Derai tawa memenuhi halaman belakang restoran. Cerita konyol Riyan menghibur penghuni di sana. Adam bahkan sampai sakit perut kebanyakan tertawa.
Adam merebahkan diri di sofa santai. Sedetik kemudian tertawa lagi mengingat cerita Riyan yang berebut botol plastik dengan pemulung saat menyamar jadi pemulung.“Riyan, Riyan,” Nani geleng-geleng, “kamu dalam rangka apa nyamar jadi pemulung?”“Aku ada ide mau bikin usaha Bank Sampah. Makanya aku riset tentang sampah yang bisa didaur ulang baik organik maupun anorganik. Aku juga riset mulai dari harga sampai cara menggerakkan usaha ini. Aku bidiknya ibu-ibu rumah tangga. Kalau dari sampah rumah tangga aja udah bisa dipilah dengan baik, setidaknya polusi sampah juga bisa dikurangi. Mereka akan setor sampah, kita beli, tapi uang tersebut kita berikan dalam bentuk tabungan yang bisa diambil saat Hari Raya.”“Bagus banget idemu.” Nani memberikan kartu namanya. “Siapa tahu kita bisa kerjasama.”RiyanRay menekan tombol jawab ketika melihat nama sahabatnya tertera di layar ponsel. Dia memberitahu sudah di lantai tiga toko buku. Sebuah tepukan di bahu kiri membuat kepalanya menoleh. Dia menghela napas sebal dan menekan tombol merah di layar ponsel.Matanya kembali menyusuri deretan novel di rak buku. Banyak sekali novel-novel baru. Maklum sudah dua bulan dia tidak menginjakkan kaki di toko buku. Tangannya tiba bersamaan dengan tangan lain pada satu novel. Mata mereka saling tatap.“Aku dulu yang lihat novel ini,” Ucap Ray.“Aku dulu yang pegang novel ini.” Gadis itu mengetatkan pegangannya pada novel tersebut.“Aku dulu.”“Aku.”“Aku.”“Aku.”“Kalian lagi baca puisi Chairil Anwar?” Sela Riyan.Ray mengambil paksa novel itu. Gadis itu terkejut novel incarannya lolos. Dia menghalangi jalan pria perebut novelnya.“Kak, tolong, novelnya buat aku. Aku sudah lama ngincar ini novel. Di mana-mana hab
Maya dan Ririn setengah berlari menuju tower apartemen Reihan. Sesampainya di sana dia menekan bel pintu dengan tidak sabar. Tak lama pintu terbuka. Ardi dan Rachel menyambut dengan girang. Belum sempat Maya melangkah masuk, ada yang memanggil namanya.“Kamu tega banget ninggalin anak-anak sendiri di rumah.” Maya menampakkan raut tidak senang.“Aku cuma buang sampah sebentar.” Matanya memandang dua anaknya yang nyengir bersalah.“Kata mereka kamu pergi sudah dua jam, nggak bilang pergi ke mana. Makanya aku khawatir banget, langsung ke sini waktu mereka telepon. Mereka juga telepon sambil nangis.”“Teleponnya pakai nomor rumah atau nomor HP?”“Nomor,” Maya seketika ragu melanjutkan kalimatnya. Dia buka ponsel. Hatinya mencelos. “Nomor HP kamu.”“HP aku tinggal di dalam. Masuk dulu, aku jelasin.” Matanya menatap tidak senang pada dua anaknya.Mereka duduk di ruang tamu. Ardi dan Rachel sengaja duduk bersama Maya sembari me
Maya memandang layar ponselnya. Dia menghela napas berat. Tuntutan calon ibu mertua membuatnya ingin membanting ponsel. Apa sebagai anak, Handoko sama sekali tidak bisa memberi pengertian? Dadanya terasa sesak. Maya menekan nomor ponsel calon ibu mertuanya.“Ibu, aku sudah lihat model-model gaunnya, tapi itu mahal sekali. Kalau misal yang skala 10 juta bisa, kan? Toh, dipakai hanya sekali. Lagipula tiga kali ganti baju.”“Ya nggak bisalah. Tamu-tamu bakal tahu kalau itu gaun murahan. Jangan sampai kita malu.” Suara calon ibu mertuanya terdengar sewot.“Tapi, Bu,”“Ibu nggak mau tahu. Pokoknya harus pakai gaun dari desaigner pilihan ibu.”Sambungan telepon langsung terputus. Dadanya semakin terasa sesak. Dia telungkupkan kepala di meja dengan tangan sebagai sandaran. Tidak mungkin meminta orangtuanya menjual tanah warisan lagi.Air mata Ririn ikut mengalir. Disentuhnya lembut bahu tantenya. “Kalau memberatkan lebih baik dibatalkan
