LOGINHari itu, hampir empat tahun yang lalu. Aku merayakan kelulusanku dari fakultas seni rupa bersama teman-temanku satu jurusan. Kami semua ingin menikmati kebebasan kami dari kampus dan sengaja menyewa sebuah villa untuk berpesta dengan bebas.
Untuk membuatnya lebih seru, kami juga mengundang para mahasiswa dari jurusan lain dan entah bagaimana Alex juga hadir disana.
Malam itu, untuk pertama kalinya aku menegak alkohol dan terbawa suasana. Tentu saja aku mengincar pria tertampan disana, yaitu Alex. Banyak mahasiswa yang juga mengincarnya, tapi entah kenapa Alex memilihku.
Belakangan dia mengaku, kalau sebenarnya dia langsung jatuh cinta padaku saat melihatku pertama kalinya malam itu.
Kami berdua naik ke kamar, tadinya kami hanya ingin mencari tempat yang tenang untuk berbicara. Tapi pengaruh alkohol dan suasana yang mendukung membuat kami melakukan hubungan yang seharusnya tidak kami lakukan.
Setelah malam itu kami tidak pernah bertemu lagi, sampai 2 bulan kemudian aku menyadari kalau aku hamil. Kedua orangtuaku tentu saja sangat marah, bahkan ibu memaksaku untuk menggugurkan kandunganku.
Keadaan keluarga kami tidak terlalu baik. Ayahku hanya pegawai rendahan di kantor pos, sementara ibuku tinggal di rumah mengurus nenekku yang menderita demensia parah.
Aku bisa kuliah karena mendapat beasiswa penuh dari kampus, dan aku adalah satu-satunya harapan mereka agar bisa hidup tenang di hari tuanya.
Hamil setelah melakukan hubungan intim satu kali sama sekali tidak ada dalam rencana hidupku, tapi menggugurkan bayi yang sedang tumbuh dalam rahimku lebih terasa salah.
Akhirnya aku mencari Alex dan mengatakan semuanya. Hal yang tidak pernah aku duga adalah reaksi Alex. Dia tidak marah, menyesal atau bahkan mengingkari kehamilanku. Sebaliknya dia langsung memelukku dengan erat.
"Kalau begitu kita harus menikah secepatnya!" bisiknya yang terdengar seperti musik yang sangat indah di telingaku.
Kami segera menikah tanpa pesta atau perayaan apapun. Aku bahkan tidak memberitahu para sahabatku tentang pernikahan kami. Aku hanya ingin hidup bersama Alex dan membesarkan anak kami dengan penuh cinta.
Melihat keadaan keluarga Alex yang cukup berada, orangtuaku juga berubah menjadi pendukung kami. Bagaimana mereka tidak bahagia, ayah Alex memberikan mahar sebuah mobil untuk ayahku dan memberikan rumah yang kami tempati sekarang ini sebagai kado pernikahan.
Semua tampak luar biasa dan sempurna. Ibu Alex sering mengirimiku uang untuk keperluan kami sehari-hari, karena tahu gaji Alex tidak terlalu besar. Dia juga sering mengajakku berbelanja dan memperlakukanku dengan sangat baik.
Hingga suatu hari, kira-kira sebulan setelah Gerald lahir. Ayah mertuaku divonis menderita kanker hati stadium 3. Dunia kami runtuh. Segala hal dilakukan untuk pengobatan ayah mertuaku, dan membutuhkan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Tentu saja hal itu membuat aku dan Alex terpaksa mulai berdiri di atas kaki kami sendiri.
Keluarga Alex tidak bisa menyokong ekonomi kami lagi. Sejak saat itulah aku sadar, bahwa rasa pernikahan itu bukan hanya manis, tapi juga pahit.
***
"Ternyata kau seorang laki-laki brengsek!" makiku sambil melempar bantal sofa yang ada di sampingku.
"Ya! Aku memang brengsek! Dan kau memutuskan untuk hamil, menikah dan hidup bersama laki-laki brengsek ini!" balas Alex tidak kalah keras.
