"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan.
"Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar.
"Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.
Aku mengangguk pasrah.
Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.
Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya.
Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah sederhana ini.
Waktu itu dia mengatakan kalau membangun rumah harus dengan tiga kamar, persiapan untuk anak-anak kami. Aku menyetujui. Dia bahkan tidak ragu untuk menjual perhiasan yang kuhadiahkan padanya. Demi rumah mungil yang kami inginkan.
Lani pandai menata rumah, kebutuhan rumah tangga pun dia atur sedemikian rupa. Hingga mempunyai tabungan yang lumayan. Dia jarang berkeluh kesah kalau tidak aku paksa untuk bercerita. Dia wanita hebat yang aku kenal.
Ah, Laniku yang ayu. Dia tidak tahu kalau suaminya ini sudah menduakan hati, bahkan sekarang sudah banyak kebohongan yang menanti. Pantaskah aku menyebut diri ini imam? Memimpin nafsu diri sendiri saja aku tak sanggup.
"Kok ngelamun, Mas?"
"Nggak apa-apa. Agak capek aja!" Jawabku dengan senyum terpaksa.
Selesai mandi, kulihat gawai tergeletak di kasur, perasaan tadi ada di atas nakas. Apa jangan-jangan Lani memeriksa gawaiku, tapi aku sudah menguncinya dengan kode yang tidak mungkin diketahui Lani, atau mungkin aku yang lupa.
Kulihat ada beberapa pesan dan panggilan dengan nama Sofian. Sengaja kuberi nama itu supaya Lani tidak curiga. Sofi meminta sebelum kerja aku mampir ke kos. Rupanya ngambek tadi malam masih ada. Terpaksa aku segera menemuinya agar tidak menjadi perang dingin berkepanjangan.
Aku meninggalkan Lani di meja makan, tatapan matanya menunjukkan kekecewaan, tapi aku bisa apa, besok kuusahakan pulang lebih awal dan memberinya kejutan. Maafkan Mas, Lan.
***
"Masih ingat aku rupanya?" tanya Sofi dengan nada ngambek.
"Sayangku yang cantik, sudah dong, jangan ngambek ya?" kutowel hidungnya, hal yang biasa aku lakukan pada Lani apabila ngambek.
Tangabku ditepis. Dia memunggungiku.
"Nggak usah ke sini kalau hatinya masih di sana!"
Aku garuk-garuk kepala, bingung, jurus apa lagi yang aku gunakan untuk membujuk.
Tiba-tiba gawai berdering. Salah satu teman menghubungi agar segera ke kantor. Mau tidak mau kukeluarkan jurus terakhir. Uang tinggal beberapa di dompet kuberikan padanya, dengan rayuan cincin akan segera kubelikan. Sofi tersenyum tipis.
Akhirnya aku bernapas lega. Pamit padanya dengan diberikan ciuman mesra.
***
[Mas? Pulang ke kos ya?]
[Iya, tapi Mas pulang dulu ke rumah ya?]
[Ya sudah, nggak usah ke sini sekalian!]
[Iya, iya, Mas ke sana]
Seharian aku ada di kos Sofi, bercengkrama, bersenda gurau. Mengintip gawai kalau-kalau Lani menghubungi, tapi tidak ada sama sekali.
Aku sudah mengerti kalau ngambek, beginilah Lani. Kuat tidak menghubungi ataupun berkomunikasi langsung, jadi lebih sering aku yang mengalah duluan mengajaknya ngobrol.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika aku sampai di rumah. Terlihat sepi. Aku memanggil namanya tapi tidak ada sahutan. Di dalam kamar, aku lihat dia berbaring memunggungi. Bahunya bergetar dengan suara tangis lirih tapi memilukan hati.
"Lan?" kupegangi bahunya pelan.
"Mas?" dia bangun kemudian mengusap air mata.
"Kenapa?" tanyaku gugup.
"Nggak, nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama Ibu dan Bapak," jawabnya dengan suara serak.
"Oh, kenapa nggak telepon?"
"Pengen meluk mereka Mas." tatapannya kosong ke arah jendela dengan air mata meleleh di pipi.
Aku peluk tubuhnya, dalam hati mengucap kata maaf berulang kali. Entahlah sampai kapan kebohongan ini aku tutupi. Maaf.
Dia menawariku makan dengan berderai air mata. Aku mengatakan supaya dia beristirahat saja, biar aku mengambil sendiri tak usah dilayani. Lani menurut, dia meminta maaf karena belum bisa menjadi istri yang sempurna. Aku usap air matanya dan mengatakan dia perempuan yang sempurna untukku.
Lani berbaring, berusaha memejamkan mata. Entah apa yang membuatnya begitu sedih hingga menangis terus-terusan, tidak mungkin hanya karena kangen orang tuanya. Mungkinkah Lani mengetahui hubunganku dengan Sofi.
