Se connecter
Payung hitam di tangan Fleur bergetar pelan ketika gerbang mansion Robinson terbuka. Hujan gerimis membasahi anak tangga marmer, tapi langkahnya tidak goyah. Dua koper besar mengikuti di belakang, ditarik oleh pelayan yang wajahnya penuh cemas.
“Nyonya Fleur… tolong pikirkan lagi,” suara Kepala Pelayan hampir berbisik, seperti takut dinding mansion itu akan mengadu pada tuannya. “Kalau Tuan Anshel tahu Anda pergi tanpa izin—”
“Aku tidak peduli lagi.”
Fleur merapikan sarung tangannya, matanya menatap lurus ke pintu gerbang seakan seluruh masa lalunya tersembunyi di balik hujan.Di belakangnya, beberapa pelayan mulai panik.
“Setidaknya tunggu Tuan Anshel pulang… Nyonya, dia pasti akan—”
Fleur berhenti. Tatapannya dingin dan letih.
“Selama tiga tahun pernikahan ini, kapan dia pernah menanyakan keinginanku?”
Tak ada yang berani menjawab.
Jubah biru gelap yang ia kenakan berkibar tertiup angin. Wajah Fleur tetap tenang, tapi jemarinya yang mengepal di samping tubuh menunjukkan betapa keras ia menahan gemetar.
Ia menatap sekali lagi ke arah mansion megah itu—tempat di mana ia datang sebagai pengantin, lalu terperangkap sebagai tahanan.
Tak ada lagi yang bisa ia pertahankan.
“Buka pintunya,” katanya pelan.
Gerbang besi perlahan bergerak. Dentingnya menggema seperti lonceng pemakaman sebuah hubungan.
Hari ini hubungan mereka sudah berakhir.
***
Beberapa minggu sebelumnya…
Fleur menurunkan cangkir tehnya, menatap halaman luas dari balik jendela kaca. Di pangkuannya, terdapat map berisi kontrak pernikahan mereka—kertas yang setiap malam membuatnya sulit tidur.
“Tiga tahun.”
Ia menggumam pelan, jari telunjuknya menelusuri angka itu.Tiga tahun pernikahan pura-pura.
Tiga tahun hidup sebagai istri bangsawan hanya di atas kertas.
Tiga tahun menahan diri dari terluka—dan tetap terluka.
“Sebentar lagi,” bisiknya pada diri sendiri. “Sebentar lagi semuanya berakhir.”
Anshel pasti menantikannya.
Kenapa tidak?
Ia memiliki Ava Grace, wanita yang tidak pernah disembunyikannya.
Fleur bahkan sering melihat sorot mata Anshel melunak hanya ketika Ava menelepon.
Sementara saat menatap istrinya sendiri… tatapan itu selalu hambar.
Fleur memejamkan mata, menahan sesak yang muncul tanpa diminta.
Lebih cepat berakhir, lebih baik. Anshel bisa bebas kembali ke wanita yang ia cintai. Dan Fleur—akhirnya bisa bernapas tanpa bayang-bayang kontrak itu.
Terdengar suara langkah dari ambang pintu. Anshel lewat, jasnya rapi, aromanya mewah. Ia melihat Fleur sekilas, lalu berhenti.
“Apa itu?” tanyanya, nada datarnya tidak menunjukkan minat.
Fleur menutup map itu buru-buru. “Kontrak kita,” jawabnya pelan. “Tinggal beberapa bulan lagi.”
Anshel menatapnya lama. Terlalu lama.
Tapi bukan tatapan lega. Bukan pula tatapan pria yang menunggu kebebasannya.
Justru sorotnya… gelap. Tidak senang.
“Apa kau… menantikannya?” Fleur memberanikan diri bertanya.
Anshel mendekat, suaranya rendah. “Apa yang membuatmu berpikir aku ingin mengakhiri ini?”
Fleur terdiam. Kalimat itu tidak masuk akal.
“Kau punya Ava,” katanya lirih, “dan aku tidak pernah menjadi apa-apa bagimu. Bukankah… itu cukup jelas?”
Anshel menahan napas singkat, seolah ingin mengatakan sesuatu—namun ia memilih diam. Sorot matanya sulit diterjemahkan.
Beberapa detik kemudian ia hanya berkata datar, “Fleur, jangan menyimpulkan apa yang tidak kau tahu.”
“Baca. Kau tak membaca bagian ini, ya?” tanyanya dengan tatapan yang mengeras.