Ada apa dengan kami? Kenapa kami sanggup mengatakan hal-hal semenyakitkan ini, padahal beberapa hari lalu kami masih menertawakan keadaan kami. Kami masih saling bergandengan tangan untuk merawat Gerald, sambil membayangkan kehidupan indah yang menanti kami.
"Sekarang aku tidak mau lagi hidup bersamamu. Aku tidak mau lagi menikah denganmu, bahkan aku tidak mau lagi bertemu denganmu!" ucapku datar tanpa emosi apapun. Aku sangat membenci Alex.
"Baik, besok kita urus perceraian kita!" jawab Alex juga dengan suara datar.
"Ruth, apa kau masih disana?" panggil Sissy khawatir."Ya, aku masih di sini.""Ada apa?""Aku hanya sedang memikirkan ... Alex. Aku yakin kami tidak saling mencintai, lalu kenapa dia lakukan semua ini?""Kau yakin atau kau meyakinkan dirimu sendiri? Cobalah sekali-kali jujur pada dirimu sendiri tentang perasaanmu, Ruth. Tidak usah mencari alasan, memaksakan keadaan atau bahkan memanipulasi perasaanmu sendiri.""Aku-""Tidak usah menjelaskan apapun kepadaku. Sekarang renungkan saja sendiri. Nanti aku akan ke rumah sakit mengunjungimu. Sebelumnya, ada beberapa hal yang harus kuselesaikan dulu.""Baiklah," jawabku pelan.Aku duduk di luar kamar ayahku mencoba mencerna semua hal yang terjadi. Keputusanku untuk kembali bersama Bram dan menjauhi Alex. Sikap Bram yang sering membuatku tidak nyaman dan sikap Alex yang membuatku merasa pulang ke rumah yang sudah lama kutinggalkan.Hal yang paling menggangguku adalah, hasratku terhadap Alex tidak berubah malah semakin menjadi. Tadinya aku piki
"Ruth, Alex," panggil seseorang.Kami langsung berpaling ke arah orang yang memanggil kami."Mama," ucapku kaget."Kapan kalian sampai? Kenapa tidak masuk?" tanya ibuku sambil menatap kami bergantian."Selamat malam, bibi. Tadi kami sudah masuk, tapi karena bibi sedang tidur kami keluar agar tidak mengganggu," jawab Alex dengan santai."Kenapa mama keluar?" "Mama, mau mengambil air panas.""Sini bibi, aku saja yang ambilkan.""Tidak boleh. Pakai maskermu, jangan sampai ada yang melihatmu disini, atau mereka akan menyerbumu.""Tidak apa-apa, bibi. Aku-""Nak, aku tahu niat baikmu. Aku juga senang melihatmu kesini bersama Ruth. Tapi sekarang kau adalah artis besar. Kalau ada yang tahu kau kesini dan mengorek masa lalumu, karirmu bisa hancur.""Tapi-""Alex, pulanglah. Aku akan menemani mama," potongku sambil menatap Alex dengan sungguh-sungguh."Baiklah. Aku akan meminta Deo membawa kopermu kesini.""Bibi, aku pulang dulu. Tolong jaga kesehatan, bi. Jangan terlambat makan dan banyak-ban
"Ada apa?""Kau melamun? Aku bilang sebaiknya kau juga memakai masker dan topi, demi keamananmu.""Oh, baiklah," jawabku cepat sambil mengambil masker dan topi dari tangan manajer Alex, lalu segera mengeluarkan telepon genggamku untuk mengalihkan rasa gugup yang tiba-tiba muncul."Sebaiknya, tinggalkan saja dulu kopermu, agar kita bisa masuk dengan cepat. Nanti Deo akan membawakannya," lanjut Alex, aku hanya mengangguk.Akhirnya kami tiba di Community Medical, bayangan tentang tubuh Alex langsung menguap digantikan rasa sesak di dadaku. Semua bayangan tentang pengalamanku di rumah sakit ini tiba-tiba muncul lagi.Aku menutup mata dan memegang dadaku sambil mencoba bernapas dengan tenang."Apa kau bisa masuk ke sana?" tanya Alex khawatir. Aku membuka mataku perlahan lalu mengangguk dengan pelan."Pegang tanganku," pintanya sambil memberikan tangannya."Alex, kalau ada yang melihat-"Deo terlihat panik."Tidak apa-apa," potong Alex terus menatapku.Perlahan kuraih tangan Alex, lalu Ale
