Share

3. Pertemuan Kedua.

Siang itu Wulan mematut dirinya didepan cermin berkali-kali. Menunjukkan pandangan tak puas atas penampilannya. Berkali-kali berputar, menarik dan menghembuskan nafas keras. Sebuah ketidakpuasan terlihat di wajahnya.

Tyas yang setiap harinya menemani Wulan di Rumah Hias tempat gadis itu menyalurkan bakat, mengernyitkan dahi. Tidak seperti kebiasaan Wulan. Gadis manis itu sangat jarang bersolek. Tapi siang ini, ada perubahan yang sangat kentara.

"Mau kemana Lan? Tumben amat."

Wulan melirik Tyas sesaat lalu kembali mematut dan menyempurnakan riasan. Sedikit pemerah bibir untuk bibirnya yang sudah merah. Memberikan sentuhan glossy sehingga bibirnya terlihat bercahaya. 

"Gimana Yas? Udah pantas belum sih keluar begini?" Tanya Wulan yang masih meragukan penampilannya. Harus sempurna, batinnya.

"Maksudnya Lan? Apanya yang pantas dan gak pantas?" Tyas masih belum mengerti ke arah mana pertanyaan Wulan. 

"Ya pantas apa gak penampilan aku kek gini? Gitu aja masak gak paham sih?" Gerutu Wulan. 

"Maksudku, emangnya mau kemana kok pake acara pantas atau gaknya? Kamu tuh ya, udah cantik. Mau pake apapun juga bagus, pantas, cantik. Kan aku juga heran nanyanya kamu kek gitu? Emang mau kemana sih Lan?" Tyas berjalan mendekat ke arah Wulan yang sedang menyisir rambutnya yang panjang. Memandangi gadis didepannya dari atas ke bawah dan sebaliknya. 

Wulan terhenti, menatap Tyas dari pantulan kaca. Wajahnya merona.

Tyas melototkan mata dan berdecak, "ish! Ni anak. Ditanyain malah diem aja. Pake acara malu-malu lagi. Mau kencan ya?"

Wulan tak menjawab, memilin ujung rambutnya, ia tersenyum malu. "Mau ketemu orang."

"Hah?! Siapa? Cowok ya. Ganteng gak? Kenalin dong kalo ganteng jangan disimpen sendiri." Tyas mencekal lengan Wulan lembut dan mengayunkannya, seolah anak kecil yang sedang meminta mainan keapda orangtuanya. Dengan tatapan berbinar, Tyas berharap jawaban positif dari Wulan. 

"Hush! Apanya yang dikenalin? Aku tuh mau lihat kondisi orang yang kemarin aku tabrak. Masak iya aku lepas tanggungjawab gitu. Kalo keadaannya ternyata sebaik kemarin, ya syukur. Tapi kalo ada apa-apa, amit-amit, mudah-mudahan gak sih. Ya aku harus tanggung jawab. Setidaknya aku kasih kompensasi atas kesalahan aku kemarin."

Tyas memanyunkan bibirnya, kecewa. 

"Ya udah deh, sana pergi. Tapi, kalo lihat kamu dandan begini cantiknya, pasti cowok ya yang kamu tabrak kemarin?" Selidik Tyas mengecilkan pandangannya.

Wulan tersenyum menerawang membayangkan wajah tampan Langit dan menganggukkan kepala. 

"Tuh kan. Pasti ganteng deh. Aku ikut dong." Tyas kembali merajuk.

Wulan melepaskan genggaman tangan Tyas dan menggelengkan kepalanya. 

"Gak bisa dong Yas. Ntar kalo bu Hesti datang ambil pesanan, gak ada orang di sini."

"Ya kan bisa sekalian berangkat diantar ke tempat bu Hesti Lan. Ikut ya.." 

Wulan menggelengkan kepala sekali lagi. "Gak bisa. Udah ah gak usah merajuk gitu, gak cocok buat kamu yang udah umur 20 tahun lebih. Ntar aja merajuknya ke cowok kamu."

Berdecak sembari melepaskan tangan dari lingkaran lengan Wulan, Tyas menggerutu. "Pelit ih si Wulan. Ya udah sana berangkat."

