"Ruth, apa yang kau lakukan?"
Tiba-tiba seseorang menarik tubuhku hingga jatuh ke belakang dan menindih tubuh orang itu. Aku bangkit perlahan lalu berbalik dan melihat Alex disana.
"Apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan?" teriaknya putus asa, lalu berdiri dan membersihkan debu dari celananya.
"Aku mau bertemu Gerald. Jangan halangi aku! Aku harus menemaninya, agar dia tidak kesepian disana!" balasku berteriak dengan histeris.
Alex langsung memeluk pinggangku, menahanku dari berlari ke ujung pagar dan melompat.
"Tenanglah Ruth, tenanglah. Jangan bersikap seperti ini," tahan Alex sambil terus mendekapku.
"Lepaskan! Lepaskan!" teriakku tanpa peduli.
Tiba-tiba Alex melepaskan dekapannya lalu menamparku dengan keras. Aku terdiam, lalu dia menarik tubuhku dan membopongku di pundaknya dan membawaku kembali masuk ke rumah.
Aku masih terdiam, tidak percaya kalau Alex menamparku untuk pertama kalinya.
"Maafkan aku sudah menamparmu. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu melakukan hal gila seperti itu. Aku tahu beratnya kehilangan Gerald, tapi bukan berarti kita menyerah."
Aku diam menatap dinding kosong di hadapanku dengan pikiran yang sama kosongnya.
"Aku juga terluka dan hampir putus asa karena kehilangan Gerald, tapi apakah bunuh diri bisa menghidupkan Gerald?"
"Ini hidupku! Apa hak mu mengatur apa yang aku lakukan dengan hidupku?" tanyaku dengan marah.
"Aku bukan mengatur hidupmu. Tapi apakah kau memikirkan perasaan Gerald? Apa kau yakin kalau kau bunuh diri, anak kita akan bahagia? Kalau kau mati dan bertemu dengannya, apa yang akan kau katakan kepadanya? Mama bunuh diri karena Gerald? Apa kau yakin dia akan senang mendengarnya? Setidaknya jadilah ibu yang baik untuk saat ini."
Aku menatap Alex dengan tajam dan penuh kebencian.
"Kau memintaku jadi ibu yang baik? Kalau kau menjalankan tugasmu sebagai ayah yang baik, maka saat ini Gerald pasti masih bersama kita!" teriakku sambil memukul lantai dengan keras.
"Apa maksudmu? Mengapa kau menyalahkanku atas kematian Gerald?" tanyanya sambil melotot.
"Andai kau bisa menghasilkan uang dengan benar, kita bisa membawa Gerald ke rumah sakit yang lebih baik dan ditangani dengan lebih serius. Dia pasti bisa disembuhkan dan tetap hidup sampai hari ini!"
"Bagaimana menghasilkan uang dengan benar menurutmu? Kau sendiri tahu bagaimana aku bekerja keras demi keluarga ini. Aku bekerja dari pagi hingga malam! Aku melakukan apapun agar bisa menghasilkan uang!" teriak Alex dengan wajah merah.
Kami seperti berada di medan perang. Untuk pertama kalinya sejak kami menikah 3 setengah tahun yang lalu, kami bicara tanpa berpikir.
"Kerja keras? Yah! Kau bekerja dari pagi sampai malam, karena kekeras kepalaan dan ketakutanmu! Kau memilih untuk mengajar di sekolah dan mengamen dengan melakukan teater jalanan! Kau berpikir itu adalah kerja keras? Kau hanya bekerja untuk dirimu sendiri, dan bukan untuk keluargamu!"
Alex dan aku kuliah di sebuah universitas seni ternama di negeri ini. Alex dua tahun di atasku dan mengambil jurusan teater, sementara aku mengambil jurusan seni rupa. Alex adalah salah satu andalan kampus saat kuliah dulu. Dia sangat berbakat dan juga tampan. Selain itu, dia adalah orang yang sangat mudah diajak bekerja sama. Jadi, saat masih mahasiswa, dia sudah menjadi bagian dari salah satu grup teater terkenal.
Tapi setelah kami menikah dan punya anak, Alex mengundurkan diri dari grup teaternya dan memutuskan untuk menjadi guru teater dan hanya berakting di jalanan bersama komunitas teater jalanan.
"Aku melakukannya demi diriku? Apa kau sadar dengan perkataanmu? Aku berhenti teater karena ingin memiliki waktu lebih banyak untukmu dan Gerald. Aku tidak mungkin tur berhari-hari dan meninggalkan kalian, karena itu aku memilih pekerjaan yang bisa membuatku bersama kalian lebih lama."
