Share

8. Broke Into Pieces

Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? 

Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya.

"You seems drunk."

Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. 

Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur.

"I'm totally sober." Lia menukas tajam. 

"Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi Lia yang memerah tanda dia mulai mabuk. "Udah abis berapa gelas?"

Lia melirik tidak suka. Tiga puluh menit lebih Lia disini, dia harus rela ketentramannya direnggut paksa. Lia punya impresi buruk pada Azka di hari pertama mereka bertemu. Dan bertemu Azka di hari Lia patah hati adalah bencana lainnya yang Lia dapatkan hari ini. Lia ingin menikmati hari terakhirnya sebagai pacar Arga dengan tenang. Bukan dengan ocehan tidak penting Azka. 

Lia menenggak minumannya kasar. Lia mendesah berat, menoleh pada Azka yang dengan tenang meminum minuman berwarna biru bening yang Lia tidak tau namanya. "Can you just leave me alone? It fucking sucks know that you be here."

Azka mengangkat alis. "Lo ngusir?"

"Lo nggak ada alasan buat kesini."

"Alasan konyol." Azka tertawa renyah, yang di telinga Lia justru terdengar menyebalkan. "Hampir setiap weekend gue di sini dan gue nggak pernah melihat lo. And now you want me, one of the biggest royal Midnight Paradise's customer ever had, to go away just that way? That's not your control anymore. Am I right, Van?"

Di depan mereka, bartender bernama Evan yang sedari tadi diam-diam mencuri dengar pembicaraan mereka, hanya tersenyum kaku. 

Lia menyernyit heran, memandang keduanya yang saling melemparkan pandangan penuh tanda tanya. Di saat bersamaan, dia sedikit kaget mengetahui ternyata Azka adalah orang yang cukup rajin ke night club. Apalagi katanya tadi, salah satu pelanggan teroyal yang Midnight Paradise punya? Lia tidak salah dengar kan. Seberapa sering lelaki itu kemari hingga pantas diberi gelar begitu?

"It's not weekend." Lia menyangkal. 

"Gue nggak bilang gue cuma kesini waktu weekend."

"Still. Lo nggak punya alasan buat ke sini."

"Nggak semua orang harus punya alasan ketika mereka mau ke night club." 

Lagi-lagi, dengan lihai Azka memutar balikkan kata-kata. Lia curiga mulut Azka dibuat hanya untuk membuat orang kesal. 

"Semua orang di sini punya."

"What about yours?"

"I'm in a heart broken phase." Lia tidak tau apa yang membuatnya secara gamblang memberitahu Azka. Namun satu yang pasti, alkohol adalah salah satu penyebabnya. Lia tidak menghitung, berapa gelas yang sudah dia teguk malam ini. Berapa botol Wine yang sudah dia habiskan. Pikirannya seakan melayang membawanya ke tempat paling tenang. "Arga selingkuh."

Azka menarik senyum tipis. "Ternyata bener ya, drunken minds speak sober thoughts."

Kening Lia berkerut. Heran Azka sama sekali tidak terkejut dengan ucapannya. "Lo udah tau Arga selingkuh ya?"

Azka sontak terdiam. Lama. Hingga di detik kesabaran Lia nyaris habis, Azka tetap tidak terlihat seperti ingin menjelaskan. Azka tetap diam, namun netranya menyorot dengan pandangan yang sulit Lia artikan. Lia tertawa getir. Hatinya serasa dicabik berulang kali. Setelah mati-matian Lia tahan dari tadi, matanya memanas kembali. Setetes air mata jatuh membasahi pipi, sebelum kemudian deras tanpa bisa di cegah. 

Wine memang salah satu hal favorit Lia. Tapi Wine juga bisa membuat Lia berubah bodoh hanya dalam beberapan gelas. Lia sadar, hal yang akan dia sesali ketika bangun tidur nanti adalah iniㅡmenangisi Arga di depan temannya sendiri. Di depan Azka. Orang terakhir yang Lia harapkan kehadirannya. Tekanan yang dari tadi Lia tahan memaksa mendobrak keluar. Hadir dalam bentuk air mata yang mengalir tiada henti, seakan enggan berhenti meski sudah Lia tahan mati-matian. 

"Brengsek." Lia berusaha keras untuk berbicara. Tenggorokannya tercekat, ludahnya terasa pahit. "Lo berdua brengsek."

"Lia, bukan gitu." Suara Azka berubah, terdengar cemas. Suara yang tadinya penuh intimidasi lenyap, diganti oleh nada terhalus yang pernah Azka ucap. "Gue nggak berhak untuk mencampuri hubungan lo dan Arga."