Wulan tersenyum lebar melihat sikap kekanakan sahabatnya dan menggelengkan kepala karena geli. Berjalan menuju tas ransel kecil yang tergeletak di atas sofa, Wulan mengambilnya dan meraih kontak sepeda motor yang terletak di saku samping. Melambaikan tangan, Wulan melangkah pergi meninggalkan Rumah Hiasnya. 

Melaju dengan kecepatan sedang, Wulan merasakan debaran yang cukup kencang. Semakin dekat dengan tempat tujuan, semakin cepat pula ritme debar jantungnya. Membuat Wulan menjadi semakin gugup. Menelan ludah, Wulan berdo'a dalam hati, semoga penampilannya hari ini tidak memalukan. 

Tibalah ia di kantor bank yang ditujunya. Memarkir sepeda matic tepat di jajaran parkiran yang tersedia, Wulan mendekati pos satpam yang dekat dari tempatnya berhenti. Dengan senyum canggungnya, Wulan menanyakan sosok Langit pada pak satpam. Pak Satpam pun mengerti dan mengantar Wulan ke tempat Langit berada. 

Tok.tok.tok

Pintu sebuah ruangan didalam kantor yang terlihat sedikit lengang itu diketuk oleh pak satpam. Terdengar suara dari dalam dan pak satpam pun membukanya. Sementara Wulan masih setia berdiri di belakang.

"Silakan mbak, disuruh masuk sama pak Langit." Ucap pak satpam mempersilakan Wulan untuk memasuki ruangan. Wulan tersenyum dan mengangguk.

Berhenti sebentar tepat di depan pintu, Wulan berusaha menormalkan debar jantungnya yang terus bertalu. Tak lama kemudian, Wulan pun memutar gagang pintu dan melihat sosok Langit yang tengah duduk di balik meja sedang melakukan sesuatu dengan tumpukan kertas tepat didepannya.

Langit mendongak seketika saat mendengar pintu ruangannya dibuka dan tersenyum lebar kala melihat sosok Wulan tepat berada di depannya. 

"Hai, masuk. Tunggu sebentar, aku merapikan ini dulu. Setelah itu kita keluar."

Wulan tersenyum dan mengangguk. Melangkah perlahan memasuki ruangan seolah takut menimbulkan suara yang mengganggu.

Ia duduk di sofa yang tersedia sambil menunggu Langit menyelesaikan pekerjaannya. Terlihat begitu mempesona. Wulan terpana. Langit dengan sebingkai kacamata yang bertengger di atas hidungnya, membuat pria itu terlihat semakin dewasa dan berwibawa. 

"Akhirnya... Yuk, kita keluar makan." Kata Langit sambil melepas kacamatanya dan menyimpannya dalam sebuah kotak persegi.

Wulan tersenyum mengangguk, berdiri dan melangkah mengikuti.

Langit melangkah dengan tegap dan Wulan merasa kerdil karenanya. Ia berjalan sedikit ke belakang tak berani menyamai dan menjajari langkah Langit yang begitu tegas. Ditambah setiap kali seseorang melintas, tak lupa menyapa. Wulan menduga bahwa Langit adalah seorang atasan.

"Kamu mau kemana?" Tanya Langit saat melihat Wulan hendak berbelok ke kanan.

Wulan menunjuk lokasi parkir. Langit tertawa kecil. 

"Kamu mau naik sepeda motormu dan aku naik mobilku? Gitu?"

"Hah? Eh, gimana..." 

"Wulan, kita berangkat sama-sama ya, kita naik mobilku. Sepeda motormu ditinggal disini saja." 

Wulan menatap Langit dan tersenyum malu, baru mengerti dengan maksud Langit.

'Ya ampun, kenapa jadi kikuk begini.' Batinnya.

"Ah iya, oke." Jawab Wulan pendek.

"Mau makan apa?" Tanya Langit saat keduanya telah berada di dalam mobil.

Wulan menoleh ke arah Langit dan menerawang, tapi sama sekali tak ada bayangan makanan yang ingin ia makan saat ini. Entahlah, dia tidak tau. 

"Kalau kamu, ingin makan apa?" Tanya Wulan.

Langit tergelak, pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan.

"Eemm... Apa ya, aku ingin makan... Nasi padang?" Tanya Langit mengambang.

