"Ini lo kasih sambelnya berapa sendok sih?" Lia merasa lidahnya panas, seolah terbakar. Tangannya meraih gelas yang berisi es teh miliknya di meja, untuk kemudian dia teguk banyak-banyak. "Ini pedes banget Nad, asli!"
"Sesendok doang itu, Li." Nadila menyahut. "Kan lo minta sesendok."
Mata Lia melebar. "Gue bilangnya setengah sendok!"
"Hah?" Nadila mengangkat alis, tampak seperti memikirkan ulang ucapan Lia tadi saat berpesan. "Iya ya? Nggak merhatiin gue tadi."
"Elo ya kebisaan!"
"Iya-iya maap, nanti kalo nggak abis gue abisin deh, tenang." Nadila terkekeh.
"Itu mah enak di elo." Lia berdecak.
"Nanti gue beliin teh anget deh."
"Bener ya?"
"Iya. Makanya cepet habisin. Kalau udah dingin jadi nggak enak."
Pandangannya turun pada soto miliknya, yang baru dimakan setengah. Inilah derita orang tidak suka pedas. Sedari kecil, Lia memang tidak terbiasa makan makanan pedas. Tapi Lia juga bukan orang yang sama sekali tidak bisa makan pedas. Dia bisa makan pedas, tapi jika tidak dalam jumlah yang besar. Demi apapun, kadar toleransi Lia pada pedas bisa dibilang cupu. Maka dari itu, satu sendok sambal saja bisa membuatnya berkeringat dan minum berkali-kali.
Sotonya masih tinggal setengah, tapi minumannya sudah tandas. Habis tak bersisa. Bisa-bisa, sotonya belum habis dia sudah kembung duluan.
Lia menyandarkan tubuhnya pada tembok dibelakangnya, tangannya terlipat di dada. Memperhatikan Nadila yang lahap makan dengan tenang. Seakan sama sekali tidak terganggu dengan keadaan kantin FISIP yang ramai. Lia sudah tidak berminat menghabiskan sotonya. Jika dia memaksa, asam lambungnya bisa naik.
Lia menghela napas, meraih pouch dari dalam tasnya yang berisi facial wash dan make up. "Gue ke kamar mandi dulu."
"Ngapain?" Nadila mendongak.
"Cuci muka."
"Cepetan. Soto lo aja belum di abisin."
"Buat lo aja. Kembung gue."
Ekspresi Nadila berubah sumingrah. "Alhamdulillah. Lumayan, makanan gratis."
"Dasar penganut gratisan." Lia mendengus.
Tanpa menunggu balasan Nadila, Lia bergegas pergi. Namun saat baru saja Lia berjalan beberapa langkah dan ingin berbelok, dia tidak sengaja bertubrukan dengan orang yang datang dari arah berlawanan. Bahu mereka terbentur, meski tidak keras. Refleks, Lia mengaduh seraya memegang pundaknya yang terbentur. Mengambil langkah spontan dengan mundur dua langkah ke belakang dan mengambil pouch make up-nya yang terjatuh barusan.
Setelah selesai, Lia mendongak. Dan alangkah terkejutnya Lia ketika menemukan bahwa orang yang ditabrak nya adalah pacarnya sendiri. Lia mengangkat alis tinggi, memandang Arga yang berdiri kaku.
"Arga?" Lia jadi orang yang pertama membuka suara. "Kamu ngapain ke FISIP?"
Arga tidak segera menjawab. Ada hening panjang yang menyelimuti mereka. Arga membasahi bibir, dan Lia tau Arga hanya melakukan gelagat tersebut ketika sedang gugup. Alis Lia semakin menukik melihat tidak ada tanda-tanda Arga segera menjawab.
"Arga, I'm talking to you."
"Aku mau ketemu orang," jawab Arga kemudian.
"Siapa? Kamu punya temen di FISIP?"
Untuk kedua kalinya, Arga terdiam kembali. Tampak ragu untuk menjawab. Lalu, entah kenapa Arga mendesah berat. "Kalau aku ke sini dan bilang mau ketemu dia, jelas dia teman aku, Lia."
"Siapa?"
"Emang kamu perlu tau?"
"Emang aku ada alasan untuk nggak boleh tau?"
"Kamu nggak akan kenal."
"Ya siapa? Temen kamu nggak punya nama?"
Arga mengernyit tajam. Rautnya seperti agak terganggu dengan nada bicara Lia yang sedikit menuntut. Lia sadar, semenjak berbicara dengan Arwin tempo hari, kewaspadaan Lia pada Arga jadi meningkat. Biasanya, untuk hal sepele seperti ini Lia tidak akan bertanya rinci. Tapi bukan hanya Lia yang berubah, Arga pun juga. Biasanya, tanpa perlu berbelit-belit seperti ini pun Arga bisa dengan mudah memberi tahunya. Tapi lihat sekarang, Arga malah memberinya tatapan tajam.
