Share

Cindaku Sang Penguasa
Cindaku Sang Penguasa
Penulis: Bill

1. Sang Mitologi

Hari itu di sebuah hutan sunyi yang terdiri dari ratusan pohon pinus mengitari tubuh lelaki muda itu. Dia menoleh ke kanan kirinya, mencari lambaian suara yang terdengar memanggil di telinganya. Bernada dan berirama, membuat indra pendengaran lunak sampai ke ulu hati saking merdunya.

Askara ...

Laki-laki itu terperanjat seraya mengedarkan penglihatannya, berusaha mencari sumber panggilan itu. Namun yang ia tangkap hanyalah batang pepohonan pinus yang semakin atas semakin rimbun daunnya. Tiba-tiba hempasan kabut membuat ia sedikit menggigil, dinginnya meresap ke dalam kulit. Bayