MasukDua hari kemudian.
Hari ini untuk pertama kalinya, hanya ada aku dan Alex di rumah kami. Kemarin, sehari setelah pemakaman Gerald, hampir semua orang masih menginap disini untuk menemani kami. Tapi hidup masih berjalan untuk mereka, jadi mereka harus kembali ke rutinitas mereka.
Aku meringkuk di atas tempat tidurku, tanpa suara, tanpa tangis. Berbagai pertanyaan muncul dalam kepalaku, tapi semua berawal dengan kata 'kenapa'. Penyesalan, kemarahan, kesedihan, keputusasaan dan kekecewaan bercampur jadi satu. Aku terus mengutuki diriku sendiri dan mencari alasan atas kepergian Gerald.
"Kau mau makan?"
Tiba-tiba Alex masuk ke dalam kamar, dan bicara denganku setelah berhari-hari kami tidak berkomunikasi. Aku diam, dan terus menatap dinding kamarku.
"Aku sudah memesan makanan dan meletakkannya di meja makan. Makanlah kalau kau lapar," ucapnya tanpa emosi, lalu keluar dan menutup pintu.
Aku takjub, pria itu masih bisa memesan makanan dan bicara denganku sedingin itu. Apa dia tidak merasa apa yang kurasakan? Apa dia tidak merasa bersalah? Apa mungkin baginya juga hidup terus berjalan?
Tiba-tiba aku kembali menangis, meratapi nasibku. Kenapa hanya aku yang merasakan kalau ini adalah akhir dunia? Kenapa hanya aku yang tidak sanggup lagi menatap matahari atau menghirup udara pagi? Aku menangis dan terus menangis, hingga kelelahan dan akhirnya tertidur.
"Ruth, bangunlah. Kau harus makan sesuatu, kalau tidak kau bisa jatuh sakit."
Aku membuka mataku, entah kapan mereka tiba, tapi ayah dan ibuku sudah berdiri di sisi tempat tidurku dengan wajah khawatir.
"Aku memang ingin sakit dan menyusul Gerald, ma," jawabku lemah.
"Apa kau sudah gila? Kami semua juga merasa sedih kehilangan Gerald, tapi bukan berarti menjadi putus asa seperti itu. Sekarang, duduklah dan makan!" perintah ibuku sambil menahan airmatanya.
"Papa akan menyuapimu, sekarang papa mohon duduklah," potong ayahku, setelah menarik ibuku dan menyuruhnya keluar.
Aku memaksakan diri untuk bangun dan duduk bersandar dengan bantuan ayahku. Lalu ayahku mulai menyuapi bubur daging buatan ibuku dengan takaran kecil.
"Kamu selalu menyukai bubur ini. Terutama setiap kali kau sakit. Bahkan saat tidak ada makanan lain yang bisa kau telan, kau tetap menyantap bubur ini dengan lahap," ujar ayahku sambil terus menyuapiku.
Aku membuka mulutku beberapa kali, lalu berhenti.
"Aku sudah kenyang, Pa," ucapku sambil menoleh saat ayahku menyuapiku.
"Tapi kata Alex, sudah dua hari kau tidak makan dan minum apapun. Makanlah sedikit lagi, nak," bujuk ayahku.
Aku menggelengkan kepala tanpa mengatakan apapun.
"Kalau begitu, minum dulu sebelum kau kembali beristirahat."
Aku meneguk air putih hangat yang diberikan ayahku. Lalu kembali meringkuk. Aku bukannya tidak melihat raut kesedihan di wajah ayahku, karena keadaan putrinya yang sangat buruk. Tapi aku tidak punya kekuatan untuk menghiburnya, karena aku terlalu terluka.
"Ruth, nanti kalaupun kau tidak ingin makan, setidaknya minum lah air putih agar kau tidak kekurangan cairan. Maaf, papa tidak bisa lama-lama disini karena harus bekerja, mama juga tidak bisa meninggalkan nenekmu terlalu lama. Tapi papa yakin, kau pasti akan kuat menghadapi cobaan ini," hibur ayahku sambil membelai punggungku.
Aku diam saja, tidak mampu mengucapkan sepatah katapun.
***
Aku terbangun dengan kaget, karena tidak ada seorangpun di sisiku.
"Gerald!" pekikku kaget.
