Share

Cerai

"Ini alasan kamu berbohong padaku, kan!"

Suamiku diam, ia memilih menundukkan kepala. Merasa bersalah atau malu karena sudah tertangkap basah.

"A-aku bisa jelaskan, Fat, ini gak seperti yang kamu pikirkan."

Mas Toni mendekat, tapi aku mundur beberapa langkah. Jijik saat tangannya hendak menyentuhku. Tak bisa kubayangkan tangan itu yang ia gunakan untuk membelai wanita lain. Bahkan mungkin lebih dari itu.

"Jangan sentuh aku, Mas! Aku muak sama kamu!" teriakku lantang.

Teriakan yang sempat terlontar membuat beberapa pasang mata menatap ke arah kami. Bisik-bisik tak enak seketika menyeruak. Kami bak sebuah tontonan yang disaksikan banyak orang. Namun aku tak peduli. Biar saja seluruh dunia tahu bagaimana kelakuannya di belakangku.

"Fatimah, dengarkan dulu ... Aku bisa jelaskan semuanya."

"Ini, kan alasan kamu menelantarkan ibu dan memberi cincin palsu padaku. Kamu keterlaluan, Mas!"

"Bu-bukan begitu, Fat."

"Aku benci sama kamu, Mas. Aku mau kita pisah!"

Dadaku bergemuruh, tangan mengepal di samping. Amarah sudah tak bisa lagi kubendung. Sudah cukup, aku tak ingin meneruskan pernikahan yang penuh kebohongan ini.

"Oke kalau itu mau kamu... Mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku talak kamu, Fatimah Zahra!"

Perkataannya bak halilintar, membuatku terkapar, tak berdaya. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku luruh di tanah, tangisku pecah.

Ya Robb ... Ternyata sesakit ini dikhianati oleh suami.

"Mbak, gak kenapa-napa?" tanya seorang wanita. Dia membantuku berdiri, menatapku dengan sorot mata mengasihani.

"Makasih, Mbak." Aku berdiri, memberikan seulas senyum kemudian pergi.

Sempat aku menoleh ke belakang, menatap lelaki itu dengan penuh kekecewaan. Dia yang kuperjuangkan tapi justru menorehkan luka, membuat kepercayaan yang kutanam hilang.

"Dia sudah gak mencintaiku," gumamku.

Jika dia masih memiliki rasa cinta, dia melarangku pergi, menahan dan tidak mengatakan pisah.

Aku paksa kaki melangkah meski berat. Kutekankan pada diri sendiri jika pernikahan ini telah berakhir. Lagi, aku seka air mata yang jatuh, menggenang di pipi.

Kaki terus melangkah tanpa tujuan yang jelas. Hanya ingin lari dari kenyataan yang membelenggu. Namun nyatanya semakin dilupakan justru semakin mengakar dalam ingatan. Tuhan, izinkan aku amnesia agar aku bisa melupakan rasa sakit ini.

Suara cacing berdemo terdengar jelas. Disertai perut yang terasa melilit, perih. Aku menoleh kanan dam kiri, mencari sebuah warung makan. Hati boleh terluka tetapi fisik jangan. Masa depan masih panjang meski harus berjuang seorang diri.

Kaki kembali melangkah menuju warung makan tak jauh dari tempatku berdiri.

"Nasi diberi telur dan sambal satu, Bu. Minumnya teh manis saja."

Wanita itu mengangguk kemudian segera membuatkan makanan untukku. Tak berapa lama sepiring nasi dengan telur dia letakkan di atas mejaku. Tidak lupa secangkir teh hangat.

Aku segera menikmati makanan itu. Namun seketika berhenti. Apa ibu sudah makan? Kalimat memenuhi kepala. Tetapi kuyakinkan diri jika Afifah mampu menjaga ibu dengan baik.

Setelah selesai makan aku pun kembali ke stasiun. Hari ini juga aku harus pulang. Untuk apa tinggal di sini jika luka yang Mas Toni berikan padaku.

Jakarta, tempat aku dan Mas Toni bertemu. Di sinilah awal kisah cinta kami dimulai. Mas Toni, seorang tukang bangunan yang kala itu bekerja di rumah sebelah kosku. Sering kali bertemu membuat benih cinta itu hadir. Hingga akhirnya dia melamarku, menjadikan aku ratu dalam istana hatinya.

