Accueil / Rumah Tangga / Ceraikan Aku, Tuan Anshel / Bab 2 - Ancaman Dan Duka

Share

Bab 2 - Ancaman Dan Duka

last update Dernière mise à jour: 2025-11-26 09:15:58

Sudah tiga hari Anshel pulang lewat tengah malam.

Dan itu pun bukan benar-benar “pulang”—lebih seperti mampir untuk berganti jas, mandi air hangat, lalu pergi lagi sebelum Fleur sempat mengeluarkan satu kalimat pun.

Fleur menatap jam dinding di ruang makan. Pukul dua pagi. Meja panjang itu terhampar sempurna dengan piring porselen dan lilin yang kini tinggal batang pendek. Ia menunggu sejak magrib, dengan gaun rapi yang kini kusut karena sering ia remas tanpa sadar.

Pintu depan terdengar dibuka.

Anshel masuk dengan langkah santai, seolah rumah ini hanya ruang transit. Aroma parfum mahal yang Fleur kenal begitu baik—aroma yang sekarang membuat dadanya perih—terbayang menempel pada wanita lain sebelum ia sampai di sini.

“Ada yang kau perlukan?” tanyanya tanpa melihat Fleur. Jaket dilepas. Jam tangan diletakkan. Tidak ada satu pun gerakan yang mengarah padanya.

Fleur berdiri pelan. “Kau tidak makan dari tadi.”

“Aku sudah makan,” jawabnya datar.

Bersamanya?

Pertanyaan itu menggantung di kepala Fleur, namun bibirnya terlalu kaku untuk mengucapkannya.

Anshel membuka beberapa kancing kemejanya. “Besok aku akan pergi lagi. Ada acara perusahaan.”

“Dan Ava ikut?” suara Fleur nyaris bergetar.

Kali ini Anshel menoleh. Tidak marah. Tidak terkejut. Hanya… menatap, seolah menganalisis.

“Apa urusannya denganmu?”

Fleur tersenyum—senyum yang bahkan tidak memiliki bentuk. “Tidak ada. Kontrak kita hampir berakhir, kan? Aku hanya mencoba… mengerti.”

Anshel berhenti melepas kancingnya. Sesuatu melintas di mata gelap itu—cepat sekali, seperti kilat yang muncul lalu mati.

“Fleur,” ujarnya pelan, “jangan membuat asumsi.”

“Bagaimana aku tidak berasumsi,” bisik Fleur, “kalau setiap hari kau memilih perempuan itu, dan bukan aku?”

Ia tak bermaksud terdengar rapuh. Ia selalu menjaga martabatnya. Tapi malam itu… barangkali lelahnya kebablasan.

Anshel tidak menjawab. Hanya menatapnya sebentar, lalu melewatinya dan naik ke kamar.

Fleur tetap berdiri di sana beberapa menit, menatap jejak kepergian suaminya yang terasa lebih dingin dari angin dini hari.

Lalu ia mengambil lilin yang hampir mati, memadamkannya dengan jari.  Tidak sakit.  Tidak lebih sakit dari yang lain.

***

Seharian, Fleur sibuk mengurus urusan kantor di rumah. Namun sebelum ia ingin mandi, ia menerima telepon dari Phillipe, kakaknya.

Telepon itu hampir jatuh dari tangannya. Ruangan mendadak terasa asing, seperti semua udara tiba-tiba dicabut.

Fleur duduk lama di lantai, memandangi jendela yang tertutup tirai. Hening.

Ia butuh waktu lama untuk mengumpulkan kekuatan berdiri dan mencari Anshel.

Di ruang kerja, ia menemukannya sedang mengenakan jas, mempersiapkan diri untuk pertemuan penting.

“Anshel,” suara Fleur pecah. “Ayahku… meninggal.”

Anshel menghentikan gerakannya. Menatapnya.

“Jam berapa pemakamannya?” tanya Anshel akhirnya.

“Sore. Di Ruthven Chapel.”

Anshel mengangguk pelan. “Aku ada pertemuan dengan delegasi luar negeri. Tidak bisa ditinggalkan.”

Fleur menatapnya dengan mata memerah. “Itu ayahku, Anshel.”

“Aku tahu.”

“Dan kau tidak datang?”

“Aku akan menyusul jika selesai,” katanya seraya melengang pergi.

Fleur jatuh ke lantai, menarik tangisnya yang urung ditahan.

Fleur berdiri perlahan, menarik napas panjang. Ia pergi ke kamar untuk mengenakan baju hitam. 

