Share

6. Arguing

"Ini lo kasih sambelnya berapa sendok sih?" Lia merasa lidahnya panas, seolah terbakar. Tangannya meraih gelas yang berisi es teh miliknya di meja, untuk kemudian dia teguk banyak-banyak. "Ini pedes banget Nad, asli!"

"Sesendok doang itu, Li." Nadila menyahut. "Kan lo minta sesendok."

Mata Lia melebar. "Gue bilangnya setengah sendok!"

"Hah?" Nadila mengangkat alis, tampak seperti memikirkan ulang ucapan Lia tadi saat berpesan. "Iya ya? Nggak merhatiin gue tadi."

"Elo ya kebisaan!"

"Iya-iya maap, nanti kalo nggak abis gue abisin deh, tenang." Nadila terkekeh.

"Itu mah enak di elo." Lia berdecak.

"Nanti gue beliin teh anget deh."

"Bener ya?"

"Iya. Makanya cepet habisin. Kalau udah dingin jadi nggak enak." 

Pandangannya turun pada soto miliknya, yang baru dimakan setengah. Inilah derita orang tidak suka pedas. Sedari kecil, Lia memang tidak terbiasa makan makanan pedas. Tapi Lia juga bukan orang yang sama sekali tidak bisa makan pedas. Dia bisa makan pedas, tapi jika tidak dalam jumlah yang besar. Demi apapun, kadar toleransi Lia pada pedas bisa dibilang cupu. Maka dari itu, satu sendok sambal saja bisa membuatnya berkeringat dan minum berkali-kali. 

Sotonya masih tinggal setengah, tapi minumannya sudah tandas. Habis tak bersisa. Bisa-bisa, sotonya belum habis dia sudah kembung duluan.

Lia menyandarkan tubuhnya pada tembok dibelakangnya, tangannya terlipat di dada. Memperhatikan Nadila yang lahap makan dengan tenang. Seakan sama sekali tidak terganggu dengan keadaan kantin FISIP yang ramai. Lia sudah tidak berminat menghabiskan sotonya. Jika dia memaksa, asam lambungnya bisa naik.

Lia menghela napas, meraih pouch dari dalam tasnya yang berisi facial wash dan make up. "Gue ke kamar mandi dulu."

"Ngapain?" Nadila mendongak. 

"Cuci muka."

"Cepetan. Soto lo aja belum di abisin."

"Buat lo aja. Kembung gue."

Ekspresi Nadila berubah sumingrah. "Alhamdulillah. Lumayan, makanan gratis."

"Dasar penganut gratisan." Lia mendengus.

Tanpa menunggu balasan Nadila, Lia bergegas pergi. Namun saat baru saja Lia berjalan beberapa langkah dan ingin berbelok, dia tidak sengaja bertubrukan dengan orang yang datang dari arah berlawanan. Bahu mereka terbentur, meski tidak keras. Refleks, Lia mengaduh seraya memegang pundaknya yang terbentur. Mengambil langkah spontan dengan mundur dua langkah ke belakang dan mengambil pouch make up-nya yang terjatuh barusan. 

Setelah selesai, Lia mendongak. Dan alangkah terkejutnya Lia ketika menemukan bahwa orang yang ditabrak nya adalah pacarnya sendiri. Lia mengangkat alis tinggi, memandang Arga yang berdiri kaku. 

"Arga?" Lia jadi orang yang pertama membuka suara. "Kamu ngapain ke FISIP?"

Arga tidak segera menjawab. Ada hening panjang yang menyelimuti mereka. Arga membasahi bibir, dan Lia tau Arga hanya melakukan gelagat tersebut ketika sedang gugup. Alis Lia semakin menukik melihat tidak ada tanda-tanda Arga segera menjawab. 

"Arga, I'm talking to you."

"Aku mau ketemu orang," jawab Arga kemudian. 

"Siapa? Kamu punya temen di FISIP?"

Untuk kedua kalinya, Arga terdiam kembali. Tampak ragu untuk menjawab. Lalu, entah kenapa Arga mendesah berat. "Kalau aku ke sini dan bilang mau ketemu dia, jelas dia teman aku, Lia."

"Siapa?" 

"Emang kamu perlu tau?"

"Emang aku ada alasan untuk nggak boleh tau?"

"Kamu nggak akan kenal."

"Ya siapa? Temen kamu nggak punya nama?"

Arga mengernyit tajam. Rautnya seperti agak terganggu dengan nada bicara Lia yang sedikit menuntut. Lia sadar, semenjak berbicara dengan Arwin tempo hari, kewaspadaan Lia pada Arga jadi meningkat. Biasanya, untuk hal sepele seperti ini Lia tidak akan bertanya rinci. Tapi bukan hanya Lia yang berubah, Arga pun juga. Biasanya, tanpa perlu berbelit-belit seperti ini pun Arga bisa dengan mudah memberi tahunya. Tapi lihat sekarang, Arga malah memberinya tatapan tajam. 

"Kenapa kamu jadi over react gini sih?"

"Kenapa kamu juga berbelit-belit waktu aku tanya, Arga?" Lia menjawab sama keras kepalanya, nadanya berubah sinis. "Pembicaraan kita juga bakal selesai dari tadi kalau kamu nggak menghindari terus pertanyaan aku. Sebegitu susahnya buat kamu jawab?"

