Share

Mengantar Ibu

"Ibu," panggilku lagi.

Namun ibu hanya diam membisu, perlahan tubuhnya luruh dengan punggung menempel di dinding. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi yang mulai keriput itu. Sudut hatiku teriris melihat tangisnya.

Ibu memang hanya mertua yang tinggal bersamaku dalam atap yang sama. Namun beliau sangat menyayangiku. Tak pernah sekali pun beliau membentakku. Ibu bukan mertua jahat seperti yang digambarkan dalam sinetron atau sebuah novel. Itu yang membuatku berat meninggalkannya seorang diri di rumah ini.

"Maafkan Fatimah, Bu." Aku peluk tubuh rentanya. Wanita itu semakin terisak dalam dekapanku.

"Pergilah, Nduk. Ibu akan baik-baik saja. Afifah benar, kamu pantas bahagia dan kebahagiaanmu bukan di sini," ucapnya dengan suara bergetar.

Aku membisu, hanya air mata yang menggambarkan isi hatiku saat ini.

"Ayo bangun,Bu," ucapku seraya membantunya berdiri.

Perlahan aku tuntun ibu, kubantu ia duduk di kursi kayu ruang tamu. Aku pun menjatuhkan bobot di sampingnya. Diam, kami sama-sama tenggelam dalam kebisuan. Sama-sama memiliki perasaan yang entah, tak bisa kugambarkan. Hancur, kecewa, marah, benci dan bimbang yang melebur menjadi satu.

"Ibu ikhlas kamu pergi, Nduk. Ibu tahu, selama ini sangat menyusahkan kamu. Maafkan jika selama ini hanya menjadi beban bagimu."

Wanita yang memakai daster lusuh itu menunduk, air bening berlomba-lomba jatuh membasahi pipinya. Bahkan mengenai pakaiannya.

"Mana tega Fatimah meninggalkan ibu sendirian. Bagaimana ibu memasak atau membersihkan rumah dengan keadaan seperti ini?"

Aku terisak, tak mampu kubayangkan bagaimana susahnya ibu tanpa kehadiranku. Untuk sekedar mengisi perut saja beliau pasti tak sanggup.

"Kita antarkan saja ibu ke Jakarta, Fat. Beliau masih menjadi tanggung jawab Toni. Bukan kamu yang hanya mantan menantu," ucap Afifah pelan tapi bagai pisau yang menguliti tubuh.

Perkataan Afifah memang benar tapi cara penyampaiannya yang salah. Dia memang tipe orang yang bicara to the point, tanpa basa-basi. Tak jarang ucapannya menyinggung orang lain.

"Benar ucapan Afifah, Nduk. Mungkin lebih baik ibu tinggal bersama Toni karena dia yang anak ibu, bukan kamu."

Aku diam, bingung harus menjawab apa. Sejujurnya aku ragu, apa Mas Toni mampu merawat ibu dengan baik? Namun yang dikatakan Afifah benar, ibu bukan menjadi tanggung jawabku sekali pun aku sangat menyayanginya.

"Ibu yakin mau tinggal bersama Mas Toni?" tanyaku memastikan.

"Yakin, Nduk. Orang tua kamu jauh lebih penting dari pada ibu yang hanya mertua."

"Ibu bukan sekedar mertua untuk Fatimah. Ibu sudah kuanggap sebagai ibu kandung sendiri."

Ibu mengangguk, lalu memeluk tubuhku erat. Lagi ia tumpahkan air bah yang sedari tadi ia tahan.

***

Berbekal uang sisa penjualan kalung dan pinjaman dari Afifah, kami pun berangkat ke Jakarta. Kali ini Afifah ngotot ikut mengantar ibu. Dia takut Mas Toni kalap dan melakukan hal yang tidak-tidak terhadapku. Terkesan berlebihan tapi memang seperti itu sifatnya.

Kami berangkat malam hari agar sampai di sana pagi, sama seperti keberangkatanku beberapa hari lalu. Di dalam kereta ibu sama sekali tidak tidur. Wanita paruh baya itu terus terdiam hingga kereta berhenti di stasiun tujuan.

Semilir angin menyambut kedatangan kami. Rintik hujan bak gambaran suasana hati, sendu. Dari genangan air yang ada di tanah, kemungkinan hujan turun dari semalam.

"Ibu kedinginan?" tanyaku saat melihat ibu menyatukan kedua tangannya di dada.

Cuaca pagi ini memang begitu dingin. Paling enak berada di kamar, bukan justru berada di jalan seperti ini.

