Aku mulai diserang rasa panik dan malu. Kuambil ponsel untuk menanyakan kembali merek susu kehamilan yang Emak maksud."Saya ini laki-laki asli dan murni, Bu. Istri saya yang sedang hamil dan Emak menyuruh membelikan ...." Suaraku mengambang karena mataku membaca pesan Rika. Aku terlambat membacanya karena begitu semangat melaksanakan perintah Emak yang lebih berpengalaman.[Bang, jangan lupa nama susunya pren@gen. Jangan bilang yang aneh-aneh]Astaga! Emak mengerjaiku. Teganya, teganya, teganya dikau, oh Emak. Aku mulai memasang wajah serius dan mendekat pada perempuan yang tadi."Saya ini waras, Bu. Jangan terlalu serius menjalani hidup ini. Saya memang suka bercanda. Maksud saya memang yang itu," ujarku tanpa senyum sambil menunjuk kotak susu yang tadi, agar terlihat tegas. Hey bibir! Tolong jangan ketawa!Aku m
"Kamu sudah sadar, Sayang? Mana yang sakit?" tanya Emak dengan mengulum senyum. Astaga! Emak selalu bisa menebak kepura-puraanku."Sayangku! Emak jahat," aduku pada Rika yang berdiri di sampingku. Sengaja kupeluk perutnya sambil melirik sang jagoan."Hmmm … moduus. Ayo kita pulang. Bawain semua belanjaan kita," titah Emak sembari menggandeng tangan kekasihku. Modus? Gapapa dong modusin istri sendiri, kecuali istri orang, ya kan? Harusnya aku yang menggandeng tangan istriku, Mak.Pemuda yang tadi disuruh Emak memberiku nafas buatan, menepuk-nepuk bahuku. "Sabar ya, Bro. Seorang mertua memang selalu membela putrinya," ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala."Jangan sok tahu! Gadis tua itu bukan mertua gue, tapi beliau emak gue, Bambaaaang," balasku kesal. Lelaki itu terperangah mata melotot ke arahku. Apa dia kesambet?
Kadang, kebahagiaan itu sesederhana ini. Memiliki Emak yang antik, eh unik dan juga istri yang baik hati. Seharian kerja, hilang semua penat karena melihat keduanya. Mereka tak akan pernah tergantikan.Aku terus saja bersiul dengan senyum terkembang mengingat kelakuan Emak. Dia selalu menjerumuskanku dalam jurang cinta menantunya. Sekarang aku benar-benar tidak bisa keluar dari jeratan cinta menantu kesayangan Emak. Sehari saja bekerja tanpa melihat Rika, rasanya hambar, tanpa rasa.[Abang udah sampe loh, Dek. Kamu tidak perlu khawatir. Abang akan jaga diri dengan baik]Kukirimkan pesan dari aplikasi warna hijau dan mengirim fotoku sedang bergaya di antara pohon sawit. Mana tahu Rika sudah merindukan suaminya ini. Lebih baik diantisipasi sebelum terjadi, ye kan? Aku tentu sudah memastikan keadaan aman dari mata manusia lain sebelum berfoto.Sebuah panggil
"Dek! Emak udah kasih kode tuh. Ayo servis abang, Dek!" ajakku dengan mata berkedip. Duh, anginnya kencang banget sih, sampai abunya masuk ke mataku. Ganggu pemandangan saja. Butiran debu zaman sekarang memang suka iri, tahu aja kalau aku sedang mandangi doi yang tersipu malu."Jangan dikucek, Bang. Nanti mata Abang bisa merah," larang Rika dan menarikku ke kamar. Aw, istriku tanpa aba-aba langsung membawa suaminya ke kamar kami yang sepi. Ya iyalah sepi, emangnya pasar?"Dek! Yang sabar dong! Kalau mata abang kelilipan begini, mana bisa memandangi wajah bidadariku dengan jelas," protesku, pura-pura keberatan. Kasih perhatian dong, Dek!"Kalau mata kena debu, masukkan muka Abang ke gayung ini. Buka matanya sampai tidak terasa perih lagi, Bang!" titahnya. Astaga! Kirain tadi mau langsung action. Tapi, ya sudahlah. Mungkin setelah ini dia akan kasih servis terbaik. Aku menghibur