Wulan menganggukkan kepalanya, "boleh. Ayo."

Langit menatap Wulan dengan keraguan, "gak papa? Makan nasi padang? Nasi?" 

Wulan mengangguk lagi dan kali ini lebih pasti. "Iya. Ayo."

Langit tertawa kecil melihat kemantapan di jawaban Wulan. "Oke, ayo."

Entah apa yang dipikirkan Langit. Tapi sepertinya laki-laki itu hanya asal saja menyebut nama makanannya tadi. Seperti bukan yang memang ia inginkan. Tak mau memikirkan lebih lanjut lagi, Wulan mengedikkan bahunya. Acuh.

Langit menatap Wulan penuh pesona. Melihat bagaimana gadis itu memakan makanannya tanpa sungkan bahkan terlihat bertambah kelezatan makanan yang sedang disantapnya. Membuat air liur Langit pun mengalir.

Wulan yang menyadari tatapan Langit pun menghentikan kegiatannya. Meneguk es teh tawar dan membersihkan sisa makanan di bibirnya, Wulan memulai pembicaraan.

"Kenapa? Ada yang aneh?"

Langit tersenyum lalu menyuap sesendok nasi dan memotong daging diatas piringnya. Menyantapnya seolah itu adalah makanan terlezat baginya. Padahal nasi padang sudah hampir menjadi menu kesehariannya. Tapi entah kenapa hari ini, terasa lebih lezat dari sebelumnya. Aneh.

"Nggak ada. Cuma... Gak nyangka aja kalo kamu mau diajak makan nasi padang. Biasanya..."

"Biasanya? Siapa yang kamu maksud? Ada gitu yang bisa nolak nasi padang selezat ini?" Tanya Wulan polos. 

Langit semakin tertawa melihat sikap Wulan.

"Maksud aku, biasanya cewek tuh kalo diajak makan yang berbau nasi-nasian apalagi nasi padang suka nolak. Mereka lebih memilih makanan yang sedikit ringan, apalagi kalo pergi makannya sama cowok." 

Wulan mulai paham. Langit sedang membandingkan dirinya dengan cewek lain yang entah siapa. 

"Oh.. Begitu. Tapi maaf, sepertinya itu tidak berlaku untukku. Aku sangat menghargai makanan, apapun itu. Tidak akan menolak. Apalagi harus milih-milih. Karena ayahku mengajarkan, apapun yang diberikan orang pada kita apalagi berupa makanan ya harus diterima. Karena makanan itu rejeki. Gak boleh nolak rejeki. Pamali."

Langit mengerti dan semakin kagum dengan pendirian kuat Wulan. Memang beda dengan perempuan yang selama ini bersamanya. Setiap kali diajak makan, pilihan mereka kalo bukan salad ya steak. Sementara, itu tidak berlaku bagi perempuan manis didepannya. 

"Kalo gitu, kapan-kapan kita makan siang bareng lagi ya. Gak papa kan?" Tanya Langit penuh harap. 

Wulan mengangguk dan tersenyum lebar, "boleh."

Setelah hari itu, keduanya tak pernah bersua. Janji makan siang bersama pun terlupakan. Langit sibuk dengan pekerjaannya, sementara Wulan sibuk membagi waktu antara mengajar kursus dan mengerjakan pesanan. 

Sampai suatu hari Wulan mengetahui bahwa Langit sebenarnya adalah tetangga desanya sendiri. Mereka tinggal berdekatan. Wulan semakin bahagia. Kesempatan untuk keduanya bertemu semakin lebar. Tapi saat itu ketika terakhir kali mereka bertemu secara tak sengaja, keduanya melupakan satu hal. Tidak bertukar nomor ponsel. Tapi Wulan meyakini, walopun keduanya tak saling memiliki nomor ponsel masing-masing, jika berjodoh mereka pasti bertemu. 

Perasaan Wulan berkembang semakin cepat. Cinta pada pandangan pertamanya kala itu digenggamnya erat. Wulan selalu yakin, bahwa Langit adalah pria yang diciptakan untuknya. 

Hingga hari ini, kepercayaan itupun pecah terbelah tak terbentuk. Langit bukan untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status