Hari Senin Elya benar-benar libur dan berkencan ria dengan Didi, nama kasurnya. Gadis itu sama sekali tidak peduli bila chef Bariqi akan mengamuk karena dia libur. Toh, ini memang jadwalnya.
Elya terkadang heran dengan dirinya sendiri, kerja terus tetapi nggak kaya-kaya. Biasanya saat libur akhir bulan, Elya pulang ke Tulungagung. Namun, kali ini Elya tidak akan pulang, ia belum gajian, dan sudah pasti saat dia pulang tanpa membawa uang akan terkesan tidak enak.Elya adalah gadis pekerja keras, di balik sikap dingin dan cueknya, terselip sisi lain dirinya—yang sangat rapuh. Saat tidak ada orang lain di sampingnya, Elya lebih sering menangis.Elya merasa jalan hidupnya tidak pernah mulus, dia tidak apa-apa bila sekadar lahir dari keluarga yang kurang mampu. Elya selalu bersyukur lahir dari rahim ibunya dan dibesarkan di lingkungannya. Anugerah terbesar Elya saat memiliki ibu sebaik Arumi. Namun, menginjak bangku sekolah, Elya selalu menjadi anak yang tidak pernah beruntung.Gadis itu pintar dalam bidang menggambar, tetapi di setiap ikut perlombaan, Elya harus tersisihkan karena masalah biaya pendaftaran yang sangat mahal. Saat semua teman Elya mencetak banyak prestasi, hanya dia-lah yang seolah tidak punya prestasi apa-apa.Sejak sekolah dasar, Elya sudah berjualan untuk menambah uang sakunya. Berjualan kue basah yang dijajakan ke ruang guru. Hingga saat dia menginjak sekolah menengah atas kejuruan, Elya bekerja paruh waktu untuk membantu biaya pendidikan adiknya yang hanya terpaut umur empat tahun. Segalanya akan Elya lakukan untuk adik laki-lakinya agar adik laki-lakinya tidak merasa kekurangan seperti dirinya.Elya ingin meneruskan pendidikannya di salah satu universitas seni di kotanya. Uang dan persiapan sudah ada, tetapi tidak dengan restu orang tua. Arumi menentang Elya yang akan kuliah, bagi Arumi yang mempunyai pikiran kuno, kuliah hanya akan menghabiskan uang. Elya memilih mundur, tetapi ia menaruh harapan besar pada Rafa—agar adiknya itu mau meneruskan pendidikan menggantikan dirinya.Elya yakin, salah satu anak ibunya akan mengangkat derajat orang tuanya di masa depan.Gadis itu mengusap air matanya yang tanpa dia sadari menetes. Elya tertawa sendiri saat menyadari kalau dirinya sangat cengeng. Sebenarnya dia iri dengan teman-temannya yang pernah bercerita kalau pulang ke rumah, ibunya akan bertanya, "Bagaimana kabar kamu? Baik-baik saja di kota orang, kan?"Namun, Elya tidak pernah mendapatkan pertanyaan itu, yang selalu ditanyakan ibunya, "Berapa gaji kamu? Untuk Ibu mana? Untuk kebutuhan dapur mana?"Elya sampai harus memblokir semua kontak teman-temannya yang selalu menceritakan kehidupannya yang mulus, tidak dengannya yang harus bekerja keras untuk membuat orang di sekitarnya berkecukupan. Terkadang Elya merasa berlebihan, dengan dirinya karena sudah sepatutnya seorang anak membahagiakan orang tuanya, tetapi namanya hati tidak bisa berbohong. Terkadang, Elya sangatlah lelah, ingin diperhatikan, ingin dicintai seperti yang lainnya.Elya menenggelamkan kepalanya ke guling yang tengah dipeluk. Ia selalu berdoa semoga akan ada hari baik ke depannya. Semakin menenggelamkan kepalanya makin membuat Elya terlarut dalam kesedihan. Gadis berbulu mata lentik itu