Hari ini aku pulang sehabis sholat maghrib di mesjid terdekat. Aku termasuk pemasok sawit utama di sebuah pabrik kelapa sawit yang sangat jauh dari kampungku kalau naik angkot yang rusak, eh? Kurang kerjaan banget ya.Sore ini, anggota pabrik terlambat datang untuk menimbang dan mengangkut hasil panenku. Hanya uang secukupnya untuk membayar upah dan pegangan yang kuterima secara tunai, lainnya akan ditransfer ke rekeningku. Rekening bank ya, bukan rekening listrik atau rekening air.Hmmm. Bawa apa ya enaknya, biar mereka senang? Sepertinya gorengan Neng Mawar enak tuh kalau dimakan, tapi ngenes banget kalau cuma dihayalan.[Ayang Beb, abang beli gorengngan dulu, ya]Sebuah pesan untuk melaporkan keterlambatanku pulang sudah terkirim dan dibalas dengan emotikon lope lope. Sebelumnya, aku sudah melaporkan kalau akan pulang selepas maghrib karena ada k
"Ampun, Di!" teriak Emak saat aku berhasil mengejar dan menggelitikinya. Kirain tadi beneran ngambek permaisuriku, eh rupanya sedang sariawan. Pantas saja Rika malas ngomong. Emak yang telah mendorongku berbuat konyol. Kalau Rika beneran membelah dadaku, kasihan sekali parangnya. Dia digunakan untuk hal yang tak bermanfaat.Aku duduk di sebelah Emak dan mengatur nafas yang tak karuan karena senang bercampur jengkel. Emak banyak tingkah deh. Aku membantu Emak berdiri dan kembali ke meja makan dimana Rika sedang berdiri di samping kursinya. Kasihan istriku, wajahnya antara menangis dan meringis."Duduk, Mak!" titahku. Aku bergegas mengambil madu dan membantu mengoleskannya ke bibir istriku."Kalau Adek gak selera makan, abang aja yang kunyah, adek yang telan," godaku. Rika tersenyum tipis sedangkan Emak sampai terbatuk-batuk. Si gadis tua nyimak pembicaraan orang saja
Aku berjalan mengikuti kedua perempuan yang membuatku hampir kena perlakukan kekerasan dalam rumah tak bertangga. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan."Emak kirain penyakit pelit suami kamu kambuh dan membentak-bentakmu. Makanya emak khawatir saat mendengarmu sedang menangis. Tangis haru rupanya," ujar Emak diselingi tawa. Emak kepo banget sih. Padahal, Rika lagi nyaman-nyamannya dipelukanku. Gagal deh semua."Tumben masak cepat, Mak? Biasanya barengan sama menantunya? Apa karena Rika sariawan?" tanyaku. Emak memang baik pada istri dari anaknya ini. Selalu pengertian dengan kesusahan menantunya dan tahu juga cara menyusahkan anaknya. Emak tak berperikeanakan. Selalu menantu perempuannya yang benar. Nepotisme sesama kaum hawa."Ya, gapapa. Emak juga pernah muda. Kirain pagi ini kalian keramas, makanya Emak cepat masak. Kasihan kalau Rika kelaparan karena mandi kedinginan.
Aku merebahkan badan di atas ranjang, menghitung cicak-cicak di dinding sambil menunggu Rika dan Santo Sayang yang belum juga datang. Apa jalan macet atau dia nyasar? Ah, gak mungkin."Bang!" panggil Rika. Aku berdehem dan menepuk sisi ranjang agar dia duduk di sampingku."Bang!" sapanya lagi. Aku mengeryit dan menatap wajah seriusnya."Kalau memang Abang berniat mau nikah lagi sama Mak Eda, Rika gak keberatan kok," ujar Rika dengan ekspresi datar. Waduh, candaan Mak Eda malah diambil hati. Jarang loh istri nyuruh suami sendiri memadunya. Hmmm, dia belum tahu saja kalau istri kedua akan menguasai suami. Coba tawarin anak gadis, mungkin aku akan tolak juga, kalau gadis purbakala. Soalnya, Rika lah bunga paling menawan sejagat raya."Enggak, ah. Satu istri, satu Emak, satu adik perempuan saja sudah sering bikin keliyengan. Apalagi tambah istri lagi? Duh, ca