Share

Cincin Palsu Dari Suamiku
Cincin Palsu Dari Suamiku
Penulis: Dyah Ayu Prabandari

Cincin Palsu

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-31 19:27:41

"Kamu ndak masak, Nduk?" tanya ibu mertuaku saat membuka tudung saji di atas meja. Tangannya meraba meja yang kosong tapi tak ada apa pun.

Aku melangkah mendekat, perlahan kubantu Ibu duduk di kursi kayu yang telah usang. Ibu Mas Toni tak bisa melihat setelah mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Lebih tepatnya satu bulan setelah aku dan Mas Toni menikah.

Semenjak kejadian itu aku terpaksa keluar dari kantor. Mengabdikan diri merawat mertua yang sudah kuanggap seperti ibu kandung sendiri.

"Maafkan, Fatimah, Bu. Fatimah tidak memiliki uang untuk membeli beras."

Dadaku bergetar, aku tahan air mata yang hendak jatuh ini. Sebagai ibu rumah tangga, aku hanya mengandalkan uang pemberian suami,tak ada pemasukan lain. Uang yang Mas Toni kirim harus kuatur sedemikian rupa agar cukup untuk satu bulan. Meski kadang tak pernah cukup.

"Toni belum kirim uang, Nduk?"

Aku menggeleng. Tapi secepatnya tersadar, ibu tak bisa melihat gerakan tubuhku.

"Belum, Bu. Di kota tidak ada lemburan, jatah masuk kerja dikurangi. Mungkin itu yang membuat Mas Toni belum mengirim uang sampai sekarang."

Ibu diam, menatap lurus ke depan. Meski hanya kegelapan yang tertangkap oleh retina. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya yang mulai keriput.

"Ini gara-gara ibu, yo, Nduk? Kalau Ibu ndak sakit ... Semua ndak seperti ini. Hidup kalian pasti lebih baik dari sekarang. Mungkin kalian sudah diberi momongan. Ini gara-gara ibu," ucap Ibu dengan suara bergetar.

Aku hapus jejak air mata dengan kedua tangan. Kupeluk tubuhnya yang masih bergetar.

"Ini ujian, Bu. Jangan menyalahkan diri sendiri. Semua sudah takdir Allah."

Aku peluk tubuh Ibu, mencabut rasa bersalah yang mengakar dalam dirinya. Aku tahu, beliau tersiksa dengan perasaaan itu. Ingin berontak, tapi takdir Tuhan bagai sebuah ikatan, semakin ditarik justru semakin perih. Satu-satunya cara hanya berdamai dengan keadaan.

"Fatimah ke warung sebentar, ya, Bu. Fatimah mau hutang di warung Bu Rosidah."

"Tapi, Nduk...."

Aku segera beranjak, mengabaikan panggilan Ibu yang ragu dengan keputusanku. Sedikit ragu aku melangkah menuju warung Bu Rosidah.

Warung Bu Rosidah ramai pembeli saat aku tiba. Beberapa saat aku terdiam, ragu untuk menyampaikan maksudku. Apa lagi kalau bukan menambah hutang kepada wanita tersebut. Namun tak tega jika membiarkan ibu tidur dengan perut kosong. Sungguh aku membenci keadaan ini.

"Fatimah, mau beli apa?"

Seketika semua mata tertuju padaku, terutama Bu Rosidah, janda sekaligus pemilik warung kelontong ini.

"Mau beli apa bayar hutang, Fat?" tanya Bu Rosidah.

Aku menelan ludah dengan sudah payah. Nyaliku menciut dalam sekejap. Ingin aku membalikkan badan lalu pergi dari sini. Namun wajah ibu kembali terbayang. Tak mungkin aku tega membiarkan ibu kelaparan hari ini.

"Sa... Saya mau minta beras satu kilo, Bu. Tapi uangnya nanti setelah Mas Toni gajian," pintaku lirih.

Semua orang berbisik-bisik membuat tak mampu berdiri tega. Tatapan itu bak sebuah pisau yang tengah mengulitiku hidup-hidup. Sebegitu rendahkah aku di hadapan mereka?

"Hutang lagi hutang lagi! Kemarin saja belum dibayar. Ini sok-sokan nambah hutang. Memangnya kamu bisa melunasinya?"

Hancur sudah harga diri ini. Luluh, tak tersisa sedikit pun.

"Saya akan bayar, Bu."

"Gak! Pergi kamu dari sini!"

Aku memutar badan, melangkah dengan sebuah kekecewaan. Bagaimana keadaan ibu jika aku tak bisa membawa beras? Beliau pasti kelaparan karena sejak tadi pagi belum makan.

"Katanya suami merantau tapi kok gak punya duit? Itu merantau apa kabur?"

Nyeri saat kalimat itu kembali memenuhi telinga. Namun aku bisa apa selain pasrah?

Aku berdiri di depan pintu. Tangan kananku sudah memegang knop pintu. Namun kakiku ragu untuk melangkah masuk.

