Share

10. Life Must Goes On

@arga

[lia, aku benar-benar nyesel]

[please... forgive me?]

"Hah! Apa-apaan nih?" 

Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya. 

Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus. 

"Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa. 

"Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjelaskan dengan nada menggebu-gebu sambil mencomot salah satu roti bakarnya. "Kok masih lo simpen aja sih nomernya? Block aja kali Li, sekalian kalau bisa block dari kehidupan juga."

Lia tertawa pelan. Memakan roti bakarnya seraya melihat pesan Arga sekilas. "Nanti lah, gampang."

"Lo tau nggak Arga kemana kemaren habis berantem sama lo?"

"Mana gue tau lah. Emang gue pacarnya?"

"Oh iya lupa, dah jadi mantan." Nadila merubah posisi duduk mejadi menghadap Lia. Ekspresinya serius kali ini. "Gue dikasih tau Arwin. Katanya kemaren Arga ngajakin ke club, tapi Arwin nggak bisa. Eh, nggak mau ding. Masih males katanya. Mahen juga nggak bisa soalnya besoknya ada kelas pagi. Kalau Azka nggak tau tuh soalnya nggak ada jawab apa-apa. Gue yakin pasti nyusulin Arga kesana. Dia kan sohibnya Arga banget."

Lia teridam sejenak. Lalu menghela napas panjang. "Gue nggak peduli lagi, Nad. Mau mabuk sampai mampus juga bodo amat."

"Nah, bagus! Harus gitu emang Li. Life must goes on. Lupain Arga, ngapain nangisin cowok bejat macam dia. Buang-buang tenaga aja."

Lia hanya mengangguk mengiyakan sembari tersenyum tipis. Andai semudah itu. Realitanya, kala mendengar fakta bahwa Arga mabuk semalaman, tidak bisa dipungkiri perasaan khawatir masih bersarang di lubuk hatinya. Lia tidak bisa melupakan Arga hanya dalam waktu satu malam. Setahun bukanlah waktu yang sebentar. Terlepas dari masalah perselingkuhannya, meski begitu Arga pernah mejadi salah satu sumber kebahagiaan Lia. Banyak momen yang mereka bagi bersama, banyak waktu yang mereka habiskan berdua.

Lia hanya harus bersikap baik-baik saja, seolah dia bisa dengan mudah melupakan Arga. Lia yakin dia bisa. Seiring waktu berjalan, lama-kelamaan Lia pasti akan terbiasa dengan ketidak hadiran Arga. Sebab Nadila benar, ada atau tidaknya Arga, hidup harus terus berjalan. 

"Lia, gue udah nih. Berangkat sekarang yok!"

"Eh, iya iya." Lia mengerjap saat menyadari Nadila berdiri. Segera merapikan piring dan gelas untuk ditaruh di wastafle. Membiarkannya tergeletak kotor tanpa berusaha Lia cuci. Jam setengah delapan, yang berarti kelasnya akan dimulai setengah jam lagi. "Bentar! Gue masukkin barang dulu."

"Gue tunggu di basement aja ya?"

"Oke."

Mereka memang berangkat bersama hari ini. Nadila yang mengusulkan, biar Lia tidak perlu menyetir katanya. Lia tau itu hanya akal-akalan Nadila saja karena temannya itu masih khawatir akan kondisinya. Nadila bahkan sampai repot-repot menyusulnya kemari, padahal rumah Nadila dengan apartemennya tidak searah. Nadila banyak membantunya, tapi sampai sekarang Lia belum sempat mengucap terima kasih. 

Lia menatap Nadila yang hilang di balik pintu dengan ekspresi sukar diartikan. Menghela napas, Lia segera memasukkan buku-bukunya, laptop, charger, note book, dan make up. Kala Lia mengambil ponselnya yang akan Lia masukkan ke tas juga, mendadak Lia bergeming. Menatap lekat layar ponsel yang masih menunjukkan notifikasi pesan dari Arga yang masih belum dia buka. Ragu-ragu, jarinya menggeser layar. Membuka room chat percakapannya dengan Arga yang sudah mati sejak dua hari lalu. Kebanyakan pesan dari Arga, yang satupun tidak Lia balas dan hanya berakhir dia baca. 

Lia memejamkan mata, mengeyahkan seluruh keragauan yang masih tersisa. Setelah menghembuskan napas panjang, jarinya membuka profil Arga. Menggulir layar kemudian memencet salah satu opsi di bawah. 

Block Arga Winata? Block contact will no longer be able to call you or send you a message.

Lia menarik napas dalam, meyakinkan diri sendiri bahwa keputusannya sudah benar.

