Share

Pergi ke Jakarta

last update Last Updated: 2023-05-31 19:28:54

Aku melangkah gontai meninggalkan kantor pegadaian. Lemas, kenyataan yang baru saja kulihat bak halilintar yang menyambar. Kemudian membuatku terkapar,mati dengan rasa penasaran dalam hati.

"Sudah, Fat?"

Aku mengangguk, tapi kaki masih saja terpatri. Panggilan Afifah bak angin lalu. Dalam benakku hanya terisi sebuah cincin palsu hadiah ulang tahun pernikahan dua bulan lalu.

"Kamu kenapa, Fat?"

Sebuah sentuhan menyentakku. Aku terperanjat hampir terjatuh di tanah. Gerakan refleks tepat waktu membuatku terselamatkan dari perasaan malu yang membelenggu seumur hidup.

"Ngalamun wae! Kenapa sih, Fat?"

Aku menghela napas, membiarkan rasa marah menghilang. Namun ternyata tak bisa. Aku, Fatimah Zahra, wanita yang paling benci dengan sebuah kebohongan. Sekali pun itu hal sepele.

Apa susahnya berkata jika cincin itu bukan emas. Aku tak akan mempermasalahkan, bagiku lebih baik cincin plastik tapi jujur. Karena kejujuran adalah kunci dalam sebuah hubungan. Harga mati yang tidak bisa ditawar.

"Fatimah! Busyet... Itu telinga apa pegangan panci? Dari tadi ditanya diam terus," omel Afifah.

"Kita pulang saja, Fah. Aku pusing."

Aku melangkah hendak naik di jok belakang. Namun tarikan tangan Afifah menghentikan gerakanku.

"Cerita, ada masalah apa? Harus pakai kwitansi atau surat cincin emas?"

"Bukan."

"Lalu kenapa?"

Aku diam, apa harus kukatakan sekarang? Aku butuh solusi dari orang lain. Tapi bukannya memalukan?

"Kamu gak percaya sama aku?"

"Cincinnya palsu, Fah."

"Apa!"

Hening, sepanjang jalan kami hanya diam. Aku tenggelam dalam rasa bimbang, tak tahu harus bagaimana? Pikiran selalu dipenuhi oleh cincin palsu.

"Kamu yakin Toni gak selingkuh, Fat?" tanya Afifah saat berhenti di depan rumah.

Selingkuh. Kata itu memang sempat terbersit di kepala. Namun segera kutepis, mungkin Mas Toni memiliki alasan lain. Tapi apa, aku pun tak tahu.

"Diam, kan? Toni pasti selingkuh, dia selalu mengirim uang sedikit, sudah lama tidak pulang. Bahkan menitipkan ibunya pada kamu. Anak dan suami macam apa dia, Fat?"

"Mungkin dia sedang ada keperluan lain."

"Keperluan untuk gundiknya sampai istrinya dibelikan cincin palsu. Sesekali kamu harus ke sana, Fat. Memastikan omongan aku benar atau tidak."

Aku diam, tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya perkataan Afifah yang kini memenuhi pikiranku. Curiga tengah bersemayam, bahkan mulai mengakar.

Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Jujur rasa percayaku hilang, meninggalkan kecurigaan di hati.

"Tapi aku gak punya uang, Fah. Jangankah untuk ke Jakarta, untuk makan saja gak punya." Aku menunduk, menahan sesak yang hampir meledak.

"Aku akan bantu jaga Bu Aminah, Fat. Kamu jangan pikirkan itu."

"Akan aku pikirkan, Fah."

Aku melangkah gontai masuk ke rumah. Kali ini kata apa yang harus aku ucapkan untuk menjawab pertanyaan ibu.

Pintu kubuka dengan hati-hati, berharap ibu sudah terlelap dengan perut kosong. Namun dugaanku salah. Ibu sudah menunggu di ruang tamu. Duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan.

"Kamu sudah pulang, Nduk? Sudah dapat berasnya?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana aku bisa mengatakan jika tak memiliki apa pun? Sementara Ibu sudah menunggu sejak tadi. Berharap membawa beras. Namun nyatanya hanya angin yang mengikuti langkahku.

"Fatimah be...."

TIN... TIN....

Suara klakson motor menghentikan ucapanku.

"Fatimah keluar dulu, Bu."

Aku segera keluar, melihat seseorang yang membuat keributan.

Afifah duduk di atas motor sambil tersenyum. Bukankah ia sudah pulang? Kenapa datang lagi?

"Aku sudah bilang akan memikirkannya, Fah. Sabar. Belum juga lima menit sudah ditagih jawabannya." Aku mendengus kesal.

Afifah beranjak, mendekat sambil membawa kantung plastik berwarna hitam.

"Ini buat sarapan merangkap makan siang. Kasihan ibu Aminah kelaparan dari tadi." Afifah memberikan kantung plastik itu padaku.

Seketika kupeluk tubuh wanita itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Entah bagaimana nasib kami tanpa dia, sahabatku.

