Lia tau seharusnya dia tidak perlu keluar berdua hanya dengan Arwin hanya untuk membicarakan tentang Arga.
Tapi karena kebetulan Lia ingin membeli buku di Gramedia, dan Arwin yang katanya tengah ingin membeli sepatu futsal karena keadaan sepatunya yang hampir sekarat dan tidak memungkinkan untuk dipakai, mereka akhirnya sepakat untuk ke PIM weekend ini. Arwin tentu sudah memberitahu Nadila dan awalnya juga mengajak perempuan tersebut, namun Nadila berkata tidak bisa karena keluarga besarnya sedang berkumpul ke rumah dan Nadila mustahil keluar.
Yang Nadila tidak tau, Arwin justru berakhir pergi berdua dengan Liaㅡyang mana jelas tidak akan Arwin beri tau karena jujur saja, mereka berdua takut Nadila bertanya macam-macam dan rahasia mereka tentang yang sedang menjalankan misi rahasia terbongkar.
"Lo mau beli sepatu apa, sih?" Lia bertanya seraya menyuapkan udon ke dalam mulutnya. Usai Lia membeli buku yang dia ingin beli di Gramedia, mereka setuju untuk makan terlebih dahulu. Lia memilih makan di restoran Jepang.
"Sepatu futsal."
Lia hampir melempar sumpitnya. "Ya tau. Maksudnya yang lo cari merk apa?"
"Apa ya?" Arwin bergumam. "Adidas mungkin."
"As expected dari anak sultan."
"Nggak usah merendah untuk meroket."
"Jayus." Lia menyahut dengan wajah datar. "Gue jadi penasaran. Lo kalau jalan sama Nadila lo jajanin sebongkah emas sama berlian nggak?"
"Gue betot juga lama-lama lo, Li."
Lia terkekeh. Menghabiskan udonnya yang tinggal tersisa kuah dan menenggak minumannya hingga habis tak bersisa. Arwin sendiri masih sibuk menghabiskan ramennya yang tinggal sedikit. Sambil menunggu Arwin selesai makan, Lia memilih untuk mencomot udangnya yang tadi memang Lia sengaja pisahkan untuk dimakan terakhir. Kala udangnya habis, di saat yang bersamaan juga ramen Arwin tandas.
"Lo udah baikan belom sama Arga?" Arwin membuka suara.
"Udah sih. Awalnya dia minta maaf lewat chat, tapi karena masih kesel gue cuekkin. Tapi Arga nggak nyerah, dia tetap chat gue terus-terusan. Karena nggak tega juga, ya udah gue maafin." Lia mengangkat bahu santai, matanya berbinar. "Terus baikan deh!"
"Yaelah, gampang banget ya lo maafin Arga. Seharusnya lo tarik ulur dulu tuh orang, sebelum lo maafin bikin menderita bentar."
Lia memutar bola mata. "Gue nggak sekejam elo kali."
"Tetep aja. Ya masa Li lo nggak marah abis debat segitunya sama Arga."
"Gue marah ya."
"Lo cuma kesel, bukan marah." Arwin menyanggah. "Gue aja yang denger ceritanya aja ikutan kesel. Kayak, siapa sih orang yang Arga temui di kantin FISIP waktu itu sampai sebegitunya ngotot nggak mau kasih tau dan rela debat sama lo. Selingkuhannya?"
"Iya kali."
Arwin mengangkat alis, tampak berpikir sejenak sebelum kemudian tawanya meledak.
"Enteng bener kalau ngomong. Kalau dia selingkuh beneran gimana?"
"Ya udah. Cari yang baru. Lo kira ini Indosiar dia selingkuh ku menangis membayangkan?"
Di depannya, Arwin terbahak. Lia tersenyum tipis. Seperti kata Erisha, mudah berbicara karena lidah tidak bertulang. Padahal dalam lubuk hatinya, Lia benar-benar berdoa bahwa itu hanyalah prasangka tak berdasar mereka berdua. Bahwa kecurigaan Arwin salah. Bahwa Arga pada nyatanya memang tidak mendua.
