Aku melepaskanmu hanya untuk sementara. Maafkan ketidak tegasanku. Tunggu aku di ujung dunia sana. -Rangga untuk Aya-
***
Keributan terjadi. Bunda terus memaksa keinginannya untuk menjodohkan Rangga dengan Sonya. Rangga memberontak. Ia melempar semua yang bundanya berikan untuknya. Ia angkat kaki dari rumah besar itu tanpa membaw apapun. Sifat keras kepalanya sama dengan bunda, tapi penempatannya jelas berbeda.
Langkah kaki Rangga lebar, berjalan keluar pagar dengan wajah penuh kemarahan, kecewa, pilu dan hancur. Ghania mengejar kakaknya itu. Ia memeluk tubuh belakang kakaknya begitu erat.
"Bang, jangan tinggalin gue di rumah sendirian, bang. Ayo dibicarain baik-baik. Abang jangan pergi," lirih Ghania sambil terus memeluk. Rangga diam.
"Lo tau gimana bunda sakitin hati Aya dan orang tuanya Ghan? lo tau gimana malunya gue lihat mereka disakitin sama bunda. Ibu kandung kita."
"Iya, Bang. Tau. Paham, tapi please bang. Jangan pergi. Akan semakin ribet Abang." Ghania terus menahan kepergian abangnya itu.
Terdengar suara satpam rumah berteriak memanggil Ghania dan Rangga.
"Ibu! Ibu sesak!" teriak satpam rumah. Ghania dan Rangga saling menatap dan berlari kembali masuk kedalam rumah. Ayah dan bibi menggotong tubuh bunda masuk kedalam mobil. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar hebat. Rangga segera duduk di balik kemudi. Dengan cepat ia mengarahkan mobil ke rumah sakit.
***
Rangga berdiri bersandar di dinding IGD rumah sakit. Reno datang menyusul. Ghania terus memeluk Reno. Ternyata bunda terkena serangan jantung. Rangga diam. Posisinya sulit. Ia terpojok. Ia tak tau tindakan apa yang harus ia lakukan.
Keesokan paginya.
Bunda menatap wajah putra sulungnya itu dengan wajah marah.
"Kamu kalau mau lihat bunda pergi. Gampang, 'kan, Rangga, lihat Bunda. Serangan jantung dan tekanan darah tinggi bunda naik tak terkontrol. Kamu seneng lihatnya?" Air mata dari wanita yang melahirkan Rangga itu kembali menetes. Rangga menatap.
"Bunda kenapa nggak bisa terima Aya?" tatapan Rangga begitu datar. Ia mengharap jawaban lain dari mulut bundanya yang walau terbaring lemah masih bisa bersikap seenaknya kepada putranya.
"Karena dia nggak selevel sama kita. Bunda nggak mau keturunan-keturunan bunda lainnya hidup susah dan berdiri kukuh hanya karena rasa cinta!" ketus bunda.
Ayah menatap bunda begitu prihatin.
"Hati kamu kenapa jadi begini bunda, kamu bukan bunda yang dulu. Yang mau berjuang sama ayah untuk bangun ini semua. Apa karena kekayaan kita yang sudah berlimpah kamu nggak mau hidup sederhana dan kenal orang dibawah kita?" Ayah buka suara. Bunda membuang tatapan ke arah lain.
"Kamu nggak sopan Arinda. Lihat suami kamu. Saya lagi ngomong!" Ayah marah. Rangga memijat pelipisnya. Ia semakin bingung. Ghania masuk ke dalam kamar. Menatap semua wajah yang begitu keras karena amarah.
"Mau Bunda apa? Rangga harus apa bunda?" Rangga berdiri tegap. Menatap bundanya yang terbaring di atas brankar.
Kepala bunda menoleh menatap Rangga. Ia diam sejenak. "Terima perjodohan kamu dengan Sonya." Bunda berbicara tanpa keraguan.
Rangga diam. Menatap lurus kebundanya. Sorot matanya perlahan menjadi gelap. Tatapan sinis begitu tampak.
"Baik. Ternyata bunda masih keras kepala ya. Rangga terima perjodohan itu dengan syarat." ucap Rangga. Bundanya mengangguk.
