Semua mata tertuju pada lelaki yang berdiri di depan pintu. Pak Aziz melangkah mendekat, kilatan kemarahan terpancar dari matanya. Sikap lelaki itu membuat nyali wanita yang hampir menamparku menciut. "Ma--Mas Aziz," panggilnya terbata. "Apa yang kamu lakukan, Trisha? Ini kantor, bukan lapangan." "Dia yang mulai, bukan aku!" pekiknya seraya menunjuk ke arahku. Melongo kala kudengar ucapannya. Aku? Kenapa aku? Bukankah harusnya dia yang disalahkan karena masuk ke ruangan lalu membuat keributan. Ah, dasar wanita bertopeng kuda. "Wait... Aku kamu bilang? Jelas-jelas kamu yang datang dan membuat keributan di sini. Apa mau lihat rekaman CCTV?" Trisha melotot, habis saja bola matanya copot. "Kamu yang mulai, kamu perebut pacar orang!""Ck!" Aku menutup mulut, menahan tawa yang hampir meledak. Perebut pacar orang? Apa dia sedang amnesia? "Kenapa tertawa? Benar, kan, kamu itu wanita murah*n. Kamu perebut lelaki orang.""Trisha hentikan!"Bukannya berhenti, wanita itu terus menggila. Ca
Setelah melakukan pertimbangan aku pun memutuskan untuk pergi ke rumah ibu Aminah. Khawatir, perasaan itu akan terus menghantuiku. Hingga aku membuktikan sendiri, bagaimana keadaan beliau saat ini. "Pakai ini, Ra." Rio memberikan jaketnya padaku. "Tapi ini punya kamu, Rio." Aku kembalikan jaket berwarna biru tua padanya. "Jangan ngeyel, jarak sini ke rumah mantan mertua kamu jauh, Ra. Udara juga semakin dingin. Kamu juga gak pakai jaket, kan? Nanti kalau kamu sakit, gimana?" Rio kembali memberikan jaket itu. "Tapi, Rio....""Gak usah tapi-tapi, ayo berangkat! Keburu malem pulangnya."Aku segera menjalankan motor menuju rumah Mas Toni. Rio masih setia mengikutiku di belakang. Dia ngotot ingin mengantarkan aku ke sana. Katanya tak tega melihatku ke sana seorang diri. Meski nyatanya kita jalan sendiri-sendiri. Dari kejauhan terdengar azan magrib berkumandang. Aku dan Rio pun mencari masjid terdekat sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Rio segera berwudhu dan ikut jamaah salat m
Satu sudut bibirku tertarik ke atas,tersenyum mengejek ke arahnya. Rio penyebabnya? Apa dia sedang lupa ingatan? Tak sadar dengan perbuatannya kemarin? "Kamu bilang apa, Mas? Rio penyebabnya ... Aku tidak salah dengar, kan?""Tidak, memang dia penyebab kamu menggugat cerai aku, kan."Aku beranjak, melangkah mendekati Mas Toni yang masih berdiri mematung. Sempat kulihat sorot kekhawatiran dari mata Rio. Namun aku menepisnya, membiarkan rasa penasaran membelenggunya. Berdiri tegak, tepat di depan Mas Toni. Mantan suamiku itu tersenyum, seolah menyambut kedatanganku. "Kamu tidak demam, kan, Mas?" Aku sentuh dahinya. "Tidak panas, tapi ucapannya ngelantur. Kamu sehat?"Mas Toni mengepalkan tangan di samping. Giginya gemeretak, amarah sudah memenuhi rongga dadanya. Namun aku tak peduli, karena seharusnya aku yang marah di sini. Bukan dia. Lelaki itu pun berjalan mendahuluiku, ia berdiri tepat di samping ibu. Kemudian menatap tajam padaku. "Kenapa? Marah? Bukankah ucapanku benar?""Ka
"Aku tak lagi bercanda, Fatimah Zahra. Aku ingin menjadikanmu ratu dalam istana hatiku. Aku ingin kamu menjadi ibu untuk anak-anak kita kelak. Merajut mahligai pernikahan yang hanya ada kamu dan aku." Pak Aziz menatapku lekat. Aku lihat sorot kejujuran di sana. Namun entah mengapa aku tak percaya. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Wanita yang duduk di sampingku itu tampak kebingungan. Beberapa kali menatapku penuh tanda tanya. Aku sendiri memilih diam, bingung harus menjawab apa. "Saya meminta Fatimah untuk menjadi istri saya. Apa Bapak mengizinkan?" tanyanya lagi karena aku membisu, tenggelam dalam rasa kebimbangan. "Saya menyerahkan semua keputusan pada Fatimah, Nak Aziz dan ibu." Bapak menatapku, "bagaimana, Nduk? Kamu menerima lamarannya atau tidak?"Perlahan aku mengatur napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Kembali kutatap Pak Aziz. Lelaki itu menatapku penuh harap. "Bagaimana, Ara? Kamu menerima lamaranku, kan?""Maaf, Pak Aziz. Saya belum siap menikah lag
