Share

6. Air Comberan

"Hei, tunggu dulu! Kurang ajar!" pekik Nayra begitu melihat kondisi baju yang tengah ia pakai.

Nayra menggerutu, tidak mungkin ia kembali lagi ke rumah demi mengganti pakaiannya. Nayra sudah mencapai lebih dari separuh perjalanannya.

Tak ingin membuang waktu, Nayra segera mengejar mobil itu.

"Heh, tanggung jawab!"

Namun percuma, si pengendara tidak bisa mendengar teriakan Nayra. Mobil mewah warna hitam berkilat tersebut tetap melaju kencang meninggalkan Nayra yang berlari dengan napas terengah-engah.

Nayra sempat melihat nomor plat mobil yang menyebabkan kesialannya pagi ini. Ia tahu jika si pemilik pasti orang kaya karena beberapa kombinasi angka dan huruf di plat mobil itu membentuk sebuah nama.

"Aldo?" Nayra mencoba menebak nama sang pemilik.

Nayra tetap memacu kakinya cepat, sehingga ia beruntung dapat mencapai perusahaan saat ini.

Begitu mendekat, Nayra terperanjat. Kedua mata dengan iris warna cokelatnya membulat sempurna. Tampak mobil dan plat nomor yang sama terparkir rapi di depan perusahaan yang ia tuju.

Adrenalinnya semakin terpacu. Amarahnya meledak mengingat setelan blazer formal dan roknya ternoda oleh karena kecerobohan si pengemudi.

Netra Nayra menangkap pintu mobil yang mulai terbuka, hingga seseorang turun dari sana.

Kekesalan Nayra yang membuncah membuatnya melipat lengan blazer, kemudian maju mendekat ke arah pria tersebut secara mantap.

"Heh, kamu!"

Pria dengan tubuh tinggi tegap itu menoleh ke arah Nayra. Tatapannya dingin.

"Iya, kamu!" Nayra berderap mendekat. Tepat di depan pria tersebut ia berkacak pinggang.

"Lihat, apa yang sudah kamu lakukan kepadaku! Hih, dasar!" Nayra mengumpat tanpa bisa ia kendalikan sembari menunjuk pakaiannya.

"Dengar ya, untung aku lagi buru-buru! Kalau nggak, aku akan memperpanjang urusan kita!"

Pria di hadapannya hanya bergeming. Kedua matanya yang sipit dan tajam bagai elang, ia seret ke pakaian Nayra dari atas ke bawah, lantas ke paras Nayra yang sudah memerah.

Tapi sedetik berikutnya, pria itu justru pergi begitu saja dengan ekspresi tak acuh. Mulut Nayra menganga lebar sewaktu diabaikan begitu saja. Ia lalu menoleh melihat kepergian pria tersebut dengan berdecak kesal.

Nayra menghentakkan kaki kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam gedung perusahaan besar tersebut.

Sejak pertama kali melangkah masuk, Nayra langsung menjadi pusat perhatian semua orang di sana. Beberapa karyawan memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kebanyakan dari mereka melihat ke arah pakaian formal miliknya yang sangat kotor.

Nayra menunduk. "Sabar, Nay, sabar. Tahan dulu," gumamnya lirih dengan bibir yang terkatup rapat.

Setelah berhasil melewati lobi bawah yang ramai juga lift yang selalu penuh, akhirnya ia berhasil mencapai lantai 25.

Nayra menghela napas lega. Suasana di lantai 25 lengang tak seperti kesibukan di bagian kantor lain. Hanya ada satu atau dua orang yang Nayra jumpai. Hal ini dikarenakan lantai 25 hanya diisi oleh orang-orang eksklusif saja.

Nayra berjalan sembari sesekali berjinjit sewaktu ia mulai dekat ke ruang presdir. Sementara kedua matanya sedang mencari-cari apakah pimpinannya itu sudah tiba.

Mendapati bahwa seseorang yang ia cari tidak berada di tempat, Nayra membuka pintu lalu meletakkan tasnya di meja di dekat pintu kaca tersebut.

Ia duduk, kemudian memandang ke arah meja berikut kursi putar dengan sandaran tinggi yang masih kosong.

Ada rasa penasaran seperti apa sebenarnya sosok bos yang akan satu ruangan dengannya. Mengingat pembicaraan yang dilakukan beberapa karyawan kemaren siang membuatnya merinding lagi.

Tak berapa lama, pintu kembali didorong keras oleh seorang pria paruh baya bermata sipit hingga membuat lamunan Nayra buyar.

Ia segera bangkit berdiri lalu membungkukkan badan ketika melihat pria itu memandangnya sekilas. Pria tersebut lantas mengelilingi ruangan dengan dua tangan yang disatukan di belakang punggungnya.

"Selamat pagi, Pak," ucap Nayra ramah.

Pria tersebut menoleh, lalu mengangguk sembari mengulum senyum.

"Ah, iya. Selamat pagi juga. Duduklah, santai saja kalau denganku."