“Anshel, apa kau berencana menipuku? Kenapa kau memperbarui klausul pernikahan kita tanpa sepengetahuanku?”
Anshel tersenyum miring, senyum licik yang selalu membuat darah Fleur mendidih.
“Karena kau tidak patuh padaku. Beberapa bulan terakhir ini kau lebih sering di rumah ayahmu daripada di rumah kita.”
Fleur menatap tajam. “Lantas bagaimana soal skandalmu dengan gundikmu itu?”
“Ubah isi kontraknya, dan kita akhiri semuanya. Aku tidak mau jadi tawananmu seumur hidupku, Tuan Robinson.”
Anshel tetap tenang.
“Kita bisa mengakhiri klausul itu... kalau kau sudah memenuhi peranmu sebagai istriku.”
Fleur menatapnya dengan nada sinis. “Bukankah selama ini aku selalu menuruti kemauanmu?”
Anshel berdiri, langkahnya mantap menghampiri.
“Kita belum selesai. Kamu harus menemaniku sebagai istri, di ranjang, sebelum kita resmi berpisah.
Lalu ia pergi meninggalkan ruangan, membiarkan Fleur menatap punggungnya yang menjauh—semakin jauh dari logika, semakin dekat pada sesuatu yang tidak ia mengerti.
Payung hitam di tangan Fleur bergetar.Hujan gerimis merambat turun, membasahi teras mansion Robinson yang megah namun terasa seperti makam bagi hidupnya sendiri.Di belakangnya, koper besar yang sudah ia siapkan sejak semalam tergeletak. Tak ada satu pun jejak Anshel—suami yang tak pernah benar-benar menjadi suami—bahkan setelah ia menunggu sampai menjelang pagi.Salah satu pelayan mendekat, wajahnya cemas.“Nyonya Fleur… tolong pikirkan lagi,” suara Kepala Pelayan hampir berbisik, seperti takut dinding mansion itu akan mengadu pada tuannya. “Kalau Tuan Anshel tahu Anda pergi tanpa izin—”“Aku tidak peduli lagi.” Fleur merapikan sarung tangannya, matanya menatap lurus ke pintu gerbang seakan seluruh masa lalunya tersembunyi di balik hujan.Di belakangnya, beberapa pelayan mulai panik.“Setidaknya tunggu Tuan Anshel pulang… Nyonya, dia pasti akan—”Fleur berhenti. Tatapannya dingin dan letih.“Selama tiga tahun pernikahan ini, kapan dia pernah menanyakan keinginanku?”Tak ada yang be
Permintaan apa lagi yang tidak bisa kau penuhi, Anshel?Fleur naik pitam mendengarnya. Ia berteriak kecil sebelum pria itu sempat melangkah.“Ini hanya perjanjian pernikahan! Apa sulitnya bagimu untuk menandatangani?”Anshel menghela napas pelan. “Jangan keras kepala, Fleur. Ayahmu sudah menyerahkanmu padaku… dan Philippe juga menitipkanmu.”Air mata menggenang di sudut mata Fleur. “Dan kau hanya menjadikanku pajangan di rumah ini?” suaranya pecah.Anshel berdiri tegak. “Aku mau mandi. Tidurlah dulu. Aku tidur di sini malam ini.” Tanpa menunggu jawaban, ia berlalu meninggalkan Fleur di ruang tengah, membuat wanita itu terdiam dalam ketidakberdayaan.Air matanya jatuh satu per satu. Ia bangkit, menuju dapur, membuka lemari wine. Dengan tangan gemetar, ia menarik satu botol. Saat hendak menuangkannya ke gelas, tangannya tergelincir. Gelas itu jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Ketika ia akan Memungutnya, sebuah potongan besar melukai telapak tangannya, darah segar yang menetes