"Lo berdua orang terbrengsek yang pernah gue kenal. Lo nggak jauh beda sama Arㅡhoekㅡ"

"Eh eh, mau muntah tuh!" Evan, bartender tadi, spontan bereaksi. Panik sendiri. Lia segera melempar tatapan tajam buat bartender tersebut membisu seketika. Siapapun orang berakal juga tau dia akan muntah. 

Lia sontak menutupi mulutnya menggunakan punggung tangan. Merasa sesuatu bergerak naik hingga kerongkongan. Menahan apapun cairan menjijikkan yang berusaha melengsak keluar. Lia bisa merasakan perutnya mual. Tidak disini. Jika Lia ingin muntah, tidak disini. Tidak di depan Azka. Itu sama saja dengan ajang mempermalukan diri sendiri. 

Belum sempat dia berdiri, Azka dengan sigap mengambil alih. Azka mendekat, tangannya merengkuh kedua lengannya sebelum kemudian menuntunnya untuk keluar. Membawanya ke got kering di pinggir taman tak terawat yang letaknya bersebalahan dengan Midnight Paradise.

Tanpa membuang waktu, Lia membungkuk. Kedua tangannya bertumpu pada lutut. Sementara tepat di sebelahnya, Azka dengan telaten mengurut pelan pangkal lehernya. Tangannya yang lain digunakan untuk menjadi tali sementara rambutnya, menghindari kemungkinan rambut panjang Lia akan terkena muntahan. 

"Udah?" Azka bertanya di sela kegiatan memalukannya dengan penuh kesabaran. Tidak ada tuntutan dalam suaranya. 

Lia mengangguk pasrah. "Hm-mm."

Setelah itu, Azka menggiringnya agar duduk di kursi besi yang tampak berkarat. Letaknya masih di taman tersebut. Tanpa berkata apapun, Azka kembali masuk ke dalam club entah apa alasannya. Lia juga tidak peduli jika Azka meninggalkannya. Kejadian barusan sudah cukup mempermalukan harga diri Lia. Alih-alih kesal, anehnya air matanya tetap tidak berhenti mengalir. Bukannya mereda justru semakin deras. Lia memukul dadanya sendiri yang terasa sakit. Lia ingin berhenti menangis konyol karena Arga, namun tidak bisa. Semua keluar begitu saja tanpa bisa Lia cegah. 

Genggaman di tangannya membuat Lia berhenti memukuli dadanya sejenak. Lia mendongak, menemukan Azka di depannya sudah siap dengan tisu basah di tangan. Tanpa aba-aba, Azka mengelap bibirnya serta pipinya yang mungkin saja terkena bekas muntahan. Untuk beberapa saat, Lia diam membeku. Bahkan untuk berkata saja dia tidak bisa. 

Azka berjongkok di depannya, tangannya ditaruh kursi yang Lia duduki. Masing-masing berada di sisinya. Kedua netranya menatap Lia lekat. Lia bisa melihat sepercik kekhawatiran disana. 

"Feel better?" tanya Azka cemas.

Bukannya menjawab, lagi-lagi Lia meledak dalam tangisan. 

"Hey it's okay. I'm here." Azka menyematkan rambut Lia yang menghalangi sisi wajah ke belakang telinga, juga helai halus yang menempel di muka karena air mata. Dari sini, Azka bisa melihat dengan jelas mata Lia yang memerah. Lia tetap menunduk, masih enggan menatap. Tangan Azka tergerak untuk meraih wajah Lia untuk perlahan dia arahkan ke matanya. "Adhisㅡnah, Liandra, look at me."

Jika bukan dalam pengaruh alkohol, yang akan Lia tanyakan pertama adalah mengapa Azka bisa tau nama lengkapnya. Tapi untuk sekarang, berpikir jernih saja Lia tidak bisa. 

"Liandraㅡ"

"Sakit." Lia memukul dadanya sendiri berkali-kali. Berharap itu akan mengurangi barang sedikit rasa sakit yang hinggap di sana. "Di sini sakit, Azka. Gue nggak tau apa salah gue, gue nggak tau kenapa Arga bisa segampang itu buat memilih selingkuhㅡ" Lia kesusahan melanjutkan kalimatnya. Tenggorokannya sakit, dadanya sesak, napasnya tersenggal. Lia memegang erat jaket Azka, berusaha menyalurkan rasa sakitnya. "Gue udah berusaha jadi yang terbaik buat dia. Kalau usaha gue masih kurang, bilang. Bukan begini caranya."