Biasanya dia tidur di sampingku, kemana dia? Aku langsung turun dari tempat tidur dan menyalakan lampu. Lalu tiba-tiba tersadar, Gerald sudah tiada. Dadaku terasa nyeri, dan napasku terasa sesak. Inilah sebabnya aku benci terbangun dari tidur, karena kenyataan yang menungguku sangat menyakitkan.
Aku berjalan perlahan keluar dari kamarku. Ruang tamu sangat gelap, mungkin ini sudah tengah malam, karena langit juga sangat gelap. Aku terus melangkah naik ke lantai atas rumah kami. Gerald tidak pernah naik kesini, karena terlalu berbahaya.
Hanya ada satu kamar untuk gudang dan sisanya ruang terbuka untuk menjemur pakaian dan menanam beberapa tanaman rempah-rempah kesukaanku.
Entah apa yang menggerakkanku, tapi kaki ku tiba-tiba melangkah semakin mendekati pagar balkon yang hanya setinggi pahaku.
Aku berdiri terpaku disana sambil menatap ke bawah. Melihat permukaan beton yang menungguku, membuatku yakin kalau aku pasti akan langsung mati bila aku melompat.
Sepertinya itu bukan ide buruk. Kalau aku mati, aku pasti bisa bertemu Gerald dan kami akan bersatu kembali. Aku bisa merawatnya dan dia tidak akan kesepian di alam sana. Aku tersenyum lega, akhirnya aku menemukan cara untuk bisa menemui Gerald.
"Tunggu mama sayang," gumamku sambil mengangkat satu kaki untuk melewati pagar pembatas.
"Ruth, apa kau masih disana?" panggil Sissy khawatir."Ya, aku masih di sini.""Ada apa?""Aku hanya sedang memikirkan ... Alex. Aku yakin kami tidak saling mencintai, lalu kenapa dia lakukan semua ini?""Kau yakin atau kau meyakinkan dirimu sendiri? Cobalah sekali-kali jujur pada dirimu sendiri tentang perasaanmu, Ruth. Tidak usah mencari alasan, memaksakan keadaan atau bahkan memanipulasi perasaanmu sendiri.""Aku-""Tidak usah menjelaskan apapun kepadaku. Sekarang renungkan saja sendiri. Nanti aku akan ke rumah sakit mengunjungimu. Sebelumnya, ada beberapa hal yang harus kuselesaikan dulu.""Baiklah," jawabku pelan.Aku duduk di luar kamar ayahku mencoba mencerna semua hal yang terjadi. Keputusanku untuk kembali bersama Bram dan menjauhi Alex. Sikap Bram yang sering membuatku tidak nyaman dan sikap Alex yang membuatku merasa pulang ke rumah yang sudah lama kutinggalkan.Hal yang paling menggangguku adalah, hasratku terhadap Alex tidak berubah malah semakin menjadi. Tadinya aku piki
"Ruth, Alex," panggil seseorang.Kami langsung berpaling ke arah orang yang memanggil kami."Mama," ucapku kaget."Kapan kalian sampai? Kenapa tidak masuk?" tanya ibuku sambil menatap kami bergantian."Selamat malam, bibi. Tadi kami sudah masuk, tapi karena bibi sedang tidur kami keluar agar tidak mengganggu," jawab Alex dengan santai."Kenapa mama keluar?" "Mama, mau mengambil air panas.""Sini bibi, aku saja yang ambilkan.""Tidak boleh. Pakai maskermu, jangan sampai ada yang melihatmu disini, atau mereka akan menyerbumu.""Tidak apa-apa, bibi. Aku-""Nak, aku tahu niat baikmu. Aku juga senang melihatmu kesini bersama Ruth. Tapi sekarang kau adalah artis besar. Kalau ada yang tahu kau kesini dan mengorek masa lalumu, karirmu bisa hancur.""Tapi-""Alex, pulanglah. Aku akan menemani mama," potongku sambil menatap Alex dengan sungguh-sungguh."Baiklah. Aku akan meminta Deo membawa kopermu kesini.""Bibi, aku pulang dulu. Tolong jaga kesehatan, bi. Jangan terlambat makan dan banyak-ban