Tangannya gemetar saat mencoba mengaitkan kancing bajunya.

Langkahnya berat menuju rumah kediaman ayahnya.  Duka kehilangan ayah dan rasa kecewa terhadap suami yang abai sudah cukup buatnya enggan.

Sesampainya di kediaman Ayahnya, orang-orang sudah berkumpul. Lantunan doa dan aroma bunga memenuhi udara, tetapi bagi Fleur, semuanya terasa hampa, bahkan suaminya? Entah kemana.

Kini pasir menutupi pusara ayahnya. Fleur berdiri di tepi liang, menatap tanah yang baru saja digali, merasa hampa. Angin sore mengibas jasnya, dan aroma bunga duka menyelimuti udara. 

Setelah para pelayat pergi, Fleur duduk di samping pusara ayahnya. Air matanya mengalir tanpa henti.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Ceraikan Aku, Tuan Anshel   Bab 6 - Di Bawah Bayangmu

    Payung hitam di tangan Fleur bergetar.Hujan gerimis merambat turun, membasahi teras mansion Robinson yang megah namun terasa seperti makam bagi hidupnya sendiri.Di belakangnya, koper besar yang sudah ia siapkan sejak semalam tergeletak. Tak ada satu pun jejak Anshel—suami yang tak pernah benar-benar menjadi suami—bahkan setelah ia menunggu sampai menjelang pagi.Salah satu pelayan mendekat, wajahnya cemas.“Nyonya Fleur… tolong pikirkan lagi,” suara Kepala Pelayan hampir berbisik, seperti takut dinding mansion itu akan mengadu pada tuannya. “Kalau Tuan Anshel tahu Anda pergi tanpa izin—”“Aku tidak peduli lagi.” Fleur merapikan sarung tangannya, matanya menatap lurus ke pintu gerbang seakan seluruh masa lalunya tersembunyi di balik hujan.Di belakangnya, beberapa pelayan mulai panik.“Setidaknya tunggu Tuan Anshel pulang… Nyonya, dia pasti akan—”Fleur berhenti. Tatapannya dingin dan letih.“Selama tiga tahun pernikahan ini, kapan dia pernah menanyakan keinginanku?”Tak ada yang be

  • Ceraikan Aku, Tuan Anshel   Bab 5 - Pergi

    Permintaan apa lagi yang tidak bisa kau penuhi, Anshel?Fleur naik pitam mendengarnya. Ia berteriak kecil sebelum pria itu sempat melangkah.“Ini hanya perjanjian pernikahan! Apa sulitnya bagimu untuk menandatangani?”Anshel menghela napas pelan. “Jangan keras kepala, Fleur. Ayahmu sudah menyerahkanmu padaku… dan Philippe juga menitipkanmu.”Air mata menggenang di sudut mata Fleur. “Dan kau hanya menjadikanku pajangan di rumah ini?” suaranya pecah.Anshel berdiri tegak. “Aku mau mandi. Tidurlah dulu. Aku tidur di sini malam ini.” Tanpa menunggu jawaban, ia berlalu meninggalkan Fleur di ruang tengah, membuat wanita itu terdiam dalam ketidakberdayaan.Air matanya jatuh satu per satu. Ia bangkit, menuju dapur, membuka lemari wine. Dengan tangan gemetar, ia menarik satu botol. Saat hendak menuangkannya ke gelas, tangannya tergelincir. Gelas itu jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Ketika ia akan Memungutnya, sebuah potongan besar melukai telapak tangannya, darah segar yang menetes

  • Ceraikan Aku, Tuan Anshel   Bab 4 - Terkurung Di Dalammu

    “Hari ini aku banyak waktu. Ada yang mau kamu bicarakan?”Fleur tersenyum getir, menatap suaminya.“Banyak waktu untukku atau kekasihmu?” tanyanya getir. Suaranya yang gemetar kalut dengan keteguhan. “Jangan mulai.”Fleur memutar mata malas. Jangan mulai. Jangan mulai. Sejak kapan mereka memulai hubungan ini?Sejak kapan mereka pernah memulai?“Ada yang ingin aku bicarakan.” cecarnya seraya keluar dari ruangan kecil itu, melangkah menuju ruang tengah. Anshel mengikutinya dari belakang, langkahnya tenang.Keduanya duduk di ruang tengah dengan cahaya lampu temaram yang menyorot meja kayu. Fleur menatap map di tangannya, dadanya berdebar.“Aku ingin kita membicarakan soal kontrak.” katanya, mencoba menahan amarah.“Kau masih membicarakan kontrak itu?” jawab Anshel seraya menatap Fleur tanpa berkedip.“Ya, tentu saja,” tegas Fleur. “Kau tidak pernah memberitahuku, tapi mengubah pasal-pasal seolah aku tidak punya suara. Apa maksudnya?”Anshel menunduk sebentar, menatap map itu. “Ini untu

