"Signorita." Kudengar suara salah seorang karyawan laki-laki menggema di koridor di antara hiruk pikuk wangi masakan. Lalu sosok mungil Lea menyusul sambil tertawa, pipinya kelihatan merona. "Pacar kamu Lea?" tanyaku menggoda. Lea berusaha mengatur napas. "Oh, bukan Kak, itu Rey. Pelayan magang. Dia masih kuliah bidang pastry. Memang gitu anaknya Kak, rame." Alisku terangkat. "Beneran," tambah Lea. "Lagian mana boleh ada hubungan lebih antar karyawan di sini Kak. Bisa-bisa kena cut off duluan sama Chef Gun sebelum ngedate." Aku meringis. Peraturannya sama seperti di agensi. "Aku masih betah kerja di sini Kak walaupun overtime. Cari kerja sekarang susah," katanya sambil tertawa. "Kamu pulang sama siapa?" Kami sama-sama berjalan beriringan ke koridor setelah salin pakaian biasa. "Sendiri Kak." "Naik?" "Bus?" "Rumahmu di mana sih?" Lea menyebutkan alamat rumahnya, lumayan jauh dari restoran. Tapi cukup dekat dari arah yang ingin kutuju, berhubung aku harus menjemput anak-anak
"Aduk." Tanganku gemetar. "Lebih bertenaga." Punggung panas. "Jangan biarkan mengumpal." Kaki mulai goyah. "Cukup. Pinggirkan. Sajikan." Gun bergeser dari sampingku untuk melanjutkan plating pada bruschetta, sebuah hidangan berupa roti panggang dengan olesan bawang putih, minyak zaitun, dan garam, serta taburan topping paprika, basil, dan daging. Makanan tersebut akan disajikan sebagai appetizer karena porsinya yang ringan. Sedangkan aku melakukan hal yang sama, mempersiapkan dinner plate untuk menata Mac and Cheese yang baru saja kubuat. Sebenarnya ini menu yang tidak ada di De Luca. Tapi karena customernya adalah tamu VIP, para pejabat. Maka restoran memenuhi permintaan itu. Dan pula ini menu yang mudah, aku sering membuatnya di masa-masa kuliah. Hanya saja, jam dinding sudah menunjukkan pukul enam sore, dan aku belum sempat beristirahat sejak siang dan hanya menelan sepotong roti saat isoman. Hari pertama bekerja memang luar biasa. Gun pun tidak kalah sibuk. Untuk ukuran
Kepalaku langsung berputar, mata sedikit melebar. "Gimana?" "Kamu dengar Mita." "Apa nggak sebaiknya kita masak di rumah kamu aja?" "Bukannya kamu nggak mau saya ajak ke sana?" "Memang, aku cuma akan mampir buat masak sebentar," kataku praktis. "Dapur kamu lebih lengkap daripada dapur aku." "It's okay," balasnya. Lagi-lagi tersenyum. "Kamu pasti kelelahan setelah mengurus kepindahan kantor. Saya akan terima apapun yang kamu masak malam ini." Ya benar sih. Aku lelah tapi lebih banyak bahagianya, plus sedikit kesal akibat tipu muslihat Gun. Namun membawanya ke apartemen di saat sudah berjanji pada Hiro dan Naga, kurasa bukanlah pilihan yang bagus. "Kalau gitu mending kita nggak usah pulang dulu biar aku masak di De Luca." "Kamu benar-benar sudah betah di sana ya?" Jumawa seperti biasa. Kami sampai di gedung apartemenku tepat ketika hujan mulai turun. Udara lembab dan dingin menyapa begitu mobil berhasil parkir di basemant. Aku tidak tahu harus bersyukur atau sedi
Aku diperkenalkan dengan cara yang pantas persis seperti yang pertama kali. Gun bahkan memberikan seragam chef berupa apron, toque dan jacket chef lengkap dengan bordiran namaku. Paramita Ruhi. Mereka menyambutku dengan hangat terutama Lea dan Rena yang sedikit malu-malu. "Akhirnya Kakak balik lagi, setelah kita bikin tiramisu itu, aku pikir Kakak udah dipecat," seru Lea riang. Lalu melirik Gun takut-takut yang sedang berbicara serius dengan salah seorang pasta Chef yang biasa dipanggil Mas Gilman. Aku meringis, merasa terharu, tidak menyangka bahwa akan ada yang mengharapkan kehadiranku di sini. "Abis setelah seminggu Kakak nggak keliahatan masuk kerja lagi. Rena bilang mungkin aja Kakak dirumahkan." "Maaf, saya cuma menebak, nggak ada maksud untuk menjelekkan Mba Mita," kata Rena, suaranya sedikit bergetar. Aku menepuk-nepuk tangannya berusaha menenangkan. "Nggak pa-pa. Kemarin-kemarin aku cuma ada sedikit salah paham dan harus cepat diselesain." Mata Lea membelalak.
