"Hei, tunggu dulu! Kurang ajar!" pekik Nayra begitu melihat kondisi baju yang tengah ia pakai.
Nayra menggerutu, tidak mungkin ia kembali lagi ke rumah demi mengganti pakaiannya. Nayra sudah mencapai lebih dari separuh perjalanannya.
Tak ingin membuang waktu, Nayra segera mengejar mobil itu.
"Heh, tanggung jawab!"
Namun percuma, si pengendara tidak bisa mendengar teriakan Nayra. Mobil mewah warna hitam berkilat tersebut tetap melaju kencang meninggalkan Nayra yang berlari dengan napas terengah-engah.
Nayra sempat melihat nomor plat mobil yang menyebabkan kesialannya pagi ini. Ia tahu jika si pemilik pasti orang kaya karena beberapa kombinasi angka dan huruf di plat mobil itu membentuk sebuah nama.
"Aldo?" Nayra mencoba menebak nama sang pemilik.
Nayra tetap memacu kakinya cepat, sehingga ia beruntung dapat mencapai perusahaan saat ini.
Begitu mendekat, Nayra terperanjat. Kedua mata dengan iris warna cokelatnya membulat sempurna. Tampak mobil dan plat nomor yang sama terparkir rapi di depan perusahaan yang ia tuju.
Adrenalinnya semakin terpacu. Amarahnya meledak mengingat setelan blazer formal dan roknya ternoda oleh karena kecerobohan si pengemudi.
Netra Nayra menangkap pintu mobil yang mulai terbuka, hingga seseorang turun dari sana.
Kekesalan Nayra yang membuncah membuatnya melipat lengan blazer, kemudian maju mendekat ke arah pria tersebut secara mantap.
"Heh, kamu!"
Pria dengan tubuh tinggi tegap itu menoleh ke arah Nayra. Tatapannya dingin.
"Iya, kamu!" Nayra berderap mendekat. Tepat di depan pria tersebut ia berkacak pinggang.
"Lihat, apa yang sudah kamu lakukan kepadaku! Hih, dasar!" Nayra mengumpat tanpa bisa ia kendalikan sembari menunjuk pakaiannya.
"Dengar ya, untung aku lagi buru-buru! Kalau nggak, aku akan memperpanjang urusan kita!"
Pria di hadapannya hanya bergeming. Kedua matanya yang sipit dan tajam bagai elang, ia seret ke pakaian Nayra dari atas ke bawah, lantas ke paras Nayra yang sudah memerah.
Tapi sedetik berikutnya, pria itu justru pergi begitu saja dengan ekspresi tak acuh. Mulut Nayra menganga lebar sewaktu diabaikan begitu saja. Ia lalu menoleh melihat kepergian pria tersebut dengan berdecak kesal.
Nayra menghentakkan kaki kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam gedung perusahaan besar tersebut.
Sejak pertama kali melangkah masuk, Nayra langsung menjadi pusat perhatian semua orang di sana. Beberapa karyawan memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kebanyakan dari mereka melihat ke arah pakaian formal miliknya yang sangat kotor.
Nayra menunduk. "Sabar, Nay, sabar. Tahan dulu," gumamnya lirih dengan bibir yang terkatup rapat.
Setelah berhasil melewati lobi bawah yang ramai juga lift yang selalu penuh, akhirnya ia berhasil mencapai lantai 25.
Nayra menghela napas lega. Suasana di lantai 25 lengang tak seperti kesibukan di bagian kantor lain. Hanya ada satu atau dua orang yang Nayra jumpai. Hal ini dikarenakan lantai 25 hanya diisi oleh orang-orang eksklusif saja.
Nayra berjalan sembari sesekali berjinjit sewaktu ia mulai dekat ke ruang presdir. Sementara kedua matanya sedang mencari-cari apakah pimpinannya itu sudah tiba.
Mendapati bahwa seseorang yang ia cari tidak berada di tempat, Nayra membuka pintu lalu meletakkan tasnya di meja di dekat pintu kaca tersebut.