"Jangan Bunda atur kerjaan Rangga di perusahaan. Rangga mau mulai semua dari bawah, kedua, jangan paksa Rangga untuk menghamili Sonya, ketiga, jangan harap bunda lihat Rangga yang dulu. Semua Rangga lakuin karena Bunda mau perjodohan ini berjalan demi nama baik Bunda. Bukan Rangga."
Tanpa menimbang-nimbang bunda mengangguk. Lalu ia tersenyum menatap putranya yang tak membalas senyumannya. Rangga berjalan keluar kamar rawat bundanya. Ghania mengejar. Lalu saat ia sudah berada menghampiri kakaknya itu. Ghania menampar wajah Rangga begitu keras.
Rangga diam. Ia tau adiknya akan marah dan kecewa dengan sikapnya. "Banci lo." Ghania berjalan dengan air mata meninggalkan kakaknya yang masih diam berdiri didekat Lift. Reno yang baru datang setelah membeli buah tampak bingung.
"Kak, kenapa Ghania?" Reno meletakan plastik berisi buah-buahan dari supermarket mahal.
Rangga terkekeh. Lalu tawa keras terdengar. Ia menatap Reno dengan tatapan sendu namun sambil tertawa.
"Gue pantas dibilang banci sama adek gue sendiri. Gue banci Reno! Gue pengecut! Gue nggak bisa perjuangin Aya, Reno!" Rangga berteriak marah. Reno diam. Ia juga tak berani menghadapi kakak dari Ghania yang tampak berbeda.
***
Dua bulan kemudian. Rangga memasang kancing baju batik lengan panjangnya. Lalu mengambil sepatu hitam miliknya. Ia menatap dirinya di cermin. Lalu gerakannya terhenti. Ia kembali membuka baju batik yang ia kenakan. Membuka sedikit kaos hitam polos sebagai dalamannya dan meraba perban putih yang menempel di dada kirinya. Ia tersenyum. Lalu kembali mengancingkan bajunya.
Ghania diam. Ia tak memperdulikan apa yang kakaknya lalukan. Ia masih marah. Tindakan bundanya tak main-main. Bahkan keluarga Aya diancam oleh bundanya jika Aya masih berani berhubungan dengan Rangga.
Rambut potongan cepak menjadi pilihan Rangga dengan wajah dingin miliknya, tampak sangat cocok. Belum lagi leher kokoh pria itu yang begitu tampak seperti lelaki kuat. Tak ada yang tahu dalamnya hati Rangga yang begitu hancur seperti pecahan kaca yang tak akan bisa utuh lagi. Semua karena ibu kandungnya sendiri.
Rangga berjalan menuruni anak tangga dengan perlahan. Aura dinginnya begitu nyata. Semua keluarga yang kumpul dirumahnya begitu takut dan segan dengan Rangga yang mereka kenal sebelumnya begitu ramah dan suka bercanda.
Bibi menghampiri, memberikan segelas teh manis hangat untuk tuan mudanya.
"Mas Rangga, masih bisa nolak hal ini, Bibi--" ucapannya terhenti karena lirikan tajam dari Rangga.
***
Acara lamaran itu dilaksanakan di hotel mewah. Esok harinya langsung diadakan pernikahan ditempat yang sama. Rangga menyetir sendiri mobil sedan sport hitam miliknya. Tak berkata sedikit pun. Ia juga berada di mobil itu seorang diri.
Dalam keadaan fokus menyetir, sosok Aya muncul di kepalanya. Hatinya berdenyut sakit sekaligus rindu dengan wanitanya itu. Ia tak tahu kabar Aya sejak pertemuan terakhir itu. Saat wisuda pun, Rangga tak melihat sosok Aya di kampus.
Rangga kini sudah bekerja di perusahaan ayah. Masih menjadi staf personalia yang dipimpin Rizal. Ia hanya butuh mempelajari itu selama tiga bulan. Sebelum pindah ke divisi marketing, selanjutnya keuangan. Ia mengepalkan jarinya. Menahan semua rasa yang begitu menyakitkan.
Sampailah ia dihotel mewah itu. Panitia acara pernikahan dengan Sonya menyiapkan kamar untuk dirinya menginap dan bersiap untuk acara esok hari. Lamaran pun dimulai. Rangga duduk diapit kedua orang tuanya. Berhadapan dengan Sonya yang tampak cantik dengan balutan kebaya berwarna jingga dan sanggul modern yang rapih. Sonya tersenyum menatap Rangga. Tapi Rangga diam dan menatap tajam ke Sonya. Wanita itu menunduk. Entah malu atau takut.