Block?

Lia menekan opsi tanpa ragu. 

Yes.

Blocked.

***

"Nanti main di rumah lo lagi yuk?" 

Arwin tersentak. Menoleh pada Azka yang entah dari kapan berada di sebelahnya, merangkul sebelah pundaknya. Arwin menarik napas berat, tau Azka sedang membujuknya. Jelas terlihat dari Azka yang mendadak muncul di gedung jurusannya sementara Azka sendiri adalah anak Arsi. 

"Sori, gue sibuk." Arwin menjawab tak acuh.

"Alah, sibuk apaan sih lo?" Azka mengejek. 

"Sibuk selingkuh."

Azka sontak terdiam. Langkahnya terhenti membuat rangkulannya di pundak Arwin jatuh begitu saja. Merasa Azka tidak lagi di sampingnya, Arwin ikut berhenti juga. Berbalik badan dan menemukan Azka yang terdiri berdiri beberapa langkah di belakangnya. Arwin mengangkat alis tinggi, bingung pada sikap Azka yang tiba-tiba berubah. Rautnya tidak terbaca, ekspresinya minim emosi. 

Tiga tahun lebih mengenal Azka, Arwin tidak pernah bisa menebak pikiran sahabatnya satu itu. Azka benar-benar tenang, ekspresinya sulit dibaca, gelagatnya sukar di tebak. Sama halnya dengan Azka yang ternyata diam-diam sudah tau mengenai Arga yang selingkuh, dan bisa-bisanya menutup-nutupi hal tersebut bahkan Azka masih sempat membela Arga. Kalau tidak ingat Azka adalah sahabat baiknya, Arwin hampir kalap menojok Azka saat lelaki itu baru mau bercerita usai semua terbongkar. 

"Win, dengerin gue." Azka membuka suara. Nadanya berat, cengirannya tidak lagi terlihat. Yang ada hanyalah Azka yang Arwin benci. Benci karena Arwin sama sekali tidak bisa menebak pikiran Azka sama sekali. "Gue tau lo masih kecewa sama Arga. Gue paham. Tapi Arga masih temen kita. Jangan karena satu kesalahan, lo jadi nutup mata sama semua kebaikan Arga."

"Nggak, Ka. Lo nggak tau apa-apa." Arwin tertawa getir. "Kalau lo tau, lo pasti paham kenapa gue masih kesel sama tuh orang. Lo pikir gue masih bisa bersikap seolah nggak ada apa-apa ketika gue sendiri liat Lia semenderita apa malam itu?"

"Gue paham. Sama kayak lo, gue juga jadi saksi seberapa kacaunya Lia waktu itu."

"Tapi lo nggak ngerasain apa yang gue rasain, Ka. Lia temen gue dari SMA!" Arwin menyentak Azka telak. Hal yang tidak pernah Arwin lakukan pada Azka sebelumnya. "Alasan lainnya, gue paling benci sama tukang selingkuh. Lo udah lupa ya, apa yang buat keluarga gue berantakan?"

Tiga tahun lalu, orang tuanya bercerai. Papanya ketahuan berselingkuh. 

Seumur hidupnya, Arwin akan selalu mengingat hal tersebut. Salah satu titik terendah di hidupnya. Di tengah kekacauan yang luar biasa, Arwin harus tertatih-tatih bangun sendiri. Mati-matian belajar agar bisa lolos ujian SNMPTN. Meringkuk di kursi dengan buku berceceran di meja tiap kali mendengar Papa dan Mama bertengkar. Membekap mulutnya sendiri agar tangisnya tidak pecah saat mendengar bunyi barang yang dibanting ditambah teriakan yang saling bersahutan. 

Sekarang, melihat Arga mengingatkannya pada Papa. Membangkitkan memori-memori buruk yang susah payah Arwin kubur dalam-dalam.

"Gue pernah bilang sama Arga kalau gue benar-benar benci sama tukang selingkuh. Dan sekarang dia milih sendiri buat jadi salah satu orang yang gue benci." Arwin meyambung. Netranya menyorot Azka tajam. "Kalau lo nggak tau apa-apa, nggak usah sok tau, Ka. Gue cuma butuh waktu."

Tanpa menunggu respon Azka, Arwin berbalik cepat. Melangkah pergi meninggalkan Azka yang meraup wajahnya frustasi. 

