Share

Bab 4

"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan.

"Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar.

"Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.

Aku mengangguk pasrah.

Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.

Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya. 

Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah sederhana ini. 

Waktu itu dia mengatakan kalau membangun rumah harus dengan tiga kamar, persiapan untuk anak-anak kami. Aku menyetujui. Dia bahkan tidak ragu untuk menjual perhiasan yang kuhadiahkan padanya. Demi rumah mungil yang kami inginkan.

Lani pandai menata rumah, kebutuhan rumah tangga pun dia atur sedemikian rupa. Hingga mempunyai tabungan yang lumayan. Dia jarang berkeluh kesah kalau tidak aku paksa untuk bercerita. Dia wanita hebat yang aku kenal.

Ah, Laniku yang ayu. Dia tidak tahu kalau suaminya ini sudah menduakan hati, bahkan sekarang sudah banyak kebohongan yang menanti. Pantaskah aku menyebut diri ini imam? Memimpin nafsu diri sendiri saja aku tak sanggup.

"Kok ngelamun, Mas?"

"Nggak apa-apa. Agak capek aja!" Jawabku dengan senyum terpaksa.

Selesai mandi, kulihat gawai tergeletak di kasur, perasaan tadi ada di atas nakas. Apa jangan-jangan Lani memeriksa gawaiku, tapi aku sudah menguncinya dengan kode yang tidak mungkin diketahui Lani, atau mungkin aku yang lupa. 

Kulihat ada beberapa pesan dan panggilan dengan nama Sofian. Sengaja kuberi nama itu supaya Lani tidak curiga. Sofi meminta sebelum kerja aku mampir ke kos. Rupanya ngambek tadi malam masih ada. Terpaksa aku segera menemuinya agar tidak menjadi perang dingin berkepanjangan. 

Aku meninggalkan Lani di meja makan, tatapan matanya menunjukkan kekecewaan, tapi aku bisa apa, besok kuusahakan pulang lebih awal dan memberinya kejutan. Maafkan Mas, Lan.

***

"Masih ingat aku rupanya?" tanya Sofi dengan nada ngambek.

"Sayangku yang cantik, sudah dong, jangan ngambek ya?" kutowel hidungnya, hal yang biasa aku lakukan pada Lani apabila ngambek.

Tangabku ditepis. Dia memunggungiku.

"Nggak usah ke sini kalau hatinya masih di sana!"

Aku garuk-garuk kepala, bingung, jurus apa lagi yang aku gunakan untuk membujuk.

Tiba-tiba gawai berdering. Salah satu teman menghubungi agar segera ke kantor. Mau tidak mau kukeluarkan jurus terakhir. Uang tinggal beberapa di dompet kuberikan padanya, dengan rayuan cincin akan segera kubelikan. Sofi tersenyum tipis. 

Akhirnya aku bernapas lega. Pamit padanya dengan diberikan ciuman mesra. 

***

[Mas? Pulang ke kos ya?]

[Iya, tapi Mas pulang dulu ke rumah ya?]

[Ya sudah, nggak usah ke sini sekalian!]

[Iya, iya, Mas ke sana]

Seharian aku ada di kos Sofi, bercengkrama, bersenda gurau. Mengintip gawai kalau-kalau Lani menghubungi, tapi tidak ada sama sekali.

Aku sudah mengerti kalau ngambek, beginilah Lani. Kuat tidak menghubungi ataupun berkomunikasi langsung, jadi lebih sering aku yang mengalah duluan mengajaknya ngobrol.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika aku sampai di rumah. Terlihat sepi. Aku memanggil namanya tapi tidak ada sahutan. Di dalam kamar, aku lihat dia berbaring memunggungi. Bahunya bergetar dengan suara tangis lirih tapi memilukan hati.

"Lan?" kupegangi bahunya pelan.

"Mas?" dia bangun kemudian mengusap air mata.

"Kenapa?" tanyaku gugup.

"Nggak, nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama Ibu dan Bapak," jawabnya dengan suara serak.

"Oh, kenapa nggak telepon?"

"Pengen meluk mereka Mas." tatapannya kosong ke arah jendela dengan air mata meleleh di pipi.

Aku peluk tubuhnya, dalam hati mengucap kata maaf berulang kali. Entahlah sampai kapan kebohongan ini aku tutupi. Maaf.

Dia menawariku makan dengan berderai air mata. Aku mengatakan supaya dia beristirahat saja, biar aku mengambil sendiri tak usah dilayani. Lani menurut, dia meminta maaf karena belum bisa menjadi istri yang sempurna. Aku usap air matanya dan mengatakan dia perempuan yang sempurna untukku. 

Lani berbaring, berusaha memejamkan mata. Entah apa yang membuatnya begitu sedih hingga menangis terus-terusan, tidak mungkin hanya karena kangen orang tuanya. Mungkinkah Lani mengetahui hubunganku dengan Sofi.

"Siapa Mas?" Sambil membawa makanannya ke meja makan.

"Nggak tahu Dek, komandan mungkin," jawabku asal, padahal hati berdebar-debar.

"Ya sudah, daripada mubazir, kita bagikan tetangga saja ya?" tawarnya.

Aku mengangguk pasrah.

Sementara Lani menyiapkan makanan yang akan dibagi, aku ke kamar dan menghubungi Sofi. Aku mengatakan lain kali tidak usah kirim apa-apa lagi. Tapi dia merajuk. Telepon segera ditutup tanpa ada kesempatan menjelaskan. Duh, pusing kalau sudah begini. Padahal aku tidak ingin Lani curiga pada hubungan kami.

