Share

Bab 4

Penulis: Reinsha4
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-31 23:40:19

"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan.

"Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar.

"Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.

Aku mengangguk pasrah.

Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.

Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya. 

Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah sederhana ini. 

Waktu itu dia mengatakan kalau membangun rumah harus dengan tiga kamar, persiapan untuk anak-anak kami. Aku menyetujui. Dia bahkan tidak ragu untuk menjual perhiasan yang kuhadiahkan padanya. Demi rumah mungil yang kami inginkan.

Lani pandai menata rumah, kebutuhan rumah tangga pun dia atur sedemikian rupa. Hingga mempunyai tabungan yang lumayan. Dia jarang berkeluh kesah kalau tidak aku paksa untuk bercerita. Dia wanita hebat yang aku kenal.

Ah, Laniku yang ayu. Dia tidak tahu kalau suaminya ini sudah menduakan hati, bahkan sekarang sudah banyak kebohongan yang menanti. Pantaskah aku menyebut diri ini imam? Memimpin nafsu diri sendiri saja aku tak sanggup.

"Kok ngelamun, Mas?"

"Nggak apa-apa. Agak capek aja!" Jawabku dengan senyum terpaksa.

Selesai mandi, kulihat gawai tergeletak di kasur, perasaan tadi ada di atas nakas. Apa jangan-jangan Lani memeriksa gawaiku, tapi aku sudah menguncinya dengan kode yang tidak mungkin diketahui Lani, atau mungkin aku yang lupa. 

Kulihat ada beberapa pesan dan panggilan dengan nama Sofian. Sengaja kuberi nama itu supaya Lani tidak curiga. Sofi meminta sebelum kerja aku mampir ke kos. Rupanya ngambek tadi malam masih ada. Terpaksa aku segera menemuinya agar tidak menjadi perang dingin berkepanjangan. 

Aku meninggalkan Lani di meja makan, tatapan matanya menunjukkan kekecewaan, tapi aku bisa apa, besok kuusahakan pulang lebih awal dan memberinya kejutan. Maafkan Mas, Lan.

***

"Masih ingat aku rupanya?" tanya Sofi dengan nada ngambek.

"Sayangku yang cantik, sudah dong, jangan ngambek ya?" kutowel hidungnya, hal yang biasa aku lakukan pada Lani apabila ngambek.

Tangabku ditepis. Dia memunggungiku.

"Nggak usah ke sini kalau hatinya masih di sana!"

Aku garuk-garuk kepala, bingung, jurus apa lagi yang aku gunakan untuk membujuk.

Tiba-tiba gawai berdering. Salah satu teman menghubungi agar segera ke kantor. Mau tidak mau kukeluarkan jurus terakhir. Uang tinggal beberapa di dompet kuberikan padanya, dengan rayuan cincin akan segera kubelikan. Sofi tersenyum tipis. 

Akhirnya aku bernapas lega. Pamit padanya dengan diberikan ciuman mesra. 

***

[Mas? Pulang ke kos ya?]

[Iya, tapi Mas pulang dulu ke rumah ya?]

[Ya sudah, nggak usah ke sini sekalian!]

[Iya, iya, Mas ke sana]

Seharian aku ada di kos Sofi, bercengkrama, bersenda gurau. Mengintip gawai kalau-kalau Lani menghubungi, tapi tidak ada sama sekali.

Aku sudah mengerti kalau ngambek, beginilah Lani. Kuat tidak menghubungi ataupun berkomunikasi langsung, jadi lebih sering aku yang mengalah duluan mengajaknya ngobrol.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika aku sampai di rumah. Terlihat sepi. Aku memanggil namanya tapi tidak ada sahutan. Di dalam kamar, aku lihat dia berbaring memunggungi. Bahunya bergetar dengan suara tangis lirih tapi memilukan hati.

"Lan?" kupegangi bahunya pelan.

"Mas?" dia bangun kemudian mengusap air mata.

"Kenapa?" tanyaku gugup.

"Nggak, nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama Ibu dan Bapak," jawabnya dengan suara serak.

"Oh, kenapa nggak telepon?"

"Pengen meluk mereka Mas." tatapannya kosong ke arah jendela dengan air mata meleleh di pipi.

