Arvin meneguk ludah, lalu membuka mulut hendak bicara. Namun ia urungkan karena Nayra mendahuluinya.
"Sa-saya dipecat, Pak?" Suaranya parau menunjukkan kekecewaan.
Kedua mata sipit Aldo menatap Nayra nyalang. Ia lalu mendengus dan membuang muka. Malas untuk bicara dengan karyawan yang menurutnya tidak berguna dan membuang-buang waktunya saja.
"Pak, sebenarnya tidak ada yang melamar posisi sekretaris Anda kecuali Mbak ini," aku Arvin akhirnya.
Aldo tertegun. Ia lantas memandang ke arah Arvin, meminta penjelasan lebih lanjut kepada pria berkacamata tersebut.
"Apa maksudmu? Yang benar saja?!" sembur Aldo keras.
"Iya, Pak. Maka dari itu saya langsung menerima Mbak Nayra." Arvin membungkukkan badan lagi. "Saya minta maaf, Pak."
Aldo mengatupkan rahangnya. Ia berkacak pinggang sembari terlihat berpikir. Wajahnya sangat serius.
Sementara itu, Nayra melirik Aldo yang tepat berada di depannya. Setelah ia amati, secara fisik Aldo memang mirip dengan Pak Nugroho.
Kulit putih, mata sipit tajam, alis tebal, hidung mancung serta bibir tipis adalah perpaduan sempurna dari paras tampan seorang Alfredo Atmajaya yang memiliki rahang tegas dan rambut hitam berpotongan rapi.
Namun, sifatnya sangat berbeda jauh dari Pak Nugroho sendiri. Nayra bahkan bisa menebaknya dengan sekali lihat.
Aldo kemudian membalas tatapan Nayra, membuat Nayra kelimpungan dan langsung menundukkan kepalanya kembali. Rahang pria itu mengeras ketika melihat ke arah Nayra lagi.
"Tidak mungkin. Buat lowongan lagi dan sebar luas! Pindahkan orang ini ke divisi pembantu!" tegas Aldo yang berderap pergi saat itu juga, meninggalkan Nayra dan Arvin yang termangu di tempat.
Arvin melempar pandang ke arah Nayra dengan sungkan. Sedangkan Nayra terlihat sakit hati terhadap perlakuan Aldo.
Setelah itu, Nayra dipindahkan ke divisi produksi. Ia langsung ditempatkan di pabrik. Nayra hanya bisa menghela napas sembari memandangi kesibukan di sana.
Hidupnya tak juga mulus. Sejujurnya ia lebih memilih Nugroho sebagai presdir yang memimpin perusahaan. Karena secara mental dan emosi, pria tersebut pasti lebih matang dari Aldo, anaknya.
"Kenapa kedudukan Presdir justru dipercayakan ke orang itu sih? Padahal Pak Nugroho pasti lebih baik kalau berurusan dengan karyawannya," keluh Nayra dengan pelan.
Nayra sedikit merasakan kelegaan tatkala hari sudah menunjukkan pukul lima sore. Kini ia pulang dan terbebas dari tempat kerja yang membuatnya cukup tersiksa di hari pertama.
Tapi setidaknya itu lebih baik dibanding harus berada di dekat Aldo yang begitu arogan. Membayangkan saja membuat Nayra meremang lagi.
Saat hampir memasuki gang rumahnya, tiba-tiba indra pendengar Nayra dikejutkan oleh suara motor keras dari seseorang yang ia kenal.
Nayra menoleh, lantas terpaksa menghentikan langkah kakinya ketika Guna sudah memotong jalan di depannya.
Nayra menekuk wajahnya kemudian hendak menerobos kendaraan milik pria itu. Tetapi Guna bergerak lebih cepat sehingga pria tersebut kini dapat mencegah laju Nayra dengan meraih tangannya.
"Nay, tunggu dulu, Nay!"
Sontak Nayra langsung menepis tangan Guna. "Apalagi, Gun? Kenapa kamu ke sini lagi, hah?!"
"Nay, memang kamu bisa hidup sendiri terus seperti ini? Sekarang kamu janda dan—"
Nayra melotot lalu menyelanya. "Kenapa kalau aku janda? Apa urusanmu?!"
"Nggak, Nay. Maksudku harusnya kamu itu butuh laki-laki buat dampingi kamu. Harusnya kamu nggak memutuskan cerai waktu itu."
Mendengar pembahasan Guna yang tak berbobot membuat Nayra mulai naik pitam.
"Kamu ngomong langsung aja, maumu apa. Cepat pergi! Jangan muter-muter terus!"
"Nay, kamu tahu aku sampai sekarang belum diterima kerja dimana-mana. Itu karena video yang kamu sebarkan," tekan Guna kemudian.
Nayra langsung membelalakkan kedua mata dengan tak percaya. Lalu sedikit tergelak. "Lah, itu kan karena kelakuanmu sendiri! Kenapa malah menyalahkan video?!"