Rangga beranjak. Karena ia harus mengucapkan kalimat permintaan untuk meminang Sonya secara langsung yang nanti akan dijawab Sonya sebagai persetujuannya.
"Sonya Putria, saya datang ke sini untuk melamar kamu sebagai istri saya. Apa kamu bersedia." Banyak yang tak menyadari jika satu tangan Rangga ia letakan di balik tubuhnya dalam keadaan mengepal erat. Ghania melirik. Ia melihat itu. Ghania menunduk. Tak mungkin ia menggagalkan rencana bundanya itu. Namun ia juga tak tega dengan keadaan Rangga yang bukan lagi diri kakak satu-satunya.
Sonya berdiri. Ia tersenyum dengan cantiknya dan mengangguk seraya mengucapkan kaya 'Iya'.
Rangga menatap ke sudut lain. Ia melihat sosok yang sudah dua bulan ia tak temui dan ketahui. Berdiri dengan pakaian pelayan hotel. Tersenyum sedih sambil menatap Rangga. Lalu sosoknya kembali menghilang. Kedua mata Rangga terasa panas. Jantungnya berdebar begitu cepat. Nafasnya memburu hebat. Tatapan Aya itu terekam kuat di memori otaknya tanpa jeda. Begitu cepat. Rangga kembali duduk. Ia mengontrol semuanya. Emosi, dan kehancuran hatinya seorang diri.
***
Rangga keluar dari kamar hotelnya diam-diam. Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Acara lamaran sudah selesai setengah jam lalu. Keluarga Sonya berada di satu lantai diatas tempat keluarga Rangga menginap. Ia berlari menuju ke salah satu area hotel. Mencari keberadaan Aya di sana. Bahkan hingga ke kolam renang. Wajahnya panik bukan main. Ia ingin menemui Aya walau untuk terakhir kalinya. Ia butuh Aya. Ia butuh belahan jiwanya.
"Rangga," suara itu terdengar. Rangga diam. Ia berbalik badan. Dan menatap wanita cantik dengan rambut tergerai indah. Sudah tidak menggunakan seragam pelayan hotel lagi. Hanya baju yang Rangga tau. Aya mengenakan swetar kuning pemberiannya. Untuk menghangatkan tubuhnya di malam yang memang sedang diterjang angin kencang.
"Aya...." Rangga balas menyapa dengan suara parau.
Mereka masih berdiri mematung. Saling menatap. Hanya bulir air mata yang perlahan turun di wajah Aya. Membuat Rangga tak kuasa untuk tidak menarik tangan Aya dan membawanya ke tempat dimana mereka tidak akan diketahui keberadaannya.
Mereka berdua di dalam mobil Rangga. Tak melalukan apa pun yang berlebihan. Hanya pelukan hangat yang Rangga berikan kepada Aya. Mereka duduk di jok belakang mobil. Aya sesenggukan. Ia telah menangis. Karena rindu dan hancur secara bersamaan. Rangga tak kuat melihat itu. Ia menikmati harum wangi Aya dari kepala hingga terus memeluknya dari belakang. Mengusap bahu Aya yang begitu rapuh."Aya, sayang..." panggil Rangga pelan."Hem." Aya masih sesenggukan. Ia menoleh ke Rangga."Tunggu aku, ya. Aku janji. Semua ini akan berakhir cepat dan aku lepas semuanya. Ayah mau bantu. Apa kamu bisa?" Rangga mendekatkan wajah keduanya. Posisi Rangga masih memeluknya dari belakang."Rangga, pernikahan bukan main-main. Jalanin ya, Rangga. Mungkin emang kita nggak berjodoh." Rangga memejamkan matanya mendnegar ucapan Aya, ia merasa Aya begitu mudah menyerah. Rangga memeluk Aya lebih erat."Nggak. Aku mau kamu. Tetap kamu. Tolong, jangan berpaling Aya. Jangan." Rangga menghirup dalam-dalam wangi tubuh Ay