Namun ternyata cinta itu hanya bertahan sebentar saja. Kota ini kembali menjadi saksi berakhirnya ikatan pernikahan kami. Sakit, tapi jauh lebih menyakitkan bertahan dalam sebuah kebohongan.

***

Aku kembali melangkah menuju rumah yang dua tahun kutinggali. Sesak kembali menyeruak memenuhi rongga dada. Entah apa yang akan kukatakan pada wanita yang telah menunggu kedatanganku. Mampukah aku jujur, mengatakan kenyataan pahit padanya?

Pintu rumah sudah terbuka saat aku tiba. Wanita yang dua tahun kurawat tengah duduk di ruang tamu. Netranya lurus menatap ke depan, meski aku tahu hanya kegelapan yang tampak.

Apa aku sanggup meninggalkan ibu seorang diri? Tapi aku tak akan sanggup terus tinggal di rumah lelaki yang sudah menancapkan belati di hati.

"Assalamualaikum," salamku pelan.

Seketika sebuah lengkungan tergambar di wajahnya. Begitu bahagiakah dia dengan kedatanganku? Lantas bagaimana jika aku pergi? Ya Allah... Begitu berat meninggalkan ibu. Jauh lebih berat dari pada kehilangan Mas Toni.

"Kamu sudah pulang, Nduk?" Wanita itu meraba sekitar kursi, mencari tongkat kayu miliknya.

Aku melangkah mendekat lalu duduk tepat di sampingnya.

"Lha kok cepet sekali? Pulang sama Toni, to?" Ibu menoleh ke kanan dan kiri, mesti tak akan bisa melihat keadaan. Namun gerakan itu reflek ia lakukan.

"Mana Toni, Nduk? Kenapa gak ada suaranya?" Wajah yang ceria seketika berubah sendu. Lalu bulir bening itu jatuh satu persatu.

"Kamu pulang sendiri?"

Aku mengangguk, mulut ini enggan mengeluarkan kata. Sakit hati membuat mulut enggan berbicara.

"Jawab, Nduk. Kamu pulang sendiri?"

Bodoh, aku lupa jika ibu tak mampu melihat. Anggukan kepala tak bisa memberi penjelasan kepadanya. Hanya suara yang mampu ia dengar.

"Fa - Fatimah pu... pulang sendiri, Bu," jawabku dengan terbata. Sekuat tenaga kutahan air mata ini.

"Kenapa tidak diantar Toni, Nduk?"

Diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Rangkain kata yang sempat kususun hilang dalam sekejap mata.

"Afifah mana, Bu? Kok gak ada."

"Afifah pulang sebentar, mau membersihkan rumah sebentar."

"Ibu sudah makan?"

"Belum, nanti dibawakan Nak Afifah."

Aku mengangguk lalu kembali diam.

"Kamu belum jawab pertanyaan ibu. Kenapa pulang sendiri, Fatimah?"

Aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada ini. Pertanyaan ibu tak ubahnya garam yang ditaburkan di atas luka. Perih, teramat perih.

"Mas Toni sibuk, Bu."

Entahlah, kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku.

"Apa benar Toni memiliki selingkuhan, Nduk? Hingga kamu pulang sendirian?" tanyanya dengan dada bergetar.

"Iya, Bu."

Pecah sudah pertahananku, aku menangis kala wajah Mas Toni dan wanita itu hadir dalam ingatan. Bohong jika aku baik-baik saja. Nyatanya luka itu masih menganga.

"Ya Allah, Nduk. Maafkan anak ibu." Ibu merangkulku, bulir demi bulir jatuh membasahi pundakku.

"Apa kurang Fatimah, Bu? Kenapa Mas Toni tega mengkhianati aku?"

"Kamu gak kurang apa-apa. Kamu istri dan menantu yang sempurna. Toni saja yang tidak bersyukur memiliki wanita sebaik kamu."

Aku hanya bisa diam, tak bisa lagi kukatakan bagaimana perasaanku saat ini. Hancur, bahkan tak berbentuk lagi.

"Tolong maafkan Toni, Nduk. Ibu yakin dia khilaf. Dia pasti berubah, ibu yakin itu."

Memaafkan? Kurasa tak semudah membalikkan telapak tangan. Kaca yang pecah saja tak mungkin bisa kembali utuh meski diberi lem mahal. Apa lagi hatiku yang sudah remuk ini.

"Mas Toni sudah menceraikan Fatimah, Bu. Dia lebih memilih wanita itu, Bu."

"Apa!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status