Ia duduk, kemudian memandang ke arah meja berikut kursi putar dengan sandaran tinggi yang masih kosong.
Ada rasa penasaran seperti apa sebenarnya sosok bos yang akan satu ruangan dengannya. Mengingat pembicaraan yang dilakukan beberapa karyawan kemaren siang membuatnya merinding lagi.
Tak berapa lama, pintu kembali didorong keras oleh seorang pria paruh baya bermata sipit hingga membuat lamunan Nayra buyar.
Ia segera bangkit berdiri lalu membungkukkan badan ketika melihat pria itu memandangnya sekilas. Pria tersebut lantas mengelilingi ruangan dengan dua tangan yang disatukan di belakang punggungnya.
"Selamat pagi, Pak," ucap Nayra ramah.
Pria tersebut menoleh, lalu mengangguk sembari mengulum senyum.
"Ah, iya. Selamat pagi juga. Duduklah, santai saja kalau denganku."
Pria yang berusia sekitar 52 tahun itu mengayunkan tangannya agar Nayra duduk di kursinya lagi. Setelah Nayra amati, pawakan pria paruh baya di depannya terbilang masih gagah di usianya.
Dengan ragu, kedua mata Nayra diam-diam mengamati pria yang kini duduk di belakang meja. Pria tersebut terlihat mengangkat beberapa dokumen kemudian memeriksanya satu per satu.
Sepertinya apa yang dikatakan pegawai tentang orang ini salah. Batin Nayra bergemuruh.
Dipandang dari segi manapun, pria di hadapannya sekarang sangat terlihat bijaksana dan dermawan. Beliau tidak tampak seperti orang yang menyebalkan, angkuh, atau apapun yang beberapa karyawan lain sebutkan.
Lalu, pintu kaca di dekatnya didorong lagi oleh seorang pria lain. Ternyata orang itu adalah Arvin, pria yang melakukan wawancara kerja dengannya kemarin.
Pria berkacamata itu sontak menoleh singkat ke arahnya, lalu tertuju kepada si pria bermata sipit di belakang meja besar.
Nayra mengangguk dan menyunggingkan senyuman segan ke arah Arvin. Arvin sempat membalas senyumnya juga.
Nayra mengamati Arvin yang menghadap pria tadi dengan membungkukkan badan.
"Ah, ternyata Pak Nugroho ada di sini. Bapak sedang dicari karena rapat akan dimulai sebentar lagi." Arvin melirik jam tangan di lengannya. "Lebih tepatnya kurang 10 menit lagi, Pak," ujarnya mengoreksi.
Seketika Nayra terpegun. Ternyata pria yang duduk di belakang meja itu bukanlah presdir yang sesungguhnya. Perasaan Nayra semakin kalut.
Bagaimana ini? Lalu yang disebut Pak Nugroho ini siapa?
Arvin dan Nugroho kemudian berjalan beriringan keluar. Saat hendak mencapai pintu, Arvin teringat oleh Nayra.
"Oh iya, Nayra, setelah ini kamu nyusul di ruang rapat ya. Sudah tahu kan? Rapat akan dimulai 10 menit lagi. Jadi kamu harus mendampingi Bapak Alfredo."
Nayra mengangguk pelan, tak bisa menyembunyikan rasa shocknya.
"Dan, Nayra. Beliau ini adalah Bapak Nugroho Atmajaya, ayah Pak Alfredo sekaligus pemilik perusahaan ini."
Nayra tercekat. Ia lekas berjingkat kemudian membungkukkan badan lagi.
"Mohon maaf, Pak, tadi saya tidak mengenali Bapak," paparnya dengan wajah pucat.
Nugroho melambaikan tangan dengan tawa mengiringinya. Bahkan membuat kedua matanya hanya membentuk dua garis lurus saking sipitnya.
"Ah, iya. Tidak apa-apa, santai saja."
Nugroho tak sengaja memperhatikan blazer yang tengah dipakai Nayra, lalu seketika menghentikan tawanya.
