Bab 2 : Pantulan yang Tidak Pernah Ada

--- “Kadang, pantulan bukanlah bayanganmu. Tapi sesuatu yang ingin menggantikanmu.”

Hujan masih membasahi jendela apartemen ketika Arsita terbangun dengan napas tersengal. Jam dinding menunjukkan pukul 03:17 dini hari. Cahaya kilat dari luar sesekali menembus tirai dan membuat bayangan cermin besar di sudut ruangan tampak hidup.

Dia menatap ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.

Tidak ada versi gelap dirinya. Tidak ada suara. Tidak ada listrik.

Tapi… cermin itu retak sedikit di bagian kiri atas. Padahal sebelumnya mulus. Arsita berdiri pelan, mendekatinya.

Retakannya berbentuk seperti mata yang mengintip dari balik tirai.

“Gila,” bisiknya, mencoba menenangkan diri. “Mungkin gue halu. Kurang tidur. Overwork. Atau…”

Kilatan kilat menyambar lagi. Di pantulan cermin, lampu apartemen menyala. Tapi kenyataannya masih mati total.

Dan di pantulan itu, terlihat sosok lelaki berdiri di dapur.

“Siapa lo?” gumam Arsita, berbalik. Tapi dapurnya kosong.

Dia tatap lagi cermin itu — dan sosok pria itu masih di sana. Kali ini lebih dekat. Muka tidak jelas, tapi tinggi besar dan memakai baju lusuh.

> “Tolong aku,” suara lelaki itu muncul. Tapi bukan dari cermin. Dari... dalam kepalanya.

---

Paginya, listrik kembali menyala. Tapi cermin itu—tidak ada lagi di ruang tamu. Arsita panik, memeriksa seluruh ruangan. Tak mungkin ada yang masuk. Pintu terkunci. Jendela tak terbuka.

Tapi kemudian ia melihat ke layar ponselnya. Ada foto baru di galeri. Ia tak ingat pernah memotret ini.

Foto dirinya sedang berdiri di depan cermin, tapi versi yang di cermin tersenyum lebar dengan mata hitam.

Dan di pojok foto, ada tulisan samar:

> “Dimensi ketiga menunggu.”

---

Hari itu, di kampus, Arsita nekat mencari file apapun tentang bangunan kampus tua dan sejarah ruang bawah tanah. Ia menyelinap ke ruang arsip fakultas, membuka map yang bahkan sudah dimakan rayap. Di salah satu map tahun 1967, ia menemukan surat tua dari seorang dosen yang bernama Prof. Wiratmaja.

Isinya membuat bulu kuduknya meremang:

> "Cermin itu bukan artefak. Itu alat. Portal. Saya melihat murid-murid saya kembali dengan mata kosong setelah menatapnya. Beberapa menghilang. Yang tersisa... bukan lagi mereka."

> "Saya menduga ada ritual. Sebuah kelompok. Mereka menyebut dirinya 'Kaleidos'. Mereka percaya refleksi adalah versi murni jiwa manusia. Tapi... yang muncul dari cermin bukanlah refleksi. Itu predator."

Di bawah surat, tercetak stempel besar:

“TIDAK UNTUK DIPUBLIKASIKAN”

---

Saat sore menjelang, seorang mahasiswa bimbingannya bernama Reyhan datang ke ruang dosen dengan wajah tegang.

“Bu… saya tahu ini mungkin aneh, tapi… semalam saya lihat Ibu. Di mimpiku. Ibu berdiri di jembatan tua di Islandia. Tapi bajunya jubah merah. Dan mata Ibu—hitam pekat.”

Arsita terdiam. “Apa yang Ibu lakukan di sana?”

Reyhan menggigit bibir. “Ibu bilang… ‘Bawa aku kembali sebelum portal ketiga terbuka. Sebelum semuanya jadi satu.’”

---

Malam itu, Arsita kembali ke apartemen dengan kepala berdenyut. Ia mulai mencatat semua kejadian sejak cermin itu muncul:

1. Refleksi tak sinkron

2. Suara dari dalam kepala

3. Foto misterius

4. Surat Prof. Wiratmaja

5. Mimpi Reyhan

Satu benang merah muncul: semua berpusat pada dunia lain. Dan ia mulai sadar…

Versi lain dari dirinya sedang berusaha menggantikan tempatnya.

Dan itu bukan hanya mimpi. Ini nyata.

Karena jam 3:17 dini hari itu, cermin muncul kembali di ruang tamu.

Tapi kali ini, cermin itu berdarah.

Dan dari dalamnya, suara terdengar jelas, seperti seseorang bicara tepat di belakang telinganya:

> “Selamat datang di Kaleidos, Arsita. Sekarang giliranmu…”

---

To Be Continued...

---