Share

Bab 2

🍁🍁🍁🍁

Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au! 

🍁🍁🍁🍁

"Mas? Besok kan lepas dinas, bagaimana kalau kita ke dokter kandungan? Kan sudah janji waktu itu?" Pintanya dengan nada hati-hati. 

"Eng.. Anu Dek, lihat besok ya?" Dengan nada suara terbata-bata.

"Kenapa? Mas gak bisa ya?" Pertanyaannya seolah meminta kepastian.

"Eng.. Itu.. Itu.. Takut tiba-tiba ada telepon dari komandan."

"Masa' tiap lepas dinas masih disuruh kerja terus Mas? Terus kapan kita ke dokternya?"

"Ya kan, Mas bilang lihat besok? Kamu juga ngerti kan resikonya nikah dengan aparat negara? Ya begini ini. Kalau gak ada telepon, besok kita berangkat, ya?" Kutowel hidungnya yang mancung, seketika membuat pipinya merona.

Jangan sampai istri tahu kalau besok adalah pernikahan keduaku. Tanpa ijinnnya tentu saja, kalau ijin menikah lagi, bisa-bisa tamat karirku.

Aku bukannya tidak mencintai istri, sangat malah. Dia perempuan yang cantik, kalem, berhijab. Ibu rumah tangga yang sempurna. Di tahun keempat pernikahan, belum juga dikarunia buah hati, tapi aku masih setia. Janjiku padanya, tidak akan pernah ada yang lain. Kenapa aku menikah lagi? Entahlah.

Secara tidak sengaja, aku ketemu seorang cewek, Sofi namanya. Awalnya biasa saja, geli malah, dia getol sekali untuk bisa dekat denganku. Sudah kubilang, aku sudah beristri, dia malah tambah merasa tertantang, herannya aku juga merasa demikian. Sepertinya senjata makan tuan. 

Beberapa bulan menjalin hubungan dengannya, aku menjadi ketagihan apalagi suatu malam secara sengaja aku ke tempat kosnya, terjadilah yang seharusnya tidak terjadi, aku sangat menikmati. Dia sangat liar dan panas, sampai membuat aku kewalahan. Hal yang tidak kudapat dari Lani, istriku. Aku jadi sering mencuri waktu dengannya, kalau tidak di kosnya, ya di losmen luar kota. Alasan dinas mendadak selalu kuutarakan pada Lani.

Segala hal yang Sofi minta, dengan segera aku kabulkan. Barang-barang branded, termasuk bedak macam-macam yang disebutnya skincare, langsung aku belikan. Berbeda dengan Lani, waktu kutanya apa gak pengen skincare, jawabnya sayang uangnya mending untuk yang lain, kulit Lani tanpa itupun juga mulus. Ya, mengurangi jatah lah. Lumayan.

Suatu waktu, ada salah satu teman yang curiga, dia hanya memberi saran menikahlah supaya tidak menjadi dosa, aku berkelit dan hanya menjawab kalau menikah satu saja pusing biaya, apalagi menikah dua. Tapi dalam hati, benar juga perkataannya. Ah, akan kucari informasi dimana jasa bisa menikah di bawah tangan tanpa ribet, dan akhirnya besoklah waktunya.

Malam ini aku sama sekali tidak bisa tidur nyenyak, memikirkan besok. Benarkah langkahku, atau salah. Kudengar dengkuran halus Lani di sebelah, kutatap wajahnya, ada perasaan bersalah. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah terlanjur. Maafkan Mas Lan, yang sudah membohongimu. Aku peluk dia dan kuciumi kepalanya. Dia terbangun.

"Ada apa Mas?" Dengan mengerjapkan mata.

"Gak pa-pa Dek, pengen aja meluk kamu." 

"Mmm.. Bilang aja kalau mau minta itu ih." dicubitnya pinggangku.

"Ampun.. Ampun nyonya.." Ucapku.

Kami saling menatap. Kubelai pipinya yang mulus. Kemudian kukecup keningnya lama. Dia melihat dengan heran. Seperti ada pertanyaan di benaknya.

"Ya sudah, bobok yuk, kamu pasti capek seharian mengurus rumah." Entah kenapa hasrat yang ingin kutuntaskan pada Lani menguap begitu saja, dalam ingatan hanya ada Sofi. 