Aku peluk tubuhnya, dalam hati mengucap kata maaf berulang kali. Entahlah sampai kapan kebohongan ini aku tutupi. Maaf.

Dia menawariku makan dengan berderai air mata. Aku mengatakan supaya dia beristirahat saja, biar aku mengambil sendiri tak usah dilayani. Lani menurut, dia meminta maaf karena belum bisa menjadi istri yang sempurna. Aku usap air matanya dan mengatakan dia perempuan yang sempurna untukku. 

Lani berbaring, berusaha memejamkan mata. Entah apa yang membuatnya begitu sedih hingga menangis terus-terusan, tidak mungkin hanya karena kangen orang tuanya. Mungkinkah Lani mengetahui hubunganku dengan Sofi.

"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan.

"Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar.

"Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.

Aku mengangguk pasrah.

Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.

Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya. 

Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah sederhana ini. 

Waktu itu dia mengatakan kalau membangun rumah harus dengan tiga kamar, persiapan untuk anak-anak kami. Aku menyetujui. Dia bahkan tidak ragu untuk menjual perhiasan yang kuhadiahkan padanya. Demi rumah mungil yang kami inginkan.

Lani pandai menata rumah, kebutuhan rumah tangga pun dia atur sedemikian rupa. Hingga mempunyai tabungan yang lumayan. Dia jarang berkeluh kesah kalau tidak aku paksa untuk bercerita. Dia wanita hebat yang aku kenal.

Ah, Laniku yang ayu. Dia tidak tahu kalau suaminya ini sudah menduakan hati, bahkan sekarang sudah banyak kebohongan yang menanti. Pantaskah aku menyebut diri ini imam? Memimpin nafsu diri sendiri saja aku tak sanggup.

"Kok ngelamun, Mas?"

"Nggak apa-apa. Agak capek aja!" Jawabku dengan senyum terpaksa.

Selesai mandi, kulihat gawai tergeletak di kasur, perasaan tadi ada di atas nakas. Apa jangan-jangan Lani memeriksa gawaiku, tapi aku sudah menguncinya dengan kode yang tidak mungkin diketahui Lani, atau mungkin aku yang lupa. 

Kulihat ada beberapa pesan dan panggilan dengan nama Sofian. Sengaja kuberi nama itu supaya Lani tidak curiga. Sofi meminta sebelum kerja aku mampir ke kos. Rupanya ngambek tadi malam masih ada. Terpaksa aku segera menemuinya agar tidak menjadi perang dingin berkepanjangan. 

Aku meninggalkan Lani di meja makan, tatapan matanya menunjukkan kekecewaan, tapi aku bisa apa, besok kuusahakan pulang lebih awal dan memberinya kejutan. Maafkan Mas, Lan.

***

"Masih ingat aku rupanya?" tanya Sofi dengan nada ngambek.

"Sayangku yang cantik, sudah dong, jangan ngambek ya?" kutowel hidungnya, hal yang biasa aku lakukan pada Lani apabila ngambek.

Tangabku ditepis. Dia memunggungiku.

"Nggak usah ke sini kalau hatinya masih di sana!"

Aku garuk-garuk kepala, bingung, jurus apa lagi yang aku gunakan untuk membujuk.

Tiba-tiba gawai berdering. Salah satu teman menghubungi agar segera ke kantor. Mau tidak mau kukeluarkan jurus terakhir. Uang tinggal beberapa di dompet kuberikan padanya, dengan rayuan cincin akan segera kubelikan. Sofi tersenyum tipis. 

Akhirnya aku bernapas lega. Pamit padanya dengan diberikan ciuman mesra. 

***

[Mas? Pulang ke kos ya?]

[Iya, tapi Mas pulang dulu ke rumah ya?]

[Ya sudah, nggak usah ke sini sekalian!]

[Iya, iya, Mas ke sana]

Seharian aku ada di kos Sofi, bercengkrama, bersenda gurau. Mengintip gawai kalau-kalau Lani menghubungi, tapi tidak ada sama sekali.

Aku sudah mengerti kalau ngambek, beginilah Lani. Kuat tidak menghubungi ataupun berkomunikasi langsung, jadi lebih sering aku yang mengalah duluan mengajaknya ngobrol.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika aku sampai di rumah. Terlihat sepi. Aku memanggil namanya tapi tidak ada sahutan. Di dalam kamar, aku lihat dia berbaring memunggungi. Bahunya bergetar dengan suara tangis lirih tapi memilukan hati.