Maya membuat jus sayuran untuk menu diet Ardi. Campuran sawi, brokoli, strawberry, madu. Dituangnya jus itu ke tumbler bergambar winnie the pooh.“Ardi nggak bakal tahu warna jusnya karena tumbler tertutup gambar winnie the pooh, bahkan kalau jus itu warna hijau sekalipun. Rasa sayuran bisa tersamar dengan rasa segar buah. Ajak nonton kartun kesukaan dia, jadi dia teralihkan.”“Tuh, dengerin Bu Guru ngomong.” Ujar Ray. Reihan mengulum senyum malu.“Kalau kita nggak ngakalin dengan cara begitu anak-anak nggak bakal mau makan sayuran. Pengalaman ponakanku, yang namanya Dimas susah banget makan sayur. Selipin sayuran di semua makanan dia tanpa harus nunjukkin kalau itu sayur.”Maya membawa dua tumbler berisi jus campuran sayuran dan buah untuk Ardi dan Rachel. Ardi suka dengan rasa jus yang enak. Reihan takjub saat Ardi mau makan sayur bayam dan jagung. Awalnya Ardi ragu, Maya membujuk dengan menyicip dulu kuah sayur. Selanjutnya Ardi makan dengan la
Maya memberanikan diri menatap ibu Handoko. Dia harus bisa meluluhkan hati wanita paruh baya itu.“Ibu, kalau ibu tetap memaksa aku harus beli gaun pengantin itu, aku ada solusi. Untuk gedung, WO, dan catering kita bisa pakai jasa dari temanku.”Ibu Handoko masih memasang wajah cemberut. Maya mengeluarkan brosur hotel Nani, WO Shafira, dan Catering Reihan.“Sahabatku, Nani, dia bersedia meminjamkan hotelnya untuk resepsi pernikahan. Dia bahkan nggak menarik bayaran untuk itu. WO Shafira, kita bisa diskusi dengan mereka konsep pernikahan yang kita mau seperti apa, mereka akan buat sesuai dengan budget kita. Catering Restoran Nusantara untuk harga terjangkau dan kualitas rasa terjamin. Ibu ingat, kan, waktu kita pakai jasa Restoran Nusantara untuk acara temu keluarga, itu punya Reihan, temanku. Ibu pasti sudah tahu kualitas makanannya. Ibu bahkan bilang sendiri waktu itu rasa makanannya enak sekali, ngalahin makanan di hotel-hotel berkelas.”“Iya, B
Terdengar salam dari ruangan depan restoran. Anak-anak langsung memeluk Maya dengan erat. Mereka menciumi pipi Maya tanpa henti. Silva geleng-geleng melihat hal itu.“Sayang, bisa habis pipi Tante Maya sama kalian.” Fadil terkekeh akan kelakuan dua cucunya. “Sampai papanya dianggurin begitu.” “Namanya juga habis manis sepah dibuang.” Reihan mengelus kepala Ardi.Dua anaknya melepas pelukan pada Maya lalu beralih memeluk dan menciumi pipi Papa mereka, tapi hanya sebentar lalu beralih lagi ke Maya.“Sayang, nanti lanjut lagi peluk dan ciumnya di apartemen. Papa kalian ada acara di Bandung sore ini.” Maya memberikan pengertian pada mereka.Reihan mengecek sekali lagi keadaan restoran. Setelah merasa semua aman, dia keluar bersama keluarganya dan Maya. Reihan memeluk dua anaknya sebelum masuk taksi. Mencium pipi mereka dengan gemas. Dia berpamitan pada Tante Silva dan Om Fadil.“Maya, titip anak-anak, ya.”“Iya, Rei. Tenang
Ray melihat dua ponakannya duduk di sofa ruang tengah dengan tatapan lesu. Bibir mereka cemberut. Tidak bersemangat.“Kalian kenapa?” Ray duduk di sebelah Rachel.“Tante Maya kapan pulang, Om?” Ardi berpindah duduk di sebelah Ray.“Belum tahu, Sayang. Nanti Om tanyain ke Tante Maya, ya.”“Sudah kangen banget, nih.” Ucap Rachel manja. “Kalau Tante Maya pulang, kita nginap di tempat tante, ya.”Ray mengangguk menyetujui. Dua ponakannya mengeluarkan mainan mereka dari boks. Memilih mainan yang mereka suka. Ray masuk ke kamar kakaknya. Dia mendapati kakaknya tengah bermalas-malasan di kasur.“Tumben nggak ke restoran habis jemput mereka sekolah.” Ray merebahkan diri di dekat kakaknya.“Lagi pengin istirahat.”Ray meraih ponsel kakaknya yang tergeletak di kasur. Dia membuka galeri foto, berhenti saat melihat foto punggung kakaknya yang dikerik.“Ini dikerikin Tante Silva?”“Maya.”Ray terte
Maya kembali ke Jakarta dengan hati yang ringan. Pasalnya setelah bicara dengan orangtuanya melalui telepon, ibu Handoko akhirnya luluh dan menyetujui usulnya. Sesampainya di Jakarta, Maya membicarakan dengan Nani terkait tawaran menggunakan hotelnya.“Syukurlah, calon mertuamu mau mengerti.” Nani mengelus bahu Maya. “Sekarang sudah nggak ada yang dipusingin lagi.”“Makasih, ya, atas semua bantuan kamu ke aku. Aku nggak tahu gimana balasnya.”“Aku sudah anggap kamu kayak saudara perempuanku sendiri. Jadi jangan pernah sungkan untuk minta bantuanku kalau kamu lagi ada masalah.”Bel berbunyi, Maya melihat di layar monitor siapa tamunya. Dia meminta Nani mengerjai mereka. Maya berlari ke kamar untuk sembunyi. Nani membuka pintu.Ardi dan Rachel langsung menanyakan keberadaan Maya tapi Nani bilang Maya belum pulang. Mereka tidak percaya. Mereka memanggil Maya berulang kali, tapi tidak ada sahutan.“Papa, Tante Maya di mana?” Rachel s