"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan.
"Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar.
"Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.
Aku mengangguk pasrah.
Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.
Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya.
Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah sederhana ini.
Waktu itu dia mengatakan kalau membangun rumah harus dengan tiga kamar, persiapan untuk anak-anak kami. Aku menyetujui. Dia bahkan tidak ragu untuk menjual perhiasan yang kuhadiahkan padanya. Demi rumah mungil yang kami inginkan.
Lani pandai menata rumah, kebutuhan rumah tangga pun dia atur sedemikian rupa. Hingga mempunyai tabungan yang lumayan. Dia jarang berkeluh kesah kalau tidak aku paksa untuk bercerita. Dia wanita hebat yang aku kenal.
Ah, Laniku yang ayu. Dia tidak tahu kalau suaminya ini sudah menduakan hati, bahkan sekarang sudah banyak kebohongan yang menanti. Pantaskah aku menyebut diri ini imam? Memimpin nafsu diri sendiri saja aku tak sanggup.
"Kok ngelamun, Mas?"
"Nggak apa-apa. Agak capek aja!" Jawabku dengan senyum terpaksa.
Selesai mandi, kulihat gawai tergeletak di kasur, perasaan tadi ada di atas nakas. Apa jangan-jangan Lani memeriksa gawaiku, tapi aku sudah menguncinya dengan kode yang tidak mungkin diketahui Lani, atau mungkin aku yang lupa.
Kulihat ada beberapa pesan dan panggilan dengan nama Sofian. Sengaja kuberi nama itu supaya Lani tidak curiga. Sofi meminta sebelum kerja aku mampir ke kos. Rupanya ngambek tadi malam masih ada. Terpaksa aku segera menemuinya agar tidak menjadi perang dingin berkepanjangan.
Aku meninggalkan Lani di meja makan, tatapan matanya menunjukkan kekecewaan, tapi aku bisa apa, besok kuusahakan pulang lebih awal dan memberinya kejutan. Maafkan Mas, Lan.
***
"Masih ingat aku rupanya?" tanya Sofi dengan nada ngambek.
"Sayangku yang cantik, sudah dong, jangan ngambek ya?" kutowel hidungnya, hal yang biasa aku lakukan pada Lani apabila ngambek.
Tangabku ditepis. Dia memunggungiku.
"Nggak usah ke sini kalau hatinya masih di sana!"
Aku garuk-garuk kepala, bingung, jurus apa lagi yang aku gunakan untuk membujuk.
Tiba-tiba gawai berdering. Salah satu teman menghubungi agar segera ke kantor. Mau tidak mau kukeluarkan jurus terakhir. Uang tinggal beberapa di dompet kuberikan padanya, dengan rayuan cincin akan segera kubelikan. Sofi tersenyum tipis.
Akhirnya aku bernapas lega. Pamit padanya dengan diberikan ciuman mesra.
***
[Mas? Pulang ke kos ya?]
[Iya, tapi Mas pulang dulu ke rumah ya?]
[Ya sudah, nggak usah ke sini sekalian!]
[Iya, iya, Mas ke sana]
Seharian aku ada di kos Sofi, bercengkrama, bersenda gurau. Mengintip gawai kalau-kalau Lani menghubungi, tapi tidak ada sama sekali.
Aku sudah mengerti kalau ngambek, beginilah Lani. Kuat tidak menghubungi ataupun berkomunikasi langsung, jadi lebih sering aku yang mengalah duluan mengajaknya ngobrol.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika aku sampai di rumah. Terlihat sepi. Aku memanggil namanya tapi tidak ada sahutan. Di dalam kamar, aku lihat dia berbaring memunggungi. Bahunya bergetar dengan suara tangis lirih tapi memilukan hati.
"Lan?" kupegangi bahunya pelan.
"Mas?" dia bangun kemudian mengusap air mata.
"Kenapa?" tanyaku gugup.
"Nggak, nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama Ibu dan Bapak," jawabnya dengan suara serak.
"Oh, kenapa nggak telepon?"
"Pengen meluk mereka Mas." tatapannya kosong ke arah jendela dengan air mata meleleh di pipi.
Aku peluk tubuhnya, dalam hati mengucap kata maaf berulang kali. Entahlah sampai kapan kebohongan ini aku tutupi. Maaf.
Dia menawariku makan dengan berderai air mata. Aku mengatakan supaya dia beristirahat saja, biar aku mengambil sendiri tak usah dilayani. Lani menurut, dia meminta maaf karena belum bisa menjadi istri yang sempurna. Aku usap air matanya dan mengatakan dia perempuan yang sempurna untukku.
