Share

Pergilah, Nduk!

last update Last Updated: 2023-05-31 19:30:20

"A-apa benar yang kamu katakan, Nduk?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca.

Tidak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Ibu terisak mendengar kenyataan pahit yang baru saja aku sampaikan.

"Benar, Bu. Mas Toni sudah menjatuhkan talak satu pada Fatimah."

"Apa, kamu ditalak, Fat?" Afifah sudah berdiri di dekat pintu. Sorot tanda tanya tergambar jelas di sana.

Sahabatku itu mendekat, rantang yang ia bawa diletakkan di atas meja.

"Benar kamu ditalak, Fat?" tanyanya lagi. Wanita itu seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan.

Aku menghela napas, menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dada. Setelah cukup tenang aku mulai menceritakan semuanya. Tak ada satu pun yang aku tutup-tutupi, termasuk wanita semok yang keluar bersama Mas Toni.

Bayangan kejadian itu bak batu besar yang menghimpitku. Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen yang memenuhi rongga dada.

"Ya Allah, Nduk. Tolong maafkan Toni, tolong jangan berpisah, Nduk."

Aku terdiam, menoleh ke arah Alisa. Sahabatku menggelengkan kepala. Mengisyaratkan tidak padaku.

"Mas Toni sudah menceraikan Fatimah, Bu. Hubungan kami sudah berakhir," ucapku dengan suara bergetar.

Ibu menunduk, air mata semakin deras membanjiri pipi bahkan daster yang ia kenakan.

Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Makan dulu, Bu, Fat, kalian pasti lapar, kan?" ucap Afifah memecah keheningan yang sempat tercipta.

Afifah segera ke belakang, mengambil piring dan juga minuman. Sementara aku dan ibu tenggelam dalam keheningan yang entah sampai kapan.

Kecewa pasti, luka pun kian menjadi. Namun apa aku harus meratapi setiap luka yang ia beri, atau bangkit dan menerima setiap garis yang Tuhan berikan.

Aku masih tak bisa berpikir bagaimana nasibku selanjutnya. Semua masih gelap ditutup awan mendung yang menyelimuti hati.

"Ayo, makan dulu, Fat, Bu." Afifah memindahkan nasih dan lauk yang ia bawa ke dalam piring. Kemudian memberikannya padaku dan ibu.

Nasi oseng dan telur dadar, menu yang enak untuk kami. Namun kali ini terasa hambar di lidah. Kalau tidak mengingat ini pemberian Afifah pasti sudah kuletakkan.

Bukan hanya aku, ibu pun sama. Beliau memasukkan nasi itu dengan enggan. Kemudian ia letakkan piring itu di kursi sebelahnya.

"Bagaimana rencana kamu selanjutnya, Fat?" tanya Afifah.

Lagi-lagi aku membisu, tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya aku ingin pergi, tapi melihat ibu membuat rasa tak tega menyelimuti hati dan logika.

Ah, wanita selalu tenggelam dalam perasaan hingga tak sanggup membuat keputusan. Sering kali penyesalan muncul di akhir cerita karena tak mengedepankan logika.

"Aku lelah, Fah. Ingin segera istirahat. Piring kotornya kamu letakkan saja di belakang, biar nanti aku bersihkan."

Aku pun beranjak, meninggalkan ibu dan Afifah yang mematung menatap kepergianku.

Pintu kamar kubuka, untuk sesaat aku mematung, menatap setiap sudut ruangan ini. Dulu di tempat ini aku dan Mas Toni memadu kasih. Berbagi suka dan duka bersama. Namun kini semua tinggal kenangan. Hilang bersama luka yang tertancap di sanubari.

Aku letakkan tas di lantai yang hanya dicor semen. Lalu merebahkan tubuh di atas ranjang, aku coba memejamkan mata tetapi tak bisa. Bayang Mas Toni dan wanita itu kembali hadir, lagi-lagi menyesakkan rongga dada. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku terisak, menangisi nasib yang Tuhan gariskan.

***

Sudah dua hari aku diam, tenggelam dalam luka yang mereka ciptakan. Semua rutinitas selalu aku kerjakan tetapi dalam kebisuan. Entah kenapa mulut ini kelu, enggan mengeluarkan sebuah kata sekali pun.

"Kamu masak apa, Nduk?" tanya Ibu. Dibantu tongkat kayu ibu berjalan mendekat ke arahku.

"Fatimah masak semur tahu, Bu," jawabku kemudian kembali diam.

Sayur yang sudah matang kuletakkan di atas meja makan. Aku biarkan terbuka hingga panas itu menghilang disapu angin. Masakan yang panas akan mudah basi jika langsung ditutup. Itu yang ibu katakan dulu, sebelum aku menikah dengan Mas Toni.

Setelah selesai masak aku kembali berjalan ke kamar, meninggalkan Ibu yang masih duduk di kursi dekat meja.

"Fatimah," panggilnya pelan.

Aku hentikan langkah kaki, dengan gontai aku berjalan kembali ke tempat ibu duduk. Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri, seolah mencari keberadaanku.

"Ada apa, Bu?" tanyaku datar.