"That's not your fault, Lia." Azka berkata tenang. "Gue nggak bilang gue jauh lebih baik daripada Arga, tapi Arga selingkuh karena memang dia brengsek. Bukan karena lo gagal jadi pacar yang baik."

Lia menggeleng lemah. Tangisnya masih enggan berhenti, jatuh membasahi kaos Azka. "Tiga hari lalu, kita berantem kecil. Kemarin kita baru baikan. Dan hari ini gue liat diaㅡ" 

Kalimat Lia terganti dengan erangan pilu. Azka dengan cepat berdiri, tangannya mendorong punggung Lia agar perempuan itu bisa bersandar bersandar di perutnya. Tangis Lia masih sekencang tadi, tangannya mencengkeram erat jaketnya di masing-masing sisi layaknya anak kecil yang takut ditinggal ibunya pergi. Perlahan, tangan Azka terangkat guna membelai rambut halus Lia, membiarkan kaos bagian depannya basah karena air mata.

Hampir satu jam Azka berdiri. Menemani Lia menangis sepuasnya dalam kukungan lengannya. Meski harus menahan kakinya yang dirambati kram. Kala Azka tidak lagi mendengar suara Lia, Azka menemukan perempuan itu sudah tertidur pulas dengan tubuh kelelahan. Meski sudah tertidur dengan perutnya yang Lia jadikan bantal, genggaman Lia sama sekali tidak melonggar. Seakan takut ditinggalkan. 

Azka mendengus geli. Memanfaatkan hal itu untuk memandangi wajah Lia. Azka menarik sudut bibirnya. Kali ini bukan senyum miring atau senyum mengejek, melainkan senyum tertulus yang pernah Azka berikan.

"Gue nggak pengen liat lo nangis lagi. Jadi Liandra, setelah semua iniㅡplease, be happy."

***

Lia bangun di hadiahi pusing yang luar biasa yang mendera kepala.

Lia meringis, mengurut keningnya pelan. Merubah posisi tidur menjadi duduk, Lia bersandar lemah di headboard kasur. Tangannya meraba laci di sebelah tempat tidur, mencari ponsel yang biasa Lia letakkan di sana. Sewaktu melihat tidak ada apapun di atas laci selain jam digital, Lia baru menyadari bahwa dia tidak pernah mempunyai jam digital berbentuk persegi panjang seperti itu. Lia melarikan pandangan ke seluruh ruangan dan menyadari bahwa kamar yang didominasi warna beige dengan lantai kayu ini tentu saja bukan kamarnya. 

Lia hampir menjerit histeris, yang untungnya akal Lia masih berfungsi untuk dia gunakan berpikir terlebih dahulu. Berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.

Lia hanya mengingat dia minum wine di Midnight Paradise, bertemu Azka, muntah, dan... hanya itu. Lia tidak bisa mengingat yang terjadi selanjutnya. 

Jadi... ini kamar siapa?"

Awalnya Lia berniat kabur diam-diam jika saja ketukan di pintu tidak menahannya. Lia menahan napas kala pintu terbuka, dan baru bisa bernapas lega waktu yang datang adalah Arwin sembari membawa nampan di tangan. 

Arwin berangsur mendekat, meletakkan nampan yang di atasnya sudah ada semangkuk nasi, sayur sop hangat yang asapnya masih mengepul, lengkap dengan ikan. Tidak lupa segelas teh hangat disertai susu beruang. Lia meneguk ludah, mendadak perutnya keroncongan. Namun Lia berusaha abai. Ada hal lebih penting yang ingin dia tanyakan pada Arwin sekarang. 

"Kok... gue ada di rumah lo?" Lia bertanya takut-takut. Bukan takut karena Arwin akan berbuat macam-macam, Lia tau Arwin tidak akan melakukan hal demikian. Lia lebih takut setelah ini dia kena sembur Arwin habis-habisan. "Perasaan gue kemarin samaㅡ"

"Azka." Arwin memotong. Tangannya di tekuk di dada, seolah siap menghakimi Lia kapan saja. "Azka called me at freakin 12 AM. Asked me to picked you up because he didn't know your adress. Royal Residence sekarang ganti nama jadi Midnight Paradise ya?"

Lia meringis. "Sori..."

"Hari ini mending lo nggak ngampus dulu. Badan lo juga anget. Nanti gue sampaiin Nadila lo ijin sakit."

"Emang dia nggak curiga?"

"Curiga kenapa?"

"Karena lo tau keadaan gue sedangkan dia nggak."

"Gampang. Itu urusan belakangan. Biar gue mikir alasannya nanti." Arwin mengibaskan tangan. "Sekarang lo makan. Baru sehari, dan lo udah sekacau ini. Gue nggak mau lo beneran tumbang cuma karena Arga."