Sebuah benda melingkar menyita perhatianku. Warna keemasan membuat sudut bibirku tertarik ke atas. Ya Allah... Kenapa baru ingat sekarang? Aku bisa menggadaikan cincin hadiah Mas Toni. Meski berat tak apa, asal Ibu tidak kelaparan lagi. Toh aku bisa menebusnya nanti.

Aku segera masuk, berjalan perlahan ke kamar. Jangan sampai Ibu tahu aku pulang. Aku belum siap melihat wajah kecewanya.

"Fat, itu kamu, Nduk?" tanya Ibu dari dalam kamarnya.

Astaga, aku sudah berjalan lambat tapi ibu tetap mengetahuinya.

"Fatimah!" teriaknya lagi.

Aku diam, tak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Hingga akhirnya Ibu lelah memanggil namaku.

Setelah mengambil dompet aku pun segera pergi.

"Mau ke mana, Fat?" tanya Afifah saat aku melewati rumahnya.

"Ke pegadaian, Fah."

"Jalan kaki? Jauh, Fat!"

Spontan aku berhenti. Benar yang Afifah katakan, pegadaian berjarak empat kilo dari rumahku. Bisa gempor jika berjalan sampai ke sana. Mau pakai motor pun tak bisa. Kendaraan roda duaku sudah kehabisan bahan bakar beberapa hari yang lalu.

Ya Allah... Lengkap sudah cobaan yang Engkau berikan ini.

"Ayo, aku antar!"

Afifah sudah berdiri di sampingku, kunci motor yang goyangkan di depan wajah ini.

"Gak ngerepotin, Fah?" tanyaku sedikit ragu.

"Wes to, ayo naik!"

Aku mengangguk, mengikuti langkahnya lalu duduk di jok belakang.

Perlahan kendaraan roda dua yang aku naiki melaju dengan kecepatan sedang. Terik mentari tak menyurutkan semangat Afifah untuk mengantarkan aku. Dia memang sahabat terbaikku.

"Mau ngapain ke sana? Gadaiin cincin?"

Diam, aku bingung harus berkata apa. Karena memang kata yang keluar dari mulutnya benar. Namun untuk mengatakan iya, aku terlalu malu. Seperti tak memiliki harga diri. Meski Afifah sahabatku sendiri.

"Yowes kalau ndak mau cerita." Afifah merajuk.

"Iya mau aku gadai, gak punya uang buat beli beras."

"Toni gak kirim uang?"

"Belum."

Afifah menghela napas lalu memilih diam.

Hening. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Percakapan terakhir membuat kami seperti orang asing.

"Sudah sampai, aku tunggu di luar saja, Fat."

"Makasih lho, Fah." Afifah tersenyum.

Aku segera melangkahkan kaki masuk ke bangunan dengan cat hijau dan putih itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya seorang wanita berpenampilan rapi.

"Mau menggadaikan cincin bisa, Mbak."

"KTP dan cincinnya, Mbak."

"Gadai tanpa surat bisa gak, Mbak? Suratnya terbawa suami saya."

"Bisa, Mbak."

Aku bernapas lega, akhirnya bisa membeli beras untuk makan Ibu hari ini.

"Ini, Mbak." Aku letakkan cincin dan KTP di atas meja.

"Tunggu sebentar, Mbak. Saya periksa dulu."

Aku duduk, menanti karyawan pegadaian memanggil namaku. Tak sabar, segera pulang. Aku ingin memasak nasi untuk Ibu mertua.

"Mbak Fatimah."

"Iya, Mbak."

"Mohon maaf kami tidak bisa menerima cincinnya."

"Lho kenapa, Mbak? Katanya bisa tanpa surat, kan?"

"Iya bisa tanpa surat. Hanya saja cincin yang Mbak bawa itu palsu. Sehingga tidak bisa digadai di sini."

DEG!

Cincin ini palsu. Jadi Mas Toni membohongiku. Tega kamu, Mas. Katamu cincin ini emas asli. Hadiah ulang tahun pernikahan kita. Tapi nyatanya apa?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ending

    Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ungkapan Hati

    Aku masih membisu, menatap Rio dan wanita itu bergantian. Entah kenapa ada yang berdenyut di hati ini. Cemburu. Ya, rasa itu hadir tanpa diminta tapi mampu menyesakkan dada. "Ada perlu apa, Ra?" tanya Rio lagi. Kembali kutatap perempuan yang bergelayut manja di lengan Rio. Tak dapatkah mereka melakukan di dalam, bukan di hadapanku. Pantas saja Rio tak mau menemuiku, dia saja asyik pacaran. "Tidak jadi. Aku permisi, Rio!"Aku pun beranjak pergi, percuma datang kemari jika akhirnya hanya kecewa yang aku dapatkan. Ternyata cinta yang tawarkan telah luntur. Tak membara seperti saat ia mengatakannya. Ah, lelaki sama saja. "Zahra!" teriak Rio. Aku menoleh, namun kembali kulangkahkan kaki menuju tempat motorku terparkir rapi. Lebih baik segera pergi dari sini. Karena aku tak sanggup membayangkan kemesraan Rio dan wanita itu. Mereka begitu serasi. Tuhan kenapa aku tak rela? Motor segera kulajukan perlahan meninggalkan halaman restoran Rio. Sempat kulihat Rio dari pantulan kaca spion. Di