"Dari skala 1-10, di angka berapa lo yakin Arga selingkuh, Li?"
"4?" jawab Lia ragu.
"Kok cuma 4 sih?"
"Ya lo maunya berapa? 20?" Lia bertanya sewot. Arwin membalas dengan kekehan kecil. "Awalnya nggak ada. Terus habis lo kasih tau di cafe waktu itu jadi 3, terus karena dia ngotot debat nggak mau kasih tau ke gue siapa nama temennya, naik satu angka. Jadi ya, 4."
"Dikit banget cuma naik satu angka. Harusnya kan langsung 9." Lia mendelik tajam, yang dibalas Arwin dengan cengiran lebar. Detik selanjutnya, wajahnya kembali serius. Lia bahkan sampai terbiasa dengan ekspresi Arwin yang bisa berubah dalam waktu singkat. "Tapi jujur, gue beneran penasaran sama orang yang Arga temuin waktu itu. Karena abis itu, waktu kelas dia juga moodnya turun drastis. Nggak ada apa-apa tiba-tiba banting buku, tendang kursi. Lo penasaran juga nggak sih?"
"Kalau nggak penasaran gue nggak bakal debat sama dia kali, Win." Lia menyahut seadanya. "Yang buat gue bingung, gue kan punya temen yang di BEM juga. Terus gue tanya Arga kalau di BEM tuh gimana. Sikapnya aneh atau mencurigakan nggak. Dan lo tau apa jawabannya? Nggak sama sekali. Gue jadi bingung kan, kata lo berubah tapi kata temen gue nggak. Ini yang bener yang mana deh, kok jadi bertentangan gini."
Arwin mengernyit, tampak tidak setuju. "Mungkin cowok lo berubahnya menyesuaikan tempat kali."
"Lo kira Arga bunglon?"
Arwin terbahak kecil. Beranjak berdiri dan mengantongi dompetnya. Arwin menoleh pada Lia dan mengedikkan dagunya kearah luar. "Tunggu bentar. Gue bayar dulu."
***
Sesudah selesai menemani Arwin memilih sepatu futsal, membeli minum, mereka berdua berjalan santai bersebelahan.
Lia menyeruput minuman rasa green tea latte tanpa caramel sembari menjinjing plastik berlogo khas Gramedia yang bersisi 2 buku yang dia beli. Sementara di samping Lia, iced americano Arwin genggam dan tangannya yang lain membawa paper bag berisi sepatu futsal. Lia melirik jam tangannya, ternyata tanpa sadar mereka sudah menghabiskan waktu cukup lama. Mereka berangkat sendiri-sendiri sehabis maghrib dengan menggunakan kendaraan pribadi, dan tidak terasa kini jarum sudah menunjuk pukul 9 malam.
"Win, balik sekarang gimana?" Lia bertanya.
Arwin mengangkat alis, kontan melihat jam tangannya juga. "Oh, udah jam 9 ya. Ayo deh udah malam juga. Lo langsung pulang apa mau mampir dulu?
"Mampir kemana?" Lia mengernyit.
"Ya kali aja lo pengen mampir dulu beli apa gitu?"
"Kalau gue ngajak pulang berarti gue nggak ada urusan lagi disini, Win." Lia memutar bola mata heran. "Ya langsung pulang lah. Nggak pakai mampir-mampir segala."
"Yaudah, kalau gitu ke basement bareng."
Lia mengangguk. Mereka berdua kemudian berjalan beriringan menuju lift yang nantinya menghubungkan mereka ke basement parkir mobil. Namun saat mereka baru saja naik dari escalator, dari tempatnya berdiri Lia memicingkan mata kala melihat seseorang yang familiar berdiri beberapa meter jauh di depannya. Bersandar di depan toilet umum. Tampak berbincang seru dengan seseorang. Lia tidak bisa melihat wajah sangat lawan bicara akibat letak orang itu yang membelakanginya. Mendadak Lia memberhentikan langkah, hanya agar bisa mengamati lebih jelas.
Melihat Lia memberhentikan jalan, Arwin pun ikut berhenti pula. Keningnya berkerut, memandang Lia yang seketika membatu. "Lo lagi liatin siapa?"
"Kayaknya itu Erisha." Lia menunjuk sesuatu, yang langsung Arwin ikuti kemana jari Lia mengarah. Ternyata Lia menunjukkan seseorang perempuan yang sedang berdiri di depan kamar mandi. Tengah berbicara sembari tertawa kecil. Wajahnya asing bagi Arwin. "Tuh, liat kan? Yang baju merah."
"Ya terus kenapa?" tanya Arwin sewot. "Mau lo sapa? Sapa aja sono. Gue tunggu."
"Erisha tuh temen gue di BEM juga yang tadi gue ceritain. Gue nanya ke Arga sama dia."
"Ooh..." Arwin mengangguk-angguk saja, merespon seadanya. Arwin kembali menilik wajah tersebut. Sayangnya dari jarak mereka yang cukup jauh, Arwin tidak bisa melihat dengan jelas. Apalagi dia punya minus. "Temen lo Erisha-Erisha itu lagi ngobrol sama siapa? Pacarnya? Tapi kok nggak etis banget ngobrol depan toilet."
"Nggak tau juga gue. Samperin gimana?"
"Terserah."
Mereka akhirnya setuju. Baru beberapa langkah, Erisha justru berlalu pergi. Meninggalkan begitu saja lawan bicaranya tadi. Lia mengerjap, telat menyadari bahwa Erisha sudah masuk ke lift.
Lia berdecak. "Kok pergi sih? Padahal mau gue sapa."
"Tau tuh temen lo. Temennya di tinggal gitu aja. Eh, tapi kayaknya gue familiar deh sama tuh cowok. Dari belakang kayak miripㅡtuh kan Arga. Hafal banget gue sama kemejaㅡ"
Arwin tidak jadi melanjutkan ucapannya sebab tidak lama setelah Arwin berbalik, seorang perempuan lain yang terlihat sehabis dari kamar mandi mendatangi Arga. Yang membuat Arwin sampai kehilangan kata adalah, setelah berdiri terpaut selangkah di belakang, perempuan itu mendadak memeluk Arga dari belakang. Arga sempat terkejut sebentar. Namun bukannya menghindar, Arga justru memutar badan hanya untuk memeluk balik perempuan tersebut.
Arwin membeku, bahkan sampai keduanya melenggang pergi pun, tidak ada satupun kata yang berhasil Arwin ucap.
Perlahan, Arwin menoleh pada Lia. Lia tidak mengatakan apa-apa. Wajahnya datar, ekspresinya sukar dibaca. Pandangannya pun kosong. Lia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda seperti orang yang akan menangis, tapi Arwin menyadari cup minuman Lia sudah remuk akibat perempuan itu remas.
"Liㅡ" Seluruh kata seolah tertahan di tenggorokan. Arwin meneguk ludah kasar. "You okay?"
"Brengsek."
Bagaimana bisa Lia baik-baik saja setelah melihat pacarnya berselingkuh di depan matanya sendiri. Ada sesuatu yang patah saat mengetahui bahwa mereka baru saja berbaikan kemarin. Dan esoknya, Lia disuguhi kejutan bahwa apa yang Arwin tebak memang benar. Lia tertawa getir. Dari semua kemungkinan, Lia lebih baik mengetahui Arga mengkhianatinya dari mulut orang lain daripada mata kepalanya dendiri.
Sebab, apa yang Lia rasakan jauh berkali-kali lipat lebih menyakitkan.
Lebih menyesakkan.
Air mata seakan berdesakan keluar yang Lia tahan dengan menggigit bibir sekeras tenaga. Lia tidak berhak untuk menangisi lelaki seperti Arga. Air matanya terlalu berharga untuk dia buang hanya untuk lelaki brengsek seperti itu.