***

Lia tengah duduk-duduk di koridor gedung fakultasnya sembari menunggu Nadila yang masih di bantai dosennya. Salah Nadila sendiri sih. Perempuan itu nekat bermain ponsel saat kelas tengah berlangsung. Kalau tidak ketahuan, Lia juga tidak peduli. Namun, sepertinya hari ini Nadila tengah dilanda apes. Dosennya memergoki Nadila, berakhir merampas ponsel dan menyuruh menghadap beliau selepas kelas. 

Lia duduk sendiri. Sibuk memainkan ponselnya kala tiba-tiba dia menangkap radar bahaya. Lia tau ini konyol, tapi dia masih sepeka itu dengan kehadiran Arga. Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai menggema di koridor yang nyaris tidak ada orang. Lia menoleh ke sumber suara, matanya kontan melebar kala menemukan Arga berjalan ke arahnya dengan raut wajah tak enak. Lia langsung berdiri, berbalik arah untuk menghindari Arga jika saja pergelangannya tidak dicengkeram lelaki itu. 

Lia berusaha menyentak tangannya, namun usahanya jelas tidak seberapa di banding Arga. Apalagi melihat emosi yang membayang di kedua matanya, usaha Lia hanya berakhir tidak berguna. 

"Lepas." Lia memutar-mutar pergelangan tangannya yang Arga genggam, tetap berusaha meloloskan diri. Lia sudah berusaha sepenuh tenaga, tapi Arga sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Seakan upaya Lia bukanlah apa-apa. "Aku bilang lepas! Tangan aku sakit, Arga!"

Arga menurut. Meskipun lelaki itu masih tidak melepaskan tangannya. Hanya melonggarkan genggamannya agar tangan Lia tidak kesakitan. 

"Aku bakal lepas kalau kamu janji nggak bakal kabur." Arga akhirnya berucap.

"Apa lagi sih? Kamu mau apa lagi?!" Lia berteriak jengah. Untungnya, di Koridor hanya adankereka berdua jadi Lia tidak perlu menahan teriakan karena demi apapun, emosinya spontan naik kala melihat Arga. "Kita udah selesai Arga! Kamu bener-bener nggak tau diri ya? Harus aku jelasin berapa kali lagi? Jangan buat aku lebih marah dari ini ya."

"Aku cuma mau bicara, Lia." 

"Nggak ada yang perlu dibicarain lagi."

"Kenapa kamu block aku?" Arga mengacuhkan Lia. "Aku udah bilang, kamu bebas hukum aku sepuasnya. Tapi jangan gini, Lia. Kamu menghindar, block aku dari semua social media, bahkan kamu nggak mau bicara sama aku."

"Hukum kamu?" Lia tertawa miris. "Yang ada aku malah pengen hukum diri sendiri karena bisa-bisanya udah percaya sama kamu."

"Lia, aku minta maaf. Aku bener-bener minta maaf." Tatapan Arga berubah sendu. Ucapannya terdengar tulus. Lia berusaha keras menahan agar hatinya tidak luluh. "Give me a second chance. Aku tau kamu nggak akan langsung percaya, tapi seenggaknya kasih aku kesempatan buat berubah. Kasih aku kesempatan buat buktiin ke kamu, ya?"

"Sekali enggak tetap enggak, Arga."

"Kenapa?" Arga memelas. 

"Kenapa?" Lia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Arga. "Ya lo mikir lah! Lo pikir cewek mana yang mau di ajak balikan abis selingkuhin? Otak lo semenjak selingkuh emang jadi nggak ada isinya gini ya?"

Persetan dengan Arga. Sabar punya waktu. Dan kesabaran Lia sudah habis semenjak Arga dengan bodohnya bertanya kenapa Lia tidak akan mengubah jawabannya. Arga kontan lemas, garis wajahnya turun. Secara tidak langsung berpengaruh dengan genggamannya yang tanpa sadar melemah. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Lia menarik tangannya yang langsung lolos dalam satu tarikan. 

Lia mundur selangkah. Syukurnya, sepertinya Arga betulan terluka dengan ucapannya hingga tak kuasa lagi menahannya. Arga hanya mematung dengan sorot yang masih menatapnya, tapi kali ini tubuhnya seakan tidak berdaya bahkan hanya untuk menggapai Lia. 

"Arga, denger perkataan gue baik-baik." Lia menakan ucapannya lamat-lamat. "Sekalipun lo ngemis-ngemis minta balikan, jawaban gue tetep sama. Gue bisa aja maafin lo. Tapi maaf, gue nggak bakal bisa lupa dan menganggap seakan keadaan nggak pernah berubah."

Lia pergi. Sementara seseorang yang tidak sengaja mendengar percakapan sedari awal, mengepalkan tangannya menahan amarah. 

Di balik dinding koridor, Sarah mendengar semua percakapan mereka.

