Hari itu di sebuah hutan sunyi yang terdiri dari ratusan pohon pinus mengitari tubuh lelaki muda itu. Dia menoleh ke kanan kirinya, mencari lambaian suara yang terdengar memanggil di telinganya. Bernada dan berirama, membuat indra pendengaran lunak sampai ke ulu hati saking merdunya.
Askara ...
Laki-laki itu terperanjat seraya mengedarkan penglihatannya, berusaha mencari sumber panggilan itu. Namun yang ia tangkap hanyalah batang pepohonan pinus yang semakin atas semakin rimbun daunnya. Tiba-tiba hempasan kabut membuat ia sedikit menggigil, dinginnya meresap ke dalam kulit. Bayangan hitam merambat di ranting-ranting pohon membuat suasana hutan pinus itu mendadak gelap dan berkabut dalam sekejap.
"Dimana ini?" Askara mengosok-gosok tangannya karena kedinginan. Pakaian dari kulit rusa miliknya tidak mampu menghangati tubuhnya. Semenjak kabut menghempas yang membuat kayu dan ranting berembun, Askara kehabisan akal untuk membuat api.
Tak terhitung lama, senandung merdu terdengar lagi dari arah barat laut. Suara perempuan yang lembut itu membuat Askara melangkahkan kakinya menerobos hutan berkabut lebih dalam. Senandung itu terdengar seperti syair sunda yang dikenal sebagai 'pupuh', cengkok lagunya jelas bernada 'maskumambang'. Askara mengukir senyum, segera ia memacu langkahnya lebih cepat guna menghampiri sumber suara itu.
Samar-samar terlihat sosok perempuan duduk menghadap sungai membelakangi Askara. Rambutnya lurus dan putih pirang berkilauan, bak seorang gadis rantauan dari negeri luar. Perempuan itu mengenakan pakaian sutera putih dengan atasan kebaya, membuatnya anggun laksana sang dewi. Askara terpukau, ia serasa seperti melihat bidadari di alam bumi.
Askara mencoba mendekati perempuan itu dan hendak menyapanya. Seiring langkah lelaki itu berpacu, senandungnya juga ikut terhenti. Perempuan itu malah berdiri tanpa menoleh unjuk wajahnya ke belakang. Detik kemudian angin kencang meniup tubuh Askara maupun perempuan itu, ia melihat rambut pirangnya tersapu-sapu angin sampai pundak perempuan itu terlihat berwarna putih susu.
Bukan hanya pundak, Askara menangkap warna kulit tangan perempuan itu juga putih susu disertai lorengan hitam dekat sela jarinya. Kukunya hitam legam juga tajam, panjangnya sekitar beberapa inchi. Jari-jari putih berloreng itu tiba-tiba menekuk membentuk cakar, sampai uratnya menjelat di punggung tangannya.
Askara panik, ia melangkah mundur guna menjauh. Hanya saja tumit kakinya melilit tanaman rambat yang ia pijak, lelaki itu pun jatuh terduduk dan tidak bisa berdiri. Keringatnya mulai bercucuran dan nafasnya memburu kala perempuan itu terdengar menggeram.
'I-itu monster!' batinnya berteriak. Segera ia berusaha lari namun tanaman rambat itu semakin melilit kakinya.
Perempuan itu menunjukan wajahnya. Dikira nan ayu, perkiraan Askara jauh meleset karena membayangkan rupa yang molek. Nyatanya tidak, wajahnya sangat mengerikan, putih dan terdapat sekitar dua belas loreng hitam di area pipi dan kening. Hidungnya amat pesek dengan kumis putih tiga baris. Yang paling menakutkan, gigi taringnya timbul dari mulut hingga panjangnya melebihi posisi dagu.
Cindaku?!
Askara berteriak kala monster itu mendekatinya. Makhluk itu unjuk gigi dan menggeram seraya menunjukan kilat netra predatornya. Manusia harimau itu pun berakhir melompat dan menerkam tubuhnya. Gigi taring setajam pisau itu berhasil mencabik-cabik tubuhnya.
