Share

9. End Game

Love is not cruel

We cruel

Love is not a game

We have made a game

Out of love

ㅡ Rupi Kaur

***

Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. 

"Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini."

"Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau."

"Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!"

"Iya iya maaf, aku salah."

"Ya emang kamu salah!"

"Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila."

"Tapi aku sakit hati tau!"

"Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai. Dia lelah dengan masalahnya sendiri, dan tidak ingin di tambah perselisihan penuh drama dari Arwin dan Nadila. Lia menangkupkan dagu di tangan, memandang malas keduanya. "Gue kasian sama Arwin. Dari tadi jadi samsak lo mulu."

"Iya sih." Nadila nyengir kuda. "Gue tadi cuma pura-pura marah."

Arwin mengelus dada. Terpikir ide untuk menjual Nadila ke tukang loak jika saja Arwin tidak sadar, bahwa hanya ada satu Nadila Kumalasari dunia ini. 

Lelaki itu tadinya berpikir Nadila betulan marah padanya, nyatanya semata-mata hanya untuk menghibur Lia. Lia mungkin tidak sadar, tapi Arwin jelas paham. Pasti ada rasa kesal pada Lia walaupun sepercik, namun Nadila tau tidak mungkin menyalahkan Lia dan terus memojokkannya di saat kondisinya penuh kekacauan. Pacarnya itu hanya ingin membuat Lia tertawa dan berusaha menahan emosi yang sedari tadi bergejolak minta dikeluarkan. Arwin bisa melihat dari kepalan tangannya sewaktu Lia bercerita sambil menangis tersedu-sedan barusan. 

"Ya udah sekarang kita party dulu, yeayyy!" Nadila mengeluarkan semua makanan yang dibelinya di minimarket. Tangannya mengepal memberi gestur semangat. "Ayo kawanku, jangan jadikan patah hati sebagai penghambat. Nanti gue bantu cariin yang baru deh. Yang pasti jauh-jauh-jauh lebih wow daripada Arga. Arga mah dibanding pacar gue juga nggak ada apa-apa nya."

Arwin terbahak keras.

"Kalau gitu, demi sahabat lo yang baru putus ini, gimana kalau Arwin oper buat gue aja?"

Nadila sontak melemparnya dengan chiki yang belum terbuka. "Nggak bisa. Soalnya nyari yang bentukannya kayak Arwin tuh susah. Kalau kata pepatah sih, seperti mencari jarum di tumpukan jerami."

"Lebaynya kumat lagi deh." Lia memutar bola mata malas. 

Nadila hanya mengunyah Chitatonya sambil tertawa, sementara Arwin yang duduk di setelahnya mengusap puncak rambutnya gemas. Sepertinya hanya Nadila yang menjenguk teman sakit tidak dibawakan buah, melainkan jajanan minimarket sarat micin. 

Nadila tersenyum tipis, hatinya menghangat melihat Lia bisa tertawa kembali. Jika waktu diputar ke setengah jam lalu, dimana Lia menangis nyaris setengah gila karena Arga, rasanya mustahil melihat Lia bisa tersenyum selebar ini. Di hadapan Lia, dia mungkin terlihat biasa saja. Selayaknya Nadila yang penuh pecicilan seperti biasanya. Namun, di otak mungilnya, Nadila berencana akan melabrak Arga dan selingkuhannya yang bernama Sarah itu habis-habisan. 

Mereka bertiga lanjut mengobrol seru seraya memakan chiki saat pembicaraan mereka terpaksa terinterupsi oleh bunyi bel yang berasal dari pintu depan. 

Arwin jadi yang pertama berdiri. "Gue cek dulu."

Arwin mengecek lewat interkom video, kemudian kembali dengan raut wajah berubah tidak lama kemudian. 

Lia mengangkat alis. "Siapa?"

Arwin diam. 

"Arwin, gue ngomong sama lo." Lia mengulang kala Arwin tetap membisu. "Siapa?"

Arwin masih diam. Melirik Lia dan Nadila secara bergantian. Arwin mengehela napas berat. "The cheater." Jawabnya kemudian.

"Oke."

Tanpa membuang waktu, Lia segera beranjak. Tapi Nadila dengan gesit menahan jalannya. Sama seperti Arwin, ekspresinya berubah 180 derajat. Tidak ada lagi Nadila si tukang rusuh. Yang ada hanyalah Nadila yang penuh keseriusan. Yang bisa melakukan hal yang bahkan Arwin dan Lia tidak pernah terpikirkan. 

