Share

5. Pekerjaan untuk Nayra

Pria itu mendongak, lalu tersenyum ramah kepada Nayra.

"Mbak Nayra Eka Sania ya? Silakan masuk, Mbak." Pria tersebut menunjuk kursi hadap di depannya.

Nayra menelan salivanya. Perlahan ia melangkahkan kaki menuju kursi itu dan mendudukkan tubuhnya. Ini pertama kali ia melakukan wawancara kerja.

Meskipun Nayra merupakan lulusan sarjana, Guna tidak mau Nayra bekerja setelah mereka menikah. Jadi, hari ini adalah pengalaman pertamanya hingga membuat kegugupan melanda Nayra seketika.

Pria tersebut kemudian melanjutkan. "Tadi saya sudah membaca sekilas dokumen Mbak. Hmm, ya…" Ia mengangguk memandangi beberapa kertas di depannya. "Oh, iya. Saya belum memperkenalkan diri saya ya?"

Nayra meresponnya dengan tersenyum simpul. Sementara pria di hadapannya sudah mengulurkan tangan menyeberangi meja di depan. Nayra menyambut tangan itu.

"Saya Arvin, selaku asisten dari Presdir sendiri," ujarnya mantap di sela jabat tangan mereka.

Kedua mata Nayra melebar takjub. Lalu mengangguk dan tersenyum kembali.

"Di perusahaan ini kamu akan ditempatkan sebagai sekretaris Presdir langsung." Penjelasan Arvin sontak mengejutkan Nayra.

"Maksud Bapak? Hmm, jadi… saya diterima, Pak?" Nayra mendelik ragu.

Arvin mengangguk. "Benar, mulai besok pagi kamu bisa langsung bekerja."

Arvin yang ada di hadapannya menaikkan sebuah senyuman, seakan tahu bagaimana perasaan senang yang ada pada diri Nayra.

"Tapi, hari ini kamu harus menjalani training singkat dulu." Ucapan yang Arvin lontarkan barusan membuat senyum Nayra surut, lantas tergantikan oleh mimik serius.

"Baik, Pak. Saya akan melakukannya," paparnya lantang penuh semangat.

Arvin mengambil salah satu buku lumayan tebal di dekatnya. Kedua mata Nayra mengikuti gerakan Arvin yang membuka bukunya satu kali, memutarnya hingga menghadap ke arahnya, kemudian mulai berdeham untuk menjelaskan lagi.

"Ini, kamu coba periksa daftar isi di sini." Arvin menuding tulisan yang memenuhi satu halaman tersebut.

Nayra mencondongkan tubuhnya, mencoba memperhatikan tulisan yang lumayan kecil jika dibaca dari posisi duduknya.

"Ini adalah tata cara juga hal-hal yang tidak disukai oleh beliau. Pelajari dan lakukan secara tepat. Bos kita orang yang disiplin."

Nayra mengerjap cepat. Tapi… bukunya kenapa bisa setebal ini? Batin Nayra mulai khawatir.

Arvin tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Ayo, aku akan menunjukkan tempatmu besok."

Tanpa menunggu jawaban dari Nayra, pria tersebut berderap keluar. Nayra tergegau lalu segera mengikuti langkah Arvin.

Menaiki lift, Arvin menekan angka 25 di tombol itu. Nayra mengawasi gerakan Arvin di depannya. Sontak ia tertegun.

Mengerti keterkejutan dalam diri Nayra, Arvin menoleh singkat. "Ruangan Presdir ada di lantai tertinggi gedung ini."

Nayra mengangguk dengan terpana meskipun Arvin tak melihatnya. Ini bagai mimpi yang tak terduga.

Tak lama setelahnya, lift terbuka. Arvin menggiring kakinya menyusuri koridor panjang diikuti Nayra. Di ujung lorong terlihat sebuah ruangan eksklusif dengan dua pintu kaca transparan.

Arvin membuka pintu tersebut, menunjukkannya kepada Nayra yang kini sudah dibuat kagum oleh ruangan di depannya. Nayra tak berhenti terpukau saat mengedarkan pandangannya menyapu seluruh sudut ruangan itu.

“Woah…”

Ruangan presdir sangat luas dengan menyuguhkan langsung lanskap megahnya ibukota dari jendela. Ruangan tersebut memang didominasi oleh kaca. Mungkin karena pimpinannya tidak mau terlalu stress di tengah beliau bekerja.

Membayangkan presdirnya hampir botak akibat tekanan kerja membuat Nayra lantas terkikik. Ia segera menutup mulutnya ketika Arvin menatapnya sembari melipat dahi.

Tak ingin ambil pusing, Arvin pun segera mengajak Nayra untuk kembali. Nayra menurut lalu mengikuti jejak Arvin yang keluar dari ruangan itu.

Namun sebelum keluar, Nayra sempat melihat sekilas sebuah nama yang bertengger di atas meja besar di dalam ruangan tadi.

"Alfredo Atmajaya," gumamnya saat membaca tulisan tersebut.

Nayra dan Arvin berpisah. Pria itu bilang ada urusan pekerjaan, lantas memperbolehkan Nayra membawa buku tebal tadi untuk dipelajari.

Nayra membawa buku tersebut ke lantai satu, lalu duduk di salah satu sofa yang ada di lobi utama. Ia meletakkannya di atas meja dan mulai membuka satu per satu halamannya.