"Sebaiknya kamu bersihkan dulu baju kamu, ya. Ini rapat penting para pemegang saham eksekutif. Aku takut kamu kena marah Alfredo."
Mendengar Nugroho bicara, Arvin mengalihkan pandangannya ke arah pakaian yang dikenakan Nayra. Setelahnya, ia mengangguk samar dengan ekspresi sungkan.
Nayra terkejut lantas segera mengiyakan.
"Baik, Pak. Setelah ini saya izin ke kamar kecil dulu."
Nayra memaksakan senyumnya. Ia memandang kedua punggung pria tersebut dengan tatapan nanar. Kemudian perhatiannya tertuju ke arah bajunya kembali.
"Astaga, kacau! Ini semua gara-gara orang itu!"
Membayangkan wajah pria pagi tadi yang dingin dan datar membuat Nayra geram lagi.
Nayra lekas beranjak ke toilet terdekat. Ia mencuci blazernya dengan hati dongkol. Sewaktu bercermin di depan wastafel, ia kembali menggerutu karena noda air comberan pagi tadi tetap membekas.
"Ini mah semakin jelas. Aduh, memalukan!" Nayra mendengus kesal.
Masih menatap cermin, Nayra mengambil napas dalam-dalam demi mengurangi rasa gugup. Ia merapikan rambutnya untuk yang terakhir kali, kemudian segera keluar menuju ruang rapat.
Begitu keluar dari toilet, perhatian Nayra tersita oleh beberapa pria yang terlihat berjalan cepat menuju ruang presdir di ujung lorong.
"Pak Aldo, Anda mau mengambil apa? Biar saya ambilkan saja," celetuk salah satu orang di barisan belakang. Sementara pria paling depan menatap lurus dengan gurat serius.
Nayra langsung membeku di tempat. Ia tercekat saat melihat pria tersebut. Apalagi saat pandangan pria itu tertumbuk tajam ke arahnya sekarang.
Bersambung..
Nayra membeku di tempat. Tatapan pria itu seakan sanggup membunuhnya sekarang juga. Tubuhnya meremang lantas segera menyelinap kembali ke dalam toilet.Sementara Pria bernama Aldo beserta orang-orangnya terus berderap. Arvin yang berada jauh di belakang rombongan tersebut terlihat bingung. Ia hendak memanggil Nayra, namun seketika ia urungkan karena yang lainnya berlalu begitu cepat.Kini tangan Nayra mencengkeram tepi wastafel kuat. Kedua matanya mengerjap sambil mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.Nayra menggigit bibir bawahnya. Ia lalu mendongak dan memandang cermin. Di pantulan cermin itu, ia dapat melihat raut mukanya yang takut dan khawatir."Apa aku sudah gila?" Nayra bergerak gelisah. Ia lalu menuntun langkahnya ke sana ke mari dengan frustasi.Nayra mencoba menjernihkan pikirannya yang sedang keruh. "Sebentar. Aldo itu ternyata presdir di sini? Bukannya namanya Alfredo? Eh, Aldo, Alfredo…" gumamnya sembari menggigit jari beberapa kali."Astaga!" Sontak Nayra menu
Arvin meneguk ludah, lalu membuka mulut hendak bicara. Namun ia urungkan karena Nayra mendahuluinya."Sa-saya dipecat, Pak?" Suaranya parau menunjukkan kekecewaan.Kedua mata sipit Aldo menatap Nayra nyalang. Ia lalu mendengus dan membuang muka. Malas untuk bicara dengan karyawan yang menurutnya tidak berguna dan membuang-buang waktunya saja."Pak, sebenarnya tidak ada yang melamar posisi sekretaris Anda kecuali Mbak ini," aku Arvin akhirnya.Aldo tertegun. Ia lantas memandang ke arah Arvin, meminta penjelasan lebih lanjut kepada pria berkacamata tersebut."Apa maksudmu? Yang benar saja?!" sembur Aldo keras."Iya, Pak. Maka dari itu saya langsung menerima Mbak Nayra." Arvin membungkukkan badan lagi. "Saya minta maaf, Pak."Aldo mengatupkan rahangnya. Ia berkacak pinggang sembari terlihat berpikir. Wajahnya sangat serius.Sementara itu, Nayra melirik Aldo yang tepat berada di depannya. Setelah ia amati, secara fisik Aldo memang mirip dengan Pak Nugroho.Kulit putih, mata sipit tajam, a