"Kenapa kamu jadi over react gini sih?"
"Kenapa kamu juga berbelit-belit waktu aku tanya, Arga?" Lia menjawab sama keras kepalanya, nadanya berubah sinis. "Pembicaraan kita juga bakal selesai dari tadi kalau kamu nggak menghindari terus pertanyaan aku. Sebegitu susahnya buat kamu jawab?"
"God." Arga meraup wajahnya kasar, kemudian menatap Lia jengah. "Aku mau ketemu temen aku, anak BEM. Udah kan?"
"Aku tanya nama, bukan organisasinya. Kamu paham nggak sih, Ar?"
"What are we arguing about, actually?" Arga tertawa, jelas bukan jenis tawa yang Lia suka. Tawanya terdengar sarkastik. "We arguing about nonsense things, seriously Lia? Aku udah kasih tau kamu, tapi dari tadi kamu terus nuntut. Aku berusaha jawab, tapi kamu selalu nggak puas sama jawaban kamu."
"Aku nuntut karena kamu jawab pertanyaan aku semau kamu sendiri! Kamu nggak kasih aku jawaban yang jelas!"
"Terus jawaban yang jelas itu gimana?"
"Terserah. Aku capek ngomong sama kamu." Lia akhirnya menyerah. Emosi dan tenaganya terkuras habis hanya karena berdebat dengan Arga. Emosinya masih meluap-luap, seakan siap keluar kapan saja. Tapi sebisa mungkin, Lia tahan. Setidaknya jika dia ingin meledak, bukan di depan Arga. Hal itu hanya akan memperkeruh suasana. Emosi keduanya sama-sama sedang tidak stabi. Lia menarik napas panjang, menatap Arga dengan pandangan lelah. "Meet your friend. Whoever heㅡor she is. Aku udah nggak peduli."
Bahkan ketika Lia menjauh sekalipun, tidak ada satupun aksi pencegahan yang Arga lakukan. Lelaki itu hanya bergeming, tanpa membalas apa-apa. Tanpa berusaha menjelaskan lebih.
Tanpa berusaha menahannya pergi.
***
@arwin
[heh ini kenapa cowok lu dari tadi moodnya jelek banget sih]
Saat dosen di depan tengah menulis di papan, Arin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bermain ponsel diam-diam di bawah meja. Untungnya, letak duduknya yang di belakang dan tertutupi tubuh Bima, yang badannya bongsor, sangat mendukung untuk Arwin melakukan hal-hal tercela seperti ini.
Setelah memastikan pesan tersebut terkirim, Arwin kembali mengantongi ponselnya dan pura-pura fokusㅡmeski nyatanya sedikit tidak paham dengan materi yang dijelaskanㅡsambil curi-curi pandang pada orang di sampingnya. Arwin tidak bisa berhenti mengernyit saat Arga tanpa alasan membanting pulpennya, atau saat lelaki itu sedang kesal dan menendang kursi di depan. Ini nih yang bikin konsentrasi Arwin tidak bisa tertuju pada materi. Bagaimana bisa Arwin fokus kalau Arga sedikit-sedikit banting buku, sedikit-sedikit menendang meja. Tidak jarang Arwin ikut kaget sendiri.
Niatnya Arwin ingin tendang balik meja Arga, tapi takutnya dia yang di tendang duluan. Bukan apa-apa, masalahnya Arga jarang bad mood tidak jelas seperti ini. Tapi sekalinya moodnya buruk, semua kalangan bisa jadi sasaran.
Arwin mengetuk mejanya berulang dengan suara pelan, takut menganggu yang lain. Mencoba fokus dengan pembahasan materi yang tengah dosennya jelaskan ketika detik berikutnya, ada getar yang berasal dari ponselnya. Arwin segera mengambil ponselnya dari saku dan mengecek balasan pesan dari Lia.
@lia
[gue berantem sama arga]
"OALAAAHH, PANTESAN!"
"Yang di belakang kenapa ribut-ribut?!"
Arwin segera membungkam mulutnya yang tanpa sadar sudah berucap keras di tengah heningnya kelas. Bukan dosennya saja, tapi hampir seluruh anak menatapnya heran. Ini namanya sama saja dengan cari mati.
Dengan cepat Arwin menyambung. "OALAAAHH PANTESANㅡ" teriaknya dengan nada yang sama, kemudian menurunkan dua oktaf di kalimat selanjutnya, "ㅡsaya salah Pak. Ternyata caranya begitu, hehehe."
"Jangan cengengesan kamu. Makanya kalau dosen ngajar itu di perhatikan." Dosennya membalas tajam.
"Maaf, Pak."
