“Kamu bisa apa?” tanya Tuan Aksara dengan nada meninggi. Dilihatnya gadis belia di depannya yang tengah memilin ujung baju ketakutan. Aksara tak menyangka, jika asisten rumah tangga yang bertahun-tahun menjadi bawahannya merekomendasikan gadis kecil itu untuk menjadi babysitter anaknya. Bukan hanya itu, gadis yang dianggap ingusan itu juga harus mengurus semua isi rumah.
“Saya bisa memandikan anak bayi, menyuapinya makan dan memenuhi kebutuhannya, Tuan. Saya juga sudah terbiasa memasak dan membersihkan rumah.”“Gadis kecil sepertimu?” Lelaki itu terkekeh.Celine menduduk.“Siapa namamu? Celine?”“Iya, Tuan.”“Berapa usiamu?”“Tujuh belas tahun, Tuan.”“Apa hubunganmu dengan Mbok Atun.”“Saya keponakannya, Tuan.”“Pantas dia mendatangkan kamu dan langsung ijin mendadak. Ternyata kamu masih saudara.” Lelaki itu menggeleng dengan mengumpat kasar mantan asisten rumah tangganya.“Maaf, sebelumnya, Tuan. Apa saya diterima bekerja di sini?” tanya Celine dengan nada ketakutan.“Kamu masih sangat muda. Apa kamu yakin bisa mengurus anak saya yang baru beranjak dua tahun.”“Saya yakin bisa, Tuan. Saya sudah terbiasa mengurus adik-adik saya sedari kecil.”“Adik kamu beda dengan anak saya. Dia itu pewaris perusahaan Aksara. Perusahaan besar.”“Maaf, Tuan.”“Saya tak ada pilihan lain untuk tak menerimamu. Bekerjalah! Tapi ingat, goresan sedikit di tubuh anak saya, maka kamu akan tahu akibanya.”“Baik, Tuan.”Lelaki itu menoleh ke jam mahal yang melingkar di lengannya. Urusan penting yang menantinya, tak memberi waktu lama untuk mewancarai babysitter baru itu. Hanya menunjuk kamar jagoannya dan berlalu begitu saja. “Maaf, Tuan.”“Ada apa lagi?” tanya Aksara geram. Ia menghentikan langkah kakinya dengan wajah yang ditolehkan ke belakang. Duda berumur tiga puluh tahunan itu mulai kehilangan kesabaran.“Maaf, Tuan. Saya hanya mau memberikan bekal ini untuk Tuan. Kata Simbok ….”“Gak perlu kamu jelaskan,” ucap Aksara yang mengambil kotak makan itu dan langsung berlalu. Celine memegang dadanya. Detakan jantungnya tak berirama seperti biasa. Bertemu Tuan Aksara, membuat aliran darah itu berpacu lebih kencang. Apalagi ketika bentakan itu terdengar. Tubuhnya menegang, kesusahan untuk bergerak. Bukan mau Celine bekerja di umur sedini ini. Keadaan memaksanya untuk melakukan hal tersebut. Tidak ada pilihan lain. Kedua adiknya yang kini mulai memasuki bangku sekolah, mulai membutuhkan dana berlebih. Ia tak bisa jika terus-terusan menjadi buruh cuci yang upahnya tak seberapa. ***Di sisi lain, Aksara mulai tak tenang. Bagaimana mungkin ia menyerahkan anaknya kepada gadis ingusan yang tak tahu apa-apa itu? Apalagi ia tak melihat kinerja gadis itu sedetik pun. Di sela meetingnya, ia terus menatap jam di lengannya, rasanya tak etis jika meninggalkan pertemuan penting dengan kolega bisnisnya itu begitu saja. Segera ia meninggalkan ruangan ketika pertemuan itu usai. Dirogohnya ponsel di sakunya dan disambungkan panggilan itu ke telfon rumah. Ya, ia lupa menanyai nomor telfon gadis asing itu.“Selamat pagi," ucap dari sebrang sana.“Ini saya.”“Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”“Apa Denim sudah bangun?”“Sudah, Tuan.”“Apa dia menangis?”“Tidak, Tuan.”“Apa dia sudah mandi?”“Sudah, Tuan.”“Apa ia sudah makan?”“Sudah, Tuan.”“Kamu itu robot atau apa? kenapa diajak ngomong dari tadi jawabnya hanya iya dan tidak,” ucap Aksara kesal. “Berapa nomor telfonmu!”Celine mengucapkan 12 digit nomornya yang hafal di luar kepala. Nomor yang masuk di ponsel jadul miliknya. Ponsel melegenda. “Saya telfon ke ponselmu saja!”