Aku berjalan mengikuti kedua perempuan yang membuatku hampir kena perlakukan kekerasan dalam rumah tak bertangga. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan."Emak kirain penyakit pelit suami kamu kambuh dan membentak-bentakmu. Makanya emak khawatir saat mendengarmu sedang menangis. Tangis haru rupanya," ujar Emak diselingi tawa. Emak kepo banget sih. Padahal, Rika lagi nyaman-nyamannya dipelukanku. Gagal deh semua."Tumben masak cepat, Mak? Biasanya barengan sama menantunya? Apa karena Rika sariawan?" tanyaku. Emak memang baik pada istri dari anaknya ini. Selalu pengertian dengan kesusahan menantunya dan tahu juga cara menyusahkan anaknya. Emak tak berperikeanakan. Selalu menantu perempuannya yang benar. Nepotisme sesama kaum hawa."Ya, gapapa. Emak juga pernah muda. Kirain pagi ini kalian keramas, makanya Emak cepat masak. Kasihan kalau Rika kelaparan karena mandi kedinginan.
Aku merebahkan badan di atas ranjang, menghitung cicak-cicak di dinding sambil menunggu Rika dan Santo Sayang yang belum juga datang. Apa jalan macet atau dia nyasar? Ah, gak mungkin."Bang!" panggil Rika. Aku berdehem dan menepuk sisi ranjang agar dia duduk di sampingku."Bang!" sapanya lagi. Aku mengeryit dan menatap wajah seriusnya."Kalau memang Abang berniat mau nikah lagi sama Mak Eda, Rika gak keberatan kok," ujar Rika dengan ekspresi datar. Waduh, candaan Mak Eda malah diambil hati. Jarang loh istri nyuruh suami sendiri memadunya. Hmmm, dia belum tahu saja kalau istri kedua akan menguasai suami. Coba tawarin anak gadis, mungkin aku akan tolak juga, kalau gadis purbakala. Soalnya, Rika lah bunga paling menawan sejagat raya."Enggak, ah. Satu istri, satu Emak, satu adik perempuan saja sudah sering bikin keliyengan. Apalagi tambah istri lagi? Duh, ca
"Bang Hadiiii!" teriak istriku dan setengah berlari menghampiriku. Kasih nafas buatan aja, Dek! Sepertinya aku akan langsung sembuh."Anakku, kamu kenapa, Nak?" seru Emak dan menepuk-nepuk pipiku, lebih tepatnya sih ditampar. Soalnya, aku merasa sedikit panas.Rika mengambil botol air dari tasnya dan meminumkanya dengan cepat. Alhasil, aku terbatuk dan bajuku basah karenanya. Ini kedua kalinya pakaianku basah karena dibantu minum oleh istriku.Rika dan Emak membantuku berdiri dan mendudukkan anak sekaligus suami ini di teras rumah. Malang nian nasib lelaki paling ganteng di antara tiga perempuan ini. Baju dan celana yang sengaja kubeli agar terlihat muda di samping Rika, sudah basah sebelum bergaya.Aku hanya berniat tampil menawan dan tidak membuat Rika malu jalan dengan suaminya yang terpaut usia lima tahun lebih tua. Namun, siapa sangka, Em
Semuanya tertawa melihatku terjungkal, kecuali kekasihku yang sigap menghampiri. Duh, malangnya nasib."Bang! Bangun! Rika gak bisa makan tanpa Abang!" ucap Rika khawatir. Hah? Gak bisa makan tanpa aku? Apa maksudnya, ya?"Kamu bisa makan sama siapa saja, Dek," balasku lemah. Rika menggeleng dengan cepat."Kalau makan sama Abang, aku semakin bersemangat. Mending gak usah makan kalau gak sama ayah dari calon anakku ini." Semangatku langsung penuh mendengar penuturan istriku yang semakin bisa merayu."Ayo makan kalau gitu, Dek," ajakku, mengabaikan orang yang tidak bersimpati padaku."So sweet." Emak, Santo dan istri tercintanya kompak menyoraki. Aku mencibir dan kembali ke pondok dengan menggandeng istriku yang sekarang, kalau yang mantan sih, ke laut aja.Mereka masih sibuk