"Omong kosong! Kau mundur karena takut bersaing dengan para pemain baru. Berapa banyak produser yang menawarimu untuk bermain film atau menjadi pembawa acara, tapi kau tolak dengan alasan kau adalah seniman teater. Padahal karena kau takut mencoba bidang baru dan sangat keras kepala dengan idealisme yang membuat kita kehilangan anak kita!"
Alex menghela napas dalam sambil menatapku tidak percaya.
"Jadi selama ini itu yang ada di pikiranmu? Selama ini kau berpura-pura mendukung semua keputusanku padahal kau membencinya?"
"Ya! Aku membencinya, tapi kalau aku ungkapkan semuanya, kau pasti akan marah. Kau pasti akan merasa diserang dan disepelekan. Tapi sekarang aku tidak peduli! Kau harus sadar, ketidakmampuanmu mencari uang lah penyebab kematian Gerald!"
"Lalu bagaimana denganmu? Kau juga melakukan hal yang sama. Berapa banyak orang yang memintamu melukis, tapi kau tolak? Kau hanya ingin santai dan tidak ingin berbagi beban mencari uang denganku!"
"Santai? Apa kau pikir menjaga anak itu santai? Aku menyusuinya selama dua tahun, menjaganya seharian penuh. Kapan aku punya waktu melukis? Lagipula dari awal kau yang mengatakan, aku hanya harus fokus menjaga Gerald dan kau yang akan mencari nafkah. Selain itu, kau yang menghamiliku! Sehingga aku harus berada disini!" teriakku, mengeluarkan semua hal yang aku pendam selama ini.
Alex menggelengkan kepala dengan marah.
"Aku yang menghamilimu? Bukankah kau yang mau tidur denganku meski saat itu kita tidak punya hubungan apa-apa?"
"Ruth! Ruth! Apa kau masih tidur?" teriak Sissy sambil menggedor pintu rumahku.Aku membuka pintu tanpa semangat. "Apa semalam kau benar-benar tidak enak badan. Apa kita perlu ke dokter? Wajahmu tampak tidak baik-baik saja.""Tidak usah, aku sudah lebih baik," jawabku berbohong."Dengar, aku punya kabar baik. Tuan Markus membeli 3 buah lukisanmu. Dia benar-benar seorang penggemar sejati yang rela menghabiskan uang demi mendapatkan lukisanmu.""Apa pekerjaannya? Mengapa dia membuang-buang uang untuk membeli lukisan?" tanyaku acuh."Buang uang! Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan? Dia bukan membuang uang! Dia adalah pemilik hotel terbesar di ibukota yang sedang ekspansi ke pulau ini. Apa kau tahu, katanya lukisanmu akan ada di setiap kamar hotelnnya. Karena itu, dia membeli lukisanmu sangat banyak," jelas Sissy bersemangat."Berarti dia bukan penggemar sejati. Dia hanya pengusaha yang pandai menggunakan uangnya. Dia tahu lukisanku jauh lebih murah dibanding dia membeli lukisan ya
Aku bisa melihat Alex sama kagetnya denganku."Ruth," ucapnya lembut."Alex," balasku dingin."Kalian sudah saling kenal?" tanya Sissy terkejut."Dia adalah seniorku di kampus dulu," jawabku cepat.Alex sepertinya melihat ketidaknyamananku. "Ya, kami dulu satu kampus," sahut Alex lalu mengalihkan pandangannya ke luar."Wah kebetulan sekali! Kalau begitu bisakah kau juga mempromosikan lukisan Ruth dan galeri ini?" potong Sissy, mengambil kesempatan dengan cepat."Tentu saja," jawab Alex sambil tersenyum."Tidak !Tidak usah. Kau tidak perlu melakukannya," tolakku cepat.Alex diam saja, tidak berusaha mendebat perkataanku. Suasana menjadi canggung karena penolakanku, padahal Sissy sudah mati-matian membujuk sepupunya dan semua orang yang dia bawa untuk membantu promosi."Maaf, aku permisi dulu. Ada yang harus aku lakukan," ucapku cepat, lalu segera pergi meninggalkan kelompok artis itu.Alex tampak berbeda. Dia sangat modis dan tubuhnya sangat atletis. Di hari perceraian kami, berat bad
