Wulan membasuh tubuhnya dengan air yang sebenarnya segar namun terasa dingin di tubuhnya. Sangat dingin hingga membuat dirinya menggigil. Meriang. Sepertinya Wulan merasa tubuhnya sedikit meriang.
Cepat-cepat menyelesaikan kegiatan mandi sorenya yang sedikit terlambat, Wulan segera memakai pakaian ganti yang tadi dibawanya. Kurang hangat, masih terasa dingin. Batinnya.
Menyampirkan handuk berbulu halus warna merah tua di samping kamar mandi, Wulan segera meninggalkan tempat itu dan bergegas memasuki kamarnya. Melihat sekeliling sembara berjalan, masih sepi. Tatapannya tertuju keluar dimana sang ayah masih setia duduk menikmati sorenya yang bahagia, hati Wulan meratap.
Tak memedulikan apapun, Wulan bergegas memasuki kamar dan membuka selimut tebalnya. Meringkuk di bawah selimut sambil memejamkan mata. Terasa semakin dingin. Teringat bagaimana ia menghabiskan sorenya dengan tangis. Mata berurai air yang mengalir deras tanpa bisa dicegah. Wulan semakin membenamkan wajahnya hingga tak terlihat dari luar dan berusaha memejamkan mata semakin erat. Berharap segera tertidur dan melupakan sakit yang semakin terasa melilit lalu terbangun dan melupakan segalanya. Seolah hanya mimpi buruk.
Dalam tidurnya yang dalam, Wulan terbayang sosok seseorang yang membuat hatinya menghangat. Langit.
Pertemuan pertama dengan laki-laki itu begitu membekas. Di hari keduanya bertemu dan berkenalan, di saat itulah Wulan merasakan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Semudah itu? Iya, semudah itu. Karena Langit adalah sosok pria yang sangat mudah dicintai.
Tutur bicaranya yang lembut, senyuman yang semakin memancarkan aura ketampanan dirinya dan laku sopan yang terlihat membuat Wulan jatuh ketika laki-laki itu mengulurkan tangan dan menyebut namanya, Langit. Langit Nusantara.
Tanpa sadar Wulan mengurai senyum dalam tidurnya yang dalam.
Siang itu Wulan mengantarkan seorang murid kursusnya yang tiba-tiba sakit dalam kelas. Saat akan membelokkan sepeda matic, tanpa sengaja Wulan menabrak seseorang. "Astaga!" Pekiknya.
Gadis kecil yang diboncengnya terkejut dan hampir jatuh kalau saja kecepatan Wulan sedikit kencang. Tapi karena memang jalan yang dilalui keduanya cukup kecil, sehingga Wulan pun melajukan sepeda maticnya dengan perlahan. Dan tanpa sengaja Wulan menabrak seseorang yang sedang berjalan tepat di tikungan tajam, dimana titik pandang terhalang oleh dinding.
"Kakak, kakak tidak apa-apa?" Tanya gadis kecil itu melihat Wulan yang bersusah payah menahan sepeda motornya agar tak terguling. Wulan yang terkejut segera menoleh ke belakang, melihat keadaan anak didiknya. Gadis kecil itu sedang sakit dan akan bertambah sakit kalo dibiarkan terjatuh.
"Kamu... Kamu tidak apa-apa?" Tanya Wulan terengah dan menatapi seluruh tubuh gadis kecil dibelakangnya. Gadis itu menggeleng lalu perlahan menuruni sepeda. Wulan panik dan bergegas menyangga sepeda dengan kedu kaki lalu saat dilihatnya gadis kecil itu turun dengan baik, ia pun segera turun dari sepeda dan menyangganya.
"Kak, aku turun disini saja, itu rumahku." Kata gadis kecil itu sambil menunjuk rumah kecil berpagar hijau tepat didepan keduanya. Sudah dekat, pikir Wulan. Wulan mengangguk beberapa kali.
"Ya sudah, sepeda kakak biar diparkir disini saja, ayo kakak antar pulang." Ujar Wulan sambil menggandeng tangan mungilnya.
Gadis kecil itu bergeming, Wulan menaikkan alisnya, "kenapa? Ada yang sakit Lela?" Tanyanya kemudian.