"Aargghh!" Askara membuka mata. Nafasnya masih memburu dan keringat juga terasa mengembun di sekujur tubuhnya. Namun ia sedikit tenang, langit-langit bilik bambu menjadi penglihatan pertamanya. Tubuhnya juga terasa berbaring di atas ranjang kayu. Sedikit heran, ia mengedarkan matanya. Cahaya kuning masuk ke tempatnya lewat sebuah lubang persegi yang besar, sedikit demi sedikit mulai menerangi tempatnya yang agak berantakan. Sedangkan ranjang satunya lagi sudah rapi terkemas.
Askara akhirnya menyadari jika ia bermimpi buruk tadi. Diterkam dengan harimau jadi-jadian tadi seperti bukanlah mimpi saking terasa nyatanya. Askara merutuk. Mungkin terlalu sering mendengar dongeng peringatan soal cindaku, alam bawah sadarnya juga ikut menakutinya. Padahal cindaku itu hanyalah cerita rakyat belaka. Hanya legenda!
Askara mendengar bunyi bentur kapak dari luar kamarnya. Menyadari Ashoka --Sang Kakak sudah lebih dulu memecah batu, ia bergegas merapikan kamar dan menyusul kakaknya di luar.
"Ternyata kau sudah bangun ya." Ashoka menyeka keringat saat adiknya keluar menghampirinya.
"Huh dasar, kau tidak membangunkanku," rutuk sang adik.
"Aku tidak ingin menggangumu," lanjut Ashoka sambil kembali memecah batu.
Biasanya Askara langsung membantu Ashoka memecah batu, namun kali ini lelaki itu malah duduk merenung di atas batu yang harusnya ia pecahkan.
"Hei kenapa? Tak biasanya kau tak bersemangat seperti ini," tanya Ashoka.
Askara memijat keningnya. "Cindaku itu dongeng 'kan?"
Ashoka langsung berhenti memecah batu saat mendengarnya. "Kenapa tiba-tiba kau tanya itu?"
"Aku memimpikannya. Cindaku itu berwujud hampir seperti manusia, bahkan monster itu menerkamku. Untung saja hanya mimpi." Askara belum kunjung bangkit, ia malah menggerutu.
"Sudahlah, kau jangan terlalu memikirkannya. Dari pada kau duduki, batu itu lebih baik kau pecahkan supaya kita bisa cepat menjualnya ke kota." Ashoka melempar kapak yang bobotnya lumayan berat itu, tentu saja Askara dengan sigap menangkap alat yang hampir menghantam kakinya itu.
"Kau ini! Untung aku bisa menangkapnya."
"Jangan terus membahas yang tidak-tidak, kita harus menjual batu secepatnya. Ini sudah hampir siang. Setelah ke kota kita akan langsung berburu ke hutan, persediaan makanan sudah hampir habis."
"Eh? Tapi pagi ini kita masih bisa makan 'kan?" Tidak ada yang Askara khawatirkan kecuali soal isi perutnya. Bisa mati kelaparan jika ia harus menarik gerobak batu dan berjalan ke kota dalam keadaan perut kosong.
"Jangan khawatir, masih ada sedikit daging rusa kering untuk sarapan sebelum berangkat."
"Wah, Shoka! Kau pintar menghemat bahan makanan ternyata. Beruntung sekali aku punya saudara sepertimu." Askara antusias. Memang kakaknya jauh lebih dewasa dibandingnya. Ashoka lebih menyerupai sang Ibu. Dimulai sangat memperhatikan kebersihan, menghemat persediaan makan, bahkan soal tawar menawar perdagangan di kota juga ia kuasai. Sebuah karakter yang jauh berkebalikan dengannya.
"Batu-batunya sedikit keras ya?" gumam Askara sambil memecah baru-batu yang diangkut Ashoka dari sungai pagi tadi.
"Bilang saja kau malas karena tak ada tenaga. Ini masih batu-batu dari sungai Cihikeu, tidak mungkin berbeda dengan yang kemarin," sindir Ashoka pada Askara yang sepertinya malas memecah batu.
"Seperti biasanya, kau berhasil menebak isi hatiku," decak Askara.
"Wajahmu itu sangat terlihat mewakili," kekeh Ashoka.
"Jujur saja, aku tidak ingin pergi ke kota sekarang," gerutu sang adik.
Alis Ashoka bertaut. "Kenapa?"
"Perasaanku tidak enak."
