Share

Catatan Utang Seorang Istri
Catatan Utang Seorang Istri
Penulis: Intan Resa

Dicubit Emak

"Pak Hadi! Bu Rika ada? Saya mau nagih utang. Katanya mau dibayar hari ini. Saya butuh modal untuk dagang, Pak," ujar Bu Marni, pemilik toko kelontong satu-satunya di kampung kami. Belum juga kuraih knop pintu, sudah ada yang menagih utang. 

 

"Berapa utangnya, Bu?" tanyaku masam. Aku seorang juragan kelapa sawit dengan kebun berpuluh hektar merasa terhina karena kelakuan Rika. Apa uang yang kuberikan tak cukup baginya? Perempuan sama saja, suka menghambur-hamburkan uang. 

 

"Tak banyak, Pak. Hanya enam ratus ribu," jawabnya tersenyum sembari menyodorkan catatan utang istriku. Banyak banget. Uang belanja yang kuberikan lebih dari cukup dan dia masih sempat berutang. Pakaiannya itu-itu saja, tak ada yang nambah. Makanan di rumah juga lebih sering dengan lauk tahu tempe. 

 

"Awas kamu Rika! Jangan-jangan uangnya kamu berikan untuk keluargamu," batinku. Ini sudah di luar batas. Aku akan memakinya nanti. 

 

"Nih uangnya, Bu! Lain kali, jangan kasih istri saya ngutang! Dia itu terlalu boros," pesanku yang membuat Bu Marni tersenyum kecut. Kutinggalkan dia yang ingin menjawab ucapanku. Sudah hafal, dia pasti ingin membela Rika. 

 

Orang-orang di kampung ini suka sekali ngasih utangan pada istriku karena selalu kubayar karena malu. Bukan hanya sekali, tapi berulang kali. Aku akan memperingatinya lebih tegas lagi. Kalau perlu, dia bisa kuancam. Aku pernah memanjakan mantan istriku dengan uang yang berlimpah, lalu yang kudapat hanya pengkhianatan. Kali ini, aku tak mau kecolongan. 

 

Kubuka pintu rumah yang tertutup rapat dengan kunci cadangan yang kupegang. Tak ada sambutan dari seorang Rika seperti cerita teman-temanku yang disambut istrinya. Dia selalu keluyuran setiap aku pulang kerja. Istri tak guna. 

 

"Pak Hadi, saya mau minta angsuran baju," celetuk seseorang. Hidupku tak bisa tenang sama sekali. Sawitku panen sekali dalam dua minggu dan akan ada saja orang yang datang menagih utang. 

 

"Berapa harga bajunya emang, Bu?" tanyaku malas. Rika keterlaluan sekali sampai harus mengkredit baju. Dalam lemarinya banyak baju bekas istri pertamaku. 

 

"Dua ratus ribu, Pak. Bu Rika sudah bayar dua puluh ribu," jelas Bu Leni. Ku rogoh kantongku dengan berat hati dan mengeluarkan empat lembar uang pecahan berwarna biru.

 

"Langsung lunas ya, Pak. Ini kembaliannya," ujar perempuan yang suka merayu istriku untuk membeli baju. Selembar nota tanda lunas ia serahkan padaku. 

 

"Ambil saja kembaliannya. Tapi, ingat! Jangan pernah kasih istriku ngangsur apapun," jawabku tegas. Lagi-lagi Bu Leni cemberut seperti Bu Marni tadi. 

 

Aku segera ke dapur, memeriksa meja makan yang kosong seperti biasanya. Aku sudah hafal kelakuannya. Sebaiknya aku mandi dan bersiap-siap menemui teman-temanku di Kafe milik Neng Mawar. Masakannya selalu enak dilidah dan penampilannya tidak pernah ngebosanin. 

 

"Assalamualaikum, Bang! Baru pulang?" tanya Rika basa-basi. Ia mengambil punggung tanganku lalu menciumnya dengan takzim. Dia perempuan yang pandai bersandiwara, seolah istri yang berbakti. Padahal suami pulang, dia malah keluyuran. 

 

Aku melihat perempuan yang sudah banyak keriput di wajah dan tangannya yang berdiri di samping istriku. Dialah ibuku, perempuan yang selalu membela menantu kesayangannya. Aku curiga kalau Rika telah memberikan pengaruh ilmu hitam padanya.