Dengan jemarinya yang kecil, gadis kecil itu, Lela menunjuk ke depan. Dimana seorang pria tengah berusaha memunguti kertas yang bertebaran disekitarnya. Seketika sadar, Wulan teringat dengan orang yang ditabraknya. Membelalakkan mata, Wulan menyadari kesalahannya.
"Ya ampun! Maaf... Maaf... Ya ampun jadi berserakan gini. Maaf ya mas... Maaf..." Seru Wulan sambil membantu kertas yang berserakan itu. Lela ditempatnya tertawa geli melihat gurunya yang tengah panik.
Pria itu menatap sepintas ke arah Wulan dan melanjutkan kegiatannya. Wulan membantunya merapikan kertas-kertas yang terlihat seperti data-data seseorang.
"Maaf mas, tadi gak sengaja. Bener-bener gak lihat kalo ada orang didepan saya. Mas nya ada yang sakit gak? Tunggu saya ya, saya mau ngantar anak didik saya dulu pulang ke rumahnya terus ngantar mas nya ke rumah sakit." Cerocos Wulan tanoa melihat pria yang kini tengah berdiri menatapnya menunggu Wulan merapikan kertas-kertas kerja miliknya. Gadis itu bahkan tak menatap ke arah wajahnya saat menanyakan keadaan dirinya. Dan entah kenapa, segala bentuk tingkah laku Wulan terlihat menggemaskan di matanya. Dia hanya tertawa kecil melihat Wulan yang panik tapi berbicara tanpa menatap lawan bicaranya.
"Mas... Masnya gak papa kan? Duh, mas nya kok diem saja sih? Mas nya sakit gi...gi?" Dan ketika kata terakhir itu terucap, saat itulah Wulan mengangkat wajah dan menatap ke arah pria didepannya. Tanpa kata, tanpa suara. Wulan terpesona. Pria itu tersenyum melihat dirinya, sementara Wulan ternganga. Tampan. Batinnya menjerit.
"Saya tidak apa-apa." Jawab singkat pria itu. Suaranya lembut. Wulan meleleh.
"Terima kasih atas perhatiannya, tapi tidak apa-apa kok. Kecuali kertas yang berserakan itu, keadaan saya baik-baik saja." Lanjut pria itu. Wulan semakin tenggelam didalam suaranya yang lemah lembut.
"Kak... Kak... Kertasnya.." Wulan merasakan sesuatu mengguncang hati dan tubuhnya. Gerakan kasar semakin terasa dan menyadarkan Wulan yang terpesona hingga tak mampu berkata-kata. Dengan masih tanpa sadar, Wulan menoleh ke samping. Dimana ada Lela tengah menarik-narik ujung bajunya dan menunjuk ke arah sesuatu yang ada dalam genggamannya. Wulan mengikuti arah tunjuk Lela dan menyadari kalo kertas-kertas yang tadi dipungutnya masih berada di dalam genggamannya. Sementara pria didepannya tengah mengulurkan tangan meminta kertas-kertas itu. Ya ampun! Malu!
"Eh oh, iya iya. Ini mas kertas-kertasnya. Ma-maaf ya, saya benar-benar gak sengaja tadi. I-ini kertasnya. Tolong dicek dulu takutnya ada yang tertinggal." Malu merayapi hati Wulan. Menundukkan wajah sambil mengulurkan kertas untuk menutupi merah merona di kedua pipi.
Pria itu tersenyum, senang melihat merah merayapi wajah gadis manis didepannya. Malu itu membuat gadis manis ini semakin terlihat menggemaskan.
Setelah mengambil kertas data dalam genggaman Wulan, pria itu mengulurkan tangan tak mau kehilangan kesempatan.
"Langit."
Wulan menatap uluran tangan pria didepannya dan mengerjap tak mengerti. Lalu mengangkat wajah dan menunjukkan raut muka bertanya.
"Nama saya Langit. Kalo mbaknya takut ada apa-apa sama saya, mbaknya bisa tanya di satpam kantor bank BSA depan sana. Atau langsung mencari saya untuk tahu keadaan saya." Wulan mencoba mencerna kata-kata pria didepannya. Tapi kemudian menyadari dan menyambut uluran tangan pria tampan itu.