Arvin terlonjak ketika menyadari perkataannya. Ia segera menegakkan tubuh sekaligus memperbaiki kacamatanya.Arvin lalu memperhatikan Aldo yang diam sembari berpikir."Kenapa, Pak? Ada masalah?" Arvin cemas.Aldo meletakkan bolpoinnya lantas menggeleng. "Coba bawa sini ponselmu," sahutnya memberi kode agar Arvin menghampirinya di meja.Arvin lekas berdiri kemudian menyodorkan ponsel yang masih menampilkan berita dari salah satu website nasional.Aldo mencondongkan tubuhnya demi membaca judul besar yang bertengger di atas artikel tersebut.[Suami Ketahuan Selingkuh di Kontrakan Sendiri, Wanita ini Nekat Memviralkannya Lewat Video Live.]Kedua mata sipit Aldo menajam. Manik hitamnya bergerak cepat selaras dengan tempo bacanya. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas membuang napas kasar.Arvin yang sedari tadi berada di depannya menjadi canggung. "Ada apa, Pak? Anda baik-baik saja?" tanyanya penuh kekhawatiran."Tidak. Aku hanya berpikir suaminya beneran brengsek. T
Nayra refleks memejamkan kedua mata tatkala cangkir berikut isinya terlempar ke lantai di sekitarnya.Setelah membuka mata pelan, Nayra tersentak. Kedua manik matanya terbelalak kaget. Nayra menutup mulut dengan salah satu tangan agar pekikan ketakutannya tidak lolos saat itu juga.Sekarang ia tengah memandangi pecahan cangkir sekaligus tumpahan kopi di lantai di dekat kakinya. Bahkan beberapa bercak noda kopi mendarat di blouse putih yang sedang ia kenakan.Kedua netra Nayra lalu terseret ke arah Aldo yang menatapnya tajam. Kulitnya yang semula putih pucat kini bersemu merah karena murka."Kamu itu bodoh atau apa, hah! Cepat buatkan minuman lagi!"Nayra tertegun. Setengahnya ia bingung, ada dimana letak kesalahannya?Kemudian kerongkongan Nayra terasa penuh, suaranya juga tak bisa ia keluarkan secara leluasa. Nayra sedang menahan agar tak menjatuhkan buliran bening yang hampir meluap dari pelupuknya. Ia begitu ketakutan melihat mimik kemarahan yang ditunjukkan Aldo.Tanpa menjawab ap
"Pak Aldo serius akan melakukan itu?" Arvin terperanjat, tidak percaya.Aldo kemudian mendongak lagi. "Kenapa? Kamu tidak setuju?" cecarnya sembari menautkan alis.Arvin terdiam. Sambil memperbaiki letak kacamatanya, ia merenung."Bukannya begitu, Pak. Tapi Anda apa tidak kasihan sama Mbak Nayra? Mbak Nayra janda, Pak. Tidak punya suami," erang Arvin tersulut empati."Aku tidak peduli apapun statusnya, Vin. Aku hanya melihat kinerjanya. Kalau pekerjaannya baik, aku tidak mungkin melakukan ini." Aldo membela diri."Tapi tetap saja, Pak. Sebaiknya jangan terlalu membuatnya menderita." Arvin tampak khawatir. Ia tahu bahwa wanita manapun pasti mengalami kesulitan di masa awal mereka bercerai."Kamu yang jangan terlalu banyak bicara! Dia pegawaiku, jadi aku bebas melakukan apa saja." Aldo sengaja menekan di kalimat terakhir."Sudah, Vin. Kamu diam saja dan lihat apa yang akan aku lakukan."Arvin membeku di tempat. Ia tahu Aldo memang keras kepala dan keputusannya sudah tidak bisa diganggu
