Share

Pergilah, Nduk!

"A-apa benar yang kamu katakan, Nduk?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca.

Tidak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Ibu terisak mendengar kenyataan pahit yang baru saja aku sampaikan.

"Benar, Bu. Mas Toni sudah menjatuhkan talak satu pada Fatimah."

"Apa, kamu ditalak, Fat?" Afifah sudah berdiri di dekat pintu. Sorot tanda tanya tergambar jelas di sana.

Sahabatku itu mendekat, rantang yang ia bawa diletakkan di atas meja.

"Benar kamu ditalak, Fat?" tanyanya lagi. Wanita itu seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan.

Aku menghela napas, menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dada. Setelah cukup tenang aku mulai menceritakan semuanya. Tak ada satu pun yang aku tutup-tutupi, termasuk wanita semok yang keluar bersama Mas Toni.

Bayangan kejadian itu bak batu besar yang menghimpitku. Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen yang memenuhi rongga dada.

"Ya Allah, Nduk. Tolong maafkan Toni, tolong jangan berpisah, Nduk."

Aku terdiam, menoleh ke arah Alisa. Sahabatku menggelengkan kepala. Mengisyaratkan tidak padaku.

"Mas Toni sudah menceraikan Fatimah, Bu. Hubungan kami sudah berakhir," ucapku dengan suara bergetar.

Ibu menunduk, air mata semakin deras membanjiri pipi bahkan daster yang ia kenakan.

Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Makan dulu, Bu, Fat, kalian pasti lapar, kan?" ucap Afifah memecah keheningan yang sempat tercipta.

Afifah segera ke belakang, mengambil piring dan juga minuman. Sementara aku dan ibu tenggelam dalam keheningan yang entah sampai kapan.

Kecewa pasti, luka pun kian menjadi. Namun apa aku harus meratapi setiap luka yang ia beri, atau bangkit dan menerima setiap garis yang Tuhan berikan.

Aku masih tak bisa berpikir bagaimana nasibku selanjutnya. Semua masih gelap ditutup awan mendung yang menyelimuti hati.

"Ayo, makan dulu, Fat, Bu." Afifah memindahkan nasih dan lauk yang ia bawa ke dalam piring. Kemudian memberikannya padaku dan ibu.

Nasi oseng dan telur dadar, menu yang enak untuk kami. Namun kali ini terasa hambar di lidah. Kalau tidak mengingat ini pemberian Afifah pasti sudah kuletakkan.

Bukan hanya aku, ibu pun sama. Beliau memasukkan nasi itu dengan enggan. Kemudian ia letakkan piring itu di kursi sebelahnya.

"Bagaimana rencana kamu selanjutnya, Fat?" tanya Afifah.

Lagi-lagi aku membisu, tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya aku ingin pergi, tapi melihat ibu membuat rasa tak tega menyelimuti hati dan logika.

Ah, wanita selalu tenggelam dalam perasaan hingga tak sanggup membuat keputusan. Sering kali penyesalan muncul di akhir cerita karena tak mengedepankan logika.

"Aku lelah, Fah. Ingin segera istirahat. Piring kotornya kamu letakkan saja di belakang, biar nanti aku bersihkan."

Aku pun beranjak, meninggalkan ibu dan Afifah yang mematung menatap kepergianku.

Pintu kamar kubuka, untuk sesaat aku mematung, menatap setiap sudut ruangan ini. Dulu di tempat ini aku dan Mas Toni memadu kasih. Berbagi suka dan duka bersama. Namun kini semua tinggal kenangan. Hilang bersama luka yang tertancap di sanubari.

Aku letakkan tas di lantai yang hanya dicor semen. Lalu merebahkan tubuh di atas ranjang, aku coba memejamkan mata tetapi tak bisa. Bayang Mas Toni dan wanita itu kembali hadir, lagi-lagi menyesakkan rongga dada. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku terisak, menangisi nasib yang Tuhan gariskan.

***

Sudah dua hari aku diam, tenggelam dalam luka yang mereka ciptakan. Semua rutinitas selalu aku kerjakan tetapi dalam kebisuan. Entah kenapa mulut ini kelu, enggan mengeluarkan sebuah kata sekali pun.

"Kamu masak apa, Nduk?" tanya Ibu. Dibantu tongkat kayu ibu berjalan mendekat ke arahku.

"Fatimah masak semur tahu, Bu," jawabku kemudian kembali diam.

Sayur yang sudah matang kuletakkan di atas meja makan. Aku biarkan terbuka hingga panas itu menghilang disapu angin. Masakan yang panas akan mudah basi jika langsung ditutup. Itu yang ibu katakan dulu, sebelum aku menikah dengan Mas Toni.

