“Sebentar...” gumam Dokter Eva pelan. Ia menekan beberapa tombol, memutar alat USG perlahan ke sisi lain perut Dina, matanya terus menatap monitor dengan fokus yang intens.
Alma berdiri gelisah, begitu juga Hanum. Keduanya saling pandang dengan wajah cemas.
“Ada apa, Dok?” tanya Dina, suaranya lemah namun terdengar jelas.
Dokter Eva masih diam. Ia menggeser alat sekali lagi, lalu menarik napas panjang. Wajahnya serius, tapi tidak menunjukkan kepanikan.
“Dokter... apa ada masalah?” tanya Hanum, tak kuasa menahan kekhawatirannya.
“Tidak,” sahut Dokter Eva singkat.
Ketiganya sama-sama menarik napas lega. Namun, suasana tetap hening. Semua mata kini terpaku pada layar.
“Saya perl
Pintu kamar diketuk pelan, lalu terbuka perlahan.Ketiganya, Hanum, Alma, dan Dina menoleh bersamaan ke arah pintu.Seno, suami Hanum, muncul dengan dua tangan penuh tentengan kantong plastik dari rumah makan. Senyumnya lebar, meski keringat membasahi pelipisnya.“Assalamualaikum…”Hanum langsung berdiri, menahan tawa dan heran.“Lho, Mas! Kenapa nggak bilang kalau mau datang? Aku mau nitip makanan tadi!”Seno mendekat, meletakkan semua kantong plastik di meja kecil dekat jendela.“Justru mau kasih kejutan. Aku tahu kamu pasti belum sempat makan yang bener. Jadi, sekalian beli untuk semuanya.”Hanum melihat apa saja yang dibeli oleh sang suami dan Alma juga ikut membantu membuka satu per satu
Malam turun dengan sunyi yang menusuk. Lampu kamar Danang menyala redup, memantulkan bayangan suram di dinding.Danang duduk di tepi ranjangnya. Tangan kirinya menopang kepala yang berat, sementara mata menatap kosong ke arah lantai. Luka-luka di tubuhnya memang mulai membaik, tapi luka di hatinya… seperti makin dalam.Ia menghela napas panjang, berat, lalu mendengus kesal.“Mereka pikir aku nggak punya perasaan? Mereka kira gampang buat aku kayak gini?” gumamnya pelan tapi penuh tekanan.Ia bangkit, berjalan perlahan ke arah jendela. Menyibak tirai, menatap ke luar. Gelap. Sepi. Seperti hatinya.“Dinda… dia adikku sendiri. Tapi dia lebih membela Dina. Bukannya bantu aku, malah kasih buku nikah itu. Kalau bukan karena dia, Dina nggak akan gugat cerai…”
“Sebentar...” gumam Dokter Eva pelan. Ia menekan beberapa tombol, memutar alat USG perlahan ke sisi lain perut Dina, matanya terus menatap monitor dengan fokus yang intens.Alma berdiri gelisah, begitu juga Hanum. Keduanya saling pandang dengan wajah cemas.“Ada apa, Dok?” tanya Dina, suaranya lemah namun terdengar jelas.Dokter Eva masih diam. Ia menggeser alat sekali lagi, lalu menarik napas panjang. Wajahnya serius, tapi tidak menunjukkan kepanikan.“Dokter... apa ada masalah?” tanya Hanum, tak kuasa menahan kekhawatirannya.“Tidak,” sahut Dokter Eva singkat.Ketiganya sama-sama menarik napas lega. Namun, suasana tetap hening. Semua mata kini terpaku pada layar.“Saya perl
Begitu keluar dari rumah, Danang menepis tangan mamanya. Napasnya memburu, wajahnya merah karena emosi yang memuncak.Ia berdiri di halaman rumah Aini, menengadah dan berteriak lantang,“Dina! Kamu denger, kan?! Aku nggak akan ceraikan kamu! Kamu dengar itu?! AKU TIDAK AKAN CERAIKAN KAMU !!”Suara itu menggema, memecah keheningan pagi di desa. Beberapa detik kemudian, pintu-pintu rumah tetangga terbuka satu per satu. Warga sekitar berdiri di ambang pintu atau mengintip dari jendela, ekspresi wajah mereka campuran antara heran, penasaran, dan gelisah.Dari seberang jalan, Bu Narti—tetangga Aini yang terkenal suka ikut campur—menggumam pelan sambil memeluk lengannya,“Ya ampun... Kirain rumah tangga Dina bahagia-bahagia aja. Ternyata lagi ada huru-hara."
Hanum menutup mulutnya dengan tangan, napasnya tertahan. “Ya Allah…”Alma juga. Ia maju sedikit. “Bagaimana kondisi kandungannya, Dok?”“Untuk saat ini masih tertolong. Tapi… dia harus benar-benar istirahat total. Bedrest. Tidak boleh stres, tidak boleh kelelahan. Kondisinya sangat rentan.”Dokter membuka catatan medis di tangannya. “Hasil pemeriksaan menunjukkan tubuhnya kekurangan nutrisi."Hanum mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Dalam hati ia membatin,"Karena banyak pikiran, Dina pasti tidak selera makan.""Dia terlalu memaksakan diri," ucap Alma lirih."Apa pekerjaannya?" tanya dokter, menatap mereka dengan serius."Menjahit, Dok," jawab Hanum singkat.Dokter menghela napas pelan, lalu menatap mereka
Mobil melaju stabil di jalanan aspal yang mulai berganti dengan kontur berbatu khas pedesaan. Pemandangan sawah menghijau di kiri-kanan jalan. Namun, ketenangan alam itu kontras dengan suasana dalam mobil.Danang duduk bersandar di jok. Wajahnya kusut, pandangannya kosong menatap keluar jendela. Di sampingnya, Endang, mamanya, duduk dengan gelisah. Sesekali ia melirik ke arah putranya, lalu menghela napas panjang. Akhirnya, ia tak tahan lagi.“Dan,” panggil Endang dengan nada pelan tapi tegas.Danang tak menoleh. Hanya menjawab lirih, “Iya, Ma?”“Mama ikut kamu ke sini bukan berarti Mama setuju dengan semua yang kamu lakuin, ya.”Danang memejamkan mata sejenak. “Aku tahu, Ma… kalimat itu sudah berulang kali mama katakan."“Kalau tahu, jangan bikin Mama makin malu di depan kelua