Pria yang berusia sekitar 52 tahun itu mengayunkan tangannya agar Nayra duduk di kursinya lagi. Setelah Nayra amati, pawakan pria paruh baya di depannya terbilang masih gagah di usianya.

Dengan ragu, kedua mata Nayra diam-diam mengamati pria yang kini duduk di belakang meja. Pria tersebut terlihat mengangkat beberapa dokumen kemudian memeriksanya satu per satu.

Sepertinya apa yang dikatakan pegawai tentang orang ini salah. Batin Nayra bergemuruh.

Dipandang dari segi manapun, pria di hadapannya sekarang sangat terlihat bijaksana dan dermawan. Beliau tidak tampak seperti orang yang menyebalkan, angkuh, atau apapun yang beberapa karyawan lain sebutkan.

Lalu, pintu kaca di dekatnya didorong lagi oleh seorang pria lain. Ternyata orang itu adalah Arvin, pria yang melakukan wawancara kerja dengannya kemarin.

Pria berkacamata itu sontak menoleh singkat ke arahnya, lalu tertuju kepada si pria bermata sipit di belakang meja besar.

Nayra mengangguk dan menyunggingkan senyuman segan ke arah Arvin. Arvin sempat membalas senyumnya juga.

Nayra mengamati Arvin yang menghadap pria tadi dengan membungkukkan badan.

"Ah, ternyata Pak Nugroho ada di sini. Bapak sedang dicari karena rapat akan dimulai sebentar lagi." Arvin melirik jam tangan di lengannya. "Lebih tepatnya kurang 10 menit lagi, Pak," ujarnya mengoreksi.

Seketika Nayra terpegun. Ternyata pria yang duduk di belakang meja itu bukanlah presdir yang sesungguhnya. Perasaan Nayra semakin kalut.

Bagaimana ini? Lalu yang disebut Pak Nugroho ini siapa?

Arvin dan Nugroho kemudian berjalan beriringan keluar. Saat hendak mencapai pintu, Arvin teringat oleh Nayra.

"Oh iya, Nayra, setelah ini kamu nyusul di ruang rapat ya. Sudah tahu kan? Rapat akan dimulai 10 menit lagi. Jadi kamu harus mendampingi Bapak Alfredo."

Nayra mengangguk pelan, tak bisa menyembunyikan rasa shocknya.

"Dan, Nayra. Beliau ini adalah Bapak Nugroho Atmajaya, ayah Pak Alfredo sekaligus pemilik perusahaan ini."

Nayra tercekat. Ia lekas berjingkat kemudian membungkukkan badan lagi.

"Mohon maaf, Pak, tadi saya tidak mengenali Bapak," paparnya dengan wajah pucat.

Nugroho melambaikan tangan dengan tawa mengiringinya. Bahkan membuat kedua matanya hanya membentuk dua garis lurus saking sipitnya.

"Ah, iya. Tidak apa-apa, santai saja."

Nugroho tak sengaja memperhatikan blazer yang tengah dipakai Nayra, lalu seketika menghentikan tawanya.

"Sebaiknya kamu bersihkan dulu baju kamu, ya. Ini rapat penting para pemegang saham eksekutif. Aku takut kamu kena marah Alfredo."

Mendengar Nugroho bicara, Arvin mengalihkan pandangannya ke arah pakaian yang dikenakan Nayra. Setelahnya, ia mengangguk samar dengan ekspresi sungkan.

Nayra terkejut lantas segera mengiyakan.

"Baik, Pak. Setelah ini saya izin ke kamar kecil dulu."

Nayra memaksakan senyumnya. Ia memandang kedua punggung pria tersebut dengan tatapan nanar. Kemudian perhatiannya tertuju ke arah bajunya kembali.

"Astaga, kacau! Ini semua gara-gara orang itu!"

Membayangkan wajah pria pagi tadi yang dingin dan datar membuat Nayra geram lagi.

Nayra lekas beranjak ke toilet terdekat. Ia mencuci blazernya dengan hati dongkol. Sewaktu bercermin di depan wastafel, ia kembali menggerutu karena noda air comberan pagi tadi tetap membekas.

"Ini mah semakin jelas. Aduh, memalukan!" Nayra mendengus kesal.

Masih menatap cermin, Nayra mengambil napas dalam-dalam demi mengurangi rasa gugup. Ia merapikan rambutnya untuk yang terakhir kali, kemudian segera keluar menuju ruang rapat.

Begitu keluar dari toilet, perhatian Nayra tersita oleh beberapa pria yang terlihat berjalan cepat menuju ruang presdir di ujung lorong.

"Pak Aldo, Anda mau mengambil apa? Biar saya ambilkan saja," celetuk salah satu orang di barisan belakang. Sementara pria paling depan menatap lurus dengan gurat serius.

Nayra langsung membeku di tempat. Ia tercekat saat melihat pria tersebut. Apalagi saat pandangan pria itu tertumbuk tajam ke arahnya sekarang.

Bersambung..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status