🍁🍁🍁🍁
Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au!
🍁🍁🍁🍁
"Terima kasih ya Mas? Kejutannya berhasil!" ucap Lani sembari memelukku erat.
"Mmmm... Iyah sama-sama."
Mau tidak mau akhirnya berbohong juga. Lani menyangka kalau cincin itu adalah hadiah ulang tahunnya yang sudah terlewat.
"Cincinnya indah, pasti mahal ya kan?"
"Kalau untuk istri tercinta apa sih yang nggak," aku cubit hidungnya, sedang dia masih bergelayut manja.
"Mana jari Mas? Sini aku pasangkan!"
"Bagus ya? Ya sudah Mas berangkat ya?" kukecup keningnya.
"Hati-hati Mas."
Kulihat Lani masih mengagumi cincin yang terpasang di jari manisnya. Bodoh sekali aku bisa teledor. Bagaimana nanti menjelaskan ke Sofi. Ah, bodo amat, yang penting nikah dulu lah. Segera kulajukan mobil keluar pelataran rumah.
***
"Saya terima nikah dan Kawinnya Sofiana binti Munip dengan mas kawin uang satu juta rupiah dibayar tunai!"
'Sah'
Dengan satu tarikan napas aku mengucap janji menikah untuk yang kedua. Lega rasanya, tapi ada sedikit rasa kecewa dalam hati. Entahlah.
"Sayang? Cincinnya mana?" tanya Sofi manja.
"Itu sayang, cincinnya jatuh nggak tahu di mana, besok aku beli lagi ya?" jawabku ragu.
"Janji ya?"
"Iya. Sekarang kita mau ke mana? Hotel? Kos? Atau mau makan dulu?" tawarku.
"Langsung ke kos saja ya? Ada yang spesial buat kamu!"
"Ok, kita berangkat sekarang!"
Syukurlah dia tidak meminta ke hotel. Untuk beli cincin besok saja aku harus putar otak. Keuangan sudah menipis karena menuruti hawa nafsu.
***
[Assalamualaikum, Mas?]
[Waalaikum salam, Dek. Ada apa?]
[Pulang jam berapa? Aku sudah masakin menu kesukaan Mas.]
[Iya, sebentar lagi]
Kulirik Sofi masih nyenyak dengan tidurnya. Setelah pergulatan tadi siang, kami kelelahan. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.15. Aku bersiap-siap pulang dan meninggalkan pesan untuk Sofi bahwa aku sudah pulang, dan untuk makan malam pesan saja lewat ojol.
***
Lani menyambutku di depan rumah. Mencium punggung tanganku dan menggandeng ke dalam. Dia menawariku langsung makan apa bersih-bersih dulu tidak lupa menanyakan sudah salat apa belum. Aku jawab sudah.
Aku rasa semakin banyak kebohongan yang aku tutupi. Tapi kalaupun harus jujur bukan sekarang waktunya. Selain pekerjaan yang tidak memperbolehkan beristri dua, aku juga tidak akan sanggup melihat kesedihan di wajah Lani.
"Mas?" tangannya cekatan mengambil nasi dan lauk ke dalam piring.
"Iyah, ada apa Dek?"
"Parfum Mas ganti ya? Kok seperti cewek?"
"Eng anu, itu, apa itu, tadi temen polwan, iseng nyemprotin parfumnya ke baju Dek."
Duh, bisa perang dunia kedua ini.
"Oh... Dimakan Mas? Lauknya habiskan ya?"
"Sip!" Kuacungkan jempol padanya.
Gawai sepertinya berbunyi dari tadi, tapi sengaja tidak kuangkat. Biarkan saja. Takut kalau itu dari Sofi, bisa tambah curiga Lani.
Kami berdua saling berpandangan ketika pintu depan ada yang mengetuk. Lani dengan sigap membukakan pintu. Sedang aku masih menikmati masakannya.
"Siapa Dek?"
"Nggak tahu! Ini ada kiriman tanpa nama," ucapnya dengan membawa sebuah kotak makanan.
"Apa itu Dek?"
"Cumi bumbu merah kesukaan Mas, ada tulisan terima kasih atas siang tadi."