"Lan?" kupegangi bahunya pelan.

"Mas?" dia bangun kemudian mengusap air mata.

"Kenapa?" tanyaku gugup.

"Nggak, nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama Ibu dan Bapak," jawabnya dengan suara serak.

"Oh, kenapa nggak telepon?"

"Pengen meluk mereka Mas." tatapannya kosong ke arah jendela dengan air mata meleleh di pipi.

Aku peluk tubuhnya, dalam hati mengucap kata maaf berulang kali. Entahlah sampai kapan kebohongan ini aku tutupi. Maaf.

Dia menawariku makan dengan berderai air mata. Aku mengatakan supaya dia beristirahat saja, biar aku mengambil sendiri tak usah dilayani. Lani menurut, dia meminta maaf karena belum bisa menjadi istri yang sempurna. Aku usap air matanya dan mengatakan dia perempuan yang sempurna untukku. 

Lani berbaring, berusaha memejamkan mata. Entah apa yang membuatnya begitu sedih hingga menangis terus-terusan, tidak mungkin hanya karena kangen orang tuanya. Mungkinkah Lani mengetahui hubunganku dengan Sofi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cincin Kedua   Cincin Kedua (2)

    Cincin kedua akan memasuki sekuel kedua, selamat membaca.. 😊😊 Ketika Lani sudah mulai melupakan masa lalunya dengan Bobby, ternyata Bobby melakukan pendekatan dengan Lani kembali. Dia menyadari kalau masih mencintai dan menyayanginya. Apalagi sudah ada buah hati mereka. Lani merasa risih dengan Bobby, sehingga ia mulai menghindari. Walaupun tidak bisa dipungkiri kalau ia masih menyimpan rasa padanya. Ketika Lani sudah akan menyerah, Istri siri Bobby, yang dulu sudah pergi meninggalkan ternyata kembali dengan masalah baru, meminta pertanggung jawaban pada hal yang tak pernah ia lakukan. Selain itu, sesosok laki-laki datang mendekati dan nenyatakan cintanya. Apakah Lani akan kembali dengan Bobby, ataukah memilih membuka lembaran baru dengan laki-laki yang datang? Atau mungkin tidak memilih kedua-duanya?

  • Cincin Kedua   Bab 21

    Kita tidak akan tahu jalan kita akhirnya kemana. Satu yang pasti, masa lalu adalah pelajaran sedang masa depan adalah harapan. Jangan sampai kita terpaku hanya pada masa lalu tanpa adanya keinginan untuk memperbaiki masa depan. Dan jangan sampai pula kita hanya menatap masa depan tanpa melihat masa lalu sebagai cambukan.Mas Bobby, pernah menjadi suami terbaikku. Imam yang sangat aku segani. Dia juga pernah menjadi penjahat bagiku. Pembohong ulung yang sangat aku benci. Mungkin aku masih mencintainya, iya. Tapi aku tidak bisa berbohong kalau aku juga sangat membencinya. Dua hal yang bertolak belakang tapi mampu membuat hati seperti mati.Satu tahun perpisahan kami mungkin tidak akan cukup untuk melupakan kenangan indah atau buruk yang ada. Untungnya ada orang tua yang menemani. Kalau tidak, entah kemana otak ini. Stres berkepanjangan. Menghilangkan segala rasa, juga menghadapi dunia nyata bahwa aku menyandang status janda.Yudha, laki-lak

  • Cincin Kedua   Bab 20

    Baru satu jam berada di ruangan tanpa ada komunikasi itu sesuatu yang menjengahkan. Lani sepertinya sengaja tak menggubrisku sama sekali. Awal pertemuan, penengah menyuruh kami saling bertegur sapa, dia hanya menangkupkan tangan tanpa melihat.Pertanyaan demi pertanyaan terasa seperti angin lalu, aku menjawab hanya sekenanya saja. Pikiranku dipenuhi kenapa Lani berubah. Tatapanku tak ubahnya seekor elang yang mengejar mangsa. Lani terus menunduk.Di tengah mediasi, aku merasa gawai bergetar tidak berjeda di saku celana. Terpaksa aku mengeluarkannya. Aku ditegur tapi tak kugubris. Sofi menghubungi, tidak seperti biasanya. Walaupun manja, dia tidak akan seperti ini volume menghubungi.Aku hanya mendekatkan gawai di telinga. Terdengar suara kesakitan, Sofi berteriak meminta tolong agar aku segera pulang. Aku bingung, antara meneruskan atau kuhentikan di tengah acara mediasi ini.Sampai akhirnya aku memberanikan diri.