***

Sarah mengatur napasnya yang memburu. Pikirannya kalut kala mendengar perdebatan sengit antara Lia dan Arga. Yang Sarah lakukan berikutnya adalah keluar dari tempat persembunyiannya, segera berlari mengejar Arga yang sudah jauh keluar entah kemana. Melihat Arga masih sesayang itu pada Lia, tidak dipungkiri sesuatu dalam dadanya mencelos begitu saja. Ada sesak yang terpendam di sana. 

Dengan perasaan campur aduk, Sarah nekat menyusul Arga ke Teknik. Keadaannya cukup kacau ketika akhirnya sampai di parkiran. Napasnya tersenggal, rambutnya acak-acakan, peluh tak henti mengalir didahinya akibat Sarah yang nekat berlari di bawah sinar terik matahari siang hari begini. Netranya berpendar mencari beberadaan Arga. Dan waktu Sarah menemukan lelaki tersebut sedang berjalan ke arah mobilnya dengan langkai gotai, tanpa membuang waktu dia langsung menghampiri Arga. 

Arga tampak terkejut ketika Sarah menarik keras lengannya dengan raut marah. Matanya membulat seakan baru saja melihat sesuatu yang mengejutkan. Tapi Sarah tidak perlu heran dengan respon Arga yang berlebihan. Keberadaan Sarah yang bahkan tidak pernah mau menginjakkan kakinya ke Teknik sudah cukup bisa membuat Arga terperangah. 

"Gue mau ngomong." Sarah berucap tegas. 

"Ya udah sih, ngomong tinggal ngomong." Arga menyentak cekalannya hingga terlepas. Nadanya terdengar kesal. "Gue capek, pengen pulang cepet-cepet istirahat. Kalau lo mau bicara silahkan, tapi waktu lo nggak banyak."

"Lo kenapa sih?" Sarah bertanya sinis. "Lo kalau marah jangan lampiasin ke gue, Ar!"

Arga menghela napas panjang. Dia tidak marah, dia hanya sedikit lelah. Lelah sudah berdebat dengan Lia yang ujung-unungnya percuma. Kali ini, dia harus berhadapan dengan Sarah lagi. Masalah satu persatu mendatanginya, seolah enggan membiarkannya beristirahat. 

"Siapa yang marah, Sarah?" Arga menjawab, berusaha tenang. "Gue cuma lagi capek aja." 

"Lo capek apa stres mikirin Lia?"

Tangan Arga kontan terkepal. 

"Jangan bawa-bawa Lia."

"Kenapa?" Sarah justru kenaikkan dagunya, menantang. "Lo baru nyesel sekarang? Setelah jadiin gue orang ketiga dan sadar kalau dibandingin Lia, gue nggak ada apa-apa nya?"

"Lo mau bicara kan?" Arga hampir hilang kesabaran. Tangannya menarik pergelangan Sarah dan menyeretnya keluar parkiran. Tidak memperdulikan padangan orang-orang yang menatap keduanya penuh heran. "Kita bicara sekarang. Gue mau hari ini semuanya selesai." 

Arga berniat membawa Sarah ke gedung samping yang tergolong sepi untuk bisa berbicara empat mata tanpa terganggu di lihat orang lain ketika dari arah berlawananㅡMahen, Azka, Arwin beserta pacarnya datang. Mahen, yang mana belum tau apa-apa memandang mereka berdua dengan sorot penasaran. Arwin dan Nadila kompak memutar bola mata. Sedangkan Azka hanya diam, tidak memberi respon berarti. 

Arga yang berniat mengacuhkan mereka berempat, sontak memberhentikan langkahnya yang akan keluar dari area parkiran ketika Mahen mendadak menghadang jalan. 

"Eh, eh! Mau kemana nih gandeng-gandeng segala. Udah lupa sama Lia lo?" Mahen nyerocos begitu saja. 

Arga mendesah. "Minggir."

"Gue aduin Lia loh yaaaa?" 

Mahen justru terdorong untuk menggoda. Arga berdecak panjang, ekspresinya benar-benar keruh kali ini. 

"Nggak usah bawa-bawa Lia."

"Ya mang napa sih?"

"Ya udah lah, Hen. Udah putus juga masih di bawa-bawa. Kasian Lia-nya." Arwin menyahut enteng seraya menyedot minumannya. Spontan mengundang delikan tidak suka dari Arga. Namun Arwin tidak peduli. Emosinya perlahan naik ketika melihat Arga dengan selingkuhannya. Arwin tau Arga dan Lia memang sudah selesai, tapi melihat Arga memang masih membuatnya sekesal itu. Apalagi kali ini di tambah kehadiran pacar barunya. 

