Share

Cerai

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-31 19:29:47

"Ini alasan kamu berbohong padaku, kan!"

Suamiku diam, ia memilih menundukkan kepala. Merasa bersalah atau malu karena sudah tertangkap basah.

"A-aku bisa jelaskan, Fat, ini gak seperti yang kamu pikirkan."

Mas Toni mendekat, tapi aku mundur beberapa langkah. Jijik saat tangannya hendak menyentuhku. Tak bisa kubayangkan tangan itu yang ia gunakan untuk membelai wanita lain. Bahkan mungkin lebih dari itu.

"Jangan sentuh aku, Mas! Aku muak sama kamu!" teriakku lantang.

Teriakan yang sempat terlontar membuat beberapa pasang mata menatap ke arah kami. Bisik-bisik tak enak seketika menyeruak. Kami bak sebuah tontonan yang disaksikan banyak orang. Namun aku tak peduli. Biar saja seluruh dunia tahu bagaimana kelakuannya di belakangku.

"Fatimah, dengarkan dulu ... Aku bisa jelaskan semuanya."

"Ini, kan alasan kamu menelantarkan ibu dan memberi cincin palsu padaku. Kamu keterlaluan, Mas!"

"Bu-bukan begitu, Fat."

"Aku benci sama kamu, Mas. Aku mau kita pisah!"

Dadaku bergemuruh, tangan mengepal di samping. Amarah sudah tak bisa lagi kubendung. Sudah cukup, aku tak ingin meneruskan pernikahan yang penuh kebohongan ini.

"Oke kalau itu mau kamu... Mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku talak kamu, Fatimah Zahra!"

Perkataannya bak halilintar, membuatku terkapar, tak berdaya. Tanpa diminta bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku luruh di tanah, tangisku pecah.

Ya Robb ... Ternyata sesakit ini dikhianati oleh suami.

"Mbak, gak kenapa-napa?" tanya seorang wanita. Dia membantuku berdiri, menatapku dengan sorot mata mengasihani.

"Makasih, Mbak." Aku berdiri, memberikan seulas senyum kemudian pergi.

Sempat aku menoleh ke belakang, menatap lelaki itu dengan penuh kekecewaan. Dia yang kuperjuangkan tapi justru menorehkan luka, membuat kepercayaan yang kutanam hilang.

"Dia sudah gak mencintaiku," gumamku.

Jika dia masih memiliki rasa cinta, dia melarangku pergi, menahan dan tidak mengatakan pisah.

Aku paksa kaki melangkah meski berat. Kutekankan pada diri sendiri jika pernikahan ini telah berakhir. Lagi, aku seka air mata yang jatuh, menggenang di pipi.

Kaki terus melangkah tanpa tujuan yang jelas. Hanya ingin lari dari kenyataan yang membelenggu. Namun nyatanya semakin dilupakan justru semakin mengakar dalam ingatan. Tuhan, izinkan aku amnesia agar aku bisa melupakan rasa sakit ini.

Suara cacing berdemo terdengar jelas. Disertai perut yang terasa melilit, perih. Aku menoleh kanan dam kiri, mencari sebuah warung makan. Hati boleh terluka tetapi fisik jangan. Masa depan masih panjang meski harus berjuang seorang diri.

Kaki kembali melangkah menuju warung makan tak jauh dari tempatku berdiri.

"Nasi diberi telur dan sambal satu, Bu. Minumnya teh manis saja."

Wanita itu mengangguk kemudian segera membuatkan makanan untukku. Tak berapa lama sepiring nasi dengan telur dia letakkan di atas mejaku. Tidak lupa secangkir teh hangat.

Aku segera menikmati makanan itu. Namun seketika berhenti. Apa ibu sudah makan? Kalimat memenuhi kepala. Tetapi kuyakinkan diri jika Afifah mampu menjaga ibu dengan baik.

Setelah selesai makan aku pun kembali ke stasiun. Hari ini juga aku harus pulang. Untuk apa tinggal di sini jika luka yang Mas Toni berikan padaku.

Jakarta, tempat aku dan Mas Toni bertemu. Di sinilah awal kisah cinta kami dimulai. Mas Toni, seorang tukang bangunan yang kala itu bekerja di rumah sebelah kosku. Sering kali bertemu membuat benih cinta itu hadir. Hingga akhirnya dia melamarku, menjadikan aku ratu dalam istana hatinya.

Namun ternyata cinta itu hanya bertahan sebentar saja. Kota ini kembali menjadi saksi berakhirnya ikatan pernikahan kami. Sakit, tapi jauh lebih menyakitkan bertahan dalam sebuah kebohongan.

***

Aku kembali melangkah menuju rumah yang dua tahun kutinggali. Sesak kembali menyeruak memenuhi rongga dada. Entah apa yang akan kukatakan pada wanita yang telah menunggu kedatanganku. Mampukah aku jujur, mengatakan kenyataan pahit padanya?

Pintu rumah sudah terbuka saat aku tiba. Wanita yang dua tahun kurawat tengah duduk di ruang tamu. Netranya lurus menatap ke depan, meski aku tahu hanya kegelapan yang tampak.