“Hari ini aku banyak waktu. Ada yang mau kamu bicarakan?”Fleur tersenyum getir, menatap suaminya.“Banyak waktu untukku atau kekasihmu?” tanyanya getir. Suaranya yang gemetar kalut dengan keteguhan. “Jangan mulai.”Fleur memutar mata malas. Jangan mulai. Jangan mulai. Sejak kapan mereka memulai hubungan ini?Sejak kapan mereka pernah memulai?“Ada yang ingin aku bicarakan.” cecarnya seraya keluar dari ruangan kecil itu, melangkah menuju ruang tengah. Anshel mengikutinya dari belakang, langkahnya tenang.Keduanya duduk di ruang tengah dengan cahaya lampu temaram yang menyorot meja kayu. Fleur menatap map di tangannya, dadanya berdebar.“Aku ingin kita membicarakan soal kontrak.” katanya, mencoba menahan amarah.“Kau masih membicarakan kontrak itu?” jawab Anshel seraya menatap Fleur tanpa berkedip.“Ya, tentu saja,” tegas Fleur. “Kau tidak pernah memberitahuku, tapi mengubah pasal-pasal seolah aku tidak punya suara. Apa maksudnya?”Anshel menunduk sebentar, menatap map itu. “Ini untu
Fleur berdiri di depan cermin, melepas jepit rambut hitam yang masih ia gunakan sejak pemakaman ayahnya. Jemarinya kaku, dingin, dan wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.Pintu kamar terbuka.“Kau sudah makan?” tanya Anshel.Pertanyaan itu terasa telat—terlalu telat.“Aku tidak lapar,” jawab Fleur tanpa menatapnya.Keheningan menggantung beberapa detik. Anshel seperti ingin bicara, tapi suaranya tidak keluar. “Aku sudah selesai rapat,” katanya akhirnya.“Ya.” Suara Fleur datar. “Tapi ayahku sudah selesai dimakamkan.”Kata itu mengenai Anshel seperti pukulan yang tidak ia hindari. Bahunya yang tegap turun sedikit, tapi ia tetap berdiri di tempat.“Aku minta maaf.”“Untuk apa?” Fleur tertawa kecil, hambar. “Untuk tidak datang? Untuk tidak memelukku? Untuk tidak ada saat aku butuh seseorang?”Anshel menelan ludah. “Ada hal yang tidak bisa kutinggalkan.”“Dan aku bukan salah satunya?” Fleur menatap Anshel melalui cermin, tatapannya tenang tapi menusuk. “Aku ini apa sebenarnya, An
Sudah tiga hari Anshel pulang lewat tengah malam.Dan itu pun bukan benar-benar “pulang”—lebih seperti mampir untuk berganti jas, mandi air hangat, lalu pergi lagi sebelum Fleur sempat mengeluarkan satu kalimat pun.Fleur menatap jam dinding di ruang makan. Pukul dua pagi. Meja panjang itu terhampar sempurna dengan piring porselen dan lilin yang kini tinggal batang pendek. Ia menunggu sejak magrib, dengan gaun rapi yang kini kusut karena sering ia remas tanpa sadar.Pintu depan terdengar dibuka.Anshel masuk dengan langkah santai, seolah rumah ini hanya ruang transit. Aroma parfum mahal yang Fleur kenal begitu baik—aroma yang sekarang membuat dadanya perih—terbayang menempel pada wanita lain sebelum ia sampai di sini.“Ada yang kau perlukan?” tanyanya tanpa melihat Fleur. Jaket dilepas. Jam tangan diletakkan. Tidak ada satu pun gerakan yang mengarah padanya.Fleur berdiri pelan. “Kau tidak makan dari tadi.”“Aku sudah makan,” jawabnya datar.Bersamanya? Pertanyaan itu menggantung di
Payung hitam di tangan Fleur bergetar pelan ketika gerbang mansion Robinson terbuka. Hujan gerimis membasahi anak tangga marmer, tapi langkahnya tidak goyah. Dua koper besar mengikuti di belakang, ditarik oleh pelayan yang wajahnya penuh cemas.“Nyonya Fleur… tolong pikirkan lagi,” suara Kepala Pelayan hampir berbisik, seperti takut dinding mansion itu akan mengadu pada tuannya. “Kalau Tuan Anshel tahu Anda pergi tanpa izin—”“Aku tidak peduli lagi.” Fleur merapikan sarung tangannya, matanya menatap lurus ke pintu gerbang seakan seluruh masa lalunya tersembunyi di balik hujan.Di belakangnya, beberapa pelayan mulai panik.“Setidaknya tunggu Tuan Anshel pulang… Nyonya, dia pasti akan—”Fleur berhenti. Tatapannya dingin dan letih.“Selama tiga tahun pernikahan ini, kapan dia pernah menanyakan keinginanku?”Tak ada yang berani menjawab.Jubah biru gelap yang ia kenakan berkibar tertiup angin. Wajah Fleur tetap tenang, tapi jemarinya yang mengepal di samping tubuh menunjukkan betapa kera