  • Ceraikan Aku, Tuan Anshel   Bab 3 - Dalam Genggaman Anshel

    Fleur berdiri di depan cermin, melepas jepit rambut hitam yang masih ia gunakan sejak pemakaman ayahnya. Jemarinya kaku, dingin, dan wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.Pintu kamar terbuka.“Kau sudah makan?” tanya Anshel.Pertanyaan itu terasa telat—terlalu telat.“Aku tidak lapar,” jawab Fleur tanpa menatapnya.Keheningan menggantung beberapa detik. Anshel seperti ingin bicara, tapi suaranya tidak keluar. “Aku sudah selesai rapat,” katanya akhirnya.“Ya.” Suara Fleur datar. “Tapi ayahku sudah selesai dimakamkan.”Kata itu mengenai Anshel seperti pukulan yang tidak ia hindari. Bahunya yang tegap turun sedikit, tapi ia tetap berdiri di tempat.“Aku minta maaf.”“Untuk apa?” Fleur tertawa kecil, hambar. “Untuk tidak datang? Untuk tidak memelukku? Untuk tidak ada saat aku butuh seseorang?”Anshel menelan ludah. “Ada hal yang tidak bisa kutinggalkan.”“Dan aku bukan salah satunya?” Fleur menatap Anshel melalui cermin, tatapannya tenang tapi menusuk. “Aku ini apa sebenarnya, An

  • Ceraikan Aku, Tuan Anshel   Bab 2 - Ancaman Dan Duka

    Sudah tiga hari Anshel pulang lewat tengah malam.Dan itu pun bukan benar-benar “pulang”—lebih seperti mampir untuk berganti jas, mandi air hangat, lalu pergi lagi sebelum Fleur sempat mengeluarkan satu kalimat pun.Fleur menatap jam dinding di ruang makan. Pukul dua pagi. Meja panjang itu terhampar sempurna dengan piring porselen dan lilin yang kini tinggal batang pendek. Ia menunggu sejak magrib, dengan gaun rapi yang kini kusut karena sering ia remas tanpa sadar.Pintu depan terdengar dibuka.Anshel masuk dengan langkah santai, seolah rumah ini hanya ruang transit. Aroma parfum mahal yang Fleur kenal begitu baik—aroma yang sekarang membuat dadanya perih—terbayang menempel pada wanita lain sebelum ia sampai di sini.“Ada yang kau perlukan?” tanyanya tanpa melihat Fleur. Jaket dilepas. Jam tangan diletakkan. Tidak ada satu pun gerakan yang mengarah padanya.Fleur berdiri pelan. “Kau tidak makan dari tadi.”“Aku sudah makan,” jawabnya datar.Bersamanya? Pertanyaan itu menggantung di

  • Ceraikan Aku, Tuan Anshel   Bab 1 - Klausul Pernikahan

    Payung hitam di tangan Fleur bergetar pelan ketika gerbang mansion Robinson terbuka. Hujan gerimis membasahi anak tangga marmer, tapi langkahnya tidak goyah. Dua koper besar mengikuti di belakang, ditarik oleh pelayan yang wajahnya penuh cemas.“Nyonya Fleur… tolong pikirkan lagi,” suara Kepala Pelayan hampir berbisik, seperti takut dinding mansion itu akan mengadu pada tuannya. “Kalau Tuan Anshel tahu Anda pergi tanpa izin—”“Aku tidak peduli lagi.” Fleur merapikan sarung tangannya, matanya menatap lurus ke pintu gerbang seakan seluruh masa lalunya tersembunyi di balik hujan.Di belakangnya, beberapa pelayan mulai panik.“Setidaknya tunggu Tuan Anshel pulang… Nyonya, dia pasti akan—”Fleur berhenti. Tatapannya dingin dan letih.“Selama tiga tahun pernikahan ini, kapan dia pernah menanyakan keinginanku?”Tak ada yang berani menjawab.Jubah biru gelap yang ia kenakan berkibar tertiup angin. Wajah Fleur tetap tenang, tapi jemarinya yang mengepal di samping tubuh menunjukkan betapa kera

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status