Wanita itu menghela napas, tangannya meraba, mencari keberadaanku. Lalu berhenti saat jemarinya menggenggam tanganku.

"Apa kamu akan meninggalkan ibu, Nduk?" tanyanya pelan. Namun aku tahu ia tengah menahan air mata.

Aku membisu, mulut ini terasa kelu. Kata iya seolah berat terlepas dari lidah.

Bagaimana nasib ibu jika aku pergi?

Lagi-lagi pertanyaan itu yang memenuhi kepalaku. Aku tak sanggup membiarkan ibu tinggal seorang diri dengan keterbatasan yang ia miliki.

"Kenapa diam, Nduk? Benar, to, kamu akan meninggalkan ibu," ucapnya dengan air mata jatuh membasahi pipi.

Bukan perpisahan dengan Mas Toni yang berat. Namun meninggalkan ibu seorang diri jauh lebih menyiksa hati.

"Fatimah belum memikirkan itu, Bu. Fatimah belum bisa menjawab pertanyaan ibu," jawabku pelan.

Wanita itu terdiam, kemudian mempererat genggaman tangannya.

"Bawa ibu bersamamu, Nduk. Ibu tidak ingin tinggal bersama Toni. Ibu sudah tidak mengakuinya sebagai anak. Dia bukan anak ibu lagi."

"Akan Fatimah pikirkan nanti, Bu."

Perlahan ibu lepas genggaman tangannya. Wanita itu meraba kanan kiri lalu melangkah pergi.

Terlalu lama diam termenung membuat waktu berjalan begitu lambat. Bosan, aku pun pergi keluar. Berdiri di teras sambil menatap sekitar. Rumput di halaman sudah tumbuh di sana sini, meski baru setinggi mata kaki. Namun kehadirannya cukup menganggu pemandangan.

Aku jongkok sambil mencabuti rumput liar yang memenuhi halaman. Merawat ibu memang menguras waktu dan tenaga. Hingga lupa untuk mencabut rumput yang terlanjur tumbuh subur.

Rumput ini bagai cintaku, yang tumbuh subur tetapi tidak dihargai. Lalu akhirnya mati. Ah, nasib memang tidak ada yang tahu.

"Eh,Mbak Fatimah, masih di sini saja. Bukannya sudah diceraikan sama Mas Toni, ya? Gak cantik sih, makannya suami lari. Denger-denger sekarang jadi mandor, ya?"

Rumput yang ada di tangan kuremas, kesal. Heran, siapa yang memberitahu Tanti masalah ini. Tak mungkin kabar itu datang seiring hembusan angin. Hal mustahil yang tak mungkin terjadi.

"Sudah ngomongnya, Tan? Pengen mulutnya seperti rumput ini?" Aku remas rumput itu hingga jatuh dari tangan.

Wanita itu bergidik, berlari meninggalkan rumahku. Ada-ada saja tingkahnya. Andai dia menjadi aku, pasti sudah bunuh diri karena depresi.

Aku lanjutkan kembali mencabut rumput. Sesekali kuhapus keringat yang menempel di dahi.

"Ngapain, Fat?"

Aku menoleh, Afifah sudah berdiri di belakangku.

"Nyabut rumput, Fah. Ada apa?"

"Ada yang ingin aku tanyakan," ucapnya.

Aku berdiri lalu mencuci tangan yang kotor penuh dengan tanah.

"Ada apa?" tanyaku setelah kami duduk di teras.

"Kamu mau tetap tinggal di sini, Fat? Toni sudah menceraikan kamu, lho. Apa tidak sebaiknya kamu pergi dari sini?"

"Tapi bagaimana dengan ibu?"

"Dia bukan tanggung jawab kamu, Fat."

"Tapi aku gak tega, Fah."

"Aku tidak mau kamu terus memikirkan lelaki brengs*k itu. Aku gak mau kamu terluka, Fat."

"Tapi ...."

"Pergilah, Nduk. Jangan pikirkan ibu."

"Ibu." Seketika kami menoleh ke arah pintu, ibu sudah berdiri dengan tatapan sendu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ending

    Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ungkapan Hati

    Aku masih membisu, menatap Rio dan wanita itu bergantian. Entah kenapa ada yang berdenyut di hati ini. Cemburu. Ya, rasa itu hadir tanpa diminta tapi mampu menyesakkan dada. "Ada perlu apa, Ra?" tanya Rio lagi. Kembali kutatap perempuan yang bergelayut manja di lengan Rio. Tak dapatkah mereka melakukan di dalam, bukan di hadapanku. Pantas saja Rio tak mau menemuiku, dia saja asyik pacaran. "Tidak jadi. Aku permisi, Rio!"Aku pun beranjak pergi, percuma datang kemari jika akhirnya hanya kecewa yang aku dapatkan. Ternyata cinta yang tawarkan telah luntur. Tak membara seperti saat ia mengatakannya. Ah, lelaki sama saja. "Zahra!" teriak Rio. Aku menoleh, namun kembali kulangkahkan kaki menuju tempat motorku terparkir rapi. Lebih baik segera pergi dari sini. Karena aku tak sanggup membayangkan kemesraan Rio dan wanita itu. Mereka begitu serasi. Tuhan kenapa aku tak rela? Motor segera kulajukan perlahan meninggalkan halaman restoran Rio. Sempat kulihat Rio dari pantulan kaca spion. Di