Guna memandang setelan pakaian formal yang tengah Nayra kenakan. Blazer dan rok Nayra tampak kotor.
"Kamu sudah bekerja? Dimana?"
Nayra semakin kesal. "Sudahlah, Gun! Jangan menemui aku lagi! Kita sudah nggak ada urusan!"
Nayra langsung beranjak pergi dan menerobos motor Guna yang telah menghadang jalannya. Guna yang belum selesai bicara hendak mencegahnya lagi, namun Nayra secara refleks berteriak satu kali sebelum benar-benar pergi.
"Pergi, Gun! Nggak malu apa dilihat tetangga!" cibir Nayra lalu segera menghilang dari hadapan Guna.
Guna kesal, kemudian meninju udara kosong di depannya.
"Argh! Kurang ajar! Aku akan mengganggu hidupmu terus, Nay! Sampai kamu merasakan juga gimana kesulitanku!"
Setiba di rumah, Nayra dikejutkan oleh kardus besar di depan rumahnya. Setelah menengok ke dalam, Nayra tahu itu adalah perbuatan ibunya.
Nayra yang penasaran langsung membuka kardus tersebut. Begitu ia menyaksikan barang-barang yang tersusun rapi di dalamnya, Nayra tersentak.
Nayra segera berlari untuk menyusul Ida di dapur.
"Bu, kenapa teflon dan lainnya ada di sana?" tunjuk Nayra ke arah kardus besar di luar.
Ida menengok sebentar, lantas melanjutkan kegiatannya memilah alat masak dari rak.
"Ibu jual buat makan!" ketus wanita tersebut.
Seketika bahu Nayra melemas.
"Ya ampun! Kenapa sampai ngelakuin itu sih, Bu? Lagian Nayra sudah kerja. Sudah bisa bantu beli kebutuhan rumah," isak Nayra tak percaya.
Ida memandang ke arah Nayra dengan ekspresi tidak peduli.
"Kamu diam saja, Nayra. Lagian kamu juga pasti belum gajian!"
Ida membawa sebuah panci, kemudian melewati Nayra yang mematung dengan menabrakkan bahunya.
Nayra meneteskan air mata. Ia lelah dengan ibunya yang berlaku seenaknya sendiri.
Padahal selama ini Ida jarang masak dan menggunakan uang pensiun Budi untuk keperluan pribadinya sendiri. Baju baru dan beberapa make up, Ida lebih mementingkan urusan bersoleknya.
Terhitung sudah tiga hari sejak lowongan sekretaris Atmajaya Group disebarluaskan lewat beberapa platform pencari kerja. Namun kenyataannya tak ada satupun pelamar yang mengajukan diri dan mengirim CV.
Logikanya tidak mungkin perusahaan sebesar itu diabaikan oleh para pencari kerja. Apalagi zaman sekarang sangat sulit untuk mendapat pekerjaan.
"Kamu yakin mau jadi sekretaris Pak Aldo? Selama ini pegawai terlama yang pernah menjadi sekretaris beliau hanya bertahan 2 minggu lo," ujar salah satu senior di divisi produksi setelah tahu Nayra akan ditarik lagi ke posisi awal.
Nayra terdiam. Tidak mungkin dirinya menolak perintah itu. Tadi pagi Arvin kemari hanya untuk memberitahunya langsung.
Ia hanya mengulum senyumnya simpul.
"Setidaknya aku harus mencoba dulu, Mbak," ungkapnya tidak terlalu yakin.
Nayra kemudian berkemas untuk kembali ke tempatnya, di ruangan yang kini semakin mencekam setelah tahu siapa sosok Alfredo Atmajaya.
Sementara itu, Arvin sedang berada di ruangan Aldo. Pria tersebut sekarang tengah menggulir ponselnya dengan mimik serius. Setelah menemukan salah satu berita yang sempat mencuat hebat tiga bulan lalu, ia langsung terlonjak dari sofa.
"Oh, ternyata Mbak Nayra pernah viral," gumamnya kaget.
Suara Arvin lirih, namun masih bisa ditangkap oleh Aldo yang duduk di belakang mejanya. Aldo melirik Arvin sesaat, kemudian lanjut menandatangani beberapa dokumen dengan ekspresi dingin.
"Astaga, kasihan Mbak Nayra," pekik Arvin sekali lagi.
Aldo yang merasa terganggu lantas memberi peringatan kepada Arvin.
"Vin, kecilkan suaramu!"
Arvin lalu mengulas senyumnya segan. "Ah, maaf, Pak. Saya terlalu semangat karena ketemu berita tentang Mbak Nayra lagi. Kasihan ternyata dia barusan jadi janda karena diselingkuhi suaminya."
Aldo mengernyit, lantas menghentikan gerakan tangannya.
"Apa? Pegawai baru itu sudah berstatus janda?!"
Bersambung..
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,