Lani berbaring, berusaha memejamkan mata. Entah apa yang membuatnya begitu sedih hingga menangis terus-terusan, tidak mungkin hanya karena kangen orang tuanya. Mungkinkah Lani mengetahui hubunganku dengan Sofi.
Kali ini aku makan dengan malas, selain tidak ada Lani yang menemani juga rasa kenyang karena makan di tempat Sofi tadi. Selesai makan, membersihkan diri menjadi pilihan. Aku tidak mau Lani mencium aroma parfum Sofi di tubuh. Walaupun mungkin dia sudah tahu ada parfum lain ditubuhku.Mengguyurkan air ke kepala berulang kali, berharap otak ini kembali waras. Melihat kesedihan Lani tadi, rasa bersalah dalam hati semakin besar. Haruskah aku menutupi semuanya, atau mungkin kejujuran yang harus kuberikan. Semakin aku berpikir, otak semakin buntu.Keluar kamar aku melihat Lani tidur dengan pulas, terdengar dengkuran halus. Pelan-pelan duduk di sampingnya. Aku usap wajahnya yang terlihat ayu, matanya sembab, masih ada sisa air mata di pelupuk. Tanpa sadar, aku menangis sambil terus memandangi wajahnya. Wajah yang sekian tahun menghiasi hidupku dengan senyum manis. Dia yang selalu memberi semangat hingga posisi yang sekarang. Tapi apa yang kub
Pagi ini badan terasa pegal. Tidur sama sekali tidak nyenyak. Kulihat Lani masih tidur dengan posisi memunggungi. Biasanya jam segini dia sudah dengan rutinitas pagi. Memasak dan membersihkan rumah. Apa dia sakit. Kudekati dia dan kupegang dahinya. Masih normal menurutku. Mungkin saking capeknya dia masih tertidur nyenyak.Selepas mandi aku mencari pakaian dinas. Lemari sudah kutelusuri dari atas sampai bawah belum juga ketemu. Dari jongkok sampai berdiri tidak membuahkan hasil. Terpaksa aku cari seragam kemarin yang sudah ada di tumpukan baju kotor.Lani belum juga bangun, sementara perut bernyanyi minta diisi. Membuka kulkas hanya ada bahan mentah. Duh, bisa kambuh penyakit mag kalau ceritanya begini. Membangunkan Lani, aku tak tega. Ah, baru teringat kalau ada istri yang lain, kenapa tidak dari tadi sih.Menelepon Sofi rupanya butuh kesabaran. Sambil celingukan, kalau-kalau Lani terbangun."Ya, Sayang?" terdengar suaranya yang ser
Sofian, satu nama yang sangat sering menghubungi suamiku beberapa bulan ini. Entah kenapa ada perasaan aneh, tapi segera kutepis. Bekerja sebagai aparatur negara, tugasnya tidak sepele. Bahkan nyawa taruhannya, jadi aku harus percaya padanya dan selalu mendukung dengan penuh karena hanya itu yang bisa aku berikan.Bobby Rahadian, seorang laki-laki yang baik. Dia tidak tampan ataupun kaya. Tapi kharismatiknya membuatku tak berdaya. Aku mengenalnya ketika dia belum menjadi apa-apa. Waktu itu kami bertemu lewat seorang teman. Kami berenam biasa menghabiskan Sabtu malam dengan berkumpul. Kalau tidak di warung dekat alun-alun, rumah teman yang lain pun jadi tempat sasaran kami untuk membahas rencana kuliah.Beberapa orang ingin masuk perguruan tinggi, tapi tidak dengan Bobby. Dia ingin mengikuti pendaftaran polisi. Sesuatu yang lain menurutku. Yang kami lakukan waktu itu adalah memberikan dukungan. Selepas masa pendaftaran kuliah, aku sudah tidak lagi mendenga
Hatiku berdebar tidak karuan. Setelah telepon dari Mas Deni tadi, pikiranku melayang-layang. Ingatanku mulai mengembara ke satu demi satu keanehan yang Mas Bobby lakukan. Pernah sekali aku pergoki dia senyum-senyum sendiri dengan gawainya."Senyum-senyum sendiri, hati-hati lo Mas!""Eh, ini Dek, teman Mas bisa banget kalau nglucu," jawabnya sambil terus memandangi gawai."Apa sih? Coba lihat!" tanyaku sambil mencuri pandang ke gawainya."Nggak ada apa-apa. Mas ke kamar dulu ya? Pintu jangan lupa dikunci."Sambil berlalu ke kamar, sedang gawai dia letakkan di gulungan sarung yang dipakai.🍒🍒🍒Aku harus sudah siap apapun yang terjadi. Termasuk kalau nantinya Mas Bobby menduakan hati. Baiklah, akan aku ikuti permainanmu Mas.Malam ini aku sengaja memasak makanan kesukaannya, cumi bakar bumbu merah dengan sayur asam daun mlinjo muda. Aku mendengar motor sudah terparkir di depan rumah.