3 tahun kemudian"Ruth, orang yang sama kembali membeli lukisanmu. Tidakkah menurutmu kau harus menemuinya dan mengucapkan terima kasih?""Tidak, aku tidak ingin menemui siapapun. Kalau orang itu membelinya, berarti dia menyukai lukisanku. Untuk apa aku menemuinya?" Sissy, managerku hanya menghela napas dalam. Dia tidak pernah menyerah memintaku datang ke galeri dan bertemu dengan para peminat lukisanku.Tapi sampai hari ini, aku masih kesulitan bertemu dengan banyak orang. Aku menatap lautan yang teduh, lalu menorehkan warna biru di kanvas dengan kuasku.Sudah 2,5 tahun aku mengasingkan diri ke kota kecil ini. Kota Santa Fe yang terdapat dipulau indah bernama sama, Santa Fe.Aku pergi setelah semua urusan perceraianku selesai. Alex menjual rumah yang diberikan ayahnya dan memberikan setengah dari hasil penjualannya kepadaku. Aku hanya mengambil sedikit, dan memberikan sisanya kepada orangtuaku. Uang itulah yang kugunakan untuk hidup di pulau ini. Awalnya aku bekerja apa saja, agar
Hari itu, hampir empat tahun yang lalu. Aku merayakan kelulusanku dari fakultas seni rupa bersama teman-temanku satu jurusan. Kami semua ingin menikmati kebebasan kami dari kampus dan sengaja menyewa sebuah villa untuk berpesta dengan bebas.Untuk membuatnya lebih seru, kami juga mengundang para mahasiswa dari jurusan lain dan entah bagaimana Alex juga hadir disana. Malam itu, untuk pertama kalinya aku menegak alkohol dan terbawa suasana. Tentu saja aku mengincar pria tertampan disana, yaitu Alex. Banyak mahasiswa yang juga mengincarnya, tapi entah kenapa Alex memilihku.Belakangan dia mengaku, kalau sebenarnya dia langsung jatuh cinta padaku saat melihatku pertama kalinya malam itu.Kami berdua naik ke kamar, tadinya kami hanya ingin mencari tempat yang tenang untuk berbicara. Tapi pengaruh alkohol dan suasana yang mendukung membuat kami melakukan hubungan yang seharusnya tidak kami lakukan.Setelah malam itu kami tidak pernah bertemu lagi, sampai 2 bulan kemudian aku menyadari kala
"Ruth, apa yang kau lakukan?" Tiba-tiba seseorang menarik tubuhku hingga jatuh ke belakang dan menindih tubuh orang itu. Aku bangkit perlahan lalu berbalik dan melihat Alex disana."Apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan?" teriaknya putus asa, lalu berdiri dan membersihkan debu dari celananya."Aku mau bertemu Gerald. Jangan halangi aku! Aku harus menemaninya, agar dia tidak kesepian disana!" balasku berteriak dengan histeris. Alex langsung memeluk pinggangku, menahanku dari berlari ke ujung pagar dan melompat."Tenanglah Ruth, tenanglah. Jangan bersikap seperti ini," tahan Alex sambil terus mendekapku."Lepaskan! Lepaskan!" teriakku tanpa peduli. Tiba-tiba Alex melepaskan dekapannya lalu menamparku dengan keras. Aku terdiam, lalu dia menarik tubuhku dan membopongku di pundaknya dan membawaku kembali masuk ke rumah.Aku masih terdiam, tidak percaya kalau Alex menamparku untuk pertama kalinya."Maafkan aku sudah menamparmu. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu melakukan hal gila seper
Dua hari kemudian.Hari ini untuk pertama kalinya, hanya ada aku dan Alex di rumah kami. Kemarin, sehari setelah pemakaman Gerald, hampir semua orang masih menginap disini untuk menemani kami. Tapi hidup masih berjalan untuk mereka, jadi mereka harus kembali ke rutinitas mereka.Aku meringkuk di atas tempat tidurku, tanpa suara, tanpa tangis. Berbagai pertanyaan muncul dalam kepalaku, tapi semua berawal dengan kata 'kenapa'. Penyesalan, kemarahan, kesedihan, keputusasaan dan kekecewaan bercampur jadi satu. Aku terus mengutuki diriku sendiri dan mencari alasan atas kepergian Gerald."Kau mau makan?" Tiba-tiba Alex masuk ke dalam kamar, dan bicara denganku setelah berhari-hari kami tidak berkomunikasi. Aku diam, dan terus menatap dinding kamarku."Aku sudah memesan makanan dan meletakkannya di meja makan. Makanlah kalau kau lapar," ucapnya tanpa emosi, lalu keluar dan menutup pintu.Aku takjub, pria itu masih bisa memesan makanan dan bicara denganku sedingin itu. Apa dia tidak merasa a