"Wulan, nama saya Wulan. Pasti. Saya pasti mencari mas Langit untuk mengetahui keadaan karena biasanya pas kejadian emang gak terasa apa-apa, tapi setelah kejadian baru terasa sakitnya dimana."
Langit mengembangkan senyumnya lebar.
"Baik, saya tunggu besok pas jam makan siang di depan kantor saya. Maaf, saya harus segera kembali ke kantor karena sudah agak terlambat. Saya tunggu besok mbak Wulan." Langit melepaskan tangan halus di genggamannya dengan berat hati. Tapi kesempatan tak hanya berhenti disini. Besok ia akan bertemu kembali.
Wulan menatap kepergian Langit dengan pandangan tak mengerti. Besok? Makan siang? Janjian?! Seketika wajah Wulan terasa seperti terbakar.
Wulan yang masih termangu ditempatnya berdiri merasakan goncangan di tubuhnya dan melihat Lela yang berdiri disampingnya tengah menunggu.
"Eh ya ampun, kakak sampai lupa. Ayo kakak antarkan pulang." Celetuk Wulan dan bergegas mengantarkan anak didiknya pulang.
Pertemuan singkat itu membuat debar Wulan tak menentu. Hingga malam tiba, ia tak mampu tertidur pulas karena teringat paras tampan pria yang siang tadi dikenalnya.
"Apa yang kau lakukan?!" jerit tertahan Wulan terdengar. Dengan kuat mendorong tubuh Langit yang mengukungnya. Terkejut mendapatkan perlakuan yang kelewat batas dari Langit. Gemetar, seluruh tubuh Wulan bergetar. Menahan marah dari kejutan yang tak terduga dari laki-laki yang telah mengisi hatinya.Langit menatap datar. Menatap bagaimana Wulan menutupi bibirnya dengan erat. "Kau yang membuatku melakukan itu," ucapnya datar."Ap-apa salahku?" Getar dalam suara Wulan terdengar. Debar jantungnya bertalu dan tak bisa menutupi gugup yang ia rasakan saat ini. Ciuman menggebu itu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Bagaimana bisa itu menjadi salahnya? Dimana salahnya?Langit mendekati Wulan perlahan, spontan Wulan beringsut menjauh. Membawa tubuhnya hingga terpojok di sudut ranjang. Langit semakin mendekat."Jangan mendekat! Ja-jangan mendekat. At-atau aku berteriak agar semua orang tahu kelakuanmu padaku," ancam Wulan dengan suara mengecil. Dirinya tak bisa
“Cak, Pak Abdul telpon. Kita harus kembali ke proyek.”Bayu memasuki ruangan setelah baru saja menerima panggilan dari ponselnya.Cakra mengangguk menatap Bayu. Mengerti.Berpamitan pada Wulan, Bayu mendahului Cakra meninggalkan ruangan itu.“Aku pergi dulu, nanti aku jemput. Kita pulang bersama,” kata Cakra menatap Wulan sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.“Tunggu, kita baru hanya akan saling mengenal bukan jadian. Jadi bukan tugasmu menjemputku,” panggil Wulan saat Cakra hampir mencapai pintu.Cakra berhenti lalu menoleh. Menatap Wulan yang menatapnya tak suka.“Aku tahu. Bagiku bukan tugas, tapi salah satu jalan untukku lebih mengenalmu. Kamu keberatan? Seingatku, kamu yang menanyakan kehadiranku lebih dulu pada keluargamu saat pertama kali membuka mata setelah kecelakaan. Lalu, ketika mereka menyadari kalau kamu pulang sendirian tanpa aku, bagaimana tanggapan mereka menurutmu? Apalagi, kondisimu dalam