Cukup lama mereka memecah batu penjadi puing-puing kecil. Pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah, perlu tenaga lebih dan kesabaran tinggi pula. Penjual batu sudah menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari, demi beberapa gunduk garam yang bisa mereka gunakan untuk menyambung hidup. Seusai memecah batu dan tenaga terkuras habis, mereka berdua makan terlebih dahulu sebelum beranjak ke kota. Sang kakak menyiapkan bahan untuk membuat makanan, sedangkan sang adik bertugas untuk membuat api. Ashoka memanggang daging rusa kering itu sembari menabur garam supaya lebih berasa. Askara hanya diam melihat apa yang dilakukan kakaknya. "Kau tidak sayang dengan garamnya? Kita bisa beli kapak baru dengan garam itu." "Aku sengaja sisakan sedikit untuk bumbu makanan. Lagipula kita akan jual batunya. Setidaknya kita akan mendapatkan lagi garam, jangan khawatir." Ashoka menghidangkan makanannya diatas daun pisang, dan menyodorkannya kepada Askara untuk mereka makan bersama.
Hampir setengah hari dua saudara itu menghabiskan waktu untuk berniaga. Sang surya sedikit demi sedikit turun guna mendarat di ufuk barat. Membuat sinarnya tidak terlalu panas menyengat, bahkan terasa hangat. Menemani mereka menarik gerobak kosong dan beberapa gundukan garam. Senang rasanya karena puing-puing batu mereka habis terjual, sekarang gililan keduanya mencari bahan makanan ke hutan. Hanya saja binatang buruan tidak ada satupun yang terlihat hari itu. "Shoka, ini aneh. Biasanya para sekumpulan rusa ada disini, kancil juga biasanya sering terlihat. Sekarang rusa maupun kancil, tidak ada dua-duanya." Askara menyimpan kembali anak panahnya. Ia memilih jongkok dekat semak-semak bersama Ashoka. "Aku juga berfikir begitu, ini tak biasa." Ashoka masih mengintai di balik semak-semak. Sejeli apapun ia menajamkan penglihatannya, nyatanya tidak ada satu pun buruan di hutan itu. Pemuda itu mulai cemas, ka
Cindaku!? 'Tidak mungkin, monster itu benar-benar ada? Ini mimpi. Ini pasti mimpi!' Askara melangkah mundur. Jantungnya berpacu dua kali lipat lebih cepat dari biasanya. Lelaki itu beradu netra dengan mosnter itu. Askara kian mundur seiring apa yang di depanya melangkah maju. Saat badannya terjerembab karena tanaman rambat yang membelit, disana Askara merasakan sakit. Berarti ini bukan mimpi. Sialan! Kenapa kejadiannya sama persis dengan mimpinya semalam? Dimana dirinya mencoba lari dari cindaku namun tanaman lilit menjadi penghambat karena membelit kakinya. Tiba-tiba anak panah melesat dan mendarat tepat di bola mata makhluk itu. Seketika terdengar raungan yang menggelegar di seisi hutan. Bersamaan dengan itu, Ashoka datang menghampiri adiknya sambil memotong tanaman rambat yang melilit kakinya. "Ayo lari!" pekik Ashoka menyeret Askara supaya lari menjauhi monster itu yang sepertinya benarlah
Ashoka banyak memuntahkan darah, saat cindaku memotong sebagian organnya. Gigi-gigi itu maju perlahan mengunyah tubuh Ashoka dari kaki hingga ke perutnya, menyisakan dada, kepala, dan dua tangan yang menggelantung. "La--ri ... A-as-ka ..." rintih Ashoka saat kondisinya sedang sekarat. Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai menghilang. Meskipun begitu, ia masih mengingat Askara dan berusaha menyerunya dalam bentuk rintihan yang mustahil terdengar langsung oleh adiknya. Glek ... Tubuh Ashoka yang tersisa ditelan bulat-bulat dalam mulut makhluk itu. Darah sang kakak terlihat bercipratan di mulut cindaku itu. Seperti tidak menyia-nyiakan makanan lezatnya, cindaku itu menjulurkan lidah panjangnya dan menjilat bercak darah di wajahnya. "T-tidak mungkin ... Sho--ka ...?" Askara membisu, dadanya terasa sesak sampai tak sanggup berkata kala melihat jasad sang kakak tewas tepat deapn matanya. Sampai air m