Apa aku sanggup meninggalkan ibu seorang diri? Tapi aku tak akan sanggup terus tinggal di rumah lelaki yang sudah menancapkan belati di hati.

"Assalamualaikum," salamku pelan.

Seketika sebuah lengkungan tergambar di wajahnya. Begitu bahagiakah dia dengan kedatanganku? Lantas bagaimana jika aku pergi? Ya Allah... Begitu berat meninggalkan ibu. Jauh lebih berat dari pada kehilangan Mas Toni.

"Kamu sudah pulang, Nduk?" Wanita itu meraba sekitar kursi, mencari tongkat kayu miliknya.

Aku melangkah mendekat lalu duduk tepat di sampingnya.

"Lha kok cepet sekali? Pulang sama Toni, to?" Ibu menoleh ke kanan dan kiri, mesti tak akan bisa melihat keadaan. Namun gerakan itu reflek ia lakukan.

"Mana Toni, Nduk? Kenapa gak ada suaranya?" Wajah yang ceria seketika berubah sendu. Lalu bulir bening itu jatuh satu persatu.

"Kamu pulang sendiri?"

Aku mengangguk, mulut ini enggan mengeluarkan kata. Sakit hati membuat mulut enggan berbicara.

"Jawab, Nduk. Kamu pulang sendiri?"

Bodoh, aku lupa jika ibu tak mampu melihat. Anggukan kepala tak bisa memberi penjelasan kepadanya. Hanya suara yang mampu ia dengar.

"Fa - Fatimah pu... pulang sendiri, Bu," jawabku dengan terbata. Sekuat tenaga kutahan air mata ini.

"Kenapa tidak diantar Toni, Nduk?"

Diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Rangkain kata yang sempat kususun hilang dalam sekejap mata.

"Afifah mana, Bu? Kok gak ada."

"Afifah pulang sebentar, mau membersihkan rumah sebentar."

"Ibu sudah makan?"

"Belum, nanti dibawakan Nak Afifah."

Aku mengangguk lalu kembali diam.

"Kamu belum jawab pertanyaan ibu. Kenapa pulang sendiri, Fatimah?"

Aku menghela napas, menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada ini. Pertanyaan ibu tak ubahnya garam yang ditaburkan di atas luka. Perih, teramat perih.

"Mas Toni sibuk, Bu."

Entahlah, kenapa kalimat itu yang keluar dari mulutku.

"Apa benar Toni memiliki selingkuhan, Nduk? Hingga kamu pulang sendirian?" tanyanya dengan dada bergetar.

"Iya, Bu."

Pecah sudah pertahananku, aku menangis kala wajah Mas Toni dan wanita itu hadir dalam ingatan. Bohong jika aku baik-baik saja. Nyatanya luka itu masih menganga.

"Ya Allah, Nduk. Maafkan anak ibu." Ibu merangkulku, bulir demi bulir jatuh membasahi pundakku.

"Apa kurang Fatimah, Bu? Kenapa Mas Toni tega mengkhianati aku?"

"Kamu gak kurang apa-apa. Kamu istri dan menantu yang sempurna. Toni saja yang tidak bersyukur memiliki wanita sebaik kamu."

Aku hanya bisa diam, tak bisa lagi kukatakan bagaimana perasaanku saat ini. Hancur, bahkan tak berbentuk lagi.

"Tolong maafkan Toni, Nduk. Ibu yakin dia khilaf. Dia pasti berubah, ibu yakin itu."

Memaafkan? Kurasa tak semudah membalikkan telapak tangan. Kaca yang pecah saja tak mungkin bisa kembali utuh meski diberi lem mahal. Apa lagi hatiku yang sudah remuk ini.

"Mas Toni sudah menceraikan Fatimah, Bu. Dia lebih memilih wanita itu, Bu."

"Apa!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
fatimah goblok, dungu dan belagu. sok2an minta cerai, ketika dicerai betulan merasa paling tersakiti. minimal pake otak dikitlah dan jgn asal mangab.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ending

    Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ungkapan Hati

    Aku masih membisu, menatap Rio dan wanita itu bergantian. Entah kenapa ada yang berdenyut di hati ini. Cemburu. Ya, rasa itu hadir tanpa diminta tapi mampu menyesakkan dada. "Ada perlu apa, Ra?" tanya Rio lagi. Kembali kutatap perempuan yang bergelayut manja di lengan Rio. Tak dapatkah mereka melakukan di dalam, bukan di hadapanku. Pantas saja Rio tak mau menemuiku, dia saja asyik pacaran. "Tidak jadi. Aku permisi, Rio!"Aku pun beranjak pergi, percuma datang kemari jika akhirnya hanya kecewa yang aku dapatkan. Ternyata cinta yang tawarkan telah luntur. Tak membara seperti saat ia mengatakannya. Ah, lelaki sama saja. "Zahra!" teriak Rio. Aku menoleh, namun kembali kulangkahkan kaki menuju tempat motorku terparkir rapi. Lebih baik segera pergi dari sini. Karena aku tak sanggup membayangkan kemesraan Rio dan wanita itu. Mereka begitu serasi. Tuhan kenapa aku tak rela? Motor segera kulajukan perlahan meninggalkan halaman restoran Rio. Sempat kulihat Rio dari pantulan kaca spion. Di

