Share

Catching the moon (mengejar cinta Bulan)
Catching the moon (mengejar cinta Bulan)
Penulis: Iosha Lembayung

1. Petir di tengah hari

Meracik secangkir teh panas untuk sang ayah menjadi sebuah kewajiban bagi Wulan di kala sore menjelang. 

Menghabiskan waktu ditemani sebuah kipas yang terbuat dari anyaman bambu tipis dalam genggaman tangan kanannya, pak Bandi tersenyum menatap ke depan, dimana sawah hijau luas teebentang. Sawah milik keluarga yang turun temurun di wariskan kepada anak cucu mereka. 

Pak Bandi sebagai keturunan ketiga dari kakek buyutnya berhasil menjadikan sawah meluas dari yang hanya sehektar, kini beliau memiliki 3 hektar. Sukses dengan bisnis padinya, Pak Bandi tak pernah hidup berfoya-foya. Selalu mengajarkan putri-putrinya untuk delalu hidup sederhana. Dan pengajaran itu menjadikan kedua putrinya sebagai pribadi-pribadi yang matang. 

Santi dan Wulan. Dua putri Pak Bandi. Perempuan-perempuan cantik yang berwawasan dewasa. 

Santi, seorang wanita dewasa berusia 25 tahun, bekerja sebagai guru muda di salah satu sekolah menengah pertama kota kecil itu. Cantik, putih dan berpawakan tinggi. Santi menjadi kebanggaan pak Bandi, karena satu-satunya putri yang bekerja di bawah lembaga pemerintahan. 

Di kota kecil itu, pekerjaan sebagai seorang guru, sangat dihormati dan disegani. 

Wulan, perempuan mungil yang manis dan berpawakan kecil, putri bungsu Pak Bandi berusia selisih 5 tahun dengan saudara perempuannya. Gadis manis itu tidak bekerja di sebuah lembaga maupun kantor. Tapi sebagai pendiri usaha kecil yang memiliki keterampilan khusus dalam merangkai kain dan pernak perniknya menjadi sebuah hasil karya yang cantik dan memiliki nilai jual.

Pak Bandi tak pernah keberatan dengan apapun yang menjadi cita-cita kedua putrinya. Membebaskan mereka untuk memilih jalur masa depan masing-masing. Memberikan kebebasan semenjak mereka duduk di kelas menengah atas dan mengambil jurusan kuliah. Hanya mendukung mereka melalui finansial dan semangat.

Wulan menatap ayahnya yang tersenyum menatap ke depan ke hantaran sawah yang menghijau ikut tersenyum. Meletakkan secangkir teh dan tak lupa sepiring pisang goreng menemani. Pak Bandi yang menyadari kehadiran Wulan tersenyum semakin lebar melihat camilan kesukaannya. 

"Ah.. Pisang goreng. Kesukaan ayah ini." Celetuk Pak Bandi sembari mengambil satu buahpisang goreng dan menggigitnya. 

Wulan tersenyum lalu mengambil duduk di samping ayahnya. "Dari budhe yah..."

Pak Bandi menoleh, "oh ya? Kapan budhemu datang? Ayah tidak melihat kedatangannya."

"Tadi sewaktu ayah di kamar mandi. Budhe datang membawa pisang goreng kesukaan ayah, kebetulan pisang di belakang rumah budhe sudah matang jadi digoreng sekalian."

Wulan menyandarkan punggungnya ke belakang. Punggung kursi yang empuk sedikit membantu mengurangi rasa pegal karena seharian mengajari anak-anak yang kursus membuat pernak pernik kain. Melelahkan tapi menyenangkan. 

Pak Bandi menghentikan kunyahannya lalu menoleh ke arah Wulan dan bertanya, "tadi budhemu ada bilang sesuatu?" 

Wulan menoleh sambil menggeleng, "nggak ada yah."

Terlihat memikirkan sesuatu, Pak Bandi menggelengkan kepalanya. "Ah, tidak ada. Nanti juga kamu tahu kok."

"Ada apa sih yah? Hal pentingkah?"

Meneruskan kunyahannya dengan perlahan, Pak Bandi tetap menggelengkan kepalanya. "Nanti saja."

Mendengus perlahan, Wulan memperlihatkan cemberutnya. Kesal karena menyadari ayahnya memiliki sebuah rahasia. Tapi bukan Wulan namanya jika tidak bisa membuka tabir yang disembunyikan. 

"Ayah bisa saja. Bicara nanti ataupun sekarang kan sama saja. Sama anak sendiri pakai rahasia-rahasiaan. Gak asik ayah ah. Wulan masuk aja kalo gitu." Gerutu Wulan.

Pak Bandi tergelak melihat putri bungsunya menunjukkan rasa tak suka karena dirinya merahasiakan sesuatu. Dan dia selalu luluh ketika putri-putrinya menunjukkan cemberut di wajah. Karena semakin menambah kegemasan sehingga tak sanggup menutupi apapun dari mereka.