Perlahan, tensi di antara mereka menegang. 

"Lo diem di sini. Biar gue yang temuin bajingan itu."

"Ini urusan gue sama Arga, Nad."

"Jangan sekarang Lia. Kondisi lo baru aja stabil." Nadila mati-matian menahan agar nada suaranya tidak meledak. Nadila tidak ingin bertengkar dengan Lia yang ujungnya hanya akan memperparah keadaannya. Nadila tau kondisi Lia masih rentan. "Sekali ini aja, please, nurut sama gue. Lo hanya akan berakhir lebih buruk dari ini kalau lo ribut sama Arga sekarang."

Lia menurunkan tangan Lia yang menahan pundaknya. Menggeleng tegas. "Gue lebih baik selesaiin semuanya disini, sekarang, saat ini juga meskipun harus hancur berkeping-keping. Gue mau semuanya selesai secepatnya, Nad."

Mereka berdua saling tatap, sedangkan bel diluar masih terus dibunyikan. 

"Nadila, udah ya." Arwin akhirnya turun tangan. "Lia bener. Mending mereka selesaiin sekarang. Ini bukan hal baik Nadila, nggak sepantesnya ditunda-tunda."

"Tapi kondisi Lia jauh lebih penting, Ar! Kamu paham nggak sih?"

"Guys, you don't have arguing each other just because of me." Lia menengahi seraya tersenyum. "Gue janji, ini bakal jadi tangis terakhir gue buat Arga. Everything will be okay. We'll be okay."

Lalu begitu saja, mereka membiarkan Lia melangkah keluar. Bersama semua luka yang siap menerjang di belakangnya. 

***

"Tada!"

Kala Lia membuka pintu, di hadapannya Arga datang dengan menenteng satu plastik besar berisi berbagai macam buah dan vitamin. Lia tersenyum tipis, perlahan menutup pintu di belakangnya agar Arwin dan Nadila tidak bisa mendengar pembicaraan mereka. 

"Kok ditutup?" Arga mengernyit. 

"Aku mau bicara." Lia menjawab tenang. Kernyitan Arwin terlihat kian dalam. "Di dalem ada Arwin sama Nadila. Takutnya mereka denger. Jadi di sini aja ya?"

"Kenapa nggak di dalem? Kamu lagi sakit, Lia."

'Satu-satunya orang yang bikin aku sakit, itu kamu Arga.'

Lia tersenyum miris, mengabaikan luka yang Arga gores dalam di hatinya. Pedihnya masih terasa hingga sekarang. Lia mendongak, menatap Arga lekat-lekat. Merekam rahangnya yang tajam, alisnya yang tebal, matanya yang sedikit sipitㅡsemuanya. Wajah yang selalu Lia rindukan dan dambakan selama satu tahun belakangan. Karena Lia tau, setelahnya dia tidak akan bisa melihat Arga sesering dulu lagi. 

Lia menghela napas berat. Vokalnya nyaris pecah ketika berkata. "Kita udahan aja ya."

Senyap. 

Arga sontak membeku. Senyumnya luntur, garis wajahnya menurun, namun genggamannya pada plastik tidak kunjung melonggar, melainkan kian menguat. Binar di matanya hilang. Ekspresi dingin Arga yang tidak pernah ditujukan padanya, kini terlihat. Arga termasuk orang yang ramah pada semua orang. Jadi melihat Arga menunjukkan sisi lain dari dirinya, yang bahkan jarang lelaki itu tunjukkan pada orang-orang, nyatanya Arga berikan padanya, berhasil membuat sesuatu dalam dada Lia mencelos. 

"Kenapa?"

Mata Lia memanas. 

"Kenapa, Lia?" 

Air matanya kembali menggenang di pelupuk mata.

"Apa ini karena masalah waktu itu? Waktu kamu ketemu aku di kantin FISIP?" Arga membalas dingin. Tidak ada lagi senyum di wajahnya. Binar di matanya seakan meredup. Yang ada hanya gumpalan emosi yang lelaki itu tahan. "Lia, kita udah baikan lusa. Kalau aku ada salah, bilang. Bukan diem aja dan mutusin hubungan sepihak begini. Bilang Lia, biar aku tau letak salah aku dimana. Biar aku bisa perbaiki."

"Kesalahan kamu fatal, Arga."

