Nayra refleks memejamkan kedua mata tatkala cangkir berikut isinya terlempar ke lantai di sekitarnya.Setelah membuka mata pelan, Nayra tersentak. Kedua manik matanya terbelalak kaget. Nayra menutup mulut dengan salah satu tangan agar pekikan ketakutannya tidak lolos saat itu juga.Sekarang ia tengah memandangi pecahan cangkir sekaligus tumpahan kopi di lantai di dekat kakinya. Bahkan beberapa bercak noda kopi mendarat di blouse putih yang sedang ia kenakan.Kedua netra Nayra lalu terseret ke arah Aldo yang menatapnya tajam. Kulitnya yang semula putih pucat kini bersemu merah karena murka."Kamu itu bodoh atau apa, hah! Cepat buatkan minuman lagi!"Nayra tertegun. Setengahnya ia bingung, ada dimana letak kesalahannya?Kemudian kerongkongan Nayra terasa penuh, suaranya juga tak bisa ia keluarkan secara leluasa. Nayra sedang menahan agar tak menjatuhkan buliran bening yang hampir meluap dari pelupuknya. Ia begitu ketakutan melihat mimik kemarahan yang ditunjukkan Aldo.Tanpa menjawab ap
"Pak Aldo serius akan melakukan itu?" Arvin terperanjat, tidak percaya.Aldo kemudian mendongak lagi. "Kenapa? Kamu tidak setuju?" cecarnya sembari menautkan alis.Arvin terdiam. Sambil memperbaiki letak kacamatanya, ia merenung."Bukannya begitu, Pak. Tapi Anda apa tidak kasihan sama Mbak Nayra? Mbak Nayra janda, Pak. Tidak punya suami," erang Arvin tersulut empati."Aku tidak peduli apapun statusnya, Vin. Aku hanya melihat kinerjanya. Kalau pekerjaannya baik, aku tidak mungkin melakukan ini." Aldo membela diri."Tapi tetap saja, Pak. Sebaiknya jangan terlalu membuatnya menderita." Arvin tampak khawatir. Ia tahu bahwa wanita manapun pasti mengalami kesulitan di masa awal mereka bercerai."Kamu yang jangan terlalu banyak bicara! Dia pegawaiku, jadi aku bebas melakukan apa saja." Aldo sengaja menekan di kalimat terakhir."Sudah, Vin. Kamu diam saja dan lihat apa yang akan aku lakukan."Arvin membeku di tempat. Ia tahu Aldo memang keras kepala dan keputusannya sudah tidak bisa diganggu
Kedua pupil Nayra melebar. Ia memicingkan mata sambil mencoba fokus untuk mendengarkan pembicaraan Ida dengan seseorang di seberang telepon wanita tersebut. Indra pendengarnya menangkap hal yang membuat Nayra tercekat. "Guna?" Bibir Nayra bergerak menyebut nama itu dengan mimik tak percaya. Kenapa Ibu berbicara dengan Guna? Mereka masih berhubungan? Pertanyaan muncul saling bersimpangan dari dalam pikiran Nayra. Ia harus menerima jawaban sekarang juga, pikir Nayra lagi. Namun suara keras membuyarkan konsentrasinya. Nayra tersentak. Bunyi itu berasal dari ruang tamu dimana Budi berada. Nayra panik dan lekas berlari menuju sumber suara tersebut. Ketika melihat apa yang terjadi, Nayra terkesiap lalu berhambur menuju ayahnya. "Ya ampun, Ayah. Ayah kenapa?" Nayra memandang ke arah ayahnya dengan tatapan khawatir. Sedetik kemudian ia memeriksa kondisi Budi, takut jika terjadi sesuatu pada ayahnya. "Ayah tidak apa-apa kan?" tanyanya lagi untuk memastikan. Budi berusaha menggerakkan mu
Nayra melebarkan kedua mata. Ia menoleh ke sekitarnya dengan khawatir, kemudian menatap tajam ke arah Guna yang masih menyunggingkan senyumnya. "Ngapain kamu ke sini?!" tekan Nayra sembari mengatupkan rahang. Guna menyugar rambutnya, mengabaikan pertanyaan yang terlontar dari mulut Nayra. Ia justru sedang menikmati pemandangan di sekelilingnya yang merupakan kawasan perusahaan elite. Tampak dua karyawati lewat di belakang tubuh Nayra seraya menancapkan perhatian ke arah mereka. Guna bersiul sepanjang dua pasang mata itu menatapnya. Keduanya kemudian saling berbisik karena mengenali Guna yang pernah viral di sosial media. "Kamu hebat juga bisa kerja di sini. Ada lowongan buat aku nggak?" Guna menyeringai lebar. "Apa-apaan kamu! Kamu kemari cuma buat tanya lowongan?" Nayra tergelak tak percaya. Ia bersedekap seakan membentengi dirinya sendiri. "Nggak sih. Mau nemuin kamu." Guna menaikkan-turunkan kedua alis tebalnya. "Carikan aku pekerjaan dong, Nay." Nayra langsung mendelik. "Ena
