Share

Pergi ke Jakarta

Aku melangkah gontai meninggalkan kantor pegadaian. Lemas, kenyataan yang baru saja kulihat bak halilintar yang menyambar. Kemudian membuatku terkapar,mati dengan rasa penasaran dalam hati.

"Sudah, Fat?"

Aku mengangguk, tapi kaki masih saja terpatri. Panggilan Afifah bak angin lalu. Dalam benakku hanya terisi sebuah cincin palsu hadiah ulang tahun pernikahan dua bulan lalu.

"Kamu kenapa, Fat?"

Sebuah sentuhan menyentakku. Aku terperanjat hampir terjatuh di tanah. Gerakan refleks tepat waktu membuatku terselamatkan dari perasaan malu yang membelenggu seumur hidup.

"Ngalamun wae! Kenapa sih, Fat?"

Aku menghela napas, membiarkan rasa marah menghilang. Namun ternyata tak bisa. Aku, Fatimah Zahra, wanita yang paling benci dengan sebuah kebohongan. Sekali pun itu hal sepele.

Apa susahnya berkata jika cincin itu bukan emas. Aku tak akan mempermasalahkan, bagiku lebih baik cincin plastik tapi jujur. Karena kejujuran adalah kunci dalam sebuah hubungan. Harga mati yang tidak bisa ditawar.

"Fatimah! Busyet... Itu telinga apa pegangan panci? Dari tadi ditanya diam terus," omel Afifah.

"Kita pulang saja, Fah. Aku pusing."

Aku melangkah hendak naik di jok belakang. Namun tarikan tangan Afifah menghentikan gerakanku.

"Cerita, ada masalah apa? Harus pakai kwitansi atau surat cincin emas?"

"Bukan."

"Lalu kenapa?"

Aku diam, apa harus kukatakan sekarang? Aku butuh solusi dari orang lain. Tapi bukannya memalukan?

"Kamu gak percaya sama aku?"

"Cincinnya palsu, Fah."

"Apa!"

Hening, sepanjang jalan kami hanya diam. Aku tenggelam dalam rasa bimbang, tak tahu harus bagaimana? Pikiran selalu dipenuhi oleh cincin palsu.

"Kamu yakin Toni gak selingkuh, Fat?" tanya Afifah saat berhenti di depan rumah.

Selingkuh. Kata itu memang sempat terbersit di kepala. Namun segera kutepis, mungkin Mas Toni memiliki alasan lain. Tapi apa, aku pun tak tahu.

"Diam, kan? Toni pasti selingkuh, dia selalu mengirim uang sedikit, sudah lama tidak pulang. Bahkan menitipkan ibunya pada kamu. Anak dan suami macam apa dia, Fat?"

"Mungkin dia sedang ada keperluan lain."

"Keperluan untuk gundiknya sampai istrinya dibelikan cincin palsu. Sesekali kamu harus ke sana, Fat. Memastikan omongan aku benar atau tidak."

Aku diam, tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya perkataan Afifah yang kini memenuhi pikiranku. Curiga tengah bersemayam, bahkan mulai mengakar.

Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Jujur rasa percayaku hilang, meninggalkan kecurigaan di hati.

"Tapi aku gak punya uang, Fah. Jangankah untuk ke Jakarta, untuk makan saja gak punya." Aku menunduk, menahan sesak yang hampir meledak.

"Aku akan bantu jaga Bu Aminah, Fat. Kamu jangan pikirkan itu."

"Akan aku pikirkan, Fah."

Aku melangkah gontai masuk ke rumah. Kali ini kata apa yang harus aku ucapkan untuk menjawab pertanyaan ibu.

Pintu kubuka dengan hati-hati, berharap ibu sudah terlelap dengan perut kosong. Namun dugaanku salah. Ibu sudah menunggu di ruang tamu. Duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan.

"Kamu sudah pulang, Nduk? Sudah dapat berasnya?"

Aku menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana aku bisa mengatakan jika tak memiliki apa pun? Sementara Ibu sudah menunggu sejak tadi. Berharap membawa beras. Namun nyatanya hanya angin yang mengikuti langkahku.

"Fatimah be...."

TIN... TIN....

Suara klakson motor menghentikan ucapanku.

"Fatimah keluar dulu, Bu."

Aku segera keluar, melihat seseorang yang membuat keributan.

Afifah duduk di atas motor sambil tersenyum. Bukankah ia sudah pulang? Kenapa datang lagi?