Lia mengehela napas panjang. Lihat, semua orang yang tau juga berkata bahwa dia tidak pantas menangisi Arga. 

Pandangan Lia tidak sengaja mengelilingi kamar. Menilik seluruh penjuru dengan mata menyipit.  "Ini kamar lo?"

"Hm?" Arwin mengerjap. "Oh, bukan. Ini kamar kakak gue. Dia kampusnya jauh, jadi milih sewa apartemen deket sana. Pulang cuma weekend aja."

"Kakak lo yang mana?"

"Ya yang itu."

"Ya yang mana setan?" Lia memutar bola mata malas mendengar respon Arwin yang ogah-ogahan. Seingatnya, Arwin punya dua kakak, laki-laki dan perempuan. Dilihat dari warna kamar yang di dominasi warna pastel juga perabotan yang ada Lia bisa langsung menyimpulkan. "Yang cewek?"

"Bukan, yang cowek."

Lia melempar bantal ke arah Arwin dengan kasar. Seakan sudah memprediksi pergerakannya, Arwin dengan mudah menangkap, mengembalikan bantal ke tempat semula disertai cengiran lebar. Lia mendengus, mulai makan. Waktu Arwin akan menutup pintu, Lia buru-buru berucap. Kata-kata yang seharusnya dia katakan dari tadi. 

"Arwin, makasih."

Dari balik pintu, Arwin tersenyum tipis. "My pleasure, Li."

***

"Kok Lia sakit malah ngabarin kamu? Yang temennya itu kamu apa aku?"

"Kan aku juga temennya, Nad..."

"Masih jawab aja?"

Arwin merapatkan bibir, tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Keduanya berjalan beriringan menuju parkiran dengan niat menjenguk Lia. Nadila di sebelahnya sibuk sendiri berkutat dengan ponsel, menerror Lia dengan puluhan telepon yang ujung-ujungnya selalu berakhir ke kotak suara. Arwin tau, Lia memang sengaja tidak menjawab. 

"Kok nggak di jawab sih?" Nadila sebal maksimal. 

"Kok marahnya ke aku sih?" Arwin cemberut.

Nadila sontak melemparkan tatapan tajam, kode untuk Arwin lebih baik menutup mulutnya. Arwin diam lagi entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. 

Dia harus diam agar tidak terkena amukan pacarnya yang sedang dalam masa periode hari pertama. Arwin juga lebih banyak diam ketika berkumpul dengan teman-temannya. Apalagi... Arga. Setelah semua yang terjadi kemarin, Arwin tidak bisa berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak ketika Arwin melihat dengan mata kepalanya sendiri, waktu Arwin menjemput tengah malam di Midnight paradise, Lia dalam keadaan kacau dan mata membengkak sebab terlalu banyak menangis. 

Mereka berdua sampai di parkiran. Arwin baru saja memencet remote mobil agar kunci terbuka ketika dari arah berlawanan, tiga temannya yang lain datang bersamaan. Arwin berdeham, refleks membuang muka. 

"Heh, lo mau kemana?" Nadila bertanya gamblang pada Arga. "Lo masih ada kelas?"

Arga mengernyit sejenak. "Nggak. Kenapa?"

"Gue mau ke apartemen Lia. Lo ikut nggak?"

"Ngapain?"

"Ngapain?" Suara Nadila naik satu oktaf. Memandang tidak percaya. "Gue sama Arwin mau jenguk Lia. Pacar lo lagi sakit dan lo bisa-bisanya nggak tau?"

"Lia sakit?" Arga tampak terkejut. "Sakit apa?"

"Sakit hati." Nadila menjawab asal.

Arwin sontak terbatuk. Nadila meliriknya singkat dengan pandangan heran, lalu beralih pada Arga lagi.

"Ya mana gue tau. Makanya ini gue mau jenguk. Lo gimana sih, pacar lo sakit lo sama sekali nggak tau. Lo pacarnya bukan?"

'Lo pacarnya bukan?'

Arwin tertawa miris dalam hati. Baik Arwin maupun Azka tau, dalam kurun waktu dekat, status mereka tidak akan sama lagi. 

"Lia nggak bilang gue." Arga yang tidak terima di pojokkan begini, menyangkal tajam. 

"Tolong ya, teknologi itu ada untuk digunakan. Ya lo inisiatif lah chat Lia duluan." Nadila memandang penuh selidik. "Oh, atau lo dari pagi sampai sekarang belum chat sama sekali ya?"