"Liaㅡ"
"I'm okay." Lia memotong cepat. Intonasinya berubah dingin. "Gue pengen pulang cepet-cepet. Gue capek."
Arwin spontan menahan Lia yang akan berjalan.
"Don't pretend like you are fine when you're not, Lia. You're eyes tells it all."
"Terserah. Gue mau pulang."
Lia berjalan tergesa-gesa ke arah lift. Sedangkan Arga masih menahannya, memegang kedua bahunya erat. Netranya sarat kekhawatiran. "Oke kalau lo mau pulang. Tapi biar gue anterin. Gue nggak akan biarin lo nyetir sendiri dalam kondisi kayak gini."
"Kondisi kayak gini gimana?" Lia tertawa getir. "Kondisi habis di selingkuhi di depan mata kepala gue sendiri?"
"Lia, please." Arwin mendesah berat. "Gue lebih baik lihat lo marah daripada lo yang pura-pura baik-baik aja kayak sekarang. Tumpahin semua biar lo lega. Remember when I said that I always on your back? It is not just words, Lia. I really mean it."
Lia tidak sanggup menatap arwin karena jika dia melakukan itu, semua pertahannya akan runtuh. "Gue mau pulang."
"Janganㅡ"
"Gue mau pulang! Lo paham nggak sih?!"
"Alright." Arwin menyerah. "Siniin kucing mobil lo. Gue yang nyetir."
"Lo juga bawa mobil."
"Menurut lo ninggalin mobil jauh lebih penting daripada ninggalin lo?" tanya Arwin tak habis pikir.
"Gue nggak butuh belas kasihan lo." Lia menyahut dingin. "Gue pengen sendiri, dan gue bakal pulang sendiri. Sekarang minggir."
"Gosh!" Arwin mengacak rambutnya, terlihat frustasi berat. "Oke oke! Kalau itu mau lo. Tapi kalau lo nggak mau gue anterin, naik taksi. Gue pesenin sekarang. Mobil lo bakal gue anter ke apartemen lo. Jangan bantah karena gue nggak akan nerima alasan apapun lagi."
Lia bungkam. Arwin tampak serius dengan ucapannya. Bahkan kala Lia menuruti perintahnya, duduk aman di kursi penumpang, Arwin tak berhenti menatapnya cemas. Seakan Arwin masih ragu melepas Lia pulang.
"Anterin ke Royal Residence ya Pak. Kalau jalan nggak usah ngebut, yang penting pastiin temen saya selamat sampai rumah. Nanti kalau udah sampai jangan lupa kabari saya." Arwin beralih pada Lia setelah bertukar nomor dengan supir taksi tersebut. Lia masih membisu. Mulutnya terbuka berniat mengucapkan sesuatu, tapi nyatanya kalimatnya tertahan di ujung lidah. Arwin mengurungkan niatnya, dia tau ini bukan saat yang tepat untuk berbicara. "Kalau udah sampai kabarin gue, oke? Kalau butuh sesuatu langsung telfon gue aja."
Taksi melaju pergi, meninggalkan Arwin dengan wajah kalut seorang diri.
***
Sepanjang taksi berjalan, Lia setia bungkam. Setidaknya setelah memastikan taksi sudah berjalan menjauh dan Arwin sudah tidak terlihat lagi, Lia baru membuka suara.
"Pak, putar balik. Saya nggak jadi pulang. Saya mau ke Midnight Paradise."
Lewat rear-view mirror, supir itu terlihat gelagapan. "T-tapi Mbak, kata Mas tadiㅡ"
"Selama Bapak nggak bilang, dia nggak akan tau." Lia memotong, nadanya menohok. "Bapak nggak udah khawatir, nanti tip saya tambahin."
Pada nyatanya, malam itu Lia tidak pulang ke rumah. Lia tau ini sudah malam, tapi dia tidak peduli.
Lia butuh pelarian.