Wadduh. Itu pasti dari Sofi.
🍁🍁🍁🍁
Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au!🍁🍁🍁🍁
"Terima kasih ya Mas? Kejutannya berhasil!" ucap Lani sembari memelukku erat.
"Mmmm... Iyah sama-sama."
Mau tidak mau akhirnya berbohong juga. Lani menyangka kalau cincin itu adalah hadiah ulang tahunnya yang sudah terlewat.
"Cincinnya indah, pasti mahal ya kan?"
"Kalau untuk istri tercinta apa sih yang nggak," aku cubit hidungnya, sedang dia masih bergelayut manja.
"Mana jari Mas? Sini aku pasangkan!"
"Bagus ya? Ya sudah Mas berangkat ya?" kukecup keningnya.
"Hati-hati Mas."
Kulihat Lani masih mengagumi cincin yang terpasang di jari manisnya. Bodoh sekali aku bisa teledor. Bagaimana nanti menjelaskan ke Sofi. Ah, bodo amat, yang penting nikah dulu lah. Segera kulajukan mobil keluar pelataran rumah.
***
"Saya terima nikah dan Kawinnya Sofiana binti Munip dengan mas kawin uang satu juta rupiah dibayar tunai!"
'Sah'
Dengan satu tarikan napas aku mengucap janji menikah untuk yang kedua. Lega rasanya, tapi ada sedikit rasa kecewa dalam hati. Entahlah.
"Sayang? Cincinnya mana?" tanya Sofi manja.
"Itu sayang, cincinnya jatuh nggak tahu di mana, besok aku beli lagi ya?" jawabku ragu.
"Janji ya?"
"Iya. Sekarang kita mau ke mana? Hotel? Kos? Atau mau makan dulu?" tawarku.
"Langsung ke kos saja ya? Ada yang spesial buat kamu!"
"Ok, kita berangkat sekarang!"
Syukurlah dia tidak meminta ke hotel. Untuk beli cincin besok saja aku harus putar otak. Keuangan sudah menipis karena menuruti hawa nafsu.
***
[Assalamualaikum, Mas?]
[Waalaikum salam, Dek. Ada apa?]
[Pulang jam berapa? Aku sudah masakin menu kesukaan Mas.]
[Iya, sebentar lagi]
Kulirik Sofi masih nyenyak dengan tidurnya. Setelah pergulatan tadi siang, kami kelelahan. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.15. Aku bersiap-siap pulang dan meninggalkan pesan untuk Sofi bahwa aku sudah pulang, dan untuk makan malam pesan saja lewat ojol.
***
Lani menyambutku di depan rumah. Mencium punggung tanganku dan menggandeng ke dalam. Dia menawariku langsung makan apa bersih-bersih dulu tidak lupa menanyakan sudah salat apa belum. Aku jawab sudah.Aku rasa semakin banyak kebohongan yang aku tutupi. Tapi kalaupun harus jujur bukan sekarang waktunya. Selain pekerjaan yang tidak memperbolehkan beristri dua, aku juga tidak akan sanggup melihat kesedihan di wajah Lani.
"Mas?" tangannya cekatan mengambil nasi dan lauk ke dalam piring.
"Iyah, ada apa Dek?"
"Parfum Mas ganti ya? Kok seperti cewek?"
"Eng anu, itu, apa itu, tadi temen polwan, iseng nyemprotin parfumnya ke baju Dek."
Duh, bisa perang dunia kedua ini.
"Oh... Dimakan Mas? Lauknya habiskan ya?"
"Sip!" Kuacungkan jempol padanya.
Gawai sepertinya berbunyi dari tadi, tapi sengaja tidak kuangkat. Biarkan saja. Takut kalau itu dari Sofi, bisa tambah curiga Lani.Kami berdua saling berpandangan ketika pintu depan ada yang mengetuk. Lani dengan sigap membukakan pintu. Sedang aku masih menikmati masakannya.
"Siapa Dek?"
"Nggak tahu! Ini ada kiriman tanpa nama," ucapnya dengan membawa sebuah kotak makanan.
"Apa itu Dek?"
"Cumi bumbu merah kesukaan Mas, ada tulisan terima kasih atas siang tadi."
