aku harus membayarmu. Nanti biar kucatat, akan kubayar dengan memotong jatah harianku.”

Aku yang kehilangan fokus membuat Prily dengan mudah melewatiku. Dia segera berjalan menaiki ranjang lalu menyembunyikan tubuhnya di balik selimut.

“Apa maksudmu, Prily? Kita sudah melakukannya sejak bertahun-tahun. Lihatlah rumah ini, kita akhirnya bisa punya rumah yang layak. Berkat kerja kerasku.”

“Hmm.”

“Prily! Kamu dengar, enggak?”

Aku yang sudah gemas dengan sikap Prily yang keterlaluan. Aku menyibak selimutnya membuat outernya tersibak hingga memperlihatkan bahunya yang putih mulus nyaris tanpa cela.

Terlihat bercahaya meski dengan dress tidur yang warnanya sudah memudar itu.

“Mas enggak harus menariknya sekencang ini. Jadi sobek ‘kan?”

“Kamu yang membuatku melakukan ini. Enggak sadarkah kalau sejak tadi sore kamu terus memancing emosiku? Aku merayakan anniversary pernikahan kita yang kelima demi membuatmu bahagia. Kenapa wajahmu malah terus ditekuk?"

Prily kembali melihatku dengan wajah datar. Dia benar-benar menyebalkan.

“Terima kasih buat semuanya, tapi aku benar-benar lelah. Hanya ingin istirahat sebentar saja. Boleh?”

“Kamu sakit?”

Dia menggeleng, tetapi aku bahkan bisa melihat wajahnya sedikit pucat.

“Mau periksa?"

“Enggak usah, kita lagi hemat, kan? Masih bisa aku tahan kok. Istirahat sebentar pasti baikan.”

“Oh ya sudah. Mari kuantar ke kamar.”

“Hmm.”

Lengannya dingin sekali. Sepanjang malah aku mendengar gemeretak giginya yang terus beradu. Dahinya begitu panas. Prily demam. Aku berusaha membangunkannya, dari mulai mengusap lembut pipinya sampai menepuknya dengan keras.

“Mas.”

“Iya Ly, Mas di sini.

“Enggak usah.”

Wanita itu justru tersenyum sembari mengusap pelan pipiku tangannya masih begitu dingin. “Aku enggak mau mengganggu rencanamu, buat punya mobil. Biarkan aku istirahat sebentar, ya. Besok pagi pasti akan baik-baik saja.”

Sejujurnya aku benar-benar khawatir. Hanya saja kalau dia menolak untuk pergi aku bisa apa? Sepanjang malam aku benar-benar tak bisa tidur. Entah kenapa aku merasa sedikit bersalah.

Seharusnya aku tak sekeras ini padanya. Sepanjang malam dia terus mengigau.

“Mas kamu di mana?” gumamnya.

“Aku di sini, Ly. Kamu ini sebenarnya mencari siapa?”

“Mas, maafin aku.” Entah dia minta maaf untuk siapa. Sejak tadi aku terus di sampingnya, tetapi dia masih saja mengigau.

“Aku maafin kamu, tapi kamu bangun dulu.”

Tubuhnya malah gemetar hebat. Aku tak mau pikir panjang. Gegas aku membawanya ke rumah sakit, meminta bantuan tetangga samping rumah yang kebetulan punya kendaraan roda empat. Sementara itu, Prily Masih ditangani di IGD dokter memintaku untuk menunggu di luar.

“Istri saya kenapa, Dok? Bagaimana keadaannya?"

“Asam lambungnya naik, tolong jangan biarkan dia telat makan. Sepertinya sejak tadi pagi dia belum makan apa pun. Apa dia berpuasa?”

Jelas-jelas aku melihatnya minum di siang hari. Bagaimana mungkin dia berpuasa.

“Baik, saya akan lebih memperhatikan jadwal makannya, Dok.”

Esok hari aku berniat pulang untuk mengambil beberapa helai pakaian ganti untuk Prily, tetapi begitu keluar untuk kembali ke rumah sakit beberapa Ibu-ibu tampak tengah berbelanja sayuran di depan pagar rumahku.

“Ih masa ya, waktu arisan si Prily itu. Rumah doang kaya tapi tiap makan-makan paling rakus sendiri. Kayak enggak pernah di kasih makan.”

“Hus! Jangan kayak gitu!”

Seseorang terdengar menyangkal.

“Iya bener. Kita mah gengsi kali ngambil sisaan lauk bekas makan. Dia mah sampai dibawain semua.”

Aku hafal sekali itu Mbak Daniah, dia memang sejak dulu terkenal biang gosip. Lagi pula kenapa kamu harus sampai seperti itu bikin malu saja. Kau tidak mungkin betul-betul kelaparan bukan? Rumah kita bahkan paling mewah di antara kompleks ini.

Bagaimana mungkin nyonya rumahnya kelaparan?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
gosip teruss
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status