"Sudah-sudah. Sudah umur berapa kamu masih main cemberutan gitu." Gelak tawa Pak Bandi terdengar sambil menepuk kepala Wulan. Wulan yang mendengarnya seketika tersenyum lebar. Berhasil!

"Jadi... Kemarin budhemu bicara ke ayah waktu mengantar nasi ke sawah. Dia bilang kalo ada yang mau melamar mbakyumu."

Binar mata Wulan terlihat, bahagia karena mendengar ada yang ingin melamar kakaknya. Pernikahan adalah kebahagiaan.

"Oh ya? Siapa yah? Wulan ikut senang. Eh, tapi tunggu, ayah harus melihat dulu calon suami mbak Santi itu gimana. Jangan asal diterima ya yah... "

Pak Bandi menggelengkan kepalanya perlahan, "ayah tahu siapa laki-laki itu. Jangan khawatir. Dia laki-laki yang baik dan masa depannya cerah. Ayah yakin kalo mbakyumu menikah dengan laki-laki ini pasti merasakan kebahagiaan."

"Wah.. Bagus dong yah. Siapa yah? Terus mbak Santi udah tau belum kalo ada yang mau melamar?" Antusias Wulan membuat Pak Bandi tergelak. 

"Sudah. Tadi malam ayah sudah bicara sama mbakyumu perihal rencana lamaran itu. Tapi mbakyumu masih belum memberikan jawaban. Ayah bilang akan memberikan waktu untuknya memikirkan hal besar ini." 

Wulan mengangguk mengerti. Tapi rasa penasarannya masih juga belum hilang. 

"Tapi yah... Siapa laki-laki yang mau melamar mbak Santi?"

Menghabiskan gigitan terakhir dan menyeruput tehnya yang mulai menghangat, Pak Bandi menatap putrinya.

"Langit. Putra pak Priyadi yang kerja di bank itu." 

Rasa penasaran yang semula menggelayuti benaknya kini berubah menjadi petir yang menggelegar di tengah hari. Tanpa hujan, tak ada mendung. Tapi petir menyambar mengagetkan insan yang mendengarnya. Serupa petasan yang dibakar di tengah malam dan mengagetkan setiap orang yang tengah tertidur pulas. 

Wulan tak bisa membayangkan sepucat apa wajahnya saat mendengar nama yang keluar dari bibir ayahnya. Langit. Langit Nusantara.

"Langit?" Desisnya.

Pak Bandi yang kemudian menatap sawahnya tak menyadari sepucat apa wajah putrinya saat ini. Hanya menganggukkan kepalanya perlahan dan senyuman terkembang di wajahnya. 

"Iya. Ayah sangat setuju kalo mbakyumu menikah dengan laki-laki itu. Langit adalah pria yang baik selain wajahnya yang tampan. Pekerjaannya juga bagus. Ayah merasa dia sangat cocok untuk mbakyumu. Dan ayah juga sangat yakin kalo dia bisa membahagiakan mbakyumu nanti."

"Kamu... Juga ikut bahagia dan senang mendengarnya kan Wul? Kalo menurut kamu, Langit cocok apa gak buat mbakyumu?" Tanya pak Bandi tanpa menoleh sedikitpun ke arah Wulan.

Wulan menatap nanar wajah ayahnya yang terlihat bahagia. Setitik bening meluncur dari bola matanya yang indah. Ketika menyadarinya, Wulan segera menyeka dan menundukkan kepalanya menyembunyikan sedih dan kecewa yang teramat sangat sakit di hatinya. 

"Cocok. Mereka sangat serasi yah. Wulan bahagia kalo ayah juga bahagia dengan pernikahan mereka."

"Ayah tau.. Kamu pasti juga memiliki perasaan yang sama dengan ayah."

Wulan menganggukkan kepalanya cepat lalu berdiri dari tempatnya, "maaf yah, Wulan ke dalam dulu. Lupa mematikan air."

Pak Bandi menganggukkan kepala sambil masih menatap ke depan. Hamparan hijau di sana terlihat lebih hijau dari sebelumnya. Entah karena memang matahari menyinarinya dengan baik sehingga menjadikan warna daunnya terlihat cantik atau karena hatinya yang merekah bahagia karena baru saja menceritakan kabar baik mengenai putri sulungnya. 

Hatinya membuncah gembira mendengar penuturan putri bungsunya yang memiliki pendapat sama mengenai calon menantunya. Kini hanya tinggal mendengar keputusan putri sulungnya yang ia yakini tak akan jauh dari yang ia percayai.

Sementara di balik pintu kamarnya, Wulan menutup bibirnya erat-erat sehingga suara tangisan yang menyayat tak terdengar hingga ke telinga ayahnya. Cukup ia sendiri yang mendengar teriakan hati kecilnya yang meratap sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status