menangis terisak-isak sambil menggigit gulingnya.Sedangkan di dapur, Bariqi sama sekali tidak semangat dalam menjalani harinya. Dari pagi sampai siang, sudah terhitung tiga chef yang kena semprotan pedas darinya. Bariqi mudah mengamuk kalau tidak ada Elya, sampai-sampai para koki menyebut Elya adalah pawang Bariqi."Itu ngaduknya salah!" ucap Bariqi pada koki juniornya yang tengah memegang spatula untuk mengaduk susu.Chef Vino pun segera mengganti cara mengaduknya seperti yang diajarkan oleh Bariqi.Setelah pukul tiga sore, semua koki beristirahat. Istirahat seorang koki selalu kondisional mengikuti jam sepinya orderan. Bariqi tidak nafsu makan karena masih teringat kencan yang diucapkan Elya kemarin. Mendengar kenyataan Elya akan kencan, membuat pria itu panas, ia tidak suka saat Elya berdekatan dengan pria lain."Nggak ada Elya, dapur rasanya sepi," keluh Chef Edo sembari menatap langit-langit ruang istirahat. Chef Edo lah yang sangat sayang dengan Elya, karena anaknya juga seumuran Elya."Iya, Chef. Saat libur begini Elya biasanya kencan," celetuk Vino, chef yang terkadang dekat dengan Elya."Kencan?" sahut Bariqi dengan spontan yang membuat koki lain menoleh ke arahnya."Lah, Chef Bariqi gak tahu kalau setiap minggu Elya kencan?" tanya Vino balik."Memangnya kalian semua tahu Elya kencan?" balas Bariqi. Tanpa sadar, pria itu menaikan intonasi suaranya."Tahu, dia kencan sama Didi," jawab Liam, koki yang berasal dari Bali."Sialan!" maki Bariqi, spontan berdiri.Bariqi menarik apronnya dan membuangnya dengan asal. Semua koki menatap Bariqi yang tampak tergesa-gesa. Napas Bariqi sudah naik turun, mendengar Elya kencan dengan Didi membuat Bariqi tidak suka. Pria itu bersumpah akan mematahkan tulang kaki Didi agar tidak bisa kencan lagi dengan Elya. Bariqi juga akan memberi pelajaran pada Elya yang sudah sembarangan kencan tanpa memberitahunya.Bariqi tanpa sadar melanggar sumpahnya sendiri. Dia bilang kalau di dunia ini hanya tersisa Elya, Bariqi tidak akan mau menikah dengan Elya. Namun, kenyataannya tanpa Bariqi sadari, dia sudah terikat dengan Elya.Bariqi menuju parkiran mobil, pria itu menaiki mobilnya dan segera menjalankannya. Tidak ada yang berani memarahi Bariqi kalau pria itu keluar di jam kerja, karena dia mempunyai wewenang khusus dari ayahnya.Bariqi adalah anak tunggal Prasetyo, pemilik Hotel Crown Sunflower. Prasetyo sudah memberikan amanah pada Bariqi untuk mengambil kepemimpinan, tetapi Bariqi menolak dan masih ingin menjadi chef yang berkutat dengan makanan. Semua orang tahu kalau Bariqi adalah anak Pak Prasetyo, tetapi tidak dengan Elya. Elya sama sekali tidak peduli dengan lingkungannya, yang ia butuhkan hanya datang, kerja, pulang dan gajian.Di sepanjang perjalanan hanya sumpah serapah yang Bariqi ucapkan. Hingga pria itu menghentikan mobilnya di depan gerbang mess karyawan. Bariqi dengan cepat turun dan berlari menuju ke kamar nomor sebelas di mana itu adalah kamar Elya.Bak penagih utang, Bariqi mengetuk pintu kamar Elya dengan membabi buta. Pria itu menggedor sampai menendang, tidak peduli kalau pintu itu akan rusak."Elya, keluar kamu!" teriak Bariqi dengan kencang. Untungnya semua penghuni mess tidak ada di tempatnya karena mereka bekerja. Seluruh