Share

Bab 4. Mengenalkan

Layaknya pasangan muda yang baru jadian. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama secara intens. Rangga bahkan dengan rela menghabiskan sore hingga malam di waruny nasi goreng milik keluarga Aya. Kedua orang tua Aya begitu baik. Ia terbuka menerima kehadiran Rangga dihidup putrinya. Bukannya apa-apa, karena sejak dekat dan menjalin kasih dengan Rangga, Aya menjadi semakin ceria dan bersemangat menjalani hari-harinya.

Rangga tak pernah menggunakan mobil mewahnya lagi. Ia sadar kalau Aya tak akan suka dan tak mungkin dibawa ke lingkungan itu.

Jaket yang dikenakan Rangga ia lepas di digantung di dinding warung sambil kalender. Ia bergegas membantu bapak kekasihnya mengangkat keranjang bulat tempat nasi putih. Lalu merapihkan kursi-kursi dan terakhir, memasang spanduk.

"Makasih ya Rangga,bapak jadi cepat beres-beresnya"

"Iya pak. Saya senang kok bantu-bantu disini"

Dari dalam terdengar Aya memanggil adiknya untuk mencuci gelas-gelas. Sedangkan dirinya menuruni tangga sambil membawa kotak untuk menaruh uang hasil jualan.

Rangga mengusap kepala Aya saat kekasihnya itu lewat didepannya. Aya tersenyum sambil menatap ke Rangga.

"Kamu mau makan dulu? Mau dibuatin apa ngga" Aya merapihkan alat tulis, dan kalkulator.

"Nanti aja. Belum juga di ada pelanggan masa aku makan" Tolak Rangga sambil membantu ibu membawa baskom berisi telur yang kemudian di tata di gerobak.

Rangga menatanya dengan apik. Berikut sayuran juga. Ibu tersenyum menatap. Lalu melirik ke Aya yang sibuk membuat catatan kecil.

"Aya, bikin minum buat Rangga, sana" Suara lembut dan pelan ibunya membuat Aya mengangguk cepat. Ia beranjak dan berjalan ke dapur. Membuatkan teh manis hangat untuk kekasihnya itu.

***

Pelanggan ramai. Wajar. Malam minggu. Bisa dua kali lipat yang datang. Dan dalam waktu tiga jam semua ludes habis terjual. Rangga takjub. Rasa nasi goreng, mie goreng, dan lainnya, terlalu sedap. Layaknya restaurant china. Padahal semua bapak dan ibu yang meracik dan menemukan resepnya. Sehingga beda dari yang lain.

Rangga bertopang dagu. Menatap Aya yang menghitung uang lembaran dan recehan begitu tekun.

Apa gue beliin mesin kasir ya

Pikiran itu terlintas dikepala Rangga. Urusan sepele untuk itu. Tapi ia ragu, takut Aya menolak. Akhirnya Rangga mengurungkan niat itu.

"Rangga, makan. Kamu belum makan kan" ibu menyuguhkan sepiring mie goreng kehadapan Rangga.

"Wah ibu, repot-repot. Saya nanti makan dirumah juga nggak pa-pa bu" Rangga merasa tak enak hati.

"Jangan, makan disini aja. Kamu kan udah bantu kami tadi, tapi makanannya ya ini-ini aja, ibu belum masak menu lain kalau jam segini"

Rangga tersenyum sopan sambil mengangguk.

"Ini udah mantap bu. Terima kasih" jawab Rangga sopan.

Nilai kesopanan itu yang membuat kedua orang tua Aya begitu menerima Rangga. Selain karena pacar pertama putrinya, sikal Rangga yang utama dinilai.

"Aya"

"Ya pak" Aya beranjak. Ia menghampiri bapaknya.

"Mau makan apa?"

Aya tersenyum.

"Terserah bapak" Aya lalu membawa kotak uang itu kelantai atas. Lalu kembali turun dan membantu adiknya merapihkan gelas yang sudah bersih dan kering kedalam tempatnya.

***

Rangga merangkul bahu Aya. Mereka berjalan kaki menuju ke area pasar malam. Mereka saling melempat tawa saat saling bercerita hal lucu. Aya membeli gula-gula kapas. Lalu memberikan Rangga untuk ia cicipi, karena, katanya Rangga belum pernah makan itu.

"Kamu terlalu kaya sampai makan gula kapas aja nggak tau" ledek Aya sambil duduk di bangku kayu panjang di pinggir jalan menatap ramaikan pasar malam.

"Bunda nggak bolehin aku makan nya, takut gigi ku rusak kalau makan manis katanya" Rangga mencomot gula kapas itu lagi.