Arga membisu. Bahkan semuanya terdiam. Arwin melirik Azka dan Mahen yang kebingungan, saling melempar pandangan.

Karena kejadian Lia mabuk parah di club kemarin, akhirnya Azka menceritakan semuanya padanya. Termasuk fakta bahwa Azka sudah lebih dulu tau mengenai tentang Arga yang berselingkuh, namun lebih memilih menutup mulut karena Azka merasa tidak berhak untuk ikut campur. Saat ini pun begitu, yang Azka lakukan hanya diam. Tampak tidak berniat ikut ke dalam pembicaraan maupun membela Arga seperti yang Azka lakukan biasanya. 

"Bodo amat lah." Nadila menukas kesal. Masuk ke dalam mobil, dan sebelum menutup pintu, Nadila menyempatkan untuk melirik Arga sinis. "Terserah lo, Ar. Nggak paham gue sama jalan pikiran lo."

Selanjutnya, bunyi pintu yang dibanting terdengar keras. 

Arwin mendesah berat, berjalan ke arah Arga untuk menepuk bahunya dua kali sebelum masuk ke mobil. "Nadila lagi PMS. Sori ya, dia jadi marah-marah gini."

Bahkan sampai mobil Arwin keluar dari parkiran, Arga masih membeku di tempatnya berdiri.

***

Lia terpaksa terbangun dari tidurnya saat mendengar bel apartemennya dibunyikan berkali-kali. Lia bangun dari kasur, matanya mengerjap mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Dia tidak tau jam berapa sekarang. Selepas pulang diantar Arwin, Lia tertidur setelah bergelung dalam tangis. 

Tangannya mengambil ponselnya yang dia sengaja matikan dan melihat jam. Ternyata sudah jam 4 sore. Puluhan missed call dari Nadila, juga teman-temannya tidak berniat Lia jawab. Pandangannya tidak sengaja menangkap pesan dari Arga, yang baru dikirim beberapa menit lalu. 

@argaa

[aku denger dari nadila katanya kamu sakit? ]

[kenapa nggak kabarin aku?]

[oke, itu nggak penting]

[lebih baik kamu lanjut istirahat, satu jam lagi aku ke apart kamu. rest well, lia]

Lia membanting ponselnya ke kasur tanpa berniat membalas. 

Mendengar bunyi bel yang dibunyikan beruntut tanda dari tamunya yang tidak sabaran, Lia buru-buru turun dari kasur. Menatap pantulan tubuhnya di cermin. Definisi kondisi Lia hanya satu kata, kacau. Rambut berantakan, mata yang masih sembab dan memerah, wajahnya pucat seakan kurang asupan. 

Lia menghela napas. Secepat kilat merapikan rambutnya. Mengoleskan lipbalm dan blush on di pipi agar wajahnya terlihat lebih segar. Agar wajahnya terlihat layaknya manusia sehat pada umumnya. Bukan zombie berjalan seperti ini. Tapi untuk matanya, jelas tidak bisa dibohongi. Nadila akan semakin menganggapnya aneh dan kian mendesaknya untuk bercerita jika Lia memaksa memakai kacamata hitam padahal dia berada di dalam ruangan.

Lia akan bercerita, itu pasti. Tapi Lia akan berusaha menunjukkan bahwa tanpa Arga sekalipun, Lia tetap baik-baik saja. 

Lia melihat lewat intercom video monitor, menampakkan kehadiran Nadila dan Arwin yang sudah menunggunya. Kala Lia akhirnya membuka pintu, serentetan kalimat langsung menyambutnya. 

"Lia lo kenapa sakit nggak bilang-bilang sih? Bukannya kasih tau gue malah kasih tau Arwin! Yang temen lo itu gue apa dia? Gue jadi merasa nggak dianggap gini! Ah, emang gue temen tiri ya! Ngeselin banget loㅡ" Nadila berhenti mengomel. Rautnya berbanding terbalik setelah menatap Lia tepat di mata. Ekspresi Nadila menurun, alisnya menukik serius. Lia mungkin bisa membohongi Nadila dengan ilusi make up. Tapi matanya yang sembab, juga binarnya yang meredup, Nadila jelas tau bahwa ada yang salah dengan temannya itu. "Lia? Lo habis nangis ya? Jujur sama gue. Bilang, bilang siapa yang udah bikin lo nangis? Gue samperin sekarang. Bilang Liㅡ"

Kata-kata Nadila tertahan karena Lia memeluknya. Lalu, raungannya terdengar menyakitkan di telinga Nadila. Isakannya keras, memenuhi seluruh penjuru ruangan. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status