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Menemui Rio

    "Rio!" teriakku, tapi dia terus saja berlari. Aku beranjak meninggalkan Mas Aziz. Mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Aku ciumi bunga itu. Sesak, hingga air mata berlomba-lomba turun membasahi pipiku. Tak berapa lama terdengar suara mobil menjauh. Rio telah pergi dengan rasa kecewa yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa ada sesak yang singgah dalam hati ini. "Kamu gak papa, Ra?" tanya Mas Aziz yang sudah berdiri di sampingku. Dia tatap diriku penuh tanda tanya. "Gak papa, Mas. Apa sudah selesai? Aku ingin pulang."Lelaki itu mengangguk, kemudian mengajakku berjalan menuju mobilnya. Aku hanya diam seraya mengikuti gerakan kakinya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tenggelam dalam rasa bersalah. Perlahan kendaraan roda empat Mas Aziz melaju, meninggalkan kantor polisi. Hening, aku justru asyik menatap buket bunga berwarna putih ini. Mengabaikan Mas Aziz yang beberapa kali menatap padaku. Entah rasa apa yang mulai singgah di hatiku. Tak bisa k

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Kecewa

    Pov RioTerdiam, aku tidak salah dengar, kan? Aziz bilang rekaman CCTV? Dia tidak sedang mempermainkan aku, kan? "Hallo, Rio... Kamu masih di situ, kan?""Eh, iya.""Besok kita ke kantor polisi, Rio. Aku tunggu di sana.""Siapa dalangnya?""Besok di kantor polisi."Aku membuang napas kasar, kesal dengan jawaban lelaki itu. Apa susahnya bilang sekarang? Takut aku menghajar orang itu. Ah, bukan hanya kuhajar, tapi akan kuseret ke dalam penjara. Enak saja dia menyakiti wanitaku. Diam, kutatap gelapnya langit tanpa cahaya bulan. Sama sepertiku yang terasa hampa tanpa pesan dari Zahra. Ah, beginikah rasanya cinta tanpa balasan. Menyiksa. Angin malam terasa menusuk tulang. Namun kaki enggan diajak melangkah, masuk ke dalam. Lagi dan lagi bayang Zahra menyita perhatian. Sedang apa dia? Ah, pasti sangat ketakutan. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Bagiku tangis Zahra adalah luka yang tak bisa disembuhkan. Suara nyamuk mengusik ketenangan lamunanku. Serangga kecil itu terus terbang

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Bukti

    POV Rio"Ini laporan yang Pak Rio minta," ucap Rika seraya memberikan laporan keuangan yang baru saja kuminta. "Makasih, Rik."Seulas senyum kuberikan pada wanita itu. Sebagai seorang pemimpin mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum adalah kewajiban. Karena bagiku karyawan bukan bawahan melainkan rekan kerja untuk memajukan suatu usaha. Papa mengajarkan untuk selalu menghargai orang lain. Bahkan tak membedakan orang karena status sosial. Itu yang membuatku memiliki banyak teman. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" tanya Rika lagi. "Tolong buatkan kopi, Rik. Jangan terlalu manis."Rika menganggukkan kepala. Segera ia berjalan meninggalkan ruangan ini. Hingga akhirnya ia menghilang dari balik pintu. Aku mengambil laporan yang ada di atas meja. Aku baca setiap kata dan angka yang tertulis di kertas berwarna putih itu. Tanpa terasa sudut bibir tertarik ke atas. Laba restoran meningkat banyak bulan ini. Semua tak luput dari bantuan Zahra. Dia berkomentar ini dan itu, mengkri

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Penangkapan Fatimah

    "Are you okay, Ra?" tanya Rio saat aku diam membisu. "Gak papa, capek aja, Rio. Ngomong-ngomong makasih karena sudah membelaku tadi."Lelaki itu tersenyum hingga nampak gigi putih. "Aku akan menjadi benteng untuk kamu, Ra.""Emang aku sedang perang apa?" Aku mengerucutkan bibir. Rio hanya tersenyum, kemudian kembali melajukan mobilnya menuju rumah. Tak banyak percakapan di antara kami. Aku justru tenggelam dalam rasa sakit yang tiada bertepi. "Aku kecewa sama kamu, Ra!"Kalimat itu terus saya terngiang. Hingga menciptakan rasa kesal dalam dada. Percuma hati ini kembali kubuka, tapi nyatanya hanya menciptakan lara. Perlahan aku atur napas, berusaha menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Ternyata keputusan meninggalkan Mas Aziz yang terbaik. Percuma menjalin suatu hubungan tanpa dasar kepercayaan. "Mau turun atau pulang bersamaku, Ra?" Aku tersentak, menoleh sekitar. Benar saja, kami sudah berhenti di depan rumah. Rio pasti tahu aku tengah melamun. Hingga masih duduk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status