Wadduh. Itu pasti dari Sofi.
"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan."Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar."Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.Aku mengangguk pasrah.Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya.Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah seder
Kali ini aku makan dengan malas, selain tidak ada Lani yang menemani juga rasa kenyang karena makan di tempat Sofi tadi. Selesai makan, membersihkan diri menjadi pilihan. Aku tidak mau Lani mencium aroma parfum Sofi di tubuh. Walaupun mungkin dia sudah tahu ada parfum lain ditubuhku.Mengguyurkan air ke kepala berulang kali, berharap otak ini kembali waras. Melihat kesedihan Lani tadi, rasa bersalah dalam hati semakin besar. Haruskah aku menutupi semuanya, atau mungkin kejujuran yang harus kuberikan. Semakin aku berpikir, otak semakin buntu.Keluar kamar aku melihat Lani tidur dengan pulas, terdengar dengkuran halus. Pelan-pelan duduk di sampingnya. Aku usap wajahnya yang terlihat ayu, matanya sembab, masih ada sisa air mata di pelupuk. Tanpa sadar, aku menangis sambil terus memandangi wajahnya. Wajah yang sekian tahun menghiasi hidupku dengan senyum manis. Dia yang selalu memberi semangat hingga posisi yang sekarang. Tapi apa yang kub
Pagi ini badan terasa pegal. Tidur sama sekali tidak nyenyak. Kulihat Lani masih tidur dengan posisi memunggungi. Biasanya jam segini dia sudah dengan rutinitas pagi. Memasak dan membersihkan rumah. Apa dia sakit. Kudekati dia dan kupegang dahinya. Masih normal menurutku. Mungkin saking capeknya dia masih tertidur nyenyak.Selepas mandi aku mencari pakaian dinas. Lemari sudah kutelusuri dari atas sampai bawah belum juga ketemu. Dari jongkok sampai berdiri tidak membuahkan hasil. Terpaksa aku cari seragam kemarin yang sudah ada di tumpukan baju kotor.Lani belum juga bangun, sementara perut bernyanyi minta diisi. Membuka kulkas hanya ada bahan mentah. Duh, bisa kambuh penyakit mag kalau ceritanya begini. Membangunkan Lani, aku tak tega. Ah, baru teringat kalau ada istri yang lain, kenapa tidak dari tadi sih.Menelepon Sofi rupanya butuh kesabaran. Sambil celingukan, kalau-kalau Lani terbangun."Ya, Sayang?" terdengar suaranya yang ser
Sofian, satu nama yang sangat sering menghubungi suamiku beberapa bulan ini. Entah kenapa ada perasaan aneh, tapi segera kutepis. Bekerja sebagai aparatur negara, tugasnya tidak sepele. Bahkan nyawa taruhannya, jadi aku harus percaya padanya dan selalu mendukung dengan penuh karena hanya itu yang bisa aku berikan.Bobby Rahadian, seorang laki-laki yang baik. Dia tidak tampan ataupun kaya. Tapi kharismatiknya membuatku tak berdaya. Aku mengenalnya ketika dia belum menjadi apa-apa. Waktu itu kami bertemu lewat seorang teman. Kami berenam biasa menghabiskan Sabtu malam dengan berkumpul. Kalau tidak di warung dekat alun-alun, rumah teman yang lain pun jadi tempat sasaran kami untuk membahas rencana kuliah.Beberapa orang ingin masuk perguruan tinggi, tapi tidak dengan Bobby. Dia ingin mengikuti pendaftaran polisi. Sesuatu yang lain menurutku. Yang kami lakukan waktu itu adalah memberikan dukungan. Selepas masa pendaftaran kuliah, aku sudah tidak lagi mendenga
Hatiku berdebar tidak karuan. Setelah telepon dari Mas Deni tadi, pikiranku melayang-layang. Ingatanku mulai mengembara ke satu demi satu keanehan yang Mas Bobby lakukan. Pernah sekali aku pergoki dia senyum-senyum sendiri dengan gawainya."Senyum-senyum sendiri, hati-hati lo Mas!""Eh, ini Dek, teman Mas bisa banget kalau nglucu," jawabnya sambil terus memandangi gawai."Apa sih? Coba lihat!" tanyaku sambil mencuri pandang ke gawainya."Nggak ada apa-apa. Mas ke kamar dulu ya? Pintu jangan lupa dikunci."Sambil berlalu ke kamar, sedang gawai dia letakkan di gulungan sarung yang dipakai.🍒🍒🍒Aku harus sudah siap apapun yang terjadi. Termasuk kalau nantinya Mas Bobby menduakan hati. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu Mas.Malam ini aku sengaja memasak makanan kesukaannya, cumi bakar bumbu merah dengan sayur asam daun mlinjo muda. Aku mendengar motor sudah terparkir di depan rumah.