Aku lepas jaket lalu memakaikannya ke tubuh ibu. Ibu hanya diam, tak ada penolakan darinya. Karena udara yang menusuk tulang.

Seperti tempo hari, kontrakan Mas Toni sudah dipenuhi orang dengan kegiatan yang berbeda. Beberapa pasang mata menatap penuh tanda tanya ke arah kami. Lebih tepatnya ke arahku. Mungkin kejadian tempo hari masih membekas di ingatan mereka.

"Masih lama, Nduk?" tanya ibu sambil berjalan perlahan.

"Sebentar lagi, Bu."

Aku kembali menuntun ibu menuju kontrakan Mas Toni di paling ujung.

"Mbak yang kemarin, ya?" tanya seorang ibu bertubuh gempal.

Aku hanya tersenyum lalu kembali meneruskan langkah. Bukan sombong tapi tidak ingin menimbulkan masalah baru. Satu masalah saja sudah memusingkan kepala apa lagi tambah dua atau tiga.

"Rumahnya yang mana, Fat?"

"Paling ujung, Fah, yang ada motor biru di depannya," jawabku seraya mengarahkan jari telunjuk ke sana.

Afifah menganggukkan kepala tanda mengerti.

Pintu kontrakan Mas Toni masih tertutup rapat saat kami tiba. Afifah segera mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu.

"Sebentar!" teriaknya dari dalam.

Kali ini aku berharap kejadian tempo hati tak akan terulang lagi. Aku tidak ingin ibu merasakan hal yang sama, kecewa terhadap Mas Toni. Cukup aku saja yang merasakan kepedihan, kuharap ibu tidak.

Pintu dibuka dari dalam. Seorang lelaki berdiri mematung kala melihat kedatangan kami. Wajah syok dan tegang tergambar jelas di netranya.

"I-ibu," ucapnya terbata.

"Iya, ini ibu, Ton," jawab ibu datar.

Dengan berat hati Mas Toni mempersilakan kami masuk. Tak ada sofa, hanya kursi kayu yang tersedia di rumah ini. Sama persis seperti di rumah. Hanya saja lantai rumah ini sudah di keramik berwarna putih.

"Ibu kenapa di sini?" tanyanya memecah keheningan yang tercipta.

"Ada tamu ya diberi minum, bukan disuguh dengan pertanyaan gak bermutu begitu," sindir Afifah sambil menatap tajam ke arah mantan suamiku.

Kilau kebencian semakin terlihat di wajah Afifah. Melihat Mas Toni tak ubahnya melihat tersangka pembunuhan.

"Tunggu sebentar," ucap Mas Toni seraya beranjak dari kursi. Lelaki itu pun segera pergi ke belakang.

Samar terdengar sendok yang beradu dengan gelas. Mas Toni pasti sedang membuatkan teh hangat meski sedikit terpaksa. Tidak lama lelaki itu datang sambil membawa nampan berisi tiga buah cangkir teh panas.

"Silakan diminum, Bu, Fat, Fah." Mas Toni meletakkan nampan itu di atas meja.

Aku bantu ibu meminum teh hangatnya. Beberapa saat kulihat Mas Toni memperhatikanku, dia menatapku dengan pandangan yang tak bisa kujelaskan.

"Sudah, Nduk," ucap ibu. Kembali aku letakkan cangkir di atas meja.

Kembali aku ambil cangkir yang masih utuh itu. Aku teguk perlahan teh yang masih mengeluarkan kepulan asap. Hangat minuman itu terasa hingga ke perut.

"Mau apa kamu kemari, Fat? Bukankah sudah jelas perkataanku tempo hari?" ucap Mas Toni ketus.

"Jadi benar kamu sudah menceraikan Fatimah, Nak?" tanya ibu dengan mata berkaca-kaca.

Aku genggam tangan ibu, memberi kekuatan agar beliau kuat.

"Toni sudah menceraikannya, Bu. Lalu untuk apa ia kemari? Minta runjuk?"

Aku mengepalkan tangan di samping, sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak ini. Ya Allah... Kenapa lelaki itu benar-benar berubah?

"Kami ke sini cuman nganterin ibu kamu, Ton. Jangan PD banget jadi orang. Kamu pikir lelaki paling oke sedunia? No!"

"Nganterin ibu, maksudnya?"

"Aku mengantarkan ibu untuk tinggal di sini. Karena merawat ibu bukan menjadi kewajibanku lagi, Mas. Tolong rawat ibu dengan baik."

"A-apa!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status