Setelah melalui kehampaan yang diselimuti gelap, Askara berhasil terbangun. Ia merasakan pegal-pegal dan nyeri di sekujur tubuhnya. Beberapa detik kemudian dia menyadari punggungnya tengah terbaring di atas kayu, terasa agak geli karena kulitnya menyentuh langsung pembaringan keras nan padat itu. Askara terhentak sesaat setelah melihat kondisinya yang tak mengenakan pakaian atas. Telanjang dada sampai ke pusar. Pemuda itu mengedarkan pandangan guna mencari apapun untuk menutup tubuh kurusnya. Hanya saja setiap sendi bergerak, otot-ototnya terasa sakit sampai-sampai dirinya tak mampu bangkit bahkan untuk duduk sekalipun. Askara meringis kesakitan, tulang-tulang tubuhnya serasa remuk, menggerakan kepala pun harus disertai tenaga. Lelaki itu berakhir menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya, ia putus asa dan siap mati kapan saja. "Jangan banyak bergerak, Nak. Kau belum pulih." Askara sedikit terke
Kali ini Askara menggeleng sembari beranjak mundur. Ia merasa aneh dengan sikap pria dewasa ini, apakah benar semua itu diberikan secara percuma? Pasti ada bayarannya. "Kenapa kau ... Memberikan semuanya padaku? Makanannya? Pakaiannya ... Sebenarnya apa yang anda inginkan dari saya?!" Suara Askara sedikit bergetar. "Aku hanya minta kau menjawab pertanyaanku," ujar Dwara dengan tenang. "Apa itu?" Dwara mengambil nafas. "Apa sebelumnya kau bertarung melawan cindaku?" Bola mata Askara terbuka lebar. Sama sekali ia tidak berfikir jika pria bernama Dwara ini berfikir sampai ke sana. Pemuda itu ragu menjawab, karena sampai saat ini pun dia berusaha menolak keberadaan cindaku. Sekalipun makhluk itu ada, dia harus membantai monster itu dengan tangannya sendiri. "Kenapa anda bertanya seperti itu? Apa menurut anda makhluk itu ada?" Askara sengaja berkilah. Lagi-lagi Dwara ters
"Kau manusia terpilih, Nak." Askara terkejut dengan apa yang dikatakan Dwara. Bukan hanya itu, mata biru pria itu membuatnya sedikit gentar. Warna mata yang tak lazim, biru berlian dengan garis pupil memutar dan bersinar. "Anda s-sebenarnya siapa?" Askara beringsut mundur dari balok ranjang kayu yang ia duduki. Mata Dwara kembali terkatup, ia membuang nafas sambil terpejam. Beberapa saat kemudian matanya kembali menjadi normal dan seperti sedia kala. "Aku sepuh pendekar Adiwira," katanya saat mata biru itu menghilang. "Pendekar Adiwira?" Alis Askara mengkerut, antara percaya dan tidak dengan pengakuan pria itu. "Jadi tokoh pendekar melegenda itu benar-benar ada?" Setelah mendengar hal itu, Dwara pun beranjak menghampiri sebuah bak air yang letaknya di bibir gua. Pinggir-pinggirnya terdapat obor api dengan asap yang lumayan mengepul. Airnya sangat jernih sampai bisa dipergunakan untuk
"Jadi anda adalah sesepuh adiwira?" tanya Askara. Dwara lagi-lagu terkekeh mendengarnya. "Sesepuh itu bisa dikatakan tetua. Peringkatku belum setinggi itu, aku hanya melatih adiwira pemula seperti dirimu." "Lalu, aku harus memanggil anda apa?" "Kau bisa memanggilku sepuh saja," ujar Dwara. Askara yang bingung karena kesulitan membedakan kata sepuh dan sesepuh hanya bisa mengangguk asal saja. "Baiklah sepuh --Dwara." Dwara kemudian menyerahkan pakaian berbahan katun itu pada Askara. "Pakailah, dan setelah ini ikuti aku," suruhnya. Awalnya Askara menghabiskan waktu karena mengagumi pakaiannya. Pernak-pernik yang mengkilap sangat menakjubkan sampai ia sendiri ragu untuk memakainya. Lengan panjang disertai celana lembut lengkap dengan kiping kain luarannya menambah kesan indah pakaian itu. Setelah pakaian itu ia kenakan, bukan lagi pakaiannya yang ia kagumi melainkan kini beralih pada dirinya sendiri. Tukang batu yang memanfa