Setelah selesai masak aku kembali berjalan ke kamar, meninggalkan Ibu yang masih duduk di kursi dekat meja.

"Fatimah," panggilnya pelan.

Aku hentikan langkah kaki, dengan gontai aku berjalan kembali ke tempat ibu duduk. Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri, seolah mencari keberadaanku.

"Ada apa, Bu?" tanyaku datar.

Wanita itu menghela napas, tangannya meraba, mencari keberadaanku. Lalu berhenti saat jemarinya menggenggam tanganku.

"Apa kamu akan meninggalkan ibu, Nduk?" tanyanya pelan. Namun aku tahu ia tengah menahan air mata.

Aku membisu, mulut ini terasa kelu. Kata iya seolah berat terlepas dari lidah.

Bagaimana nasib ibu jika aku pergi?

Lagi-lagi pertanyaan itu yang memenuhi kepalaku. Aku tak sanggup membiarkan ibu tinggal seorang diri dengan keterbatasan yang ia miliki.

"Kenapa diam, Nduk? Benar, to, kamu akan meninggalkan ibu," ucapnya dengan air mata jatuh membasahi pipi.

Bukan perpisahan dengan Mas Toni yang berat. Namun meninggalkan ibu seorang diri jauh lebih menyiksa hati.

"Fatimah belum memikirkan itu, Bu. Fatimah belum bisa menjawab pertanyaan ibu," jawabku pelan.

Wanita itu terdiam, kemudian mempererat genggaman tangannya.

"Bawa ibu bersamamu, Nduk. Ibu tidak ingin tinggal bersama Toni. Ibu sudah tidak mengakuinya sebagai anak. Dia bukan anak ibu lagi."

"Akan Fatimah pikirkan nanti, Bu."

Perlahan ibu lepas genggaman tangannya. Wanita itu meraba kanan kiri lalu melangkah pergi.

Terlalu lama diam termenung membuat waktu berjalan begitu lambat. Bosan, aku pun pergi keluar. Berdiri di teras sambil menatap sekitar. Rumput di halaman sudah tumbuh di sana sini, meski baru setinggi mata kaki. Namun kehadirannya cukup menganggu pemandangan.

Aku jongkok sambil mencabuti rumput liar yang memenuhi halaman. Merawat ibu memang menguras waktu dan tenaga. Hingga lupa untuk mencabut rumput yang terlanjur tumbuh subur.

Rumput ini bagai cintaku, yang tumbuh subur tetapi tidak dihargai. Lalu akhirnya mati. Ah, nasib memang tidak ada yang tahu.

"Eh,Mbak Fatimah, masih di sini saja. Bukannya sudah diceraikan sama Mas Toni, ya? Gak cantik sih, makannya suami lari. Denger-denger sekarang jadi mandor, ya?"

Rumput yang ada di tangan kuremas, kesal. Heran, siapa yang memberitahu Tanti masalah ini. Tak mungkin kabar itu datang seiring hembusan angin. Hal mustahil yang tak mungkin terjadi.

"Sudah ngomongnya, Tan? Pengen mulutnya seperti rumput ini?" Aku remas rumput itu hingga jatuh dari tangan.

Wanita itu bergidik, berlari meninggalkan rumahku. Ada-ada saja tingkahnya. Andai dia menjadi aku, pasti sudah bunuh diri karena depresi.

Aku lanjutkan kembali mencabut rumput. Sesekali kuhapus keringat yang menempel di dahi.

"Ngapain, Fat?"

Aku menoleh, Afifah sudah berdiri di belakangku.

"Nyabut rumput, Fah. Ada apa?"

"Ada yang ingin aku tanyakan," ucapnya.

Aku berdiri lalu mencuci tangan yang kotor penuh dengan tanah.

"Ada apa?" tanyaku setelah kami duduk di teras.

"Kamu mau tetap tinggal di sini, Fat? Toni sudah menceraikan kamu, lho. Apa tidak sebaiknya kamu pergi dari sini?"

"Tapi bagaimana dengan ibu?"

"Dia bukan tanggung jawab kamu, Fat."

"Tapi aku gak tega, Fah."

"Aku tidak mau kamu terus memikirkan lelaki brengs*k itu. Aku gak mau kamu terluka, Fat."

"Tapi ...."

"Pergilah, Nduk. Jangan pikirkan ibu."

"Ibu." Seketika kami menoleh ke arah pintu, ibu sudah berdiri dengan tatapan sendu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status