Please tap love, komen dan subscribe ya Kakak? Karena dukunganmu sangat berarti untuk pemacu semangatku.🍁🍁🍁 💔💔"Lin, aku nggak kuat! Kenapa dia harus ngelakuin ini? Apa kurangnya aku? Kalau masalah keturunan, bukankah masih bisa dibicarakan?" ucapku pada seorang sahabat dengan tergugu."Kamu tenang dulu, ya? Mungkin saja suamimu hanya main-main? Atau bisa jadi ceweknya yang ganjen! Dasar!" jawabnya sambil mengepalkan tangan."Aku nggak habis pikir Lin,""Sudah, sekarang yang terpenting adalah kamu. Berpikirlah yang positif jangan terbawa emosi. Main cantik. Jangan sampai kamu kalah dengan dia, percantik diri! Supaya suami kamu berpikir dua kali untuk menduakanmu!""Tapi Lina, situasi seperti ini aku sama sekali tidak bisa berpikir.""Biar nggak stres, ikut aku ke salon. Manjain diri kamu. Aku ada kenalan salon yang bagus. Setelah itu kita belanja." ucapnya sambil tersenyum.Ah, Lina memang
[Dek?][Ya?][Lagi ngapain?][Tidur][Mas ganggu ya?][Hm]Sikap Mas Bobby mulai kembali seperti dulu, menurutku mungkin dia masih mencintaiku atau menutupi supaya aku tidak tahu perbuatannya. Apalagi setelah aku mengatakan ingin pulang ke rumah orang tua, padahal aku hanya beralasan kangen mereka.Terdengar sebuah lagu dari gawai, menandakan ada yang menghubungi. Yudha. Laki-laki itu tidak kenal lelah. Aku sudah mempunyai suami tapi sama sekali tak menyurutkan langkahnya. Walaupun rumah tanggaku sekarang sedang ada masalah, tapi sangat tidak etis bagiku untuk mengikutsertakannya. Aku takut, rasa nyaman akan datang, dan bisa dipastikan itu tidak benar.Antara mengangkat atau tidak, aku masih bingung. Setelah sekian menit, muncul sebuah chat darinya.[Lan, maaf aku tidak bermaksud menganggu. Tapi bisakah kamu mengangkat teleponku? Aku rindu]Tanpa sadar aku tersenyum membacan
"Dek? Maksud kamu apa? Jangan memutar balikkan fakta! Jelas-jelas kamu yang salah!""Salah? Ha ha, lucu kamu Mas. Aku tidak bisa menyuruh seseorang untuk menyukaiku ataupun tidak menyukaiku. Tapi yang jelas aku tidak pernah memberikan respon."Sambil berjalan meninggalkannya menuju arah dapur."Ok, ok! Anggaplah dia hanya pengagummu, tapi Mas tetap tak suka!" Jawabnya mengejar ku.Mas Bobby menarik tangan kemudian memaksaku berhadapan dengannya. Terlihat wajahnya yang kuyu. Beberapa hari ini aku memang terpaku dengan kesedihanku. Tapi bukankah dia sudah ada yang baru.Belum ada cukup bukti atas hubungannya dengan yang lain, aku hanya berharap dia belum jauh. Karena mungkin aku tak sanggup jika mendengarnya sudah melangkah keluar jalur."Tatap mataku, Dek?""Mas, lepas!""Lani, istriku? Tolong jaga kepercayaanku. Mas tidak akan sanggup hidup tanpamu. Beberapa hari ini, Mas merasa kamu agak jauh."