Eh, benar kan? 

Atau Arwin salah? Sebab setaunya, setelah ketahuan selingkuh, kebanyakan laki-laki lebih memilih bersama selingkuhannya. Selayaknya Papa. 

"Kalau lo ada masalah sama gue, mending bilang langsung Win. Jangan sindir-sindiran pakai acara menghindar segala. Basi tau nggak?" Arga berkata, melirik Arwin singkat. 

"Gampang." Arwin menyahut santai. Sama sekali tidak terpengaruh oleh makian Arga. Kendati membalas ucapan Arga, lelaki itu justru mengedikkan bahunya ke arah Sarah. "Mending lo urus dulu itu pacar lo. Kasian tuh, diem mulu nggak berani ngomong. Ngumpet di belakang. Takut soalnya disini banyak musuhnya ya?"

"Win." Arga menggeram. "Watch your mouth."

"Bukannya disini seharusnya lo yang harus jaga sikap?"

Mahen kelimpungan. Memandang Arga dan Arwin bergantian. Terlihat benar-benar clueless. Tak sedikit juga orang yang turut mencuri dengar pembicaraan mereka sebelum di sebar menjadi gosip. 

"Ini ada apaan sih?" Mahen menukas. 

"Itu urusan gue sama Lia. Siapa lo berani ikut campur? Mau sok-sok-an jadi pahlawan kesiangan?" Arga tidak memperdulikan Mahen. Tatapannya terarah lurus-lurus pada Arwin. "Ini emang murni kesalahan gue, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya menghakimi gue. Seakan-akan hidup lo maha benar dan gue yang paling buruk disini. Jangan karena kesalahan gue, lo bebas maki-maki gue dan lupa sama kesalahan lo sendiri. Lo lupa siapa yang buat kakak lo pergi dari rumah?"

Nadila segera menahan Arwin yang melangkah maju ke arah Arga. Perempuan itu mendesah berat. "Ar, jangan bawa-bawa keluarga." 

"Kalau cowok lo nggak mulai, gue juga nggak akan bahas sejauh ini, Nad."

"Gue nggak pernah bawa-bawa masalah keluarga ya, anjing!"

"Lo seharusnya juga sadar diri buat nggak jangan mancing emosi gue!"

"Ya karena lo emang pantes disalahin, brengsek!"

"Oh, seakan-akan hidup loㅡ"

"Arga udah." Sadar situasi semakin memburuk, Azka akhirnya menengahi. Jika terus dibiarkan, besar kemungkinan mereka akan berakhir dalam adegan baku hantam. "Mending sekarang lo pergi. Kasian Sarah udah nunggu dari tadi."

Arga memandang Arwin dengan pandangan murka. Meskipun masih kesal dan tidak rela meninggalkan Arwin begitu saja, Arga memilih mengalah demi Sarah. Lelaki itu tau Sarah tidak nyaman disini sebab sedari tadi Arwin tidak henti menghujam mereka berdua dengan berbagai sindiran. Mulai dari yang halus sampai frontal. Arga menarik Sarah, kemudian membawanya pergi secepat mungkin. 

Selepas Arga pergi, Nadila segera berbalik. Memelototi setiap pasang mata yang menonton perselisihan sengit barusan. Kelihatannya mereka asik dengan dunianya sendiri, ada yang membaca, mengeluarkan motor tapi 10 menit sendiri, mencari barang yang hilang, dan berbagai sikap pura-pura lainnya. Nadila tau betul, dibalik semua kegiatan yang terkesan dibuat-buat, telinga mereka dipasang dalam kondisi paling maksimal agar bisa menangkap informasi sebanyak mungkin. 

"BUBAR BUBAR!" Nadila berteriak, mengusir mereka secara paksa. Putaran bola mata sampai seruan kecewa yang dilayangkan terang-terangan adalah hadiah yang Nadila dapat setelahnya. "Lo pada bubar nggak setan?! Ini bukan sinetron yang bisa lo tonton gratis tanpa dipungut biaya. Kalau mau nguping, bayar!" 

Nadila belum puas mengusir mereka saat suara Mahen menginterupsinya. Ketika Nadila menoleh, dia menemukan Arwin dan Azka yang mengaduh kesakitan kala Mahen menggeplak kepala mereka satu-persatu dengan buku di tangan. 

"JELASIN INI SEBENERNYA KENAPA SIALANNNN! JANGAN MINGKEM AJA LO BERDUA!"

Nadila mengurut dada lelah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status