Share

Cincin Palsu Dari Suamiku
Cincin Palsu Dari Suamiku
Penulis: Dyah Ayu Prabandari

Cincin Palsu

"Kamu ndak masak, Nduk?" tanya ibu mertuaku saat membuka tudung saji di atas meja. Tangannya meraba meja yang kosong tapi tak ada apa pun.

Aku melangkah mendekat, perlahan kubantu Ibu duduk di kursi kayu yang telah usang. Ibu Mas Toni tak bisa melihat setelah mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Lebih tepatnya satu bulan setelah aku dan Mas Toni menikah.

Semenjak kejadian itu aku terpaksa keluar dari kantor. Mengabdikan diri merawat mertua yang sudah kuanggap seperti ibu kandung sendiri.

"Maafkan, Fatimah, Bu. Fatimah tidak memiliki uang untuk membeli beras."

Dadaku bergetar, aku tahan air mata yang hendak jatuh ini. Sebagai ibu rumah tangga, aku hanya mengandalkan uang pemberian suami,tak ada pemasukan lain. Uang yang Mas Toni kirim harus kuatur sedemikian rupa agar cukup untuk satu bulan. Meski kadang tak pernah cukup.

"Toni belum kirim uang, Nduk?"

Aku menggeleng. Tapi secepatnya tersadar, ibu tak bisa melihat gerakan tubuhku.

"Belum, Bu. Di kota tidak ada lemburan, jatah masuk kerja dikurangi. Mungkin itu yang membuat Mas Toni belum mengirim uang sampai sekarang."

Ibu diam, menatap lurus ke depan. Meski hanya kegelapan yang tertangkap oleh retina. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya yang mulai keriput.

"Ini gara-gara ibu, yo, Nduk? Kalau Ibu ndak sakit ... Semua ndak seperti ini. Hidup kalian pasti lebih baik dari sekarang. Mungkin kalian sudah diberi momongan. Ini gara-gara ibu," ucap Ibu dengan suara bergetar.

Aku hapus jejak air mata dengan kedua tangan. Kupeluk tubuhnya yang masih bergetar.

"Ini ujian, Bu. Jangan menyalahkan diri sendiri. Semua sudah takdir Allah."

Aku peluk tubuh Ibu, mencabut rasa bersalah yang mengakar dalam dirinya. Aku tahu, beliau tersiksa dengan perasaaan itu. Ingin berontak, tapi takdir Tuhan bagai sebuah ikatan, semakin ditarik justru semakin perih. Satu-satunya cara hanya berdamai dengan keadaan.

"Fatimah ke warung sebentar, ya, Bu. Fatimah mau hutang di warung Bu Rosidah."

"Tapi, Nduk...."

Aku segera beranjak, mengabaikan panggilan Ibu yang ragu dengan keputusanku. Sedikit ragu aku melangkah menuju warung Bu Rosidah.

Warung Bu Rosidah ramai pembeli saat aku tiba. Beberapa saat aku terdiam, ragu untuk menyampaikan maksudku. Apa lagi kalau bukan menambah hutang kepada wanita tersebut. Namun tak tega jika membiarkan ibu tidur dengan perut kosong. Sungguh aku membenci keadaan ini.

"Fatimah, mau beli apa?"

Seketika semua mata tertuju padaku, terutama Bu Rosidah, janda sekaligus pemilik warung kelontong ini.

"Mau beli apa bayar hutang, Fat?" tanya Bu Rosidah.

Aku menelan ludah dengan sudah payah. Nyaliku menciut dalam sekejap. Ingin aku membalikkan badan lalu pergi dari sini. Namun wajah ibu kembali terbayang. Tak mungkin aku tega membiarkan ibu kelaparan hari ini.

"Sa... Saya mau minta beras satu kilo, Bu. Tapi uangnya nanti setelah Mas Toni gajian," pintaku lirih.

Semua orang berbisik-bisik membuat tak mampu berdiri tega. Tatapan itu bak sebuah pisau yang tengah mengulitiku hidup-hidup. Sebegitu rendahkah aku di hadapan mereka?

"Hutang lagi hutang lagi! Kemarin saja belum dibayar. Ini sok-sokan nambah hutang. Memangnya kamu bisa melunasinya?"

Hancur sudah harga diri ini. Luluh, tak tersisa sedikit pun.

"Saya akan bayar, Bu."

"Gak! Pergi kamu dari sini!"