"Jauh-jauh dari aku." Matanya memicing. "Dilarang menyentuh tanpa izin." Dahinya terlipat. "Aku nggak mau kejadian di apartemen terulang lagi. Dan ini..." Mataku memindai keadaan kami yang sangat dekat. "Aku nggak mau kamu begini." "Bukannya dulu kamu suka?" Sialan dia. "Ketiga..." Bibirnya memberengut. "Banyak sekali." "Nggak ada pembahasan tentang masa lalu," kataku mengabaikan protesnya. "Ingat, kamu sendiri yang bilang kamu nggak mau hubungan kita terendus orang lain. Jadi tolong jaga batasan." "Itu nggak berlaku kalau kita sedang berdua, nggak ada yang mendengar kita di sini." "Ed bisa aja masuk." "Permintaan kamu nggak masuk akal." Apanya yang tidak masuk akal? Justru ini adalah permintaan paling sederhana dan manusiawi dibandingkan permintaannya yang tidak memberikan libur. "Kamu tau gimana keadaan di kitchen, menyentuh tanpa izin sama saja kamu menyuruh saya memasak udara atau memiliki keahlian poltergeist." "Maksud aku di luar yang berhubungan dengan pekerjaan.
Aku tidak ingin salfok bagaimana Gun menolak menyebutkan nama Zara. Tapi wow.... Ini di luar prediksiku! Sebuah dokumen terulur, aku berdiri dan menariknya hati-hati. "Apa ini?" "Surat pemecatan," kata Gun, kemudian menambahkan. "Secara terhormat." Di sana tertulis aku berhak menerima pesangon berdasarkan lama bekerja bahkan dihitung dengan seminggu terakhir diliburkan. Mataku membulat ketika menemukan sebuah nominal yang juga diberikan perusahaan sebagai kompensasi karena sudah menuduhku mencuri. Luar biasa aku mendapatkan surat PHK. "Jadi sekarang nggak ada halangan lagi kenapa kamu nggak boleh bekerja menjadi asisten Chef saya." Dia mengempas punggung di kursi dengan tatapan puas. Aku tidak mau munafik, aku membutuhkan uang dan nominal yang tertera di sana sangat menguntungkan. Bayangan melunasi hutang Mama seketika melintas di kepala. Setidaknya aku bisa mencicil bunganya dulu supaya tidak ada teror dari debt collector lagi. Selalu ada pelangi setelah hujan, selalu ada se
"Pagi." Nyaris tidak ada yang membalas sapaanku ketika melenggang memasuki kantor keesokan paginya. Ternyata terbukti tidak bersalah setelah huru-hara drama kantor tidak serta merta membuat keadaan kembali seperti semula. Beberapa karyawan masih memandangku skeptis, ada yang hanya tersenyum tipis kemudian kembali memusatkan perhatian pada layar komputer. Ada yang hanya melonggokkan kepala dari kubikel. Ada yang menjawab tapi dengan suara yang pelan. Sisanya tidak repot-repot mengangkat kepala. Lusi di seberang kubikel bahkan menunduk dalam-dalam seolah sedang khusyuk berdoa. Tidak apa-apa, aku mengerti, bagaimana pun juga berita kemarin lumayan dar-der-dor, pasti perlu waktu untuk mereka mencerna apa yang terjadi. Kujatuhkan tubuh di kursi, lalu memadang kursi di sebelahku yang kosong. Mba Niken tidak terlihat. Kemungkinan dia ada jadwal syuting bersama para selebriti di bawah naungannya. "Sssttt..." Sebuah suara mendesis terdengar dari balik punggungku. "Mita..." Aku menoleh, m
"Di mana kita bisa mendapatkan pistol yang bisa diisi pasir?" "Memang ada pistol berisi pasir?" "Pasti ada di suatu tempat." "Kita harus beli?" "Ya iyalah, memangnya kamu mau mencuri? Mama nggak pernah ngajarin kita melakukan itu." "Tapi aku nggak punya uang." "Kita bisa nabung." Percakapan macam apa ini? Sengaja aku membuka heels terlalu gaduh supaya mereka mendengar kehadiranku. Hiro dan Naga sontak menjauh satu sama lain, duduk tegak di sofa sambil memainkan konsol PS. "Tembak dia Naga," perintah Hiro, suaranya terlampau nyaring untuk didengar. "Ai, ai, Captain!" Suara tembak-tembakan kemudian terdengar heboh ke seluruh living room. Ternyata dari sinilah mereka mendapatkan ide untuk membombardir Gun dengan senapan air. Dan karena hasilnya tidak maksimal, kini mereka merencanakan untuk membeli senapan lain? Benar-benar anaknya Gun. Maksudku kalian tahu kan Gun dalam bahasa Inggris dibaca Gan artinya senjata api. "Oh selamat siang, Mama." "Hai Mama." Mereka menyapa se
Tidak ada yang biasa-biasa saja dari Gun. Seharusnya aku ingat ini. Bahkan untuk mengungkapkan kebenaran, dia perlu melakukannya dengan cara yang bombastis di hadapan belasan pasang mata orang-orang penting Lumeno. Tapi aku salut karena dengan begini semua orang tahu aku tidak mencuri. "Itu nggak benar." Sebuah seruan terdengar dari arah tangga, lalu langkah kaki berhamburan. Zara, Lusi dan Mba Niken baru saja naik dan menyaksikan bukti-bukti kejahatan itu dipaparkan. Aku tahu orang-orang di sekitar kami terutama keluarga selalu membuat aku dan Zara bersaing, tapi aku tidak menyangka perempuan itu akan merendahkan dirinya seperti ini. Gun tidak repot-repot menoleh, dengan santai tetap menjelaskan. "Di hari ketika saya sedang sibuk di De Luca bersama Mita sebagai asisten Chef saya, perempuan ini bolak-balik masuk ke ruangan saya. Entah apa yang dia lakukan di sana saat jelas tau bahwa saya nggak ada di tempat. Alasannya, di