Sonya mencium tangan ibunda Rangga saat mereka tiba di rumah besar itu untuk berakhir pekan di sana. Bunda sengaja meminta Rangga dan Sonya menghabiskan akhir pekan di rumah itu dengan maksud keingintauan bunda, sudah sejauh mana hubungan anak dan menantunya itu. Sonya menata kue yang sempat mereka beli di toko kue dekat komplek apartemen sebelum ke rumah bunda. Bunda menghanpiri."Sonya, gimana Rangga? Sikapnya ke kamu," Bunda menarik kursi meja makan dan duduk di sana. Menatap menantunya yang tampak tersenyum. Akting yang luar biasanya dari seorang Sonya."Baik, Bunda. Mas Rangga care kok, sama Sonya," ucapnya diakhiri senyuman sambil menatap ibu mertuanya itu. Ghania ikut menghampiri. Ia hendak latihan basket di klub tempatnya bergabung."Ghan, bawa kue ini, ya, aku taruh di kotak bekal kamu." Sonya membuka lemari di sudut, mencari kotak makan untuk Ghania. Gadis itu hanya mengangguk."Tuh, kan ..., Bunda emang nggak salah pilih menantu. Sama adeknya Rangga aja perhatian banget. Gh
Tinggal seorang diri di kosan minimalis yang hanya berukuran 3x4 meter membuat Aya hanya bisa membawa tas pakaian dan beberapa perintilan barang-barang untuk riasan saat ia akan latihan tari. Seperti, selendang, kain jawa, stagen, kipas tangan, dan lain sebagainya.Kamar bernuansa warna putih itu hanya terdapat kamar mandi dan meja belajar, lemari pakaian pun tak ada.Aya duduk di atas tempat tidur tanpa dipan. Ia menyalakan kipas angin juga. Jendela kecil dekat pintu ia buka, supaya hawa dan sirkulasi udaranya masuk dengan baik.Tok ...Tok ...Seorang wanita seusianya berdiri di depan pintu."Baru ya tinggal di sini?" tanyanya, masih berdiri di depan pintu kamar Aya."Iya, Mbak, saya Aya," ujar Aya sambil beranjak dan mengulurkan tangan."Aku Dira. Di sini nggak boleh terima tamu cowok, kamu tau kan? Dan kalau teman atau keluarga, juga di batasi.""Iya, Mbak, tadi udah ketemu sama Ibu kos," jawab Aya ramah."Aku di kamar sebelah, sama kok kita, mahasiswi, tapi aku tinggal wisuda dua
Aya tak mau jika ia harus nikah siri dengan Rangga. Baginya, pernikahan itu hal yang sakral. Rangga terus membujuk tanpa lelah juga menyerah, baginya, seorang Aya adalah segalanya, tapi bagi Aya, kehormatan adalah yang utama. Semenjak hari itu, Rangga kembali intens menemuinya, bahkan saat pulang bekerja, hal pertama yang ia lakukan adalah bertemu Aya, entah di kampus atau tempat mengajar. Rangga begitu terpikat, namun juga tak bisa terlalu dekat. Para mata-mata bundanya sudah mulai muncul. Sonya bahkan meminta Aya dan Rangga berhati-hati."Aku rasa kita salah, Rangga. Aku takut Bunda akan menyalahkan Bapak dan Ibu aku, juga mengancamnya. Aku nggak nyaman kalau kita diam-diam begini. Kamu juga sama aja mempermainkan pernikahan kamu dan Sonya. Jangan begini ...." Aya menangis. Ia tak suka kucing-kucingan, resikonya juga besar.Rangga memeluk Aya, mereka sedang berada di daerah puncak. "Bunda kamu bisa lakuin apa aja, aku nggak mau bahayain banyak orang." Aya semakin terisak."Nggak! Per
(21+)Mohon bijak sebelum membaca, beberapa adegan akan saya buat sesederhana mungkin. Dan, ingat, bukan untuk ditiru! Tapi jadikan pelajaran karena sebagian besar dari kisah di judul ini FAKTA, sumber akurat. Oke, makasih.____"Kenapa ke sini? Kamu jangan gila, Rangga?" Sorot mata Aya menatap tak nyaman saat mereka menempati apartemen milik Sonya."Aya, kalau kamu pulang ke kosan, yang ada Bunda akan kejar kamu terus. Aku nggak bisa lindungin kamu kalau kamu nggak di deket aku. Kamu lihat kan kalau tadi, Bunda aja bisa tega sama anaknya sendiri. Aku. Gimana sama kamu?!" Rangga duduk di sofa. Ia mengusap kasar wajahnya. Aya duduk di sofa yang berhadapan dengan Rangga, terpisah meja kaca. Aya memangku kedua tangan di atas pahanya yang tertutup celana jeans. Keduanya diam, memikirkan masalah yang sedang terjadi."Kamu bisa pakai baju Sonya, Aya, dia tadi bilang, ada di lemari kamar itu," tunjuk Rangga. Aya mengangguk. Tak mungin juga ia tak bersih-bersih diri setelah kejadian kacau hari