"Siapa, Fat?" tanya Mbak Mimi dan Hani bersamaan. Keduanya menyikut lenganku. Tak lupa sorot tanda tanya tergambar jelas di mata keduanya. "Kenalkan saya Toni, mantan suami Fatimah."Tangan mengepal di samping. Dalam hati beristigfar, agar amarah tak meledak. Ah, kenapa juga harus bertemu lagi dengan Mas Toni? Di tempat ini pula. "Beneran, Fat?"Sebuah anggukan seketika membungkam pertanyaan mereka. "Sekarang kamu kerja di sini, Fat?" tanyanya seraya mendekat ke arahku. "Iya, permisi, aku buru-buru!" Aku membalikkan badan, dengan cepat melangkah meninggalkan lobi kantor. Aku terdiam beberapa saat di atas motor. Mengatur napas yang terasa sesak. Lagi sebuah tanda tanya tergambar jelas di kepala. Namun entah kutanyakan pada siapa. Apa kepala Dia yang Maha Mengetahui segalanya. Tetapi aku bisa apa... Jika kenyataannya skenario ini yang harus kumainkan. Aku hanya lelah, bertatap muka dengannya untuk beberapa waktu yang cukup lama. Pengkhianatan yang ia berikan menjadikan luka yang s
"Kamu mau makan dengan siapa, Ra? Aku atau dia?" tanya Pak Aziz seraya menunjuk Mas Toni. "Maaf, aku mau makan dengan teman-temanku saja. Permisi," ucapku seraya menarik tangan Mbak Mimi. Kami berjalan tergesa menuju lantai bawah. Meninggalkan dua lelaki yang masih berdiri di dekat pintu. Aku tahu mereka menatapku tapi aku pura-pura tak mengetahuinya. "Gila, keduanya ngejar kamu, Fat.""Satu pengen rujuk, satunya pengen jadian. Mau pilih mana?" tanya Mbak Mimi saat kami berada di kantin kantor. Aku menghela napas, bingung harus menanggapi bagaimana. Jika mereka tahu Rio juga menaruh hati padaku. Entah bagaimana ekspresi mereka nanti. Terkejut apa mungkin pingsan? "Gak bisa mikir aku, Mbak. Aku pengennya sendiri dulu. Trauma dikhianati.""Tapi gak semua lelaki seperti mantan suami kamu, Fat."Aku mengangguk, memang tak semua lelaki sama. Namun tak menjamin Pak Aziz atau Rio tak melakukan yang hal yang sama. Aku hanya membutuhkan waktu untuk kembali percaya dengan lelaki. Kami men
"Kamu mau apa, Mas?" Aku mundur beberapa langkah hingga punggung menempel di dinding kamar. Mas Toni tersenyum menyeringai, melangkah mendekat padaku. "Kamu tidak merindukan aku, Fat? Bukankah sudah lama kita tidak melakukannya? Aku saja sangat merindukan setiap sentuhan yang selalu kamu berikan, dulu.""Pergi! Jangan mendekat!" Aku lempar bantal, guling dan semua barang yang ada di sekitarku. Namun Mas Toni dengan lihai menangkis setiap seranganku. "Percuma, Fat. Kamu lupa seperti apa aku ini."Aku menelan ludah dengan susah payah. Pikiran buruk seketika mendominasi. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Bagaimana kuhajar setan berwujud manusia itu? "Istighfar, Mas. Aku dan kamu sudah berpisah. Tak seharusnya kamu melakukan ini.""Aku tak perduli, Fatimah. Aku hanya ingin kamu. Kenapa kamu semakin menarik setelah kita berpisah? Kenapa tak dari dulu, saat kamu masih menjadi istriku?" "Bagaimana mau cantik, jika kamu hanya memberi nafkah seuprit. Kamu biarkan aku mengurus ini dan it
"Apa-apaan ini, Bu?" Aku lirik wanita di sebelahku. Namun dia justru memintaku diam."Mari masuk, Bu," ucap ibu ramah. Pak Aziz menyalami kedua orang tuaku dengan ramah, tak lupa mencium punggung tangan mereka dengan takzim. Aku melongo saat memperhatikan tingkah mereka. Di sini aku seperti penonton, tak tahu cerita yang tengah dipertontonkan. Kali ini bukan hanya Pak Aziz dan Bu Saida. Ada pula dua orang wanita yang datang membawa buah tangan. Dari raut wajah, mereka berdua masih remaja, mungkin sekitar tujuh belas dan dua puluhan. Namun aku tak tahu siapa mereka. Kami duduk saling berhadapan. Entah kenapa perasaanku tak enak. Ini seperti acara lamaran, bukan bertamu pada umumnya. "Perkenalkan ini Sahkila dan Salwa," ucapnya seraya menunjuk dua gadis yang duduk di sebelah kanan dan kirinyaGadis yang berumur dua puluhan itu bernama Sahkila, dan yang satunya bernama Salwa. Keduanya adalah adik kandung Pak Aziz. Baru kali ini aku tahu, karena memang kami tak saling kenal sebelumnya