“Baik, Tuan.”Tak selang lama bunyi tulalit itu terdengar. Ponsel berbentuk kubus dengan warna hitam itu menampakkan cahaya kuning agak gelap. Salah satu sisi layarnya memang sudah retak.“Kenapa gak bisa dihubungi via Whatshap? Saya mau video call dengan anak saya.”“Maaf, Tuan. Saya tidak punya aplikasi itu.”“Segera instal!”Tak ada jawaban yang terdengar di telinga Aksara. Sedangkan Celine kini membisu bingung berucap.“Kenapa? Tidak punya paket data? Rumah saya ada jaringan wifinya. Pakai saja paswordnya nama anak saya.”“Bukan seperti itu, Tuan.”“Lalu apa?”“Ponsel saya tidak bisa mengakses whatshap. Tidak terdapat jaringan internet.”“Ya Tuhan. Merek ponselmu apa? Tipe apa?”Celine menyebutkan sebuah merek ponsel terkenal pada jamannya. Merk hp yang kini sepi pasaran dan sepi peminat. Bahkan bisa dibilang merk tersebut mulai kehilangan kepercayaan konsumennya. Tak lagi menjadi alat komunikasi canggih seperti beberapa merk lainnya yang terus mengikuti arus jaman.“Buang ponselmu! Tak guna.”“A-apa, Tuan?” tanya Celine gugup. Ia tak berani menolak permintaan tuan barunya. Namun, ia juga sayang dengan benda elektronik yang selalu jadi rebutan kedua adiknya itu. Ya, adik Celine yang mulai duduk di bangku sekolah SD itu memang sering berebut untuk memainkan permainan legend. Permainan cacing yang akan kalah ketika kepala itu menyenggol tubuhnya.“Itu tadi lihatin saya.” Aksara tersenyum smirk, “Kamu itutidak pandai berdusta, Sayang. Terlihat dari matau,” ucapnya kembali.“Iya-iya, Mas. Celine ngaku kalau lihatin Mas Aksara.”Wanita itu masih menunduk tidak berani menatap. Diingatkan tentang hal sepertiini membuatnya malu.“Kenapa tidak jujur dari awal? Lagian, gak ada masalah kankalau kamu pandangin saya. Saya juga sering melakukan itu ke kamu. Karena sayasayang sama kamu.” Aksara memegang kedua pipi istriya dan mendongakkan wajahitu untuk menatapnya, “Kita sudah menikah, Sayang. Untuk apa harus malumengakuinya? Kita seorang suami istri, bukan masa pacaran lagi.”Celine tersenyum. Wajahnya masih memerak bak buah tomatlayak panen.“Ini tuh yang buat saya semakin sayang sama kamu. Wajahmulangsung memerah ketika tersipu.”“Tuh kan digodain mulu.”“Saya tampan kan sampai kamu lihatin terud tadi?”“Iya-iya mas Aksara itu tampan.”Pria itu puas dengan jawaban istrinya. Lalu melepas bajukerja dan celana yang dipakainya. Terlihat tela
“Kenapa sayang? Sah-sah saja kan, sepasang suami istri beli baju dinas seperti itu?”“Mas Aksara emang agak lain, kalau Denim bertanya tentang baju kurang bahan itu bagaimana?”“Saya berniat hanya makan berdua bersama kamu. Sekalian kita kencan. Kamu tahu, kita sudah lama sekali tidak berjalan berdua.”“Ngak-nggak, Celine gak setuju. Denim dan Danisa harus ikut, Mas.”“Sayang ... Danisa masih terlalu kecil. Gak bagus terkena angin malam.”“Ya sudah, kalau begitu Denim saja yang ikut.”“Ok lah. Dari pada kamu menolak makan malam bersama saya.”“Mas Aksara tuh yang aneh-aneh. Di rumah saja, makanan dan lauk banyak, tapi tetap saja ingin makan di luar.”“Ganti suasana saja, Sayang.” Aksara membubuhkan kecupan di dahi istrinya. Tak lupa di kedua pipi berisi yang terasa candu untuk pria bertubuh kekar itu. “See you, Baby. I love you.”“I lop you too, Mas,” ucap Celine dengan logatnya yang terasa kaku berbicara bahasa Inggris. *** Celine kembali berjibaku dengan aktifitasnya seperti biasa