Pagi ini seperti biasa, Lani menyiapkan semua kebutuhan, dari sarapan hingga baju kedinasan semua sudah tersedia. Aku termenung di dalam kamar. Mengingat kesetiaan dan kesabarannya. 

Rumah berukuran 8 x 10 ini menjadi saksi, di awal-awal aku menjadi polisi dan memperistri Lani. Dia rela mengikat pinggang, demi membangun rumah sederhana ini. 

Waktu itu dia mengatakan kalau membangun rumah harus dengan tiga kamar, persiapan untuk anak-anak kami. Aku menyetujui. Dia bahkan tidak ragu untuk menjual perhiasan yang kuhadiahkan padanya. Demi rumah mungil yang kami inginkan.

Lani pandai menata rumah, kebutuhan rumah tangga pun dia atur sedemikian rupa. Hingga mempunyai tabungan yang lumayan. Dia jarang berkeluh kesah kalau tidak aku paksa untuk bercerita. Dia wanita hebat yang aku kenal.

Ah, Laniku yang ayu. Dia tidak tahu kalau suaminya ini sudah menduakan hati, bahkan sekarang sudah banyak kebohongan yang menanti. Pantaskah aku menyebut diri ini imam? Memimpin nafsu diri sendiri saja aku tak sanggup.

"Kok ngelamun, Mas?"

"Nggak apa-apa. Agak capek aja!" Jawabku dengan senyum terpaksa.

Selesai mandi, kulihat gawai tergeletak di kasur, perasaan tadi ada di atas nakas. Apa jangan-jangan Lani memeriksa gawaiku, tapi aku sudah menguncinya dengan kode yang tidak mungkin diketahui Lani, atau mungkin aku yang lupa. 

Kulihat ada beberapa pesan dan panggilan dengan nama Sofian. Sengaja kuberi nama itu supaya Lani tidak curiga. Sofi meminta sebelum kerja aku mampir ke kos. Rupanya ngambek tadi malam masih ada. Terpaksa aku segera menemuinya agar tidak menjadi perang dingin berkepanjangan. 

Aku meninggalkan Lani di meja makan, tatapan matanya menunjukkan kekecewaan, tapi aku bisa apa, besok kuusahakan pulang lebih awal dan memberinya kejutan. Maafkan Mas, Lan.

***

"Masih ingat aku rupanya?" tanya Sofi dengan nada ngambek.

"Sayangku yang cantik, sudah dong, jangan ngambek ya?" kutowel hidungnya, hal yang biasa aku lakukan pada Lani apabila ngambek.

Tangabku ditepis. Dia memunggungiku.

"Nggak usah ke sini kalau hatinya masih di sana!"

Aku garuk-garuk kepala, bingung, jurus apa lagi yang aku gunakan untuk membujuk.

Tiba-tiba gawai berdering. Salah satu teman menghubungi agar segera ke kantor. Mau tidak mau kukeluarkan jurus terakhir. Uang tinggal beberapa di dompet kuberikan padanya, dengan rayuan cincin akan segera kubelikan. Sofi tersenyum tipis. 

Akhirnya aku bernapas lega. Pamit padanya dengan diberikan ciuman mesra. 

***

[Mas? Pulang ke kos ya?]

[Iya, tapi Mas pulang dulu ke rumah ya?]

[Ya sudah, nggak usah ke sini sekalian!]

[Iya, iya, Mas ke sana]

Seharian aku ada di kos Sofi, bercengkrama, bersenda gurau. Mengintip gawai kalau-kalau Lani menghubungi, tapi tidak ada sama sekali.

Aku sudah mengerti kalau ngambek, beginilah Lani. Kuat tidak menghubungi ataupun berkomunikasi langsung, jadi lebih sering aku yang mengalah duluan mengajaknya ngobrol.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika aku sampai di rumah. Terlihat sepi. Aku memanggil namanya tapi tidak ada sahutan. Di dalam kamar, aku lihat dia berbaring memunggungi. Bahunya bergetar dengan suara tangis lirih tapi memilukan hati.

"Lan?" kupegangi bahunya pelan.

"Mas?" dia bangun kemudian mengusap air mata.

"Kenapa?" tanyaku gugup.

"Nggak, nggak apa-apa. Cuma kangen aja sama Ibu dan Bapak," jawabnya dengan suara serak.

"Oh, kenapa nggak telepon?"

"Pengen meluk mereka Mas." tatapannya kosong ke arah jendela dengan air mata meleleh di pipi.

Aku peluk tubuhnya, dalam hati mengucap kata maaf berulang kali. Entahlah sampai kapan kebohongan ini aku tutupi. Maaf.

Dia menawariku makan dengan berderai air mata. Aku mengatakan supaya dia beristirahat saja, biar aku mengambil sendiri tak usah dilayani. Lani menurut, dia meminta maaf karena belum bisa menjadi istri yang sempurna. Aku usap air matanya dan mengatakan dia perempuan yang sempurna untukku. 

Lani berbaring, berusaha memejamkan mata. Entah apa yang membuatnya begitu sedih hingga menangis terus-terusan, tidak mungkin hanya karena kangen orang tuanya. Mungkinkah Lani mengetahui hubunganku dengan Sofi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status