"Ada apa?""Kau melamun? Aku bilang sebaiknya kau juga memakai masker dan topi, demi keamananmu.""Oh, baiklah," jawabku cepat sambil mengambil masker dan topi dari tangan manajer Alex, lalu segera mengeluarkan telepon genggamku untuk mengalihkan rasa gugup yang tiba-tiba muncul."Sebaiknya, tinggalkan saja dulu kopermu, agar kita bisa masuk dengan cepat. Nanti Deo akan membawakannya," lanjut Alex, aku hanya mengangguk.Akhirnya kami tiba di Community Medical, bayangan tentang tubuh Alex langsung menguap digantikan rasa sesak di dadaku. Semua bayangan tentang pengalamanku di rumah sakit ini tiba-tiba muncul lagi.Aku menutup mata dan memegang dadaku sambil mencoba bernapas dengan tenang."Apa kau bisa masuk ke sana?" tanya Alex khawatir. Aku membuka mataku perlahan lalu mengangguk dengan pelan."Pegang tanganku," pintanya sambil memberikan tangannya."Alex, kalau ada yang melihat-"Deo terlihat panik."Tidak apa-apa," potong Alex terus menatapku.Perlahan kuraih tangan Alex, lalu Ale
Aku menatap Alex dengan berbagai pikiran berkecambuk di kepalaku."Iya," jawabku singkat. Hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku."Apa karena kau mencintainya atau karena kau merasa bersalah?" tanyanya lagi."Alex, tapi aku tidak ingin membicarakan masalah pribadiku denganmu, terutama tentang hal itu," tegasku tanpa basa-basi."Baiklah, aku mengerti. Lagipula saat ini kita hanya dua orang asing," jawabnya sambil tersenyum, sama sekali tidak terganggu dengan penolakanku, tapi ... kenapa rasanya sakit, melihatnya tidak peduli saat aku bersama orang lain?"Itu panggilan untuk kita. Ayo, kita masuk," ajak Alex dengan santai setelah mendengar pengumuman dari pengeras suara, seakan-akan kami memang dua orang asing yang baru bertemu dan tidak memiliki masa lalu apapun.Alex mempersilakan aku berjalan duluan, lalu mengikuti di belakangku. Dari ruang tunggu menuju ke pesawat, aku bisa mendengar beberapa orang menyapa Alex dengan cukup heboh, tapi aku tidak menengok ke belakang.Ternyata di
"Aku mau ke ibukota, ada sesuatu yang harus kuselesaikan di sana. Aku tidak menyangka akan melihatmu mengeluh disini," jawabnya sambil duduk di hadapanku."Apa Andine yang memberitahumu? Karena dia lah yang membelikanku tiket," tanyaku curiga."Lalu?" tanya Alex terlihat bingung."Maksudku, apa kau mengikutiku?""Untuk apa?" tanya Alex lagi, membuatku salah tingkah. Aku terlalu besar kepala. Alex benar, untuk apa dia mengikutiku? "Maaf aku pikir ... Aku sedang panik, jadi tidak bisa berpikir jernih, maaf," ucapku terbata-bata."Aku dengar dari mama apa yang terjadi dengan ayahmu," jawab Alex mengacuhkan kesalahanku.Aku hanya mengangguk, lagi-lagi airmata mulai mengalir ke pipiku.Alex segera mengeluarkan sapu tangan dan menyerahkannya kepadaku."Jangan terlalu khawatir. Paman adalah laki-laki yang kuat, aku yakin dia pasti akan mengalahkan penyakitnya," hibur Alex dengan tenang.Aku mengangguk sambil menyeka air mataku dengan sapu tangan yang Alex berikan. Sapu tangan dengan aroma y
"Papa, sakit?" tanyaku terkejut."Bagaimana mama bisa tahu?" lanjutku bertanya dengan jantung yang tiba-tiba berdetak cepat."Saat Alex bertemu denganmu, dia langsung memberitahu mama. Dia memberitahu kalau nenekmu suidah meninggal dan meminta mama menemui kedua orangtuamu untuk mengucapkan belasungkawa, sekaligus menanyakan kabar mereka."Aku diam tapi air mata mulai berkumpul di sekitar mataku."Saat itulah ibumu menceritakan tentang pertengkaran kalian dan penyakit ayahmu.""Apakah sangat parah?" tanyaku berhati-hati. Ibu Alex mengangguk."Bukankah lebih baik kalau kau menghubungi ibumu dan bicara dengannya?""Tapi-""Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang menghubunginya dan memberitahu dia, kalau kau bersamaku?" Aku mengangguk. Semarah-marahnya aku tidak mungkin aku mengacuhkan ayahku yang sakit parah."Halo nyonya, apa kabar?""Aku sedang bersama Ruth sekarang, apakah anda mau bicara dengannya?"Aku diam saja menunggu reaksi ibuku. Tiba-tiba ibu Alex menyerahkan telepon genggamn