"Bang! Rika minta maaf ya kalau selama ini belum bisa jadi istri yang baik," ucap Rika setalah makan siang. Belakangan ini, kami sering mengobrol sebelum tidur dan saling maaf-maafan agar dosa-dosa kami berguguran dari celah-celah jari. Tapi, ini kan masih siang. Apa ibu hamil besar ini akan sering minta maaf karena memikirkan perjuangan yang akan ia hadapi?Aku meraih pucuk kepala istriku dan menciumnya pelan. "Iya, Dek. Abang maafin," balasku tersenyum ramah.Tiada angin tiada hujan, karena kami berada di dalam kamar, bebas gangguan alam. Tiba-tiba, Rika mendorong dadaku dan wajahnya juga merengut. Apa kata-kataku ada yang salah? Perasaan semuanya baik-baik saja."Jadi … maksud Abang, Rika itu istri yang tidak baik?" balasnya ngegas. Astaga! Mulutku menganga dan bernafas dengan tak beraturan. Aku harus bisa memilih diski eh diksi yang tepat kalau sudah bicara dengan tu
Lebih dua jam aku terperjara dan tidak berkutik di salon ini, mengikuti dua perempuan yang paling kucintai dan aku harus terima diapa-apain. Kuku yang sering luput dari perhatianku karena sibuk bekerja pun dibersihkan. Duh, aku tak tahu nama-nama perawatannya dan lebih baik tidak tahu. Kalau aku sampai ahli tentang urusan yang digandrungi para wanita ini, aku bisa diledek teman-temanku. Biarlah aku bagian urusan mencari modal ke salon.Wajahku berminyak tapi bukan karena minyak sawit. Rambutku juga klimis karena sering kuolesi minyak goreng. Selain hemat, juga agar lalat tergelincir. Semuanya semakin aduhai setelah dianu-anuin. Dan yang paling menggelikan, aku khusus diservis seorang laki-laki bergaya perempuan. Biar gak dosa kalau bersentuhan secara sengaja maupun tidak disengaja, kata Emak.Aku sangat deg-degan karena takut saat Emak juga menyuruhnya untuk memijitiku. Duh, jangan sampai deh dia khilaf melihat
Hampir setengah jam kuhabiskan bertapa di toilet warung yang katanya kafe itu. Asli, toiletnya bersih dan dilengkapi cermin besar di depannya. Astaga! Perutku tidak begitu sakit sih, tapi karena nenggunakan toilet duduk sambil bercermin, aku gak mau melihat raut wajahku yang berkurang ketampananya. Kuusahakan agar wajahku tetap menawan walaupun sedang buang air besar. Alhasil, Rika sampai menggedor pintu toilet ini. Hmmm ... sepertinya dia khawatir dengan keselamatan kekasih hati, belahan jiwanya ini."Bang! Abang baik-baik saja, kan?" seru Rika. Aku mempercepat gerakanku tanpa melihat kaca itu lagi. Perempuan hamil tidak boleh cemas berlebihan. Kusudahi ritual kali ini dan keluar dengan menggunakan kaki kanan duluan. Keningku mengernyit karena melihat keberadaan istriku di depan toilet yang rusak."Rika! Abang di sini!" seruku. Rika berputar dan berjalan cepat ke arahku.
Sepulang dari mesjid, menunaikan ibadah sholat isya, mataku bersiborok dengan mobil yang sama yang dipakai oleh Ari dan Nifa waktu itu. Adik sama adik iparku tidak pengertian sama sekali. Udah tahu kalau aku punya Emak yang usil, ditambah lagi mereka ngerusuh. Kalau Rika udah lahiran, aku bakal dianggurin lama loh.Aku pun mengucap salam dan masuk dengan hati yang berkecamuk. Awas saja kamu Nifa, aku akan mencubit telingamu. Kalau Ari, kutonjok saja nanti bajunya. Ya, sesama laki-laki yang tertindas, kami harus saling support. Kalaupun dia mau kesini, pasti karena perintah istrinya, Emak atau maminya.Aku melihat Emak dan Rika sedang sibuk di dapur. Dari gelagatnya, bukan Emak yang menyuruh adik perempuanku itu kemari. Kalau udah tahu sebelumnya, mereka sudah menyiapkan makanan sedari tadi. Rika dan Emak di dapur, kalau gitu yang sedang berdoa itu pasti Nifa.Aku berjinji