Aku menatap Alex dengan berbagai pikiran berkecambuk di kepalaku."Iya," jawabku singkat. Hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku."Apa karena kau mencintainya atau karena kau merasa bersalah?" tanyanya lagi."Alex, tapi aku tidak ingin membicarakan masalah pribadiku denganmu, terutama tentang hal itu," tegasku tanpa basa-basi."Baiklah, aku mengerti. Lagipula saat ini kita hanya dua orang asing," jawabnya sambil tersenyum, sama sekali tidak terganggu dengan penolakanku, tapi ... kenapa rasanya sakit, melihatnya tidak peduli saat aku bersama orang lain?"Itu panggilan untuk kita. Ayo, kita masuk," ajak Alex dengan santai setelah mendengar pengumuman dari pengeras suara, seakan-akan kami memang dua orang asing yang baru bertemu dan tidak memiliki masa lalu apapun.Alex mempersilakan aku berjalan duluan, lalu mengikuti di belakangku. Dari ruang tunggu menuju ke pesawat, aku bisa mendengar beberapa orang menyapa Alex dengan cukup heboh, tapi aku tidak menengok ke belakang.Ternyata di
"Aku mau ke ibukota, ada sesuatu yang harus kuselesaikan di sana. Aku tidak menyangka akan melihatmu mengeluh disini," jawabnya sambil duduk di hadapanku."Apa Andine yang memberitahumu? Karena dia lah yang membelikanku tiket," tanyaku curiga."Lalu?" tanya Alex terlihat bingung."Maksudku, apa kau mengikutiku?""Untuk apa?" tanya Alex lagi, membuatku salah tingkah. Aku terlalu besar kepala. Alex benar, untuk apa dia mengikutiku? "Maaf aku pikir ... Aku sedang panik, jadi tidak bisa berpikir jernih, maaf," ucapku terbata-bata."Aku dengar dari mama apa yang terjadi dengan ayahmu," jawab Alex mengacuhkan kesalahanku.Aku hanya mengangguk, lagi-lagi airmata mulai mengalir ke pipiku.Alex segera mengeluarkan sapu tangan dan menyerahkannya kepadaku."Jangan terlalu khawatir. Paman adalah laki-laki yang kuat, aku yakin dia pasti akan mengalahkan penyakitnya," hibur Alex dengan tenang.Aku mengangguk sambil menyeka air mataku dengan sapu tangan yang Alex berikan. Sapu tangan dengan aroma y
"Papa, sakit?" tanyaku terkejut."Bagaimana mama bisa tahu?" lanjutku bertanya dengan jantung yang tiba-tiba berdetak cepat."Saat Alex bertemu denganmu, dia langsung memberitahu mama. Dia memberitahu kalau nenekmu suidah meninggal dan meminta mama menemui kedua orangtuamu untuk mengucapkan belasungkawa, sekaligus menanyakan kabar mereka."Aku diam tapi air mata mulai berkumpul di sekitar mataku."Saat itulah ibumu menceritakan tentang pertengkaran kalian dan penyakit ayahmu.""Apakah sangat parah?" tanyaku berhati-hati. Ibu Alex mengangguk."Bukankah lebih baik kalau kau menghubungi ibumu dan bicara dengannya?""Tapi-""Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang menghubunginya dan memberitahu dia, kalau kau bersamaku?" Aku mengangguk. Semarah-marahnya aku tidak mungkin aku mengacuhkan ayahku yang sakit parah."Halo nyonya, apa kabar?""Aku sedang bersama Ruth sekarang, apakah anda mau bicara dengannya?"Aku diam saja menunggu reaksi ibuku. Tiba-tiba ibu Alex menyerahkan telepon genggamn