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Menemui Rio

    "Rio!" teriakku, tapi dia terus saja berlari. Aku beranjak meninggalkan Mas Aziz. Mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Aku ciumi bunga itu. Sesak, hingga air mata berlomba-lomba turun membasahi pipiku. Tak berapa lama terdengar suara mobil menjauh. Rio telah pergi dengan rasa kecewa yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa ada sesak yang singgah dalam hati ini. "Kamu gak papa, Ra?" tanya Mas Aziz yang sudah berdiri di sampingku. Dia tatap diriku penuh tanda tanya. "Gak papa, Mas. Apa sudah selesai? Aku ingin pulang."Lelaki itu mengangguk, kemudian mengajakku berjalan menuju mobilnya. Aku hanya diam seraya mengikuti gerakan kakinya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tenggelam dalam rasa bersalah. Perlahan kendaraan roda empat Mas Aziz melaju, meninggalkan kantor polisi. Hening, aku justru asyik menatap buket bunga berwarna putih ini. Mengabaikan Mas Aziz yang beberapa kali menatap padaku. Entah rasa apa yang mulai singgah di hatiku. Tak bisa k

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Kecewa

    Pov RioTerdiam, aku tidak salah dengar, kan? Aziz bilang rekaman CCTV? Dia tidak sedang mempermainkan aku, kan? "Hallo, Rio... Kamu masih di situ, kan?""Eh, iya.""Besok kita ke kantor polisi, Rio. Aku tunggu di sana.""Siapa dalangnya?""Besok di kantor polisi."Aku membuang napas kasar, kesal dengan jawaban lelaki itu. Apa susahnya bilang sekarang? Takut aku menghajar orang itu. Ah, bukan hanya kuhajar, tapi akan kuseret ke dalam penjara. Enak saja dia menyakiti wanitaku. Diam, kutatap gelapnya langit tanpa cahaya bulan. Sama sepertiku yang terasa hampa tanpa pesan dari Zahra. Ah, beginikah rasanya cinta tanpa balasan. Menyiksa. Angin malam terasa menusuk tulang. Namun kaki enggan diajak melangkah, masuk ke dalam. Lagi dan lagi bayang Zahra menyita perhatian. Sedang apa dia? Ah, pasti sangat ketakutan. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Bagiku tangis Zahra adalah luka yang tak bisa disembuhkan. Suara nyamuk mengusik ketenangan lamunanku. Serangga kecil itu terus terbang

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Bukti

    POV Rio"Ini laporan yang Pak Rio minta," ucap Rika seraya memberikan laporan keuangan yang baru saja kuminta. "Makasih, Rik."Seulas senyum kuberikan pada wanita itu. Sebagai seorang pemimpin mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum adalah kewajiban. Karena bagiku karyawan bukan bawahan melainkan rekan kerja untuk memajukan suatu usaha. Papa mengajarkan untuk selalu menghargai orang lain. Bahkan tak membedakan orang karena status sosial. Itu yang membuatku memiliki banyak teman. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" tanya Rika lagi. "Tolong buatkan kopi, Rik. Jangan terlalu manis."Rika menganggukkan kepala. Segera ia berjalan meninggalkan ruangan ini. Hingga akhirnya ia menghilang dari balik pintu. Aku mengambil laporan yang ada di atas meja. Aku baca setiap kata dan angka yang tertulis di kertas berwarna putih itu. Tanpa terasa sudut bibir tertarik ke atas. Laba restoran meningkat banyak bulan ini. Semua tak luput dari bantuan Zahra. Dia berkomentar ini dan itu, mengkri

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Penangkapan Fatimah

    "Are you okay, Ra?" tanya Rio saat aku diam membisu. "Gak papa, capek aja, Rio. Ngomong-ngomong makasih karena sudah membelaku tadi."Lelaki itu tersenyum hingga nampak gigi putih. "Aku akan menjadi benteng untuk kamu, Ra.""Emang aku sedang perang apa?" Aku mengerucutkan bibir. Rio hanya tersenyum, kemudian kembali melajukan mobilnya menuju rumah. Tak banyak percakapan di antara kami. Aku justru tenggelam dalam rasa sakit yang tiada bertepi. "Aku kecewa sama kamu, Ra!"Kalimat itu terus saya terngiang. Hingga menciptakan rasa kesal dalam dada. Percuma hati ini kembali kubuka, tapi nyatanya hanya menciptakan lara. Perlahan aku atur napas, berusaha menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Ternyata keputusan meninggalkan Mas Aziz yang terbaik. Percuma menjalin suatu hubungan tanpa dasar kepercayaan. "Mau turun atau pulang bersamaku, Ra?" Aku tersentak, menoleh sekitar. Benar saja, kami sudah berhenti di depan rumah. Rio pasti tahu aku tengah melamun. Hingga masih duduk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status