 

"Dari mana, Mak?" tanyaku lalu mencium punggung tangan dan pipinya. Dialah surgaku, kata-kata yang keluar dari bibirnya adalah doa keramat bagiku. Sedangkan istri, harusnya tunduk dan taat padaku, karena dibawah kakiku lah surganya.

 

"Emak tadi diajak Rika makan di pelaza. Enak juga main di kota, ya, Di. Kota itu rame, banyak makanan dan baju-baju bagus," ungkap Emak dengan semangat empat lima. Emak belum tua sekali dan tidak pikun. Dia menceritakan semua detil perjalanan mereka sampai maghrib menjelang. Gara-gara Emak, aku tidak bisa ke warung Neng Mawar. 

***

 

"Bang, maafin Rika ya! Tadi Emak pengen ke plaza dan aku belum sempat minta izin," ucap Rika saat menyuguhkan makanan. Hanya nasi bungkus dengan lauk telor dadar dan sayur nangka. Tega sekali Rika memberikanku makanan murahan ini, sedangkan mereka pasti makan enak tadi sama Emak. 

 

"Minta maaf teruus! Apa gak bosan! Tadi Bu Marni nagih utang, sekarang aku juga harus makan pake lauk ini? Apa yang bisa kubanggakan darimu, Rika?" bentakku. Aku buru-buru menyuapkan nasi ke mulutku saat terdengar suara batuk dari kamar. Tadi Emak sudah tidur dan aku telah membangunkannya gara-gara membentak Rika. 

 

"Ada apa, Hadi? Kenapa marah-marah?" tanya Emak dengan kening berkerut. Ia duduk setelah Rika menyodorkan kursinya. 

 

"Gak ada apa-apa, Mak. Bang Hadi suka muji dengan nada tinggi. Biar romantis," balas Rika dengan cepat. Setiap aku memarahinya dan ketahuan Emak, dia akan membelaku dan berpura-pura tidak terjadi apapun. Dia pasti takut kalau mertuanya itu mengetahui sifat buruknya. Yang baik dari luar tidak menjamin bagus di dalam. 

 

"Aku sudah bosan menutupi kekurangannya, Mak. Dia bukan istri yang baik seperti yang Emak sangka. Dia sering ngutang di warung untuk keperluan sehari-hari, padahal uang belanja bulanannya sejuta setengah. Dia juga sampe ngangsur baju seharga dua ratus ribu. Sekarang, dia hanya memberiku makanan seperti ini. Buka mata hatimu, Mak. Dia tidak sesempurna yang orang kira," ujarku dengan lantang. Aku juga mengeluarkan catatan utang Rika sejak aku menikahinya tiga bulan lalu sampai kini.

 

Wajah Rika pucat dan matanya yang tadi menatapku tajam sambil menggeleng sudah menunduk tak berdaya. Makanya jangan terlalu bahagia! Bau busuk disimpan bagaimanapun akan tercium juga. 

 

"Benarkah begitu, Rika!" hardik Emak. Rasain. Kamu akan ditendang Emak yang bermulut pedas itu. Aku tersenyum miring saat melihat perempuan yang melahirkanku itu berdiri dari kursinya lalu mendekati menantunya. 

 

"Mak! Maafin Rika! Tolong jangan marah, Mak!" Rika memelas. Aku bertepuk tangan di bawah meja. Tak sabar melihat aksi orang tersayangku.

 

"Kenapa kamu tak jujur kalau uangmu dijatah, Rika? Harusnya kamu tak perlu membelikan Emak baju untuk undangan besok. Emak juga tak akan mengajakmu jalan-jalan. Maafkan anak Emak, sayang. Emak akan menghajarnya," ujar perempuan yang kini berbalik menghadapku.

 

Astaga! Aku bagai melempar bumerang dan kini balik menyerangku. 

 

"Aah! Sakit, Mak!" teriakku saat telunjuk dan jempol Emak menarik lalu memutar perutku. Hal yang biasa Emak lakukan sewaktu aku kecil jika berbuat salah. Hilang sudah harga diriku di depan istri yang selalu kubentak. Mungkin kedepannya, duniaku akan terbalik. Oh Tuhan! Tolong hambamu! 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Riri Rere
hahahha, lucu kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status