"Maklumin aja, bunda dokter gigi dan pengusaha juga"

Aya menoleh. Ia memaksakan tersenyum. Pikirannya kemana-mana. Ia sadar, hubungannya dengan Rangga tak bisa jika diseriuskan, kasta mereka berbeda. Sekali lagi, berbeda.

"Ngga" Aya menatap Rangga yang tak risih berada diantara masyarakat banyak.

"Apa sayang" mendengar itu. Kupu-kupu di perut Aya bereaksi hebat. Ia justru menunduk dan mengulum senyum. Rangga menoleh. Ia terkekeh.

"Aku emang sayang kamu Aya"

"Iya tau, tapi nggak usah gitu juga manggilnya. Aku malu Ngga" Aya masih menunduk. Rangga tertawa.

"Mmm- ini, bukan untuk serius kan? Maksudku, kita jalanin aja tanpa ke arah yang lebih-" Aya menatap lekat ke netra Rangga. Raut wajah Rangga justru yak memperlihatkan main-main.

"Aku serius Aya. Terlalu serius. Sebentar lagi aku lulus, aku kerja dan aku akan-"

"Stop ngga. Jangan bilang yang berangan terlalu tinggi. Itu- terlalu jauh" Aya juga menatap Rangga serius.

"Perasaan aku serius ke kamu Aya. Aku nggak pernah main-main sama kata-kata. Apalagi kamu yang pertama ambil hati aku, ambil dunia aku yang terpusat ke kamu, dan aku bisa pastikan kamu juga yang terakhir. Pemilik kunci hati aku yang kamu simpan. Aya-"

"Aku nggak main-main" Rangga begitu serius. Aya bahkan bingung apa yang dilakukan orang-orang yang berpacaran. Apa saja yang mereka lalukan. Untuk apa. Dan bagaimana. Keduanya masih sama-sama belajar akan hal itu.

Aya mengangguk.

"Aku percaya Rangga. Karena- kamu juga yang jadi pusat perhatian ku. Kamu- yang  bisa masuk ke hati aku. Dengan diamnya kamu"

"Diam?" Rangga menatap bingung.

"Ck. Kamu kan diem. Dingin. Cuek. Masa bodo. Tapi, itu menarik perhatian aku"

"Jadi kamu udah merhatiian aku lama?" Kedua mata Rangga membulat sempurna. Aya tersenyum dan mengangguk pelan. Ia malu jujur saja. Tapi untuk apa menutupi dan gengsi, toh mereka sudah bersama kan.

"Ohhh jadi udah naksir duluan tohhhhh" ledek Rangga sambil melirik dan tersenyum. Aya terkekeh.

"Kamu juga kan, ngaku hayooooo" ia mencubit wajah Rangga pelan.

"Iya. Kamu ceria, aku seneng lihat aura kamu yang bikin aku juga seneng" keduanya saling melempar senyum. Rangga mengajak Aya kembali ke warung sekaligus rumah Aya. Hari sudah malam, jam setengah sebelas.

Sepanjang jalan mereka berjalan kaki, Rangga terus menceritakan tentang keluarganya. Betapa bangganya ia dengan bunda,ayah dan Ghani. Keluarga yang sukses diprofesi dan bisnis.

"Aku kenalin ke keluarga ku ya Aya?"

Aya menghentikan langkah kakinya. Rangga menoleh.

"Terlalu cepat Rangga. Jangan dulu ya"

"Kenapa? Kamu kan udah kenal Ghania?"

"Beda ngga. Ini kedua orang tua kamu. Aku- takut dan belum siap. Denger dari cerita kamu, keluarga kamu terlalu tinggi untuk aku yang latar belakang keluargu dari kasta rendahan. Kita jalanin aja ya, tanpa terlalu dalam kenal keluarga masing-masing. Aku mau kenal dan paham seorang Rangga tanpa bawa-bawa orang tua, bisa?" Tatapan Aya begitu memohon. Rangga luluh. Ia mengangguk.

"Dimulai dari kita dulu maksud kamu?" Rangga menangkup wajah gemas Aya. Gadis itu mengangguk.

"Oke. Aku setuju" Rangga lalu melapaskan tangan diwajah Aya dan beralih menggandeng jemari Aya.

"Sayang kamu Aya" bisik Rangga. Aya mengangguk. Ia merangkul lengan Rangga sebagai jawaban atas apa yang ia rasakan. Rangga pamit. Hari minggu besok ia tak bisa ke rumah Aya. Ada acara keluarga hingga malam hari. Aya tak masalah, toh bisa chat dan telfon.

"Aku kabarin kalau udah dirumah ya sayang" Rangga mengusap wajah Aya. Gadisnya itu mengangguk.

Aya masuk dan mengunci pintu. Ibu dan Ayah tersenyum menatap putrinya.

"Aya bahagia buk,pak" lalu ketiganya saling melempar senyuman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status