"Makasih, Fah. Aku gak tahu gimana cara membalas semua kebaikan kamu," ucapku dengan linangan air mata membasahi pipi.

"Pergi temui Toni, Fat. Biar aku juga tenang."

Aku mengangguk, meski belum memiliki uang sepeser pun.

"Sudah masuk sana, kasihan Ibu kamu. Aku pulang dulu," ucapnya lalu pergi.

Suara motor menjauh meninggalkan halaman rumah kami. Aku bernapas lega, setidaknya satu hari ini kami tidak akan kelaparan. Entah besok, sepertinya aku harus bekerja. Namun bagaimana nasib Ibu?

Segera aku masuk ke rumah, mengambil piring dan segelas air putih.

"Makan dulu, Bu." Aku meletakkan piring plastik di pangkuan ibu.

"Makasih, ya, Nduk."

"Iya, Bu."

Ibu memasukkan nasi dengan lauk oseng tempe ke mulutnya. Dalam sekejap nasi dalam piring itu telah habis. Meski ada sedikit butiran nasi di sana sini. Maklum ibu tak bisa melihat. Beliau juga tidak mau disuapi.

"Kamu sudah selesai makan, Nduk?"

"Sudah, Bu. Ibu mau diantar ke kamar?"

Wanita itu mengangguk, tangannya meraba kursi, mencari tongkat kayu yang ia letakkan tak jauh dari tempatnya duduk. Tongkat itu adalah alat bantu agar ibu bisa berjalan tanpa menabrak sesuatu.

Aku segera berdiri, menggandeng tangan ibu dan menuntunnya menuju kamar. Aku bak mata baginya, kepergianku akan membuat hidupnya semakin gelap. Apa aku sanggup meninggalkan ibu untuk bekerja?

"Ibu duduk di ranjang?"

"Kamu saja, ibu mau cari sesuatu."

"Mau Fatimah bantu, Bu?"

"Kamu gak tahu. Sudah duduk saja, Nduk. Jangan pergi ke mana-mana, ya?"

Aku duduk di atas kasur kapuk yang mulai terasa keras. Mata ini fokus menatap depan, melihat setiap gerakan tangan wanita itu. Ibu meraba di bawah tumpukan baju yang sudah berantakan itu. Baru beberapa hari yang lalu kutata rapi. Namun sekarang sudah tidak berbentuk lagi.

Lelah saat mengerjakan rutinitas yang sama dan berulang. Namun sudah menjadi kewajibanku sebagai istri dan menantu.

"Nduk," panggil Ibu.

"Di sini, Bu."

Wanita itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah kotak berwarna coklat. Kotak perhiasan dengan model lama.

"Fat." Ibu meraba kasur, tersenyum saat menemukan tangan kananku.

"Ada apa, Bu."

Ibu membuka kotak dengan tangan kananya. Sebuah kalung emas ia keluarkan dari sana.

"Ini untuk kamu, Nduk."

"Ini punya Ibu. Disimpan saja, Bu. Fatimah tidak berhak menerimanya."

Wanita itu menggelengkan kepala, memaksaku untuk menerima kalung emas itu.

"Pergilah ke Jakarta dengan ini, Nduk. Ibu sudah mendengar percakapan kalian. Tolong maafkan Toni."

DEG

Jantungku dipacu lebih cepat, rasa bersalah seketika menelusup dalam hati. Bodoh, kenapa aku lupa jika ada ibu di dalam rumah.

"I-ibu mendengar ucapan kami barusan?"

"Iya, maka pergilah ke sana, Nduk. Pastikan jika ucapan orang-orang itu tidak benar. Tapi jika itu benar...."

Ibu tak melanjutkan kata-katanya, dadanya bergetar, tangisnya pecah.

"Maafkan Toni, Nduk karena memberi cincin palsu untukmu."

Aku mengangguk, memeluk tubuh ibu erat. Tunggu, Mas aku akan datang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ending

    Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ungkapan Hati

    Aku masih membisu, menatap Rio dan wanita itu bergantian. Entah kenapa ada yang berdenyut di hati ini. Cemburu. Ya, rasa itu hadir tanpa diminta tapi mampu menyesakkan dada. "Ada perlu apa, Ra?" tanya Rio lagi. Kembali kutatap perempuan yang bergelayut manja di lengan Rio. Tak dapatkah mereka melakukan di dalam, bukan di hadapanku. Pantas saja Rio tak mau menemuiku, dia saja asyik pacaran. "Tidak jadi. Aku permisi, Rio!"Aku pun beranjak pergi, percuma datang kemari jika akhirnya hanya kecewa yang aku dapatkan. Ternyata cinta yang tawarkan telah luntur. Tak membara seperti saat ia mengatakannya. Ah, lelaki sama saja. "Zahra!" teriak Rio. Aku menoleh, namun kembali kulangkahkan kaki menuju tempat motorku terparkir rapi. Lebih baik segera pergi dari sini. Karena aku tak sanggup membayangkan kemesraan Rio dan wanita itu. Mereka begitu serasi. Tuhan kenapa aku tak rela? Motor segera kulajukan perlahan meninggalkan halaman restoran Rio. Sempat kulihat Rio dari pantulan kaca spion. Di

