“Me-ni-kah, Tuan?” tanya Celine tergagap. Ia tidak menyangka mendapatkan pernyataan seperti itu.“Iya, kenapa? Kamu tidak berkenan?”“Apa ini perintah?”“Maksudmu?”“Apa ini perintah untuk menebus semua hutang-hutangku kepada tuan, seperti yang dilakukan juragan tanah itu?” tanya Celine polos.“Tidak. Bukan seperti itu, Celine. Aku ingin menikahimu karena punya rasa sama kamu. A-aku mencintaimu," ucap Aksara dengan mengkukuhkan segala keberanian. Ia tak menyangka mengucapkan rasa itu begitu susah. Lidah terasa kaku, tidak bisa diajak berkompromi. Celine terkekeh, ditutupnya tawa kikuk itu dengan telapak tangan.“Apa ada yang lucu, Celine? Kamu mentertawakan saya?”“Bukan seperti itu, Tuan.”“Apa jawaban kamu atas semua perasaan saya? Kamu pasti beranggapan saya tua-tua tidak tahu diri.”“Saya juga tidak berfikiran seperti itu.”“Lalu? Apa jawaban untuk pertanyaan saya?”“Pertanyaan yang mana dulu, Tuan? Pertanyaan untuk menikah dengan tuan atau pernyataan cinta tuan.”“Memang jawaban
“Ini makanan apa, Tuan?” tanya Celine yang tampak memperhatikan makanan di atas meja.“Kamu nggak pernah makan?”Celine menggeleng, “Lihatnya saja baru sekarang.”“Ini namanya steak, Sayang.”“Sayang?’ tanya Celine kaget. Ia terkejut dengan nama sebutan baru dari Tuannya.“Iya, apa saya tidak boleh memanggil itu? Hari ini kita jadian. Kita resmi jadi kekasih.” Aksara merogoh saku celananya, kini ia menampakkan sebuah kotak bludru berwarna merah yang telah lama dibelinya. Cincin tersemat di dalamnya, sebagai pengikat cinta yang telah timbul di hati keduanya. Aksara dulunya berpikir, kalau cincin itu tak akan tersemat di jari mana pun. Namun kali ini, ia sudah menemukan wanita itu. Wanita yang berhasil meluluhkan hatinya yang beku. Wanita yang berhasil mengembalikan hatinya yang mati.“Itu apa, Tuan? Untuk siapa?”Aksara menarik tangan Celine, membuka benda tersebut dan menyematkan cincin emas putih itu ke jari manis gadis di depannya, “Cincin ini sebagai bukti kalau kamu adalah milik s
“Sepuluh atau sebelas anak rasanya cukup.”“Apa, Tuan?” tanya Celine dengan membelalakkan mata. Aksara terkekeh melihat reaksi wanitanya. “Saya hanya bercanda.”“Syukurlah! Jika itu perintah, mau tidak mau saya harus melakukannya.”“Tapi saya rasa memang seru. Apalagi kalau laki-laki semua, bisa jadi kesebelasan.”“Lebih seru lagi kalau ada perempuannya, Tuan. Saya bisa kuncir dan mainin rambut mereka.”Aksara tersenyum tipis menatap wajah Celine yang kemerah-merahan. Meskipun tanpa blush on, gadis itu terlihat merona sejak pertama kali berjumpa. Lebih tepatnya ketika Aksara menyatakan perasaannya.“Itu artinya kamu bersedia? Kenapa mesti nunggu sih, Celine? Bukannya kamu sudah punya kartu tanda penduduk? Kita bisa menikah secepatnya.” Lelaki itu terlihat kesal.“Iya, Tuan. Maaf.”“Boleh tahu alasannya kenapa?”“Saya masih takut untuk begituan, Tuan,” ucap gadis itu polos.“Begituan apa?”“Itu, hubungan itu.”Aksara terkekeh, “Kamu itu lucu. Andai kamu tahu rasanya pasti bakal nagih.