Arwin menghela napas lega kala dosennya kembali menjelaskan. Sudah syukur Arwin tidak dikeluarkan dari kelas karena membuat kericuhan. Herannya, Arga yang dari tadi banting buku-bantik pulpen kok tidak pernah di tegur ya? Wah, pilih kasih dosennya. Refleks, Arwin melirik Arga sinis. Bertepatan dengan Arga yang ternyata juga menatapnya. Arwin menatap sewot, menjawab dengan mengangkat dagu songong seolah bertanya.
Arga merespon dengan berkata tanpa suara, pandangannya sinis. "Apa-apaan sih lo tadi. Norak!"
Kemudian tendangan melayang, bersarang tepat pada lutut keringnya. "ADUH!"
"Itu yang di belakang dibilangin jangan rame! Sekali lagi buat suara kamu keluar!"
Ingatkan Arwin untuk membalas Arga setelah kelas selesai.
Lia tau seharusnya dia tidak perlu keluar berdua hanya dengan Arwin hanya untuk membicarakan tentang Arga.Tapi karena kebetulan Lia ingin membeli buku di Gramedia, dan Arwin yang katanya tengah ingin membeli sepatu futsal karena keadaan sepatunya yang hampir sekarat dan tidak memungkinkan untuk dipakai, mereka akhirnya sepakat untuk ke PIM weekend ini. Arwin tentu sudah memberitahu Nadila dan awalnya juga mengajak perempuan tersebut, namun Nadila berkata tidak bisa karena keluarga besarnya sedang berkumpul ke rumah dan Nadila mustahil keluar.Yang Nadila tidak tau, Arwin justru berakhir pergi berdua dengan Liaㅡyang mana jelas tidak akan Arwin beri tau karena jujur saja, mereka berdua takut Nadila bertanya macam-macam dan rahasia mereka tentang yang sedang menjalankan misi rahasia terbongkar."Lo mau beli sepatu apa, sih?" Lia bertanya seraya menyuapkan udon ke dalam mulutnya. Usai Lia membeli buku yang dia ingin beli di Gramedia, mereka setuju untuk
Lia ingin tertawa saat ini juga. Dari semua tempat yang ada, kenapa dia harus bertemu Azka di night club? Lia berusaha menjaga raut wajahnya agar tetap datar. Berlagak seolah kehadiran Azka sama sekali tidak mengganggunya. Lia menyesap Wine-nya, mengacuhkan keberadaan Azka. Dia juga tidak berniat menjawab sapaan Azka yang diselipi nada sarkas di dalamnya. "You seems drunk." Selanjutnya, Lia mendengar suara kursi yang diputar. Azka memutar kursinya menghadap Lia. Menyandarkan badannya ke samping, tepat di stool bar masih dengan memandang Lia lamat-lamat. Merasakan tatapan Azka lurus padanya, Lia bergerak gelisah. Dia risih di tatap seintens itu, apalagi oleh Azka. Berdecak, Lia menoleh hanya untuk mendapat sepasang mata tajam bak elang tengah menatapnya. Jika tatapan Azka adalah sinar laser, niscaya Lia sudah hancur lebur. "I'm totally sober." Lia menukas tajam. "Lo udah tipsy." Azka tersenyum mengejek, memandang pipi
Love is not cruel We cruel Love is not a game We have made a game Out of love ㅡ Rupi Kaur *** Lia selesai menceritakan semuanya pada Nadila, meski dengan bahu yang masih sedikit terisak. Lia menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi apapun lagi, termasuk rencana yang Lia rencanakan dengan Arwin yang hanya diketahui mereka berdua. "Jadi kamu tau?" Nadila menuding Arwin penuh kesal. "Kamu tau tapi tetep diem dan nggak berusaha ngasih tau aku? Sialan ya, aku berasa jadi orang paling nggak berguna disini." "Nadila, aku nggak bermaksud buat nggak ngasih tau kamu. Lia yang nggak mau." "Ya tetep aja! Aku kan juga temennya Lia!" "Iya iya maaf, aku salah." "Ya emang kamu salah!" "Iya udah, sekarang nggak perlu bahas ini lagi ya. Semua udah lewat, Nadila." "Tapi aku sakit hati tau!" "Nad, jangan lebay." Lia menukas, sudah lebih santai
@arga[lia, aku benar-benar nyesel][please... forgive me?]"Hah! Apa-apaan nih?"Nadila berteriak kesal kala tidak sengaja membaca pesan Arga yang muncul di pop up bar notifikasi. Nyaris Nadila melempar ponsel tersebut ke tong sampah jika saja Nadila tidak ingat bahwa ponsel itu milik temannya.Lia yang mendengar itu pun, melongokkan kepalanya dari balik counter dapur. Memasang wajah penuh penasaran. Dengan terburu-buru, Lia mengangkat roti bakarnya yang agak gosong untuk ditaruh ke atas piring, menuang segelas susu dan menyambar sebuah apel untuk dimasukkan dalam tasnya sebelum beranjak ke arah sofa. Duduk di sebelah Nadila yang wajahnya sudah masam setengah mampus."Ada apaan sih?" Lia bertanya penasaran, seraya meletakkan makanannya di atas meja berkaki rendah yang ada tepat di depan sofa."Itu, tuh. Mantan lo ngechat barusan. Nggak tau diri banget isi pesannya, nggak guna lagi." Nadila menjel
