Share

Bab 3

🍁🍁🍁🍁

Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au! 

🍁🍁🍁🍁

"Terima kasih ya Mas? Kejutannya berhasil!" ucap Lani sembari memelukku erat.

"Mmmm... Iyah sama-sama."

Mau tidak mau akhirnya berbohong juga. Lani menyangka kalau cincin itu adalah hadiah ulang tahunnya yang sudah terlewat.

"Cincinnya indah, pasti mahal ya kan?"

"Kalau untuk istri tercinta apa sih yang nggak," aku cubit hidungnya, sedang dia masih bergelayut manja.

"Mana jari Mas? Sini aku pasangkan!"

"Bagus ya? Ya sudah Mas berangkat ya?" kukecup keningnya.

"Hati-hati Mas."

Kulihat Lani masih mengagumi cincin yang terpasang di jari manisnya. Bodoh sekali aku bisa teledor. Bagaimana nanti menjelaskan ke Sofi. Ah, bodo amat, yang penting nikah dulu lah. Segera kulajukan mobil keluar pelataran rumah.

***

"Saya terima nikah dan Kawinnya Sofiana binti Munip dengan mas kawin uang satu juta rupiah dibayar tunai!"

'Sah'

Dengan satu tarikan napas aku mengucap janji menikah untuk yang kedua. Lega rasanya, tapi ada sedikit rasa kecewa dalam hati. Entahlah.

"Sayang? Cincinnya mana?" tanya Sofi manja.

"Itu sayang, cincinnya jatuh nggak tahu di mana, besok aku beli lagi ya?" jawabku ragu.

"Janji ya?"

"Iya. Sekarang kita mau ke mana? Hotel? Kos? Atau mau makan dulu?" tawarku.

"Langsung ke kos saja ya? Ada yang spesial buat kamu!"

"Ok, kita berangkat sekarang!"

Syukurlah dia tidak meminta ke hotel. Untuk beli cincin besok saja aku harus putar otak. Keuangan sudah menipis karena menuruti hawa nafsu.

***

[Assalamualaikum, Mas?]

[Waalaikum salam, Dek. Ada apa?]

[Pulang jam berapa? Aku sudah masakin menu kesukaan Mas.]

[Iya, sebentar lagi]

Kulirik Sofi masih nyenyak dengan tidurnya. Setelah pergulatan tadi siang, kami kelelahan. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.15. Aku bersiap-siap pulang dan meninggalkan pesan untuk Sofi bahwa aku sudah pulang, dan untuk makan malam pesan saja lewat ojol. 

***

Lani menyambutku di depan rumah. Mencium punggung tanganku dan menggandeng ke dalam. Dia menawariku langsung makan apa bersih-bersih dulu tidak lupa menanyakan sudah salat apa belum. Aku jawab sudah. 

Aku rasa semakin banyak kebohongan yang aku tutupi. Tapi kalaupun harus jujur bukan sekarang waktunya. Selain pekerjaan yang tidak memperbolehkan beristri dua, aku juga tidak akan sanggup melihat kesedihan di wajah Lani.

"Mas?" tangannya cekatan mengambil nasi dan lauk ke dalam piring.

"Iyah, ada apa Dek?"

"Parfum Mas ganti ya? Kok seperti cewek?"

"Eng anu, itu, apa itu, tadi temen polwan, iseng nyemprotin parfumnya ke baju Dek."

Duh, bisa perang dunia kedua ini.

"Oh... Dimakan Mas? Lauknya habiskan ya?"

"Sip!" Kuacungkan jempol padanya.

Gawai sepertinya berbunyi dari tadi, tapi sengaja tidak kuangkat. Biarkan saja. Takut kalau itu dari Sofi, bisa tambah curiga Lani.

Kami berdua saling berpandangan ketika pintu depan ada yang mengetuk. Lani dengan sigap membukakan pintu. Sedang aku masih menikmati masakannya.

"Siapa Dek?"

"Nggak tahu! Ini ada kiriman tanpa nama," ucapnya dengan membawa sebuah kotak makanan.

"Apa itu Dek?"

"Cumi bumbu merah kesukaan Mas, ada tulisan terima kasih atas siang tadi."

Wadduh. Itu pasti dari Sofi. 

🍁🍁🍁🍁

Pagi ini aku gugup. Beberapa jam lagi adalah pernikahanku dengan Mas Bobby. Seorang polisi berpangkat briptu. Jangan tanya briptu itu apa, pokoknya itulah.. Yang penting kan polisi. Ye kan? Sebenarnya ini adalah pernikahan kedua. Aku janda beranak satu. Walaupun janda, tapi rasa dijamin mantul, masih menggigit, au! 