Aku memutar badan, melangkah dengan sebuah kekecewaan. Bagaimana keadaan ibu jika aku tak bisa membawa beras? Beliau pasti kelaparan karena sejak tadi pagi belum makan.

"Katanya suami merantau tapi kok gak punya duit? Itu merantau apa kabur?"

Nyeri saat kalimat itu kembali memenuhi telinga. Namun aku bisa apa selain pasrah?

Aku berdiri di depan pintu. Tangan kananku sudah memegang knop pintu. Namun kakiku ragu untuk melangkah masuk.

Sebuah benda melingkar menyita perhatianku. Warna keemasan membuat sudut bibirku tertarik ke atas. Ya Allah... Kenapa baru ingat sekarang? Aku bisa menggadaikan cincin hadiah Mas Toni. Meski berat tak apa, asal Ibu tidak kelaparan lagi. Toh aku bisa menebusnya nanti.

Aku segera masuk, berjalan perlahan ke kamar. Jangan sampai Ibu tahu aku pulang. Aku belum siap melihat wajah kecewanya.

"Fat, itu kamu, Nduk?" tanya Ibu dari dalam kamarnya.

Astaga, aku sudah berjalan lambat tapi ibu tetap mengetahuinya.

"Fatimah!" teriaknya lagi.

Aku diam, tak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Hingga akhirnya Ibu lelah memanggil namaku.

Setelah mengambil dompet aku pun segera pergi.

"Mau ke mana, Fat?" tanya Afifah saat aku melewati rumahnya.

"Ke pegadaian, Fah."

"Jalan kaki? Jauh, Fat!"

Spontan aku berhenti. Benar yang Afifah katakan, pegadaian berjarak empat kilo dari rumahku. Bisa gempor jika berjalan sampai ke sana. Mau pakai motor pun tak bisa. Kendaraan roda duaku sudah kehabisan bahan bakar beberapa hari yang lalu.

Ya Allah... Lengkap sudah cobaan yang Engkau berikan ini.

"Ayo, aku antar!"

Afifah sudah berdiri di sampingku, kunci motor yang goyangkan di depan wajah ini.

"Gak ngerepotin, Fah?" tanyaku sedikit ragu.

"Wes to, ayo naik!"

Aku mengangguk, mengikuti langkahnya lalu duduk di jok belakang.

Perlahan kendaraan roda dua yang aku naiki melaju dengan kecepatan sedang. Terik mentari tak menyurutkan semangat Afifah untuk mengantarkan aku. Dia memang sahabat terbaikku.

"Mau ngapain ke sana? Gadaiin cincin?"

Diam, aku bingung harus berkata apa. Karena memang kata yang keluar dari mulutnya benar. Namun untuk mengatakan iya, aku terlalu malu. Seperti tak memiliki harga diri. Meski Afifah sahabatku sendiri.

"Yowes kalau ndak mau cerita." Afifah merajuk.

"Iya mau aku gadai, gak punya uang buat beli beras."

"Toni gak kirim uang?"

"Belum."

Afifah menghela napas lalu memilih diam.

Hening. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Percakapan terakhir membuat kami seperti orang asing.

"Sudah sampai, aku tunggu di luar saja, Fat."

"Makasih lho, Fah." Afifah tersenyum.

Aku segera melangkahkan kaki masuk ke bangunan dengan cat hijau dan putih itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya seorang wanita berpenampilan rapi.

"Mau menggadaikan cincin bisa, Mbak."

"KTP dan cincinnya, Mbak."

"Gadai tanpa surat bisa gak, Mbak? Suratnya terbawa suami saya."

"Bisa, Mbak."

Aku bernapas lega, akhirnya bisa membeli beras untuk makan Ibu hari ini.

"Ini, Mbak." Aku letakkan cincin dan KTP di atas meja.

"Tunggu sebentar, Mbak. Saya periksa dulu."

Aku duduk, menanti karyawan pegadaian memanggil namaku. Tak sabar, segera pulang. Aku ingin memasak nasi untuk Ibu mertua.

"Mbak Fatimah."

"Iya, Mbak."

"Mohon maaf kami tidak bisa menerima cincinnya."

"Lho kenapa, Mbak? Katanya bisa tanpa surat, kan?"

"Iya bisa tanpa surat. Hanya saja cincin yang Mbak bawa itu palsu. Sehingga tidak bisa digadai di sini."

DEG!

Cincin ini palsu. Jadi Mas Toni membohongiku. Tega kamu, Mas. Katamu cincin ini emas asli. Hadiah ulang tahun pernikahan kita. Tapi nyatanya apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status