Share

Mengantar Ibu

last update Last Updated: 2023-07-10 16:05:13

"Ibu," panggilku lagi.

Namun ibu hanya diam membisu, perlahan tubuhnya luruh dengan punggung menempel di dinding. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi yang mulai keriput itu. Sudut hatiku teriris melihat tangisnya.

Ibu memang hanya mertua yang tinggal bersamaku dalam atap yang sama. Namun beliau sangat menyayangiku. Tak pernah sekali pun beliau membentakku. Ibu bukan mertua jahat seperti yang digambarkan dalam sinetron atau sebuah novel. Itu yang membuatku berat meninggalkannya seorang diri di rumah ini.

"Maafkan Fatimah, Bu." Aku peluk tubuh rentanya. Wanita itu semakin terisak dalam dekapanku.

"Pergilah, Nduk. Ibu akan baik-baik saja. Afifah benar, kamu pantas bahagia dan kebahagiaanmu bukan di sini," ucapnya dengan suara bergetar.

Aku membisu, hanya air mata yang menggambarkan isi hatiku saat ini.

"Ayo bangun,Bu," ucapku seraya membantunya berdiri.

Perlahan aku tuntun ibu, kubantu ia duduk di kursi kayu ruang tamu. Aku pun menjatuhkan bobot di sampingnya. Diam, kami sama-sama tenggelam dalam kebisuan. Sama-sama memiliki perasaan yang entah, tak bisa kugambarkan. Hancur, kecewa, marah, benci dan bimbang yang melebur menjadi satu.

"Ibu ikhlas kamu pergi, Nduk. Ibu tahu, selama ini sangat menyusahkan kamu. Maafkan jika selama ini hanya menjadi beban bagimu."

Wanita yang memakai daster lusuh itu menunduk, air bening berlomba-lomba jatuh membasahi pipinya. Bahkan mengenai pakaiannya.

"Mana tega Fatimah meninggalkan ibu sendirian. Bagaimana ibu memasak atau membersihkan rumah dengan keadaan seperti ini?"

Aku terisak, tak mampu kubayangkan bagaimana susahnya ibu tanpa kehadiranku. Untuk sekedar mengisi perut saja beliau pasti tak sanggup.

"Kita antarkan saja ibu ke Jakarta, Fat. Beliau masih menjadi tanggung jawab Toni. Bukan kamu yang hanya mantan menantu," ucap Afifah pelan tapi bagai pisau yang menguliti tubuh.

Perkataan Afifah memang benar tapi cara penyampaiannya yang salah. Dia memang tipe orang yang bicara to the point, tanpa basa-basi. Tak jarang ucapannya menyinggung orang lain.

"Benar ucapan Afifah, Nduk. Mungkin lebih baik ibu tinggal bersama Toni karena dia yang anak ibu, bukan kamu."

Aku diam, bingung harus menjawab apa. Sejujurnya aku ragu, apa Mas Toni mampu merawat ibu dengan baik? Namun yang dikatakan Afifah benar, ibu bukan menjadi tanggung jawabku sekali pun aku sangat menyayanginya.

"Ibu yakin mau tinggal bersama Mas Toni?" tanyaku memastikan.

"Yakin, Nduk. Orang tua kamu jauh lebih penting dari pada ibu yang hanya mertua."

"Ibu bukan sekedar mertua untuk Fatimah. Ibu sudah kuanggap sebagai ibu kandung sendiri."

Ibu mengangguk, lalu memeluk tubuhku erat. Lagi ia tumpahkan air bah yang sedari tadi ia tahan.

***

Berbekal uang sisa penjualan kalung dan pinjaman dari Afifah, kami pun berangkat ke Jakarta. Kali ini Afifah ngotot ikut mengantar ibu. Dia takut Mas Toni kalap dan melakukan hal yang tidak-tidak terhadapku. Terkesan berlebihan tapi memang seperti itu sifatnya.

Kami berangkat malam hari agar sampai di sana pagi, sama seperti keberangkatanku beberapa hari lalu. Di dalam kereta ibu sama sekali tidak tidur. Wanita paruh baya itu terus terdiam hingga kereta berhenti di stasiun tujuan.

Semilir angin menyambut kedatangan kami. Rintik hujan bak gambaran suasana hati, sendu. Dari genangan air yang ada di tanah, kemungkinan hujan turun dari semalam.

"Ibu kedinginan?" tanyaku saat melihat ibu menyatukan kedua tangannya di dada.

Cuaca pagi ini memang begitu dingin. Paling enak berada di kamar, bukan justru berada di jalan seperti ini.

Aku lepas jaket lalu memakaikannya ke tubuh ibu. Ibu hanya diam, tak ada penolakan darinya. Karena udara yang menusuk tulang.

Seperti tempo hari, kontrakan Mas Toni sudah dipenuhi orang dengan kegiatan yang berbeda. Beberapa pasang mata menatap penuh tanda tanya ke arah kami. Lebih tepatnya ke arahku. Mungkin kejadian tempo hari masih membekas di ingatan mereka.

"Masih lama, Nduk?" tanya ibu sambil berjalan perlahan.