"Aku sudah bilang akan memikirkannya, Fah. Sabar. Belum juga lima menit sudah ditagih jawabannya." Aku mendengus kesal.

Afifah beranjak, mendekat sambil membawa kantung plastik berwarna hitam.

"Ini buat sarapan merangkap makan siang. Kasihan ibu Aminah kelaparan dari tadi." Afifah memberikan kantung plastik itu padaku.

Seketika kupeluk tubuh wanita itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Entah bagaimana nasib kami tanpa dia, sahabatku.

"Makasih, Fah. Aku gak tahu gimana cara membalas semua kebaikan kamu," ucapku dengan linangan air mata membasahi pipi.

"Pergi temui Toni, Fat. Biar aku juga tenang."

Aku mengangguk, meski belum memiliki uang sepeser pun.

"Sudah masuk sana, kasihan Ibu kamu. Aku pulang dulu," ucapnya lalu pergi.

Suara motor menjauh meninggalkan halaman rumah kami. Aku bernapas lega, setidaknya satu hari ini kami tidak akan kelaparan. Entah besok, sepertinya aku harus bekerja. Namun bagaimana nasib Ibu?

Segera aku masuk ke rumah, mengambil piring dan segelas air putih.

"Makan dulu, Bu." Aku meletakkan piring plastik di pangkuan ibu.

"Makasih, ya, Nduk."

"Iya, Bu."

Ibu memasukkan nasi dengan lauk oseng tempe ke mulutnya. Dalam sekejap nasi dalam piring itu telah habis. Meski ada sedikit butiran nasi di sana sini. Maklum ibu tak bisa melihat. Beliau juga tidak mau disuapi.

"Kamu sudah selesai makan, Nduk?"

"Sudah, Bu. Ibu mau diantar ke kamar?"

Wanita itu mengangguk, tangannya meraba kursi, mencari tongkat kayu yang ia letakkan tak jauh dari tempatnya duduk. Tongkat itu adalah alat bantu agar ibu bisa berjalan tanpa menabrak sesuatu.

Aku segera berdiri, menggandeng tangan ibu dan menuntunnya menuju kamar. Aku bak mata baginya, kepergianku akan membuat hidupnya semakin gelap. Apa aku sanggup meninggalkan ibu untuk bekerja?

"Ibu duduk di ranjang?"

"Kamu saja, ibu mau cari sesuatu."

"Mau Fatimah bantu, Bu?"

"Kamu gak tahu. Sudah duduk saja, Nduk. Jangan pergi ke mana-mana, ya?"

Aku duduk di atas kasur kapuk yang mulai terasa keras. Mata ini fokus menatap depan, melihat setiap gerakan tangan wanita itu. Ibu meraba di bawah tumpukan baju yang sudah berantakan itu. Baru beberapa hari yang lalu kutata rapi. Namun sekarang sudah tidak berbentuk lagi.

Lelah saat mengerjakan rutinitas yang sama dan berulang. Namun sudah menjadi kewajibanku sebagai istri dan menantu.

"Nduk," panggil Ibu.

"Di sini, Bu."

Wanita itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah kotak berwarna coklat. Kotak perhiasan dengan model lama.

"Fat." Ibu meraba kasur, tersenyum saat menemukan tangan kananku.

"Ada apa, Bu."

Ibu membuka kotak dengan tangan kananya. Sebuah kalung emas ia keluarkan dari sana.

"Ini untuk kamu, Nduk."

"Ini punya Ibu. Disimpan saja, Bu. Fatimah tidak berhak menerimanya."

Wanita itu menggelengkan kepala, memaksaku untuk menerima kalung emas itu.

"Pergilah ke Jakarta dengan ini, Nduk. Ibu sudah mendengar percakapan kalian. Tolong maafkan Toni."

DEG

Jantungku dipacu lebih cepat, rasa bersalah seketika menelusup dalam hati. Bodoh, kenapa aku lupa jika ada ibu di dalam rumah.

"I-ibu mendengar ucapan kami barusan?"

"Iya, maka pergilah ke sana, Nduk. Pastikan jika ucapan orang-orang itu tidak benar. Tapi jika itu benar...."

Ibu tak melanjutkan kata-katanya, dadanya bergetar, tangisnya pecah.

"Maafkan Toni, Nduk karena memberi cincin palsu untukmu."

Aku mengangguk, memeluk tubuh ibu erat. Tunggu, Mas aku akan datang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status