"God." Arga meraup wajahnya kasar, kemudian menatap Lia jengah. "Aku mau ketemu temen aku, anak BEM. Udah kan?"

"Aku tanya nama, bukan organisasinya. Kamu paham nggak sih, Ar?"

"What are we arguing about, actually?" Arga tertawa, jelas bukan jenis tawa yang Lia suka. Tawanya terdengar sarkastik. "We arguing about nonsense things, seriously Lia? Aku udah kasih tau kamu, tapi dari tadi kamu terus nuntut. Aku berusaha jawab, tapi kamu selalu nggak puas sama jawaban kamu."

"Aku nuntut karena kamu jawab pertanyaan aku semau kamu sendiri! Kamu nggak kasih aku jawaban yang jelas!" 

"Terus jawaban yang jelas itu gimana?"

"Terserah. Aku capek ngomong sama kamu." Lia akhirnya menyerah. Emosi dan tenaganya terkuras habis hanya karena berdebat dengan Arga. Emosinya masih meluap-luap, seakan siap keluar kapan saja. Tapi sebisa mungkin, Lia tahan. Setidaknya jika dia ingin meledak, bukan di depan Arga. Hal itu hanya akan memperkeruh suasana. Emosi keduanya sama-sama sedang tidak stabi. Lia menarik napas panjang, menatap Arga dengan pandangan lelah. "Meet your friend. Whoever heㅡor she is. Aku udah nggak peduli."

Bahkan ketika Lia menjauh sekalipun, tidak ada satupun aksi pencegahan yang Arga lakukan. Lelaki itu hanya bergeming, tanpa membalas apa-apa. Tanpa berusaha menjelaskan lebih. 

Tanpa berusaha menahannya pergi.

***

@arwin

[heh ini kenapa cowok lu dari tadi moodnya jelek banget sih]

Saat dosen di depan tengah menulis di papan, Arin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bermain ponsel diam-diam di bawah meja. Untungnya, letak duduknya yang di belakang dan tertutupi tubuh Bima, yang badannya bongsor, sangat mendukung  untuk Arwin melakukan hal-hal tercela seperti ini. 

Setelah memastikan pesan tersebut terkirim, Arwin kembali mengantongi ponselnya dan pura-pura fokusㅡmeski nyatanya sedikit tidak paham dengan materi yang dijelaskanㅡsambil curi-curi pandang pada orang di sampingnya. Arwin tidak bisa berhenti mengernyit saat Arga tanpa alasan membanting pulpennya, atau saat lelaki itu sedang kesal dan menendang kursi di depan. Ini nih yang bikin konsentrasi Arwin tidak bisa tertuju pada materi. Bagaimana bisa Arwin fokus kalau Arga sedikit-sedikit banting buku, sedikit-sedikit menendang meja. Tidak jarang Arwin ikut kaget sendiri. 

Niatnya Arwin ingin tendang balik meja Arga, tapi takutnya dia yang di tendang duluan. Bukan apa-apa, masalahnya Arga jarang bad mood tidak jelas seperti ini. Tapi sekalinya moodnya buruk, semua kalangan bisa jadi sasaran.

Arwin mengetuk mejanya berulang dengan suara pelan, takut menganggu yang lain. Mencoba fokus dengan pembahasan materi yang tengah dosennya jelaskan ketika detik berikutnya, ada getar yang berasal dari ponselnya. Arwin segera mengambil ponselnya dari saku dan mengecek balasan pesan dari Lia. 

@lia

[gue berantem sama arga]

"OALAAAHH, PANTESAN!" 

"Yang di belakang kenapa ribut-ribut?!"

Arwin segera membungkam mulutnya yang tanpa sadar sudah berucap keras di tengah heningnya kelas. Bukan dosennya saja, tapi hampir seluruh anak menatapnya heran. Ini namanya sama saja dengan cari mati.

Dengan cepat Arwin menyambung. "OALAAAHH PANTESANㅡ" teriaknya dengan nada yang sama, kemudian menurunkan dua oktaf di kalimat selanjutnya, "ㅡsaya salah Pak. Ternyata caranya begitu, hehehe."

"Jangan cengengesan kamu. Makanya kalau dosen ngajar itu di perhatikan." Dosennya membalas tajam. 

"Maaf, Pak."

Arwin menghela napas lega kala dosennya kembali menjelaskan. Sudah syukur Arwin tidak dikeluarkan dari kelas karena membuat kericuhan. Herannya, Arga yang dari tadi banting buku-bantik pulpen kok tidak pernah di tegur ya? Wah, pilih kasih dosennya. Refleks, Arwin melirik Arga sinis. Bertepatan dengan Arga yang ternyata juga menatapnya. Arwin menatap sewot, menjawab dengan mengangkat dagu songong seolah bertanya. 

Arga merespon dengan berkata tanpa suara, pandangannya sinis. "Apa-apaan sih lo tadi. Norak!" 

Kemudian tendangan melayang, bersarang tepat pada lutut keringnya. "ADUH!"

"Itu yang di belakang dibilangin jangan rame! Sekali lagi buat suara kamu keluar!"

Ingatkan Arwin untuk membalas Arga setelah kelas selesai. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status