"Sebentar lagi, Bu."

Aku kembali menuntun ibu menuju kontrakan Mas Toni di paling ujung.

"Mbak yang kemarin, ya?" tanya seorang ibu bertubuh gempal.

Aku hanya tersenyum lalu kembali meneruskan langkah. Bukan sombong tapi tidak ingin menimbulkan masalah baru. Satu masalah saja sudah memusingkan kepala apa lagi tambah dua atau tiga.

"Rumahnya yang mana, Fat?"

"Paling ujung, Fah, yang ada motor biru di depannya," jawabku seraya mengarahkan jari telunjuk ke sana.

Afifah menganggukkan kepala tanda mengerti.

Pintu kontrakan Mas Toni masih tertutup rapat saat kami tiba. Afifah segera mengetuk pintu yang terbuat dari kayu itu.

"Sebentar!" teriaknya dari dalam.

Kali ini aku berharap kejadian tempo hati tak akan terulang lagi. Aku tidak ingin ibu merasakan hal yang sama, kecewa terhadap Mas Toni. Cukup aku saja yang merasakan kepedihan, kuharap ibu tidak.

Pintu dibuka dari dalam. Seorang lelaki berdiri mematung kala melihat kedatangan kami. Wajah syok dan tegang tergambar jelas di netranya.

"I-ibu," ucapnya terbata.

"Iya, ini ibu, Ton," jawab ibu datar.

Dengan berat hati Mas Toni mempersilakan kami masuk. Tak ada sofa, hanya kursi kayu yang tersedia di rumah ini. Sama persis seperti di rumah. Hanya saja lantai rumah ini sudah di keramik berwarna putih.

"Ibu kenapa di sini?" tanyanya memecah keheningan yang tercipta.

"Ada tamu ya diberi minum, bukan disuguh dengan pertanyaan gak bermutu begitu," sindir Afifah sambil menatap tajam ke arah mantan suamiku.

Kilau kebencian semakin terlihat di wajah Afifah. Melihat Mas Toni tak ubahnya melihat tersangka pembunuhan.

"Tunggu sebentar," ucap Mas Toni seraya beranjak dari kursi. Lelaki itu pun segera pergi ke belakang.

Samar terdengar sendok yang beradu dengan gelas. Mas Toni pasti sedang membuatkan teh hangat meski sedikit terpaksa. Tidak lama lelaki itu datang sambil membawa nampan berisi tiga buah cangkir teh panas.

"Silakan diminum, Bu, Fat, Fah." Mas Toni meletakkan nampan itu di atas meja.

Aku bantu ibu meminum teh hangatnya. Beberapa saat kulihat Mas Toni memperhatikanku, dia menatapku dengan pandangan yang tak bisa kujelaskan.

"Sudah, Nduk," ucap ibu. Kembali aku letakkan cangkir di atas meja.

Kembali aku ambil cangkir yang masih utuh itu. Aku teguk perlahan teh yang masih mengeluarkan kepulan asap. Hangat minuman itu terasa hingga ke perut.

"Mau apa kamu kemari, Fat? Bukankah sudah jelas perkataanku tempo hari?" ucap Mas Toni ketus.

"Jadi benar kamu sudah menceraikan Fatimah, Nak?" tanya ibu dengan mata berkaca-kaca.

Aku genggam tangan ibu, memberi kekuatan agar beliau kuat.

"Toni sudah menceraikannya, Bu. Lalu untuk apa ia kemari? Minta runjuk?"

Aku mengepalkan tangan di samping, sekuat tenaga kutahan amarah yang hampir meledak ini. Ya Allah... Kenapa lelaki itu benar-benar berubah?

"Kami ke sini cuman nganterin ibu kamu, Ton. Jangan PD banget jadi orang. Kamu pikir lelaki paling oke sedunia? No!"

"Nganterin ibu, maksudnya?"

"Aku mengantarkan ibu untuk tinggal di sini. Karena merawat ibu bukan menjadi kewajibanku lagi, Mas. Tolong rawat ibu dengan baik."

"A-apa!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ending

    Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ungkapan Hati

    Aku masih membisu, menatap Rio dan wanita itu bergantian. Entah kenapa ada yang berdenyut di hati ini. Cemburu. Ya, rasa itu hadir tanpa diminta tapi mampu menyesakkan dada. "Ada perlu apa, Ra?" tanya Rio lagi. Kembali kutatap perempuan yang bergelayut manja di lengan Rio. Tak dapatkah mereka melakukan di dalam, bukan di hadapanku. Pantas saja Rio tak mau menemuiku, dia saja asyik pacaran. "Tidak jadi. Aku permisi, Rio!"Aku pun beranjak pergi, percuma datang kemari jika akhirnya hanya kecewa yang aku dapatkan. Ternyata cinta yang tawarkan telah luntur. Tak membara seperti saat ia mengatakannya. Ah, lelaki sama saja. "Zahra!" teriak Rio. Aku menoleh, namun kembali kulangkahkan kaki menuju tempat motorku terparkir rapi. Lebih baik segera pergi dari sini. Karena aku tak sanggup membayangkan kemesraan Rio dan wanita itu. Mereka begitu serasi. Tuhan kenapa aku tak rela? Motor segera kulajukan perlahan meninggalkan halaman restoran Rio. Sempat kulihat Rio dari pantulan kaca spion. Di