Dia eratkan pelukan, beberapa menit kemudian kamipun tertidur dengan posisi saling memeluk.

***

Pagi ini aku sudah bersiap memakai kemeja putih dan celana hitam, sengaja bersepatu supaya Lani tidak curiga. 

"Mas? Sarapan dulu?" Panggil Lani dari ruang tengah.

"Sebentar Dek,"

Sambil berjalan menuju meja makan, mata Lani tidak berhenti mengamati, dari atas sampai bawah.

"Mas mau kemana?"

"Ya mau dinas lah Dek."

"Ooh, kok seperti mau akad?" Dikerucutkan bibirnya.

Deg. Sejurus kemudian bisa mengatasi grogi.

Aku hanya tersenyum dan mengusap kepalanya. 

"Mas sayang Adek!" ucapku.

"Dari tadi malam Mas aneh!"

Aku terkekeh. Iya Dek, suamimu ini memang aneh, sudah punya istri sempurna malah pingin beristri dua. 

Kami makan dalam diam, tiba-tiba hp berbunyi, waduh Sofi. Mau diangkat gimana, gak diangkat gimana. Lani memberi kode untuk mengangkatnya.

'Halo... iya ini mau berangkat'

Secepatnya kututup panggilan. Takut ada kecurigaan. Aku berdehem keras mengusir kecanggungan.

"Dek, mas berangkat ya?" Merogoh saku, mencari kotak cincin yang akan kugunakan sebagai mas kawin. Sengaja memesan dua, cincin kawin palladium emas putih dengan model yang sama, satu mata berlian tersemat di atasnya. 

Dua saku sudah dicari tapi tidak kutemukan, kembali ke kamar, menyisir lantai dan kolong kasur kalau-kalau jatuh, nihil. Jangan sampai ditemukan Lani. 

"Cari apa Mas?" Lani tiba-tiba masuk.

"Mm itu Dek, apa itu ya?" kepala masih tetap celingukan.

"Mas cari ini?" Ditunjukkannya kotak cincin dan dibuka.

Haduh, keringat dingin sebesar biji-biji jagung keluar membasahi leher dan wajah. Mati aku! 

🍁🍁🍁🍁

Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au! 

🍁🍁🍁🍁

"Mas? Besok kan lepas dinas, bagaimana kalau kita ke dokter kandungan? Kan sudah janji waktu itu?" Pintanya dengan nada hati-hati. 

"Eng.. Anu Dek, lihat besok ya?" Dengan nada suara terbata-bata.

"Kenapa? Mas gak bisa ya?" Pertanyaannya seolah meminta kepastian.

"Eng.. Itu.. Itu.. Takut tiba-tiba ada telepon dari komandan."

"Masa' tiap lepas dinas masih disuruh kerja terus Mas? Terus kapan kita ke dokternya?"

"Ya kan, Mas bilang lihat besok? Kamu juga ngerti kan resikonya nikah dengan aparat negara? Ya begini ini. Kalau gak ada telepon, besok kita berangkat, ya?" Kutowel hidungnya yang mancung, seketika membuat pipinya merona.

Jangan sampai istri tahu kalau besok adalah pernikahan keduaku. Tanpa ijinnnya tentu saja, kalau ijin menikah lagi, bisa-bisa tamat karirku.

Aku bukannya tidak mencintai istri, sangat malah. Dia perempuan yang cantik, kalem, berhijab. Ibu rumah tangga yang sempurna. Di tahun keempat pernikahan, belum juga dikarunia buah hati, tapi aku masih setia. Janjiku padanya, tidak akan pernah ada yang lain. Kenapa aku menikah lagi? Entahlah.

Secara tidak sengaja, aku ketemu seorang cewek, Sofi namanya. Awalnya biasa saja, geli malah, dia getol sekali untuk bisa dekat denganku. Sudah kubilang, aku sudah beristri, dia malah tambah merasa tertantang, herannya aku juga merasa demikian. Sepertinya senjata makan tuan. 

Beberapa bulan menjalin hubungan dengannya, aku menjadi ketagihan apalagi suatu malam secara sengaja aku ke tempat kosnya, terjadilah yang seharusnya tidak terjadi, aku sangat menikmati. Dia sangat liar dan panas, sampai membuat aku kewalahan. Hal yang tidak kudapat dari Lani, istriku. Aku jadi sering mencuri waktu dengannya, kalau tidak di kosnya, ya di losmen luar kota. Alasan dinas mendadak selalu kuutarakan pada Lani.