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Menemui Rio

    "Rio!" teriakku, tapi dia terus saja berlari. Aku beranjak meninggalkan Mas Aziz. Mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Aku ciumi bunga itu. Sesak, hingga air mata berlomba-lomba turun membasahi pipiku. Tak berapa lama terdengar suara mobil menjauh. Rio telah pergi dengan rasa kecewa yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa ada sesak yang singgah dalam hati ini. "Kamu gak papa, Ra?" tanya Mas Aziz yang sudah berdiri di sampingku. Dia tatap diriku penuh tanda tanya. "Gak papa, Mas. Apa sudah selesai? Aku ingin pulang."Lelaki itu mengangguk, kemudian mengajakku berjalan menuju mobilnya. Aku hanya diam seraya mengikuti gerakan kakinya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tenggelam dalam rasa bersalah. Perlahan kendaraan roda empat Mas Aziz melaju, meninggalkan kantor polisi. Hening, aku justru asyik menatap buket bunga berwarna putih ini. Mengabaikan Mas Aziz yang beberapa kali menatap padaku. Entah rasa apa yang mulai singgah di hatiku. Tak bisa k

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Kecewa

    Pov RioTerdiam, aku tidak salah dengar, kan? Aziz bilang rekaman CCTV? Dia tidak sedang mempermainkan aku, kan? "Hallo, Rio... Kamu masih di situ, kan?""Eh, iya.""Besok kita ke kantor polisi, Rio. Aku tunggu di sana.""Siapa dalangnya?""Besok di kantor polisi."Aku membuang napas kasar, kesal dengan jawaban lelaki itu. Apa susahnya bilang sekarang? Takut aku menghajar orang itu. Ah, bukan hanya kuhajar, tapi akan kuseret ke dalam penjara. Enak saja dia menyakiti wanitaku. Diam, kutatap gelapnya langit tanpa cahaya bulan. Sama sepertiku yang terasa hampa tanpa pesan dari Zahra. Ah, beginikah rasanya cinta tanpa balasan. Menyiksa. Angin malam terasa menusuk tulang. Namun kaki enggan diajak melangkah, masuk ke dalam. Lagi dan lagi bayang Zahra menyita perhatian. Sedang apa dia? Ah, pasti sangat ketakutan. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Bagiku tangis Zahra adalah luka yang tak bisa disembuhkan. Suara nyamuk mengusik ketenangan lamunanku. Serangga kecil itu terus terbang

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Bukti

    POV Rio"Ini laporan yang Pak Rio minta," ucap Rika seraya memberikan laporan keuangan yang baru saja kuminta. "Makasih, Rik."Seulas senyum kuberikan pada wanita itu. Sebagai seorang pemimpin mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum adalah kewajiban. Karena bagiku karyawan bukan bawahan melainkan rekan kerja untuk memajukan suatu usaha. Papa mengajarkan untuk selalu menghargai orang lain. Bahkan tak membedakan orang karena status sosial. Itu yang membuatku memiliki banyak teman. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" tanya Rika lagi. "Tolong buatkan kopi, Rik. Jangan terlalu manis."Rika menganggukkan kepala. Segera ia berjalan meninggalkan ruangan ini. Hingga akhirnya ia menghilang dari balik pintu. Aku mengambil laporan yang ada di atas meja. Aku baca setiap kata dan angka yang tertulis di kertas berwarna putih itu. Tanpa terasa sudut bibir tertarik ke atas. Laba restoran meningkat banyak bulan ini. Semua tak luput dari bantuan Zahra. Dia berkomentar ini dan itu, mengkri

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Penangkapan Fatimah

    "Are you okay, Ra?" tanya Rio saat aku diam membisu. "Gak papa, capek aja, Rio. Ngomong-ngomong makasih karena sudah membelaku tadi."Lelaki itu tersenyum hingga nampak gigi putih. "Aku akan menjadi benteng untuk kamu, Ra.""Emang aku sedang perang apa?" Aku mengerucutkan bibir. Rio hanya tersenyum, kemudian kembali melajukan mobilnya menuju rumah. Tak banyak percakapan di antara kami. Aku justru tenggelam dalam rasa sakit yang tiada bertepi. "Aku kecewa sama kamu, Ra!"Kalimat itu terus saya terngiang. Hingga menciptakan rasa kesal dalam dada. Percuma hati ini kembali kubuka, tapi nyatanya hanya menciptakan lara. Perlahan aku atur napas, berusaha menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Ternyata keputusan meninggalkan Mas Aziz yang terbaik. Percuma menjalin suatu hubungan tanpa dasar kepercayaan. "Mau turun atau pulang bersamaku, Ra?" Aku tersentak, menoleh sekitar. Benar saja, kami sudah berhenti di depan rumah. Rio pasti tahu aku tengah melamun. Hingga masih duduk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status