"Anda memanggil saya?" Aldo mengerjap cepat. Ia menghela napas lega karena ternyata Nayra-lah yang masuk ke dalam ruangannya. Maklum, dirinya masih terhanyut dalam kenangan lama. Namun beberapa detik berikutnya, Aldo menjadi bingung. Ia tak merasa memanggil Nayra, lantas menggeleng. "Apa? Aku tidak—" Mendadak pintu kaca ruangan tersebut didorong lagi oleh Arvin yang baru saja tiba. Arvin mengangguk di belakang Nayra sambil mengangkat dua tangan membentuk silang. Pria itu juga menggerakkan mulutnya membentuk kata 'iya', tetapi Aldo tetap tidak mengerti maksudnya. Aldo menautkan kedua alisnya ke arah Arvin. Wajahnya bingung dan penuh tanda tanya. Nayra yang menunggu jawaban Aldo sontak hendak menoleh ke belakang. Bersamaan dengan itu, Aldo akhirnya paham, lalu segera mencegahnya. "Ah, iya... iya. Tadi aku memanggilmu," sahut Aldo secepat mungkin. Arvin terlihat lega dan menggerakkan tangan mengusap peluh di dahinya. Aldo tetap mengernyit sambil mengamati Arvin untuk menuntut respo
Sontak Nayra menghentikan gerakannya. Ia langsung menoleh ke arah sumber suara karena merasa mengenal sosok tersebut. Arvin berjalan mendekat dengan memasang ponsel yang ada di genggaman tangannya menghadap ke arah Nayra dan Marsella. Tatapan takjub ia tujukan kepada Nayra yang berani bertengkar di tempat umum. Tampak di dalam rekaman video tersebut, Nayra tersentak lantas segera melepaskan cengkeraman tangannya dari rambut Marsella. Begitu juga Marsella yang terpaku dengan mimik penuh tanya. "Pak Arvin," gumam Nayra kaget. "Kenapa Anda bisa ada di sini?" Kedua pipinya memerah menahan malu. Arvin menyudahi rekamannya kemudian tersenyum lebar. "Kan ini memang warung langgananku, Mbak." Nayra meringis, ia sangat malu karena Arvin memergoki dirinya sedang bertengkar dengan Marsella. Sementara Arvin tak ingin melewatkan momen langka yang ia lihat. Seorang Nayra yang terlihat kalem ternyata bisa melakukan perlawanan juga, pikir Arvin. Marsella tercenung memandang Arvin yang sepertinya
Nayra langsung melotot tajam. "Bu! Jaga omongan Ibu! Nayra nggak mandul!" "Kalau begitu, kenapa kamu nggak periksa, hah? Buktinya sudah tiga tahun kalian menikah, tapi mana? Nggak menghasilkan apa-apa kan? Berarti kamu beneran mandul, Nay!" Ida sengaja memperkeruh suasana. Mendengar tutur kata Ida membuat Budi menggeleng dan menangis. Hatinya teriris menyaksikan anaknya dihina seperti itu. Begitu juga Nayra yang menitikkan air mata saking emosinya. Nayra terisak. Ia hendak menjawab, namun Ida sudah mendahuluinya. "Kamu sudah untung sama Guna. Guna nerima kamu apa adanya! Eh, ternyata situ yang sok kecantikan minta pisah sama Guna," gelak Ida mengejek. "Bu, cukup! Kenapa Ibu selalu membahas Guna di depanku?! Guna sudah mengkhianati pernikahan kami! Ibu masih saja membela Guna padahal sudah tahu kalau dia selingkuh!" protes Nayra tidak terima. "Aku tahu. Pasti Ibu menjelekkan namaku, tapi memuji Guna di depan tetangga kan?!" tambahnya. Ida memutar bola mata sembari mengembuskan na
Aldo terbatuk-batuk. Ia segera mengusap cairan teh yang membasahi mulutnya menggunakan sebelah tangan. Sementara Arvin dengan cekatan mengambilkan tisu di dekatnya. "Thanks." Aldo langsung menyambar tisu tersebut lalu menyeka bibirnya kembali. Kedua mata tajamnya lantas memperhatikan seorang wanita yang sedang bercermin di sana. Aldo terdiam, ekspresinya geli. Sementara Arvin sudah terbahak-bahak sedari tadi. Sambil memandangi Nayra yang memperbaiki anak rambut di sekitar wajahnya, Arvin tertawa heboh sembari mendaratkan tepukan berkali-kali pada bahu kokoh milik Aldo. "Sssttt… itu Mbak Nayra ngapain, Pak? Hahaha…" Aldo hanya berdeham lirih. Ia mengalihkan pandangannya sekilas karena malu, lantas kembali menyaksikan Nayra yang bergerak mundur dengan air muka tiba-tiba terdiam. "Apa dia sudah sadar kalau ada orang di sini?" bisik Arvin mengikuti setiap gerakan Nayra. Aldo yang juga memantau wanita itu menggeleng tak yakin. Lalu mendadak Nayra memutar tubuhnya. Ia merapikan blous