Segala hal yang Sofi minta, dengan segera aku kabulkan. Barang-barang branded, termasuk bedak macam-macam yang disebutnya skincare, langsung aku belikan. Berbeda dengan Lani, waktu kutanya apa gak pengen skincare, jawabnya sayang uangnya mending untuk yang lain, kulit Lani tanpa itupun juga mulus. Ya, mengurangi jatah lah. Lumayan.

Suatu waktu, ada salah satu teman yang curiga, dia hanya memberi saran menikahlah supaya tidak menjadi dosa, aku berkelit dan hanya menjawab kalau menikah satu saja pusing biaya, apalagi menikah dua. Tapi dalam hati, benar juga perkataannya. Ah, akan kucari informasi dimana jasa bisa menikah di bawah tangan tanpa ribet, dan akhirnya besoklah waktunya.

Malam ini aku sama sekali tidak bisa tidur nyenyak, memikirkan besok. Benarkah langkahku, atau salah. Kudengar dengkuran halus Lani di sebelah, kutatap wajahnya, ada perasaan bersalah. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur, aku sudah terlanjur. Maafkan Mas Lan, yang sudah membohongimu. Aku peluk dia dan kuciumi kepalanya. Dia terbangun.

"Ada apa Mas?" Dengan mengerjapkan mata.

"Gak pa-pa Dek, pengen aja meluk kamu." 

"Mmm.. Bilang aja kalau mau minta itu ih." dicubitnya pinggangku.

"Ampun.. Ampun nyonya.." Ucapku.

Kami saling menatap. Kubelai pipinya yang mulus. Kemudian kukecup keningnya lama. Dia melihat dengan heran. Seperti ada pertanyaan di benaknya.

"Ya sudah, bobok yuk, kamu pasti capek seharian mengurus rumah." Entah kenapa hasrat yang ingin kutuntaskan pada Lani menguap begitu saja, dalam ingatan hanya ada Sofi. 

Dia eratkan pelukan, beberapa menit kemudian kamipun tertidur dengan posisi saling memeluk.

***

Pagi ini aku sudah bersiap memakai kemeja putih dan celana hitam, sengaja bersepatu supaya Lani tidak curiga. 

"Mas? Sarapan dulu?" Panggil Lani dari ruang tengah.

"Sebentar Dek,"

Sambil berjalan menuju meja makan, mata Lani tidak berhenti mengamati, dari atas sampai bawah.

"Mas mau kemana?"

"Ya mau dinas lah Dek."

"Ooh, kok seperti mau akad?" Dikerucutkan bibirnya.

Deg. Sejurus kemudian bisa mengatasi grogi.

Aku hanya tersenyum dan mengusap kepalanya. 

"Mas sayang Adek!" ucapku.

"Dari tadi malam Mas aneh!"

Aku terkekeh. Iya Dek, suamimu ini memang aneh, sudah punya istri sempurna malah pingin beristri dua. 

Kami makan dalam diam, tiba-tiba hp berbunyi, waduh Sofi. Mau diangkat gimana, gak diangkat gimana. Lani memberi kode untuk mengangkatnya.

'Halo... iya ini mau berangkat'

Secepatnya kututup panggilan. Takut ada kecurigaan. Aku berdehem keras mengusir kecanggungan.

"Dek, mas berangkat ya?" Merogoh saku, mencari kotak cincin yang akan kugunakan sebagai mas kawin. Sengaja memesan dua, cincin kawin palladium emas putih dengan model yang sama, satu mata berlian tersemat di atasnya. 

Dua saku sudah dicari tapi tidak kutemukan, kembali ke kamar, menyisir lantai dan kolong kasur kalau-kalau jatuh, nihil. Jangan sampai ditemukan Lani. 

"Cari apa Mas?" Lani tiba-tiba masuk.

"Mm itu Dek, apa itu ya?" kepala masih tetap celingukan.

"Mas cari ini?" Ditunjukkannya kotak cincin dan dibuka.

Haduh, keringat dingin sebesar biji-biji jagung keluar membasahi leher dan wajah. Mati aku! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status