"Sekarang, bicara."Arga berbalik badan. Saat itu juga, Sarah lamgsung menyentak tangannya begitu langkah mereka berhenti di belakang salah satu gedung yang sepi. Sarah mengambil satu langkah mundur, netranya menatap Arga putus asa."Sebenernya lo mau apa?""Kenapa jadi gue?" Arga mengernyit."Karena sebelum gue tanya, lo harus tau perasaan lo sendiri."Ini mungkin terdengar berlebihan, lebay, atau kosakata dengan arti sama lainnya. Tapi demi apapun, Sarah sudah muak. Dia lelah menebak perasaan Arga dan selalu tidak kunjung menemukan titik temu. Dia lelah terus-menerus berpura-pura. Dia lelah berpura-pura selayaknya teman di depan orang-orang namun berkhianat di belakang.Sarah... muak jadi nomor dua.Orang-orang selalu menyalahkannya tanpa berniat memahami perasaannnya. Di mata orang lain seperti Arwin, apapun ala
"Karena kebetulan, yang kepilih request dua-duanya titip salam pakai lagunya The 1975, gue gabungin sekalian aja ya." "Bener." Lia mengangguk tanda setuju pada ucapan Dimas, meski tau orang-orang tidak akan mengetahuinya. "Kalau gue pribadi suka banget sama lagu-lagunya The 1975. Kalau lo gimana, Dim?" "Gue juga, asli. Makanya gue seneng banget waktu tau ada yang titip salam pakai lagu band kesayangan gue." Dimas menjawab penuh semangat. Terlihat jelas dari nada bicaranya yang berubah exited tiba-tiba. "Gue paling suka Be My Mistake, Li. Lo apa?" "Falling For You. Nggak bosen-bosen demi apapun." Lia tertawa ringan. "Nah, ini ada yang titip salam buat Sisca Ilpol angkatan 19. Kesukaan lo nih, Falling for you by The 1975." Dimas mulai menyebutkan titipan salam pertama dari dua titipan salam yang terpilih. Radio Kampus hanya menerima dua salam untuk setiap sesi. "Sis, diharap setelah lo de
'PLOROTIN PLOROTIN!' 'JANGAN DONG! CEMPLUNGIN AJA WIN CEMPLUNGIN!' 'NANGGUNG LAH ANJIR! MENDING PLOROTIN HABIS ITU CEMPLUNGIN!' 'ARWIN BANGSATTT!' "AHAHAHAHAHAH GOBLOK!" Lia tersentak kaget, refleks menjauhkan badannya dari Nadila yang tertawa keras. Kupingnya sampai pengang. Untung saja kelas masih sepi, jadi pekikan nyaring Nadila barusan tidak mengundang perhatian banyak orang. Tapi tetap saja, Lia yang harus menanggung malu. Berkali-kali meringis sambil mengucapkan maaf pada tiap orang yang menoleh dengan pandangan terganggu. Nadila tidak sadar. Perempuan itu justru malah asyik melihat ponselnya sambil terus cekikan.Jengkel, Lia mengambil satu helai kertas dari bindernya, ia remat jadi gumpalan, lalu dijejalkannya ke mulut Nadila yang mangap lebar serupa gawang bola. "AnjㅡHOEK!" Nadila langsung memuntahkan gumpalan kertas tersebut dengan raut ji
Perasaan yang Lia rasakan pertama kali usai Azka berucap adalah, tentu saja tertegun.Lia sempat panik, tapi dia berusaha memberi sugesti pada diri sendiri untuk tetap berpikir tenang. Pandangannya beralih pada kamera milik Azka yang tergeletak di lantai. Salah satu temannya juga menggilai dunia photograpy, punya banyak kamera dengan ukuran besar, dan Lia pernah iseng bertanya mengenai harga. Temannya menjawab ada dikisaran harga 5 juta lebih, namun tidak sampai menyentuh angka 10 juta.Kamera Azka tergolong kecil, bentuknya persegi panjang dan hanya seukuran telapak tangannya. Mungkin lebih besar sedikit. Lia tidak tau harga pasaran kamera, namun jika kamera temannya yang berukuran besar saja direntang harga sekian, apalagi kamera kecil layaknya punya Azka?Lia tau dia tidak boleh meremehkan kamera hanya dari bentuknya. Dia hanya berusaha tetap waras sekalipun keadaan memaksanya untuk tid