karyawan Sunflower yang di luar kota diberikan tempat tinggal khusus yaitu mess.Elya yang sempat tertidur pun sayup-sayup terbangun. Suara orang mengetuk pintu mengganggu ketenangannya. Dengan perlahan Elya bangun dan menurunkan kaki ke lantai. Dalam keadaan setengah sadar karena dibangun paksa, Elya berjalan ke arah pintu kamarnya.Suara pintu terbuka, membuat Bariqi menurunkan tangannya yang akan mengetuk lagi. Mata Elya membulat sempurna saat melihat Bariqi, sedangkan pria di hadapannya menatap dengan tajam."Sudah pulang kencannya?" sindir Bariqi dengan sinis."Kencan?" gumam Elya, linglung."Jangan berlagak bodoh! Kamu bilang kemarin kencan, dan hari ini semua orang tahu kalau kamu kencan. Siapa Didi, dan di mana dia?!" desak Bariqi."Oh, Didi? Dia ada di dalam," jawab Elya tenang, membuat Bariqi mengepalkan tangannya dengan kuat.Tanpa permisi, Bariqi menerobos masuk ke kamar Elya. Bariqi tidak menemukan siapa-siapa, kamar Elya kosong. Bariqi dengan cepat menuju ke kamar mandi, saat membukanya juga tidak ada siapa-siapa."Di mana kamu menyembunyikan Didi? Ingat ya, Elya. Ini mess khusus karyawan, tidak boleh orang asing masuk!" ucap Bariqi dengan tegas."Itu Didi. Kasurku namanya Didi." Elya menunjuk kasurnya. Bariqi tercengang, pria itu menatap kasur Elya yang di ujungnya tertulis nama Didi.Pipi Bariqi terasa memanas, Bariqi sudah salah mengira. Ia kira yang namanya Didi adalah seorang pria, ternyata Didi hanya kasur. Bariqi mengepalkan tangannya erat tanda dia malu."Kenapa, Chef?" tanya Elya."Tidak apa-apa," jawab Bariqi yang segera melenggang pergi begitu saja. Bariqi berjalan tergesa-gesa meninggalkan Elya yang kini menatap Bariqi dengan bingung.Bariqi kembali ke dapur dengan napas yang terus memburu. Pria itu masih mengingat jelas bagaimana marahnya ia saat mendengar Elya berkencan. Namun, siapa sangka kalau Elya berkencan dengan kasur. Bariqi berdiri di pembatas dapur panas dan dapur dingin, pria itu meneguk air mineral. Satu botol air mineral tandas dalam sekejap, pria itu kembali mengambil air dan meneguknya lagi. Wajah Bariqi memerah dan pipinya terasa panas. Plak! Plak!Bariqi memukul-mukul pipinya sendiri, "Kenapa aku heboh sekali," gerutu Bariqi. Napas Bariqi masih naik-turun, pria itu melempar botolnya ke meja dengan asal. Bariqi berkacak pinggang, pria itu salah tingkah dan bingung dengan apa yang akan dia lakukan. Hanya mendengar kata 'kencan', sudah membuatnya menggila! Chef Vino mencuri pandang ke arah Bariqi, pria seumuran Elya itu tampak penasaran dengan apa yang terjadi. Bibir Vino sudah terbuka, pria itu bersiap bertanya. Bertepatan dengan itu, Bariqi juga menatap Vino. "Ada apa?!" pekik Bariqi. "Eh itu
Belum sempat Elya lari, kerah baju belakangnya sudah ditarik pria di belakangnya. "Mau ke mana?" tanya Bariqi dengan tajam. "Aku mau pergi, salah jalan," jawab Elya mencoba berlari, tetapi tarikan tangan Bariqi sangat kuat, membuatnya tidak bisa berkutik. "Kamu gak salah jalan, itu Pak Dadang ada di sana," tunjuk Bariqi. "Aku nggak beli nasi goreng, lepasin!" titah Elya. Bariqi tidak melepasnya, melainkan pria itu menarik Elya untuk mengikutinya. "Eh, eh! Aku mau dibawa ke mana?!" jerit Elya. Elya mencebikkan bibirnya kesal. Hari ini ia sudah kesal dengan Bariqi yang mengganggu tidur siangnya, dan malam ini harusnya ia bisa makan nasi goreng dengan tenang, tetapi ia malah bertemu dengan Bariqi. "Sepertinya aku harus belajar lari jarak jauh, biar saat bertemu Bariqi bisa kabur," cicit Elya. "Semakin kamu kabur, semakin semangat aku mengejar," jawab Bariqi tersenyum puas."Lepasin, aku mau beli nasi," ucap Elya memaksa Bariqi melepas cekalan tangannya. "Aku beli kebanyakan, nih