***
Suasana hingar bingar langsung menyambutnya begitu Lia menginjakkan kaki ke dalam tempat penuh dosa ini. Bahkan dari tempatnya berdiri, bau alkohol yang cukup menyengat kontan menusuk indra penciuman nya. Seperti namanya, Midnight Paradise. Surga bagi orang-orang yang menyukai dunia malam.
Lia berjalan lurus menuju stool bar yang berhadapan langsung dengan bartender. Membelah lautan manusia setengah mabuk menari kesetanan seperti tak ada hari esok. Dia tidak berniat untuk menyewa table, Lia hanya perlu minum. Jadi saat Lia mendudukkan diri, sang bartender dengan sigap menanyainya minuman apa yang akan dia pesan, Lia tanpa ragu menjawab mantap.
"Wine."
Lia akan selalu bersyukur untuk adanya wine di dunia ini.
Arga selalu melarangnya ke club malam dan hanya boleh pergi jika dalam pengawasan lelaki itu. Tapi sekarang persetan. Sejak Lia melihat Arga berpelukan dengan perempuan lain, detik itu juga Lia sudah memutuskan bahwa Arga bukan lagi pacarnya. Lia menyesap sedikit wine-nya, sedari tadi pertanyaan ini tidak pernah lepas dari benaknya. Datang berulang-ulang tanpa bisa dia cegah. Pertanyaan yang dia sendiri tidak tau jawabannya. Dari semua perempuan, kenapa Arga harus berselingkuh dengan temannya?
Kenapa harus Sarah?
Saat Lia berniat membangun relasi kembali dengan perempuan itu, saat Lia baru saja bertemu dengan Sarah seminggu lalu, saat Lia ingin kembali dekat seperti dulu.
Kenapa harus Sarah, Arga?
Kenapa harus orang yang dia kenal?
Dan pertanyaan terakhir.
Kenapa lelaki itu... justru memilih selingkuh?
Lia terjebak dengan pikirannya sendiri. Dengan sedikit brutal, dia menenggak Wine dalam sekali tegukan. Mengisi lagi ke dalam gelas, dan begitu seterusnya. Hentakan keras dari musik tidak lagi mengganggunya. Lama kelamaan, Lia mulai melupakan sekelilingnya. Ada tenang yang menyusup ke rongga dada yang hanya bisa Lia dapatkan ketika dia minum. Lia jelas masih sadar, namun perlahan dia masuk ke dalam dunianya sendiri.
Setidaknya itu yang Lia rasakan sebelum suara deritan yang berasal dari kursi yang didorong mengejutkannya. Lia menoleh, menemukan stool bar yang tadinya hanya diisi dua orangㅡtermasuk dirinyaㅡkini bertambah. Lia tidak bisa menahan umpatan kala matanya bertubrukan dengan netra seseorang.
"Shit."
That damn guy. Right beside her.
Azka menarik senyum miring. "Oh, hai?"
Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya. "You seems drunk." Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur. "I'm totally sober." Lia menukas tajam. "Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi
Love is not cruel We cruel Love is not a game We have made a game Out of love ㅡ Rupi Kaur *** Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. "Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini." "Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau." "Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!" "Iya iya maaf, aku salah." "Ya emang kamu salah!" "Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila." "Tapi aku sakit hati tau!" "Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai
@arga[lia, aku benar-benar nyesel][please... forgive me?]"Hah! Apa-apaan nih?"Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya.Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus."Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa."Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjel
"Sekarang, bicara."Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa."Sebenernya lo mau apa?""Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit."Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri."Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang.Sarah... muak jadi nomor dua.Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun ala
"Karena kebetulan, yang kepilih request dua-duanya titip salam pakai lagunya The 1975, gue gabungin sekalian aja ya." "Bener." Lia mengangguk tanda setuju pada ucapan Dimas, meski tau orang-orang tidak akan mengetahuinya. "Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?" "Gue juga, asli. Makanya gue seneng banget waktu tau ada yang titip salam pakai lagu band kesayangan gue." Dimas menjawab penuh semangat. Terlihat jelas dari nada bicaranya yang berubah exited tiba-tiba. "Gue paling suka Be My Mistake, Li. Lo apa?" "Falling For You. Nggak bosen-bosen demi apapun." Lia tertawa ringan. "Nah, ini ada yang titip salam buat Sisca Ilpol angkatan 19. Kesukaan lo nih, Falling for you by The 1975." Dimas mulai menyebutkan titipan salam pertama dari dua titipan salam yang terpilih. Radio Kampus hanya menerima dua salam untuk setiap sesi. "Sis, diharap setelah lo de
'PLOROTIN PLOROTIN!' 'JANGAN DONG! CEMPLUNGIN AJA WIN CEMPLUNGIN!' 'NANGGUNG LAH ANJIR! MENDING PLOROTIN HABIS ITU CEMPLUNGIN!' 'ARWIN BANGSATTT!' "AHAHAHAHAHAH GOBLOK!" Lia tersentak kaget, refleks menjauhkan badannya dari Nadila yang tertawa keras. Kupingnya sampai pengang. Untung saja kelas masih sepi, jadi pekikan nyaring Nadila barusan tidak mengundang perhatian banyak orang. Tapi tetap saja, Lia yang harus menanggung malu. Berkali-kali meringis sambil mengucapkan maaf pada tiap orang yang menoleh dengan pandangan terganggu. Nadila tidak sadar. Perempuan itu justru malah asyik melihat ponselnya sambil terus cekikan.Jengkel, Lia mengambil satu helai kertas dari bindernya, ia remat jadi gumpalan, lalu dijejalkannya ke mulut Nadila yang mangap lebar serupa gawang bola. "AnjㅡHOEK!" Nadila langsung memuntahkan gumpalan kertas tersebut dengan raut ji
Perasaan yang Lia rasakan pertama kali usai Azka berucap adalah, tentu saja tertegun.Lia sempat panik, tapi dia berusaha memberi sugesti pada diri sendiri untuk tetap berpikir tenang. Pandangannya beralih pada kamera milik Azka yang tergeletak di lantai. Salah satu temannya juga menggilai dunia photograpy, punya banyak kamera dengan ukuran besar, dan Lia pernah iseng bertanya mengenai harga. Temannya menjawab ada dikisaran harga 5 juta lebih, namun tidak sampai menyentuh angka 10 juta.Kamera Azka tergolong kecil, bentuknya persegi panjang dan hanya seukuran telapak tangannya. Mungkin lebih besar sedikit. Lia tidak tau harga pasaran kamera, namun jika kamera temannya yang berukuran besar saja direntang harga sekian, apalagi kamera kecil layaknya punya Azka?Lia tau dia tidak boleh meremehkan kamera hanya dari bentuknya. Dia hanya berusaha tetap waras sekalipun keadaan memaksanya untuk tid
Lia berjalan dengan gerakan lunglai kala tiba-tiba, seseorang sengaja menyenggol bahunya membuat Lia mengerjap. Tersadar dari lamunan dan waktu dia menoleh, Arwin sudah ada di sebelahnya dengan senyum miring terpampang jelas di wajah."Apaan sih lo," ujar Lia tak bersemangat."Lo ada buat masalah apa lagi?"Lia sontak menghentikan langkah, matanya membulat sepenuhnya bikin Arwin tertawa kencang. Tangannya melayang memukul lengan Arwin, memberi kode agar lelaki itu mengecilkan volume suaranya sebab orang-orang mulai menoleh dengan pandangan terganggu pada mereka berdua."Kok lo tau sih?" tanya Lia sengit.Arwin masih tertawa. "Pacar lo bocor."Lia memukul mulut Arwin dengan tangannya, tersenyum sarkastik. "Mantan.""Iya lupa. Galak amat bu." Arwin memutar bola matanya malas. "Kok lo tolol sih bisa-bisanya gelut sama