  • Cincin Kedua   Bab 19

    "Mas? Aku mau dibeliin baju yang itu dong?""Iya, besok Mas belikan. Mas belum gajian.""Mas nggak seru ah! Ini permintaan anak kita sepertinya. Pingin lihat ibunya tampil cantik di depan ayahnya.""Ya sudah, Mas telepon teman dulu, pinjam uang."🍒🍒🍒Satu bulan hidup dengan Sofi, hutangku ada di mana-mana. Memenuhi keinginannya yang diluar kendali. Tapi aku tidak bisa menolak. Setiap kali Sofi meminta dan merengek aku merasa harus menuruti.Seorang teman pernah berkata, hidupku seperti tidak bermakna. Berbeda dengan dulu. Wajahku sekarang kuyu, kusam dan menyedihkan. Kumis dan jambang tumbuh tidak beraturan.Ibu juga pernah menelepon memarahi. Sofi menghubungi beliau meminta jatah uang. Tapi tidak aku hiraukan ceritanya. Yang ada di pikiran adalah bagaimana cara mendapatkan uang supaya hari ini aku bisa memenuhi keinginan Sofi.🍒🍒🍒"Bob? Nanti sepulang kerja ikut aku!

  • Cincin Kedua   Bab 18

    "Bagaimana kabar pengajuanmu, Nduk? Ada kemajuan?" Tanya Ibu."Nggak tahu, Bu. Belum ada yang menghubungi masalah itu.""Ya sudah, kamu istirahat."Aku terpaksa pulang ke rumah orang tua, karena tidak mungkin aku tetap tinggal di rumah itu. Sudah satu bulan semenjak aku mengajukan permohonan cerai ke kantor, belum ada sama sekali yang menghubungi.Kamu sedang apa, Mas malam ini. Tidak dapat kupungkiri, aku masih mencintai. Kamu laki-laki pertama yang membuatku terkesan dengan semua lakumu. Sudah hampir satu bulan ini juga kamu tidak menghubungi, biasanya tiap menit selalu ada pesan masuk darimu. Ah, apa mungkin kamu sudah menerima atau mungkin kamu sudah rela dan melupakanku.Air mata setia menemani di setiap malamku. Untaian doa aku panjatkan setiap waktu. Aku ingin bahagiaku juga bahagiamu. Tapi untuk bersatu kembali, rasanya tidak mungkin. Kamu sudah cacat di hatiku.🍒🍒🍒[Halo, Lin? Besok

  • Cincin Kedua   Bab 17

    Limbung aku berjalan menuju rumah kontrakanku dengan Sofi. Begitu masuk, seperti biasa rumah berantakan. Aku baru menyadari kalau Sofi sangat berbeda dengan Lani.Niat untuk beristirahat malah jadi bersih-bersih. Entah kemana Sofi. Rumah tidak terkunci, sampah di sana sini. Piring kotor dimana-mana. Untungnya pundak sudah tidak begitu sakit, masih bisa dikompromi.Gawai Sofi tergeletak di bawah depan tivi. Aku mengambilnya kemudian meletakkan di atas kursi. Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk. Penasaran aku buka. Terdapat chat yang lumayan panjang.[Sof? Bagaimana? Polisi itu sudah bisa dihubungi?][Belum, Pak. Mungkin dia sudah mati!][Waah, kalau mati, Bapak sama Makmu nggak bisa beli sawah][Tenang, Pak. Aku masih punya cara lain. Anaknya kan masih aman di perut][Ya sudah, apa perlu ditambah lagi yang lebih dahsyat, supaya suamimu itu tambah klepek-klepek?][Boleh, Pak. Yang bisa ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status