Pagi hari itu menjadi tak biasa bagi Aya, ia menangis terduduk di atas kloset kamar kosannya, ia menggigit bibir bawahnya begitu menahan isakan tangis walau air mata terus membasahi wajahnya. Ia memegang hasil alat tes kehamilan, tanda plus itu tak bisa berbohong. Aya tertunduk, ia semakin terisak. Hal bodoh dihidupnya pun menimpa dirinya. Tak heran jika kini ia kalut dan tak tahu harus berbuat apa. Sementara di lain tempat, Rangga duduk diam mendnegar ocehan bunda yang terus mencecar dirinya kenapa bercerai dengan Sonya dan membuat malu keluarga. Rangga yang sadar jika ia tak bisa hidup mandiri tanpa sokongan keluarga, hanya bisa menahan emosi karena dirinya bodoh. Terbiasa hidup mewah dengan fasilitas lengkap juga gelimangan harta, ia kembali harus mengorbankan harga diri dan orang yang ia cintai. “Lihan kan, Rangga, mana bisa kamu hidup tanpa sokongan Bunda, bisa apa kamu! Kabur sama Aya yang pada akhirnya kamu pulang lagi. Bunda tau kamu. Kamu nggak akan bisa hidup miskin kayak A
Aya tak mungkin melanjutkan ujian akhir dengan kondisi kehamilannya, hanya tangis yang bisa ia luapkan saat di rumah Rangga, wanita itu yang terus mengatai dirinya wanita murahan. Hatinya sakit, mana kala Rangga tak bisa berkutik saat ancaman bundanya terlontar kembali. Orang tua Aya hanya bisa melamun, masa depan anak pertamanya hancur bersama perlakuan tak baik keluarga Rangga. “Apa kita sehina itu, Pak?” tanya ibu. Pria itu hanya bisa mengusap bahu istrinya. Ia sama hancurnya dengan Aya. Rumah itu saksi air mata dan kesakitan yang Aya rasakan. Jani menghampiri, ia memeluk kakaknya yang meringkuk dengan terus menangis. Menyesali perbuatan hinanya dengan Rangga dan juga menghancurkan masa depannya. “Kak, udah, Kak, kasihan anak Kakak, Kakak mau bunuh dia? Kakak cuma menambah dosa,” ucapan Jani semakin membuat Aya menangis histeris, Jani terus memeluk Aya erat. Satu minggu berlalu, kabar buruk Aya terima, ayahnya terserempet mobil bersama ibu saat pulang dari pasar, menyebabkan kedu
Aya melangkahkan kaki turun dari KRL itu, stasiun Bogor ia jajaki. Hiruk pikuk suasana kota yang baru Aya pijaki membuatnya mendadak diterjang pikiran kosong. Ia tak tahu harus ke mana, ia tak kenal siapapun di kota itu. Aya memeluk tas ransel miliknya, hanya berisi pakaian dan juga dompet serta ponsel. Tak ada barang beharga lainnya. Ia berdoa dalam hati, meminta keselamatan atas dirinya dan juga janin di dalam perutnya. Dengan mantap, ia berjalan menyusuri pinggiran trotoar sambal menuju ke satu-satu persatu rumah makan guna mencari pekerjaan. Kondisinya sedang hamil muda, dan ia kabur, maka pekerjaan sederhanalah yang mampu ia lakukan. Aya menuju ke rumah makan padang, tak ada pekerjaan di sana, lalu beralih ke took kue, took pakaian, hingga berakhir ia duduk di taman kota karena kakinya merasa lelah berjalan. Ia membeli minuman dan makanan, perutnya lapar, dan hari sudah petang. Tujuan Aya selanjutnya adalah musala atau masjid, untuk ia jadikan tempatnya menginap. Ternyata, tak s