Kedua pupil Nayra melebar. Ia memicingkan mata sambil mencoba fokus untuk mendengarkan pembicaraan Ida dengan seseorang di seberang telepon wanita tersebut. Indra pendengarnya menangkap hal yang membuat Nayra tercekat. "Guna?" Bibir Nayra bergerak menyebut nama itu dengan mimik tak percaya. Kenapa Ibu berbicara dengan Guna? Mereka masih berhubungan? Pertanyaan muncul saling bersimpangan dari dalam pikiran Nayra. Ia harus menerima jawaban sekarang juga, pikir Nayra lagi. Namun suara keras membuyarkan konsentrasinya. Nayra tersentak. Bunyi itu berasal dari ruang tamu dimana Budi berada. Nayra panik dan lekas berlari menuju sumber suara tersebut. Ketika melihat apa yang terjadi, Nayra terkesiap lalu berhambur menuju ayahnya. "Ya ampun, Ayah. Ayah kenapa?" Nayra memandang ke arah ayahnya dengan tatapan khawatir. Sedetik kemudian ia memeriksa kondisi Budi, takut jika terjadi sesuatu pada ayahnya. "Ayah tidak apa-apa kan?" tanyanya lagi untuk memastikan. Budi berusaha menggerakkan mu
Nayra melebarkan kedua mata. Ia menoleh ke sekitarnya dengan khawatir, kemudian menatap tajam ke arah Guna yang masih menyunggingkan senyumnya. "Ngapain kamu ke sini?!" tekan Nayra sembari mengatupkan rahang. Guna menyugar rambutnya, mengabaikan pertanyaan yang terlontar dari mulut Nayra. Ia justru sedang menikmati pemandangan di sekelilingnya yang merupakan kawasan perusahaan elite. Tampak dua karyawati lewat di belakang tubuh Nayra seraya menancapkan perhatian ke arah mereka. Guna bersiul sepanjang dua pasang mata itu menatapnya. Keduanya kemudian saling berbisik karena mengenali Guna yang pernah viral di sosial media. "Kamu hebat juga bisa kerja di sini. Ada lowongan buat aku nggak?" Guna menyeringai lebar. "Apa-apaan kamu! Kamu kemari cuma buat tanya lowongan?" Nayra tergelak tak percaya. Ia bersedekap seakan membentengi dirinya sendiri. "Nggak sih. Mau nemuin kamu." Guna menaikkan-turunkan kedua alis tebalnya. "Carikan aku pekerjaan dong, Nay." Nayra langsung mendelik. "Ena
"Anda memanggil saya?" Aldo mengerjap cepat. Ia menghela napas lega karena ternyata Nayra-lah yang masuk ke dalam ruangannya. Maklum, dirinya masih terhanyut dalam kenangan lama. Namun beberapa detik berikutnya, Aldo menjadi bingung. Ia tak merasa memanggil Nayra, lantas menggeleng. "Apa? Aku tidak—" Mendadak pintu kaca ruangan tersebut didorong lagi oleh Arvin yang baru saja tiba. Arvin mengangguk di belakang Nayra sambil mengangkat dua tangan membentuk silang. Pria itu juga menggerakkan mulutnya membentuk kata 'iya', tetapi Aldo tetap tidak mengerti maksudnya. Aldo menautkan kedua alisnya ke arah Arvin. Wajahnya bingung dan penuh tanda tanya. Nayra yang menunggu jawaban Aldo sontak hendak menoleh ke belakang. Bersamaan dengan itu, Aldo akhirnya paham, lalu segera mencegahnya. "Ah, iya... iya. Tadi aku memanggilmu," sahut Aldo secepat mungkin. Arvin terlihat lega dan menggerakkan tangan mengusap peluh di dahinya. Aldo tetap mengernyit sambil mengamati Arvin untuk menuntut respo