"Kalau gitu, bilang." Arga tetap bersikeras. "Aku nggak bisa baca pikiran kamu. Aku nggak bakal tau kalau kamu nggak ngasih tau."

"Sekarang aku tanya. Kamu merasa buat salah nggak?"

"Aku udah bilang, aku nggak tau kalauㅡ"

"Kalau gitu kamu yang nggak tau diri." Lia membalas penuh penekanan. Sekejap, Arga balik terdiam. Tangannya masih mengepal, bahkan mungkin lebih kencang. Rahangnya mengeras. Lia tau Arga sedang menahan emosi. Tapi Lia sudah terlanjur muak untuk menahan lebih lama lagi. "Kamu pikir kesalahan kamu sendiri sampai kamu tau letak kesalahan kamu dimana. Aku udah nggak bisa sama kamu lagi. Kita udahan aja sampai disini."

Lia berbalik, siap kembali masuk ke dalam jika tawa sarkastik Arga tidak menghentikannya. 

"Dari tadi, aku nahan karena kamu lagi sakit. Tapi lihat kamu baik-baik aja bahkan setelah mutusin aku, aku rasa aku nggak perlu nahan lagi."

Bajingan, umpat Lia dalam hati. 

Jika Arga menyaksikan seluruh akibat yang lelaki itu buat kemarin, melihatnya menangis histeris nyaris gila seakan kewarasannya di bil paksa karena melihat pacarnya mendua, Lia yakin Arga tidak akan semudah itu mengucapkan kalimat bahwa dia baik-baik saja. Untuk yang satu itu, Lia masih memaklumi. Sebab, Arga tidak tau kejadian sebenarnya kemarin. Arga sama sekali tidak tahu menahu mengenai Lia dan Arwin yang memergokinya berselingkuh di PIM kemarin.

Karena seperti yang Lia bilang, lelaki itu tidak cukup tau diri untuk tau letak kesalahannya sendiri. 

Lia bertanya-tanya, apa Arga sama sekali tidak memikirkan perasaannya ketika memilih mengkhianatinya? 

Mungkin, Arga memang tidak pernah memikirkan akibat dari perbuatannya. Mungkin, Arga memang tidak pernah barang sedikitpun memikirkan perasaannya. Mungkin, Arga memang tidak peduli sekalipun Lia betulan gila. 

"Kemarin, aku dapet kiriman foto dari anonim." Arga menyambung. "Foto kamu sama seseorang. Tau apa yang lebih menarik? Di foto itu, kamu pelukan sama Azka."

Lia tidak berbalik, namun tetap menjawab.

"It was happened by accidentally."

"Nggak ada yang namanya meluk nggak sengaja."

"Aku salah orang."

"Let's be honest, Li."

"Kamu bisa tanya Azka sendiri. Terserah kamu nggak percaya. Aku nggak peduli sama pandangan kamu ke aku lagi."

"Kalau aku ketemu Azka sekarang, aku cuma berakhir nonjok dia."

"Jangan gila, Arga." Akhirnya, Lia berbalik, menggeram marah. "Itu cuma foto, kamu nggak bisa asal nyimpulin dari satu foto aja."

"Kalau kamu sekarang lagi bercanda, kamu berhasil. Lucu. Kamu tiba-tiba minta putus, nggak jelas alasannya kenapa. Sekarang aku tau. Kamu ada main belakang sama Azka kan? Bela Azka aja terus. Aku nggak pernah percaya salah orang sampai meluk segala kalau bukan karena ada apa-apa. Jadi, Azka? Dia alasan kamu minta putus dari aku?"

Lia terhenyak. Tangannya nyaris melayang menghampiri wajah Arga. Memberi peringatan agar mulutnya tidak asal menyimpulkan semaunya sendiri. Agar lelaki itu lebih baik menginstropeksi dirinya lebih dulu sebelum menuduhnya dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Satu foto, dan Arga bisa jadi semarah ini. Mungkin, seharusnya Lia harus betulan main belakang seperti apa yang Azka tuduhkan padanya agar Arga bisa sama hancur sepertinya. 

"Aku bilang kamu nggak bisa asal nyimpulin dari sekedar foto, Arga!" Lia mengepalkan tangan guna menahan diri kalau-kalau tangannya kelepasan menampar Arga sungguhan. 

"Jelas-jelas di foto itu kamu meluk Azka! Mau nyangkal apa lagi?"