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Menemui Rio

    "Rio!" teriakku, tapi dia terus saja berlari. Aku beranjak meninggalkan Mas Aziz. Mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Aku ciumi bunga itu. Sesak, hingga air mata berlomba-lomba turun membasahi pipiku. Tak berapa lama terdengar suara mobil menjauh. Rio telah pergi dengan rasa kecewa yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa ada sesak yang singgah dalam hati ini. "Kamu gak papa, Ra?" tanya Mas Aziz yang sudah berdiri di sampingku. Dia tatap diriku penuh tanda tanya. "Gak papa, Mas. Apa sudah selesai? Aku ingin pulang."Lelaki itu mengangguk, kemudian mengajakku berjalan menuju mobilnya. Aku hanya diam seraya mengikuti gerakan kakinya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tenggelam dalam rasa bersalah. Perlahan kendaraan roda empat Mas Aziz melaju, meninggalkan kantor polisi. Hening, aku justru asyik menatap buket bunga berwarna putih ini. Mengabaikan Mas Aziz yang beberapa kali menatap padaku. Entah rasa apa yang mulai singgah di hatiku. Tak bisa k

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Kecewa

    Pov RioTerdiam, aku tidak salah dengar, kan? Aziz bilang rekaman CCTV? Dia tidak sedang mempermainkan aku, kan? "Hallo, Rio... Kamu masih di situ, kan?""Eh, iya.""Besok kita ke kantor polisi, Rio. Aku tunggu di sana.""Siapa dalangnya?""Besok di kantor polisi."Aku membuang napas kasar, kesal dengan jawaban lelaki itu. Apa susahnya bilang sekarang? Takut aku menghajar orang itu. Ah, bukan hanya kuhajar, tapi akan kuseret ke dalam penjara. Enak saja dia menyakiti wanitaku. Diam, kutatap gelapnya langit tanpa cahaya bulan. Sama sepertiku yang terasa hampa tanpa pesan dari Zahra. Ah, beginikah rasanya cinta tanpa balasan. Menyiksa. Angin malam terasa menusuk tulang. Namun kaki enggan diajak melangkah, masuk ke dalam. Lagi dan lagi bayang Zahra menyita perhatian. Sedang apa dia? Ah, pasti sangat ketakutan. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Bagiku tangis Zahra adalah luka yang tak bisa disembuhkan. Suara nyamuk mengusik ketenangan lamunanku. Serangga kecil itu terus terbang

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Bukti

    POV Rio"Ini laporan yang Pak Rio minta," ucap Rika seraya memberikan laporan keuangan yang baru saja kuminta. "Makasih, Rik."Seulas senyum kuberikan pada wanita itu. Sebagai seorang pemimpin mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum adalah kewajiban. Karena bagiku karyawan bukan bawahan melainkan rekan kerja untuk memajukan suatu usaha. Papa mengajarkan untuk selalu menghargai orang lain. Bahkan tak membedakan orang karena status sosial. Itu yang membuatku memiliki banyak teman. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" tanya Rika lagi. "Tolong buatkan kopi, Rik. Jangan terlalu manis."Rika menganggukkan kepala. Segera ia berjalan meninggalkan ruangan ini. Hingga akhirnya ia menghilang dari balik pintu. Aku mengambil laporan yang ada di atas meja. Aku baca setiap kata dan angka yang tertulis di kertas berwarna putih itu. Tanpa terasa sudut bibir tertarik ke atas. Laba restoran meningkat banyak bulan ini. Semua tak luput dari bantuan Zahra. Dia berkomentar ini dan itu, mengkri

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Penangkapan Fatimah

    "Are you okay, Ra?" tanya Rio saat aku diam membisu. "Gak papa, capek aja, Rio. Ngomong-ngomong makasih karena sudah membelaku tadi."Lelaki itu tersenyum hingga nampak gigi putih. "Aku akan menjadi benteng untuk kamu, Ra.""Emang aku sedang perang apa?" Aku mengerucutkan bibir. Rio hanya tersenyum, kemudian kembali melajukan mobilnya menuju rumah. Tak banyak percakapan di antara kami. Aku justru tenggelam dalam rasa sakit yang tiada bertepi. "Aku kecewa sama kamu, Ra!"Kalimat itu terus saya terngiang. Hingga menciptakan rasa kesal dalam dada. Percuma hati ini kembali kubuka, tapi nyatanya hanya menciptakan lara. Perlahan aku atur napas, berusaha menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Ternyata keputusan meninggalkan Mas Aziz yang terbaik. Percuma menjalin suatu hubungan tanpa dasar kepercayaan. "Mau turun atau pulang bersamaku, Ra?" Aku tersentak, menoleh sekitar. Benar saja, kami sudah berhenti di depan rumah. Rio pasti tahu aku tengah melamun. Hingga masih duduk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status