Elya terdiam di tempatnya, gadis itu memakan nasi yang dibelikan Bariqi. Elya tampak makan dengan lahap, sesekali Bariqi akan melirik ke arah gadis itu yang telinganya tidak lagi tersumpal headset. Bariqi tidak tahu kenapa Elya bisa menarik perhatian banyak laki-laki di tempat kerjanya. Perawakan yang kecil sama sekali tidak menarik, tapi Bariqi pun sama dengan laki-laki lain yang selalu ingin menarik perhatian Elya. Hanya saja semua perasaannya tertutup oleh perasaan gengsi. Bariqi menyisihkan ayam dan telur di nasi gorengnya, pria itu memberikannya di nasi goreng Elya. “Aku gak suka ayam dan telurnya,” ujar Bariqi. Elya tidak menjawab, gadis itu tetap memakan nasinya yang kini ada ayam yang lebih banyak. Elya melirik Bariqi yang sudah selesai makan, pria itu menuju ke motor untuk mengambil air mineral yang tersimpan di jog. Elya benar-benar tidak mengelak kalau malam ini Bariqi jauh lebih tampan dari pada saat memakai baju koki. Perawakan tinggi tegap, rambut rapi dan wangi yang
Elya memasuki kamarnya dan membanting pintu dengan asal, gadis itu segera menuju ke ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana. Elya mengusap air matanya yang masih saja terjatuh. Padahal Elya sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lebih dari dua kali satu minggu. Namun hari ini ia sudah menangis dua kali. Hal yang menjadi pantangan Elya adalah menangis, tapi mau bagaimana lagi, ia tetap perempuan yang rapuh. Suara nada dering terdengar dari hp Elya, gadis itu buru-buru mengambilnya. Elya menerima telepon dari ibunya. “Assalamualaikum, ibu,” sapa Elya berusaha menggunakan nada seceria mungkin. “Waalaikumsalam, Elya. Bagaimana kerja kamu? Lancar?” “Lancar, Bu.” “Uangnya sudah ditransfer belum?” "Ibu butuh uang berapa memang?""Tidak banyak, hanya lima ratus ribu." "Oh.""Jadi gimana? Sudah atau belum?"Elya kembali ingin menangis. Ini masih di tengah bulan yang uangnya pun sudah pas-pasan, tapi ia sudah ditanya uang lagi oleh Ibunya. Elya melirik tempat ia menyimpan bera
Elya bangun cukup pagi hari ini, gadis itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajiban subuhnya. Setelah selesai, Elya bersenandung pelan, menyanyikan lagu-lagu cinta kesukaannya. Tadi malam memang menjadi malam yang menyedihkan untuk Elya, tapi pagi ini menjadi pagi yang indah untuk Elya. Pasalnya hari ini adalah hari selasa, dimana si bosnya jadwalnya off. Hari selasa menjadi hari yang paling ditunggu Elya selain senin. Tidak bertemu bosnya sehari sudah membuat otak Elya rasanya fres bagai healing di tempat yang indah. “Akhhh tidak bertemu Si Anjing yang sering menggonggong itu rasanya sangat senang,” ucap Elya menguncir rambutnya dengan rapi. Gadis itu sudah siap dengan seragam kokinya, tanpa sarapan atau memakan apapun, gadis itu segera keluar dari kamarnya. Mata Elya membulat sempurna saat membuka pintu, ia melihat ada dua kardus besar di depan pintu messnya. Mata gadis itu mengarah ke samping kanan. Elya terkejut melihat seorang pria tengah tidur di kursi seraya menutup w