"Bukan kamu yang liat kan? Bukan kamu juga yang foto kan? Kalau kamu nggak tau kejadian sebenarnya, lebih baik diam!"

"Memang. Tapi dari satu foto aku bisaㅡ"

Tamparan yang tadi Lia tahan, akhirnya melayang juga. 

"Aku liat pakai mata kepala aku sendiri. Bukan dari orang lain, apalagi foto asal jepretan orang." Tangan yang Lia pakai untuk menampar Arga gemetar. Lia bisa melihat pipi Arga perlahan dirambati kemerahan. Lia tidak tau seberapa keras tamparannya tadi, Lia terbakar emosi dan tanpa berpikir langsung melayangkan tangannya melayang begitu saja. Tapi wajah Arga yang sampai tertoleh ke samping, juga warna pipinya yang berubah merah dalam sekejab cukup menjadi bukti bahwa tamparan Lia tidak main-main. "Kamu mau tau apa kesalahan kamu? You betrayed me, Arga! You are cheated with my own friend!"

Arga terperangah. Rautnya berubah, matanya membola. Arga berusaha menggapai tangannya yang langsung Lia sentak keras. 

"Kamu liat aku pelukan sama Azka lewat foto kan? Fine. Tapi aku liat kamu pelukan sama Sarah secara langsung!"

"Lia, aku sama Sarahㅡ" Arga tampak tidak bisa melanjutkan ucapannya. Lia berani bertaruh, dia tidak pernah melihat Arga setakut ini. Namun, Lia tidak peduli. Mau Arga gila maupun kembali ke pelukan selingkihannya pun terserah. Perasaannya untuk Arga terlanjur mati rasa. "Aku nggak akan cari pembenaranㅡ"

"Ya karena kamu emang salah!" Lia menyentak keras. Telunjuknya mendorong pundak Arga hingga lelaki itu terhuyung ke belakang. Arga terlihat tidak berdaya, juga tidak berusaha menahan pergerakannya. "Satu foto. Satu foto, Arga. Karena satu foto yang nggak jelas asal-usulnya darimana, nggak pasti kebenarannya, kamu bisa seenaknya nuduh-nuduh aku. Kamu udah kelewatan. Setahun ini kita ngapain Arga? Selama setahun sama aku, kesimpulan yang kaki dapet cuma aku perempuan murahan yang bisa main belakang sama temen kamu sendiri, iya?"

"Lia, jangan bilang gitu..."

"Kenapa?" Lia justru menantang. "Kamu sendiri kan yang bilang? Kamu sendiri kan yang nuduh aku ada main belakang padahal kamu sendiri yang selingkuh!"

"Aku salah." Suara Arga bergetar, menggeleng lemah dengan pandangan putus asa. Jika saja Lia tidak terlanjut kecewa, Lia bisa dengan mudah memaafkan Arga seperti sebelum-sebelumnya. Tapi kali ini tidak, Lia tidak akan masuk dalam lubang yang sama. "Kamu bener, kesalahan aku fatal. Kamu bisa hukum aja apa aja. Apapun. Tapi, jangan minta putus Lia. Aku janji bakal perbaiki semuanya, kita bisa balik kayak dulu lagi. Tapi, please, jangan minta pisah."

"Kamu tau kamu jadi manusia paling brengsek waktu kamu dengan nggak tau dirinya minta kita buat nggak pisah?" 

"Aku tau. But, I swear, I stillㅡ"

"Basi, Ar." Lia tertawa hambar. Kakinya mundur perlahan. "Sampai kapanpun, aku nggak akan sudi balik sama tukang selingkuh. Mau kamu mohon-mohon sekalipun, keputusan aku tetap nggak berubah. Kita selesai."

Lia menutup pintu. Mengacuhkan Arga yang berdiri tak berdaya di depan unit apartemennya seorang diri. 

***

@arga

[midnight paradise, anyone?]

Arga melemparkan ponselnya ke sofa kosong di sebelahnya usai mengirim pesan tersebut ke grup chat yang hanya diisi oleh empat orang. Arga menuang Tequilanya yang belum tersentuh ke gelas, lalu menandaskannya  dalam sekali tegukan. Rasa pahit dan panas kontan memenuhi kerongkongan. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan perasaannya saat ini. Arga... benar-benar berantakan.

Setelah Lia secara tidak langsung mengusirnya, Arga seakan kehilangan tujuan. Midnight paradise jadi satu-satunya tempat yang terpikirkan. 