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Menemui Rio

    "Rio!" teriakku, tapi dia terus saja berlari. Aku beranjak meninggalkan Mas Aziz. Mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Aku ciumi bunga itu. Sesak, hingga air mata berlomba-lomba turun membasahi pipiku. Tak berapa lama terdengar suara mobil menjauh. Rio telah pergi dengan rasa kecewa yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa ada sesak yang singgah dalam hati ini. "Kamu gak papa, Ra?" tanya Mas Aziz yang sudah berdiri di sampingku. Dia tatap diriku penuh tanda tanya. "Gak papa, Mas. Apa sudah selesai? Aku ingin pulang."Lelaki itu mengangguk, kemudian mengajakku berjalan menuju mobilnya. Aku hanya diam seraya mengikuti gerakan kakinya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tenggelam dalam rasa bersalah. Perlahan kendaraan roda empat Mas Aziz melaju, meninggalkan kantor polisi. Hening, aku justru asyik menatap buket bunga berwarna putih ini. Mengabaikan Mas Aziz yang beberapa kali menatap padaku. Entah rasa apa yang mulai singgah di hatiku. Tak bisa k

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Kecewa

    Pov RioTerdiam, aku tidak salah dengar, kan? Aziz bilang rekaman CCTV? Dia tidak sedang mempermainkan aku, kan? "Hallo, Rio... Kamu masih di situ, kan?""Eh, iya.""Besok kita ke kantor polisi, Rio. Aku tunggu di sana.""Siapa dalangnya?""Besok di kantor polisi."Aku membuang napas kasar, kesal dengan jawaban lelaki itu. Apa susahnya bilang sekarang? Takut aku menghajar orang itu. Ah, bukan hanya kuhajar, tapi akan kuseret ke dalam penjara. Enak saja dia menyakiti wanitaku. Diam, kutatap gelapnya langit tanpa cahaya bulan. Sama sepertiku yang terasa hampa tanpa pesan dari Zahra. Ah, beginikah rasanya cinta tanpa balasan. Menyiksa. Angin malam terasa menusuk tulang. Namun kaki enggan diajak melangkah, masuk ke dalam. Lagi dan lagi bayang Zahra menyita perhatian. Sedang apa dia? Ah, pasti sangat ketakutan. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Bagiku tangis Zahra adalah luka yang tak bisa disembuhkan. Suara nyamuk mengusik ketenangan lamunanku. Serangga kecil itu terus terbang

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Bukti

    POV Rio"Ini laporan yang Pak Rio minta," ucap Rika seraya memberikan laporan keuangan yang baru saja kuminta. "Makasih, Rik."Seulas senyum kuberikan pada wanita itu. Sebagai seorang pemimpin mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum adalah kewajiban. Karena bagiku karyawan bukan bawahan melainkan rekan kerja untuk memajukan suatu usaha. Papa mengajarkan untuk selalu menghargai orang lain. Bahkan tak membedakan orang karena status sosial. Itu yang membuatku memiliki banyak teman. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" tanya Rika lagi. "Tolong buatkan kopi, Rik. Jangan terlalu manis."Rika menganggukkan kepala. Segera ia berjalan meninggalkan ruangan ini. Hingga akhirnya ia menghilang dari balik pintu. Aku mengambil laporan yang ada di atas meja. Aku baca setiap kata dan angka yang tertulis di kertas berwarna putih itu. Tanpa terasa sudut bibir tertarik ke atas. Laba restoran meningkat banyak bulan ini. Semua tak luput dari bantuan Zahra. Dia berkomentar ini dan itu, mengkri

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Penangkapan Fatimah

    "Are you okay, Ra?" tanya Rio saat aku diam membisu. "Gak papa, capek aja, Rio. Ngomong-ngomong makasih karena sudah membelaku tadi."Lelaki itu tersenyum hingga nampak gigi putih. "Aku akan menjadi benteng untuk kamu, Ra.""Emang aku sedang perang apa?" Aku mengerucutkan bibir. Rio hanya tersenyum, kemudian kembali melajukan mobilnya menuju rumah. Tak banyak percakapan di antara kami. Aku justru tenggelam dalam rasa sakit yang tiada bertepi. "Aku kecewa sama kamu, Ra!"Kalimat itu terus saya terngiang. Hingga menciptakan rasa kesal dalam dada. Percuma hati ini kembali kubuka, tapi nyatanya hanya menciptakan lara. Perlahan aku atur napas, berusaha menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Ternyata keputusan meninggalkan Mas Aziz yang terbaik. Percuma menjalin suatu hubungan tanpa dasar kepercayaan. "Mau turun atau pulang bersamaku, Ra?" Aku tersentak, menoleh sekitar. Benar saja, kami sudah berhenti di depan rumah. Rio pasti tahu aku tengah melamun. Hingga masih duduk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status