“Celine, dengar tidak? Saya kesusahan mengaitkan kancing lengan ini,” ucap Aksara.“Baik, Tuan.” Gadis itu mulai memegang lengan baju Tuannya, di mana tubuhnya mendadak gemetar. Apalagi ketika ia menyadari manik mata Aksara mengarah ke wajah lugunya. Celine salah tingkah. Hal yang terasa mudah justru malah begitu lama. Beberapa kali ia memasukkan kancing itu ke lubangnya, sekali, dua kali belum juga berhasil. Mbok Atun cukup tahu diri, ia sengaja kembali ke dapur dan mencari kesibukan di sana, membiarkan tuan dan sahabat seprofesi itu untuk berduaan.“Apa susah?”Celine tersenyum. Disuguhi senyum Aksara yang indah itu membuat fokusnya justru menghilang.“Sayang, kamu deg-degan?” tanya Aksara dengan tangan kanan yang memegang lengan gadisnya. Sudut bibirnya tertarik sambil memperhatikan wajah lucu kekasihnya, “Tangan kamu dingin sekali.”“Maaf, Tuan. Ini sudah bisa,” ucap Celine malu yang langsung menarik lengannya. Ia menundukkan pandangan, bingung harus berbuat apa. Sebelumnya, ia
Aksara kembali menarik sudut bibirnya. Lagi-lagi sikap konyol Celine mampu menghadirkan tawa di wajah kakunya.“Apa-apaan sih, Sayang? Kenapa ada Mpok Nori dan Susi Similikiti segala?” Lelaki itu memijat pelipisnya.Kesehariannya bekerja dengan jadwalnya yang penuh sedikit reflek dengan hiburan kecil kekasihnya.Aksara : Sayang, apa-apaan itu? Kenapa ada nama tetanggamu. Harusnya nama kita.Aksara mengirim pesan dengan bualan mautnya. Ia bak anak ABG yang tengah kasmaran dan baru merasakan indahnya cinta.Celine : Nama kita?Aksara : Ya, dalam buku undangan.Celine yang tengah bermain bersama Denim tersenyum membaca balasan Chat dari Tuannya.Aksara : Kenapa gak dibalas, SayangAksara : Bekal makanku juga nasi sisaCeline : Bukan sisa, Tuan. Kan sudah Celine bilang, itu nasinya baru. Ikannya juga sudah digoreng.Tak membalas, Aksara langsung melayangkan panggilan. Ia rindu wajah lugu Celine, juga suaranya yang ceria.“Tuan,” ucap Celine sambil menunduk, tak berani menatap wajah Aksara
Celine duduk lemah di sofa tamu. Ia masih menunggui tuannya sekaligus kekasihnya itu. Beberapa kali ia melihat jam yang tertulis di ponselnya, sambil terus menatap pintu. “Tuan, kenapa lama sekali?” tanya gadis itu bermonolog. Celine: Tuan pulang jam berapa? Kenapa belum pulang sampai sekarang?kalimat yang sudah tertulis panjang itu akhirnya kembali dihapus, tidak jadi dikirim. Ia takut akan mengganggu aktivitas Aksara. Apalagi jika pekerjaannya berantakan karena chatnya yang seakan menunggu. Masih dengan posisi menyandarkan punggungnya di sofa, ia terlelap.“Tuan, kenapa pulang telat?” tanya Celine sambil menerima tas kerja tuannya. “Itu karena ....” Lelaki itu menggantungkan kalimat, hingga di detik kemudian seorang wanita cantik itu mendekat ke arahnya, “Karena istri saya sudah kembali. Saya tidak butuh kamu lagi, Celine.”“Tuan,” ucapnya kaget dengan jantung yang berdetak tak karuan. Pelupuk matanya membuka, dan kini ia mendapati Tuannya tengah duduk di sebelahnya.“Wanita t
“Selamat pagi, Dek Denim. Semoga hari ini menyenangkan,” ucap Celine sambil membuka gorden kamar anak asuhnya. Ia duduk di bibir ranjang sambil menatap lelaki kecil yang tengah mengucek matanya. “Dek Denim masih ngantuk?” tanya Celine menatap riang bocah kecil itu.“Kita mandi dulu yuk! Tante ada kapal untuk peneman main Dek Denim,” ucap celine sambil menunjukkan kapal kertas buatannya.“Yuk, kita mengarungi samudra bersama kapal ini.”“Apal.”“Iya, Dek Denim sudah pernah naik kapal gak? Kalau tante sih sudah, kapal kampung. Manggilnya gethek.”Gadis itu tersenyum sendiri mengingat kenangan masa kecilnya. Desanya yang terkena banjir parah, membuatnya bermain gethek untuk sampai ke tempat pengungsian. Hal yang tak pernah dilupakan oleh wanita cantik berambut panjang itu. “Apal.”“Iya, Dek Denim pengen naik kapal nggak? Tante sih iya. Tapi, mau kemana juga naik kapal.”Lagi-lagi gadis itu tersenyum sendiri. “Bulan madunya ke Bali, jadinya kita bisa naik kapal.” Suara dengan nada khas
“Kamu maunya yang gimana, Sayang?” tanya Aksara sedikit berbisik. Ia menyadari kalau Celine dari tadi menolak pilihan petugas butik karena nominal yang tertera.“Kita ganti tempat saja, Tuan. Di sini modelnya gak bagus,” ucap gadis itu masih terus berdusta.“Hm, gitu ya?”“Iya, Tuan.”“Maaf ya, calon istri saya tidak suka dengan model di sini.”“Baik, Pak, mohon maaf jika pelayanannya kurang menyenangkan.”Aksara bangkit dengan mengambil Denim dari pangkuan Celine. Ia memegang tangan kekasihnya untuk ke luar dari tempat tersebut, “Ya pelayanan kalian buruk sekali,” ucap Aksara ketika melewati meraka.Kedua petugas hanya terdiam tak berani komentar. Sedangkan Celine kini menoleh menatap Tuannya.“Apa Tuan marah?”“Ya, tentu.”“Mohon maaf ya, Tuan. Saya tidak bermaksud untuk membuat Tuan emosi.”“Bukan karena itu, Sayang. Saya marah karena mereka menganggap kamu sebagai adik atau anak. Entahlah. Emangnya, mereka pikir saya sudah tua banget apa? Hingga tak layak menikah sama kamu. Buti