“Kenapa diam saja, Sayang? Kenapa pernyataan cinta saya tidak dibalas.”“Memang wajib dijawab kah, Mas? Bukankah itu bukan pertanyaan.”“Ya terserah.” Aksara mengacak rambut istrinya. Mendaratkan kecupan di pipi tembem itu dan bergegas masuk ke kamar mandi. Tidak selang lamasuara nyanyian dengan suara fals terdengar di ruangan tersebut. Seakanmenyiratkan betapa bahagianya Aksara saat ini. Lirik-lirik nyanyian cinta keluar dari bibirnya dengan semangat.Sementara itu, Celine terus tersenyum kala mengingatmalamnya bersama suami. Ia seperti orang tidak waras yang kadang kala berbicarasendiri. Umur pernikahan yang tidak dibilang muda lagi, nyatanya tidakmengurangi kadar cinta keduanya. Celine menyiapkan pakaian untuk Aksarabekerja. Ia memilah puluhan pakaian yang menggantung di almari.“Ambil yang mana ya?’ tanyanya bermonolog sambil menyibaksatu persatu pakaian itu.Hingga tiba-tiba, ia dikejutkan dengan lengan yang melingkardi perutnya dari belakang. Aksara memeluknya dengan kepala yang
“Papa mau main?”“Mas Aksara mau main?” tanya Celine dan Denim dalam waktu bersamaan.“Iya. Kenapa?” tanya Aksara menoleh ke arah istri dan anaknya bergantian.Wanita berambut pendek itu pun tertawa lebar. Begitu pun dengan anak prianya yang tengah memegang pistol mainan. “Door ... door ... door ... kejar aku papa! Papa jadi Pak Ladushing.” Denim mengarahkan pistolnya ke arah Aksara lalu berlari menjauh. Sedangkan Aksara menoleh ke arah istrinya dengan menaikkan alis hitamnya. Paham dengan maksud Aksara, Celine tersenyum dan memberikan pistol yang dipegangnya. “Pak Ladushing itu polisi India. Tokoh di serial Shiva. Orangnya gendut, hitam, kumisnya tebal.”Aksara memegang kumisnya yang tumbuh tipis. “Apa saya seburuk itu?”Celine meringis.“Apa maksud senyummu adalah iya?’ tanyanya kembali.“Ya gak lah, Mas. Mas Aksara itu ganteng.”“Apa? saya tidak mendengarnya, Sayang. Sepertinya indra pendengaran saya kembali bermasalah,” ucap aksara yang memang sengaja menggoda. Kalimat yang teru
“Mas, jangan yang itu. Untuk apa?” protes Celine ketika suaminya mengambil sebuah boneka besar berwarna merah muda.“Ya untuk main Danisa lah, Sayang.”Celine menggeleng. Ia mengembalikan boneka yang dipegang suaminya ke tempat semula.“Kenapa sih, Sayang? Apa karena harganya? Uang saya lebih dari cukup untuk membeli boneka itu bersama pabriknya.”“Mas, Danisa itu baru berumur beberapa hari. Belum pahamboneka sebesar itu. Mending ini saja,” ucap Celine sambil memperlihatkan sebuahmainan bayi dengan pegangan dan suara gemerincing.“Suara ini untuk menstimulus indra pendengarannya.” Celinemembunyikan suara mainan itu dengan menggerakkan ke kanan dan kiri.“Pegangan ini untuk menstimulus indra perabanya, Mas. Bonekajuga bisa. Tapi, gak sebesar itu.” Celine tersenyum. “Bukan karena Mas Aksarapunya banyak uang, terus membeli sesuatu yang tidak penting. Itu namanyamemubadzirkan sesuatu, Mas. Bisa menghambat rejeki.”Aksara tersenyum tipis. Kalimat dari istrinya yang panjangkali lebar dan te
“Pak, ini tidak mungkin,” ucap Celine masih tidak percaya.Ia mencubit lengannya sendiri berharap apa yang terjadi saat ini adalah mimpi.“Mbak Celine ada apa?” tanya Asih- babysitternya Danisa. Iamendapati wajah nonanya seputih susu.“Mbak Asih, tolong panggilkan Pak Baskoro,” ucap Celinedengan pandangan kosong. Wanita cantik itu dihantui rasa bersalah. Semua jauhdari apa yang dimimpikan. Semalam Aksara menelfon kalau ia hendak memberikejutan. Nyatanya, kejutan itu berhasil membuat Celine terperangah. Kejutanyang menggoreskan luka yang menganga.Seorang pria berlari menuju kamar Danisa. Baskoroterengah-engah. Ia menatap sendu ke arah majikannya, “Bu, Pak Aksarakecelakaan.”Entah, kabar itu didengar Baskoro oleh siapa. Meyakinkantentang kabar buruk yang tidak ingin didengar oleh Celine.Wanita itu masih tidak merespon. Hanya butiran air beningyang ke luar dari sudut matanya.Hening. Semua dalam kebisuan. Terkecuali Danisa yang kinimenangis dengan suara yang melengking.“Saya ijin ke lo