“Hari ini kamu gak usah kerja,” ucap Bariqi yang membuat Elya menatap pria itu. “Aku telpon manager untuk ijin kamu. Lagian tidak banyak orderan hari ini,” tambah Bariqi sembari mencuci gelas bekas jahe anget. “Enak saja, aku tetap kerja meski gak banyak orderan. Kalau gak kerja gajiku dipotong sehari, bisa rugi bandar,” oceh Elya. “Aku ganti.” “Gak usah seenaknya jadi orang. Aku mau kerja hasil keringatku sendiri. Sekarang kamu keluar dari sini!” titah Elya menarik tangan Bariqi. “Gak, aku gak akan keluar,” kata Bariqi dengan keukeuh. “Terus mau kamu apa sih?” “Aku mau kamu ikut aku.” “Aku harus kerja.” “Gak usah kerja, aku ijinkan sama manajer.” “Kok kamu seenaknya sendiri jadi orang. Aku asistenmu di kerjaan, tapi aku bukan siapa-siapa kamu saat di luar,” sentak Elya ingin menendang kaki Bariqi. Namun Bariqi segera menghindar. Bariqi merogoh celananya, mengambil dompet dan menarik dua kartu debit berwarna biru dan hitam. Elya membulatkan matanya melihat itu. S
Setelah perdebatan panjang dan prahara rumah tangga, akhirnya Bariqi dan Elya duduk anteng dalam mobil. Elya masih menatap sinis ke arah Bariqi, pun dengan Bariqi yang tidak kalah sinis. Bariqi menatap Elya dari atas sampai bawah, teman-temannya selalu mengatakan kalau Elya adalah gadis polos, dan teman-temannya seolah menjadi garda terdepan dalam menjaga Elya. Namun mereka tidak tahu kalau aslinya Elya tidak sepolos yang mereka kira. Elya saja sering menonton drama Petir merah, jelas otak Elya tidak polos lagi. Juga Elya bisa menjaga dirinya sendiri lebih baik dari orang lain. Bariqi tampak menimang-nimang, pantas saja Elya jomblo akut, karena tingkah lakuknya saja lebih ganas daripada laki-laki. “Kenapa lihat-lihat? Naksir?” tanya Elya sewot. Bariqi menjitak kepala Elya dengan kencang membuat Elya balas memukul pundak Bariqi. Bariqi tidak diam saja, pria itu kembali memukul lengan Elya. Tentu saja Elya memukul dada Bariqi lebih kencang. Tak! Bugh!Jrot! Suara jitakan, pukulan
Wajah Elya memanas mendapat ciuman dari Bariqi. Bukan memanas karena tersipu atau pun terbawa perasaan, melainkan memanas karena rasa marah. Bariqi tersenyum puas, pria itu menatap hpnya yang kini ada gambar dirinya tengah mencium Elya. “Bariqi!” desis Elya mengepalkan tangannya dengan kuat. Elya mengangkat tangannya dan meninju pipi Bariqi dengan kuat. Jrot! “Akhh!” Brukk!Tubuh Bariqi ambruk tepat di semak-semak yang ada di bawah tumbuhan apel. Tinjuan Elya sangat kuat membuat Bariqi tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Siapa yang mengijinkan kamu menciumku, hah?” teriak Elya menduduki perut Bariqi yang kini jatuh telentang. Elya meninju lagi pipi Bariqi, tidak hanya meninju, gadis itu juga mencekik Bariqi. Sebisa mungkin Bariqi menahan teriakannya. Di seberang sedang banyak orang dan ibu-ibu grub senam tengah bertamasya, kalau ia berteriak, sudah pasti dikira ia aneh-aneh dengan Elya. Apalagi kini mereka berada di semak-semak. “Elya, jangan begini. Kita selesaikan deng