🍁🍁🍁🍁

"Terima kasih ya Mas? Kejutannya berhasil!" ucap Lani sembari memelukku erat.

"Mmmm... Iyah sama-sama."

Mau tidak mau akhirnya berbohong juga. Lani menyangka kalau cincin itu adalah hadiah ulang tahunnya yang sudah terlewat.

"Cincinnya indah, pasti mahal ya kan?"

"Kalau untuk istri tercinta apa sih yang nggak," aku cubit hidungnya, sedang dia masih bergelayut manja.

"Mana jari Mas? Sini aku pasangkan!"

"Bagus ya? Ya sudah Mas berangkat ya?" kukecup keningnya.

"Hati-hati Mas."

Kulihat Lani masih mengagumi cincin yang terpasang di jari manisnya. Bodoh sekali aku bisa teledor. Bagaimana nanti menjelaskan ke Sofi. Ah, bodo amat, yang penting nikah dulu lah. Segera kulajukan mobil keluar pelataran rumah.

***

"Saya terima nikah dan Kawinnya Sofiana binti Munip dengan mas kawin uang satu juta rupiah dibayar tunai!"

'Sah'

Dengan satu tarikan napas aku mengucap janji menikah untuk yang kedua. Lega rasanya, tapi ada sedikit rasa kecewa dalam hati. Entahlah.

"Sayang? Cincinnya mana?" tanya Sofi manja.

"Itu sayang, cincinnya jatuh nggak tahu di mana, besok aku beli lagi ya?" jawabku ragu.

"Janji ya?"

"Iya. Sekarang kita mau ke mana? Hotel? Kos? Atau mau makan dulu?" tawarku.

"Langsung ke kos saja ya? Ada yang spesial buat kamu!"

"Ok, kita berangkat sekarang!"

Syukurlah dia tidak meminta ke hotel. Untuk beli cincin besok saja aku harus putar otak. Keuangan sudah menipis karena menuruti hawa nafsu.

***

[Assalamualaikum, Mas?]

[Waalaikum salam, Dek. Ada apa?]

[Pulang jam berapa? Aku sudah masakin menu kesukaan Mas.]

[Iya, sebentar lagi]

Kulirik Sofi masih nyenyak dengan tidurnya. Setelah pergulatan tadi siang, kami kelelahan. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.15. Aku bersiap-siap pulang dan meninggalkan pesan untuk Sofi bahwa aku sudah pulang, dan untuk makan malam pesan saja lewat ojol. 

***

Lani menyambutku di depan rumah. Mencium punggung tanganku dan menggandeng ke dalam. Dia menawariku langsung makan apa bersih-bersih dulu tidak lupa menanyakan sudah salat apa belum. Aku jawab sudah. 

Aku rasa semakin banyak kebohongan yang aku tutupi. Tapi kalaupun harus jujur bukan sekarang waktunya. Selain pekerjaan yang tidak memperbolehkan beristri dua, aku juga tidak akan sanggup melihat kesedihan di wajah Lani.

"Mas?" tangannya cekatan mengambil nasi dan lauk ke dalam piring.

"Iyah, ada apa Dek?"

"Parfum Mas ganti ya? Kok seperti cewek?"

"Eng anu, itu, apa itu, tadi temen polwan, iseng nyemprotin parfumnya ke baju Dek."

Duh, bisa perang dunia kedua ini.

"Oh... Dimakan Mas? Lauknya habiskan ya?"

"Sip!" Kuacungkan jempol padanya.

Gawai sepertinya berbunyi dari tadi, tapi sengaja tidak kuangkat. Biarkan saja. Takut kalau itu dari Sofi, bisa tambah curiga Lani.

Kami berdua saling berpandangan ketika pintu depan ada yang mengetuk. Lani dengan sigap membukakan pintu. Sedang aku masih menikmati masakannya.

"Siapa Dek?"

"Nggak tahu! Ini ada kiriman tanpa nama," ucapnya dengan membawa sebuah kotak makanan.

"Apa itu Dek?"

"Cumi bumbu merah kesukaan Mas, ada tulisan terima kasih atas siang tadi."

Wadduh. Itu pasti dari Sofi. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fatimah Ahmad
kenapa babnya asyik berulang?jln cerita ok dah...tapi bab itu asyik berulang2
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status