Please tap love, komen dan subscribe ya Kakak? Karena dukunganmu sangat berarti untuk pemacu semangatku.🍁🍁🍁 💔💔"Lin, aku nggak kuat! Kenapa dia harus ngelakuin ini? Apa kurangnya aku? Kalau masalah keturunan, bukankah masih bisa dibicarakan?" ucapku pada seorang sahabat dengan tergugu."Kamu tenang dulu, ya? Mungkin saja suamimu hanya main-main? Atau bisa jadi ceweknya yang ganjen! Dasar!" jawabnya sambil mengepalkan tangan."Aku nggak habis pikir Lin,""Sudah, sekarang yang terpenting adalah kamu. Berpikirlah yang positif jangan terbawa emosi. Main cantik. Jangan sampai kamu kalah dengan dia, percantik diri! Supaya suami kamu berpikir dua kali untuk menduakanmu!""Tapi Lina, situasi seperti ini aku sama sekali tidak bisa berpikir.""Biar nggak stres, ikut aku ke salon. Manjain diri kamu. Aku ada kenalan salon yang bagus. Setelah itu kita belanja." ucapnya sambil tersenyum.Ah, Lina memang
[Dek?][Ya?][Lagi ngapain?][Tidur][Mas ganggu ya?][Hm]Sikap Mas Bobby mulai kembali seperti dulu, menurutku mungkin dia masih mencintaiku atau menutupi supaya aku tidak tahu perbuatannya. Apalagi setelah aku mengatakan ingin pulang ke rumah orang tua, padahal aku hanya beralasan kangen mereka.Terdengar sebuah lagu dari gawai, menandakan ada yang menghubungi. Yudha. Laki-laki itu tidak kenal lelah. Aku sudah mempunyai suami tapi sama sekali tak menyurutkan langkahnya. Walaupun rumah tanggaku sekarang sedang ada masalah, tapi sangat tidak etis bagiku untuk mengikutsertakannya. Aku takut, rasa nyaman akan datang, dan bisa dipastikan itu tidak benar.Antara mengangkat atau tidak, aku masih bingung. Setelah sekian menit, muncul sebuah chat darinya.[Lan, maaf aku tidak bermaksud menganggu. Tapi bisakah kamu mengangkat teleponku? Aku rindu]Tanpa sadar aku tersenyum membacan
"Dek? Maksud kamu apa? Jangan memutar balikkan fakta! Jelas-jelas kamu yang salah!""Salah? Ha ha, lucu kamu Mas. Aku tidak bisa menyuruh seseorang untuk menyukaiku ataupun tidak menyukaiku. Tapi yang jelas aku tidak pernah memberikan respon."Sambil berjalan meninggalkannya menuju arah dapur."Ok, ok! Anggaplah dia hanya pengagummu, tapi Mas tetap tak suka!" Jawabnya mengejar ku.Mas Bobby menarik tangan kemudian memaksaku berhadapan dengannya. Terlihat wajahnya yang kuyu. Beberapa hari ini aku memang terpaku dengan kesedihanku. Tapi bukankah dia sudah ada yang baru.Belum ada cukup bukti atas hubungannya dengan yang lain, aku hanya berharap dia belum jauh. Karena mungkin aku tak sanggup jika mendengarnya sudah melangkah keluar jalur."Tatap mataku, Dek?""Mas, lepas!""Lani, istriku? Tolong jaga kepercayaanku. Mas tidak akan sanggup hidup tanpamu. Beberapa hari ini, Mas merasa kamu agak jauh."
Aku mengambil gawai dan gegas memfoto nomer Sofian. Aku kembalikan gawai Mas Bobby ke tampilan semula. Kemudian meletakkannya sesuai posisi awal.Air mataku mengucur deras, perasaanku tidak enak. Aku berbalik ketika Mas Bobby lewat dan pamit dengan tergesa. Badan langsung luruh ke lantai. Aku tergugu dengan posisi memeluk kaki.Tidak, tidak. Aku tidak boleh lemah. Kalau dia memang menduakanku, dia harus merasakan sakit hatiku.Pergi ke counter pulsa menjadi tujuan utama. Aku membeli kartu baru. Kemudian memasangnya. Setelah aktif kemudian aku memasukkan nomer Sofian. Kemudian mengiriminya pesan dengan pura-pura menjadi teman lama.[Sofi .. an?][Siapa?][Teman lama, benarkah ini Sofian?][Salah nomer! Di sini cewek ya? Sofi! Bukan Sofian! Enak saja.]Deg, deg, deg. Jantungku bertalu membaca chatnya, ternyata selama ini Mas Bobby membohongiku dengan menyembunyikan nama aslinya.