Arga tidak paham bagaimana Lia bisa bersikap setenang itu setelah mengetahui sikap busuknya selama ini. Lia masih bisa tersenyum menyambut kedatangannya, berbicara tanpa emosi, juga meminta putus dengan nada tenang bak riak air di sungai.

Kalau bukan karena Arga sendiri yang kelewat batas menuduhnya, Lia tidak mungkin semarah itu. Bahkan menurutnya, Lia terlalu baik jika hanya menghadiahinya hanya dengan satu tamparan di wajah. Jika saja mengorbankan tubuhnya semata-mata untuk Lia habisi, Arga rela. Sebab setelah melihat sorot matanya yang hancur lebur, Arga sadar dia sudah menyakiti Lia terlampau jauh. 

Ting!

Ringtone notifikasi membuat Arga kembali mengecek ponselnya.

@arwin

[gue nggak bisa]

Arga tertawa getir. "Nggak bisa atau nggak mau, Win?"

@mahen 

[mabuy aja nih orang kayak nggak tau hari aja]

[besok ada kelas pagi gila]

[gue libur bikin maksiat dulu]

Arga kembali menutup ponselnya. 

Pandangannya jatuh pada keadaan di depannya. Dimana orang-orang bisa bersenang-senang seolah tidak ada beban yang harus ditanggung di kedua pundaknya, bisa dengan mudah melupakan seluruh masalah barang hanya sejenak.

Andaikan Arga bisa semudah itu melupakan. Andaikan dia tidak butuh alkohol untuk kabur sebentar dari realita. Andaikan Arga bisa bersikap lebih brengsek lagi dengan mengacuhkan Lia dan menerima keputusan untuk berpisah. Andaikan dia bisa sepenuhnya menjadi brengsek dengan kembali melanjutkan hubungan dengan Sarah. Sayangnya, Arga tidak bisa memungkiri fakta bahwa meskipun Arga tidak bisa lebih egois dari ini, perasaannya pada Lia masih sedalam itu. Masih senyata itu. 

Perasannya porak poranda. Bingung dengan langkah apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Sebagai gantinya, Arga kembali meneguk minumnya rakus. Gelas demi gelas. Botol demi botol. Dia sudah hanyut dalam alkohol ketika ponselnya meraung terus-terusan, menampilkan nama Azka yang sama sekali tidak berniat Arga angkat. 

Arga diujung kesadarannya ketika sayup-sayup dia mendengar suara Azka. 

"Arga? Bisa denger gue?" 

Tepukan di pundaknya mengencang. Arga mengangguk sambil tertawa sarkastik. "Gue pikir nggak ada lagi yang peduli sama gue."

Azka menghela napas. Bukannya mengangkat Arga keluar, dia malah menjatuhkan diri di sebelah Arga. Ikut menenggak minuman. 

"Udah sadar kalau lo brengsek?" Azka bertanya, nadanya tetap tenang. 

"Gue bahkan lebih brengsek karena bisa-bisanya ngajak dia balikan." Arga berucap begitu saja. Azka paham temannya itu sudah sepenuhnya dalam pengaruh alkohol. Botol-botol yang isinya sudah tandas di atas meja cukup untuk menjadi bukti. "Gue salah, Az. Gue salah. Tapi gue masih sesayang itu sama Lia. Gue nggak tau lagi harus apa kalau kita beneran pisah."

"Balik sama selingkuhan lo lah. Itu kan gunanya lo selingkuh?" Azka menjawab enteng. 

"Lo bisa maki gue sepuasnya. Gue akui gue emang tolol." Arga menjambak rambutnya kasar. Perlahan, isaknya pecah. "Gue nggak mau pisah, Az. Gue beneran sayang sama Lia..."

Azka tau temannya itu tidak berbohong ketika mengatakan hal tersebut. Seperti kata yang dikatakannya pada Lia kemarin, drunken minds sober thoughts. Azka membiarkannya menangis sepuasnya, menyesali perbuatan tolol yang Arga perbuat. Sementara Azka menyesap kembali minumannya, pandangannya terpaku pada Arga yang masih terisak. Arga berucap lirih di tengah hiruk-pikuk suara musik yang memekakkan teling. Meskipun pelan, Azka tau Arga masih bisa mendengar. 

"Kalau lo beneran sayang sama Lia, lo nggak akan nyelingkuhin dia, Ar."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status