Semuanya terdiam.Budhe Sri dan Dirga bertatapan.Santi membulatkan mata hingga menutup mulut saking terkejutnya.Dan Langit, menatap tajam. Wulan memandangi satu persatu kehadiran orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Namun terhenti tepat lurus tepat di belakang Santi. Dimana Langit berdiri. Keduanya bertatapan cukup lama namun tak ada yang menyadari karena mereka sibuk dengan pikiran masing. "Cakra?" Tanya Dirga membuka keheningan, tak lupa kerutan dahinya menyertai. Santi menoleh ke arah Dirga. Menganggukkan kepala skeptis, seolah mereka salah mendengar. Wulan menoleh ke arah Dirga dan mengangguk khitmad. "Cakra.""Kenapa Cakra? Ada hubungan apa dengannya?" Tanya Budhe Sri perlahan. Bingung.Menelan ludah, jantung berdegup kencang. Kebohongan pertama kali yang ia ungkapkan, membuat sekujur tubuhnya mendingin. Menundukkan kepala dan mengucap lirih, "emm … kami … mencoba … untuk … saling … me … ngenal lebih … dekat." Wulan memejamkan
“Aku gak papa. Wul … “ ucap Tyas serak dan terkadang terdengar batuk kecil dari seberang telepon.Wulan menghembuskan napas kesal. Susah sekali bicara dengan sahabatnya itu. Pagi itu saat mendapati Rumah Hias belum terbuka, Wulan menghubungi Tyas. Biasanya gadis itu yang lebih dulu datang. Dan karena kemarin lusa Tyas berencana pergi membeli beberapa kain untuk dikerjakan hari ini, Wulan berpikir bahwa gadis itu masih berada di toko langganan mereka. Dan jika itu benar, maka Wulan akan menyusulnya.Dan sekarang di temukan jawaban kenapa Tyas belum datang. Bukan karena tengah memilih kain maupun masih di perjalanan, melainkan karena gadis itu masih meringkuk di atas ranjangnya dan mengatakan bahwa ia bangun kesiangan.Dari suaranya yang diselingi dengan batuk kecil sudah membuktikan bahwa Tyas sedang tidak enak badan. “Sudah, ndak usah membantah lagi. Kamu istirahat saja hari ini, biar aku yang mencari kainnya. Harus
Fiuh … Wulan bernapas lega.Memandang kepergian Langit dan Bayu dengan perasaan yang bermacam-macam rasanya.Khawatir, cemas, takut dan hal-hal yang membuatnya was-was.Bagaimana jika Bayu tidak percaya dengan keterangan Langit?Bagaimana jika Bayu mencurigai keduanya karena berbicara di tengah suasana yang suram?Apakah Bayu sempat mendengar percakapan antara dirinya dan Langit?Wulan merasakan kekalutan yang amat sangat. Dadanya terasa berat dan sesak. Wulan ingin melepaskan diri dari keras kepala Langit yang terus mengejar dirinya. Karena sangat menyakitkan jika ia harus bersaing dengan kakak kandungnya sendiri.Kakak kandung yang sudah seperti ibu baginya.Mendongakkan kepala dan memandang ke arah Bulan yang malam itu bersinar terang.Berharap semuanya akan baik–baik saja.Plok! Plok! Plok!Suara tepukan tangan terdengar keras.Sontak Wulan memutar kepala dan mencari
Santi merasakan jantungnya berdebar dengan kencang dan keras. Perlahan menyusurkan tangannya menyentuh dadanya yang berdetak keras. Menunduk malu karena debar jantungnya tak mampu ia sembunyikan dengan baik. Harapnya hanya satu, si lawan bicara tak mendengarnya. Karena itu memalukan. Langit dan Santi duduk di halaman belakang. Dimana di sana terdapat dua buah kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja bundar. Di depan mereka ada taman kecil yang dimana beberapa tanaman bunga ditanam dalam pot yang ditata dan disusun melingkar. Santi tersenyum malu menundukkan kepalanya. Karena baru pertama kalinya Langit mengajaknya bicara. Bahkan Langit dengan berani meminta ijin bapaknya hanya untuk mengajak Santi bicara. Santi merasa tersanjung karenanya."Ehem, San … ada yang ingin aku bicarakan," Langit membuka kalimatnya.Ia menoleh menatap Santi yang menganggukkan kepala kecil sembari menunduk malu. Bahkan Langit bisa melihat senyum malu gadis itu. Memejamkan