Tenggorokan Nayra seakan tercekat, peraturan yang ada di dalamnya terlalu banyak untuk diingat. Wajahnya kini pucat pasi. Walaupun bara semangat terus menyala di dalam diri Nayra, namun buku di hadapannya sekarang sangat menguras kapasitas otaknya.

"Seperti apa Pak Presdir di sini?" lirih Nayra tak percaya saat mulai membaca peraturan di dalamnya. Ia memijat pelipisnya, lalu menghela napas.

"Ini kenapa banyak banget," keluhnya tak sanggup mencerna isi buku tersebut ke dalam otaknya.

Setelah itu, Nayra mulai mengamati beberapa karyawan yang berlalu-lalang di sekitarnya. Mengamati bagaimana mereka berbusana juga bekerja. Semakin lama, ia merasa takjub dan beruntung dapat diterima di perusahaan ini.

"Ya ampun, kamu tahu nggak? Pak Presdir seenaknya saja menolak presentasiku di depan semua kolega!" ucap salah satu pegawai di sana. Dari nadanya seperti hampir menangis.

Teman satunya hanya mengembuskan napas panjang. "Hah… kamu tahu sendiri gimana orang galak itu."

Nayra terperanjat. Kemudian dua pria paruh baya di dekatnya juga berhasil mengalihkan perhatiannya. Kedua pria tersebut terlihat frustasi dan wajahnya sudah merah padam.

"Rasanya aku pengen resign dari sini saja, To. Ya Allah, ndak sanggup aku punya bos modelan begitu," sungut salah satu pria yang terdengar kental dengan aksen Jawanya.

"Aku juga gitu. Parah banget itu orang. Pengen aku jadikan tumbal aja!"

Sekujur tubuh Nayra langsung meremang. Raut mukanya tampak khawatir. Separah itukah bosnya?

Nayra memutuskan untuk bangkit berdiri, kemudian segera pulang dari gedung besar tersebut. Mungkin ia akan berpikir ulang saat dirinya sudah mencapai rumah.

Keluar dari area perusahaan besar itu, Shada berjalan di trotoar. Ia lalu menghentikan sebuah angkutan umum dan menyeret kakinya naik.

Tak jauh dari sana, sepasang mata sedang mengawasinya. Guna begitu tercekat saat tahu Nayra keluar dari salah satu perusahaan besar di kota ini.

Guna menggertakkan giginya begitu tahu kemungkinan besar wanita tersebut bekerja di sana.

"Nggak! Nggak mungkin! Masa dia enak kerja di sana, sementara aku belum mendapatkan kerja sama sekali! Dia nggak boleh bahagia tanpaku!" geram Guna dengan menekuk wajahnya.

Sesampainya di rumah, Nayra langsung menuju ke dalam kamarnya. Tapi ketika indra pendengarnya menangkap suara berisik dari dapur, ia lekas keluar.

Nayra mendes*h lega saat memastikan ayahnya duduk di depan televisi dengan tenang. Ia lalu menggiring kakinya pelan sembari memeriksa apa yang tengah Ida lakukan.

"Punya keluarga nggak guna semua!"

Nayra mengernyit begitu mendengar umpatan Ida. Wanita itu menarik beberapa peralatan masak yang ada di dapur dan meletakannya kasar di sebelah kakinya.

"Astaga… apalagi yang Ibu lakukan?" lirih Nayra sambil mengusap dadanya.

Demi menghindari konflik, Nayra akhirnya kembali ke kamar. Ia meneguhkan pendiriannya untuk mulai bekerja besok apapun yang akan ia hadapi nantinya. Semua ini untuk ayahnya agar tak mendengar banyak ocehan Ida mengenai keuangan.

♡♡♡

Keesokan paginya, Nayra kecewa dengan meja makan yang kosong. Ida bahkan tidak mau menyiapkan makanan bagi Budi maupun dirinya. Wanita tersebut lebih memilih diam di dalam kamar sembari bertelepon di hari masih pagi begini.

Nayra berdecak kesal, kemudian memutuskan untuk membeli sayur lodeh di warung depan gang rumahnya.

Padahal hari ini ia tidak boleh terlambat. Namun, antrean panjang yang ada di depannya membuatnya gusar dan sesekali memeriksa jam yang terlingkar di tangannya.

Setelah dilayani, Nayra segera membawa makanan itu untuk ayahnya juga Ida. Ia menaruhnya di meja makan lantas segera bersiap-siap tanpa menyentuh nasi dan sayur yang baru saja ia beli.

Ida memandang heran tatkala menyaksikan kepergian Nayra dengan setelan pakaian formal yang rapi. Ida belum tahu jika Nayra sudah mendapatkan pekerjaan.

Nayra berlari seraya memeriksa jam tangannya. Wajahnya cemas karena angkutan yang biasa ia tumpangi sudah berangkat meninggalkannya.

Dengan napas terengah-engah, Nayra berhenti sebentar untuk meraup oksigen di sekitarnya.

Namun ketika ia hendak melanjutkan perjalanannya lagi, sebuah mobil kencang dari arah belakang justru melewati genangan air tepat di dekatnya.

Air kotor nan keruh tersebut lantas menyembur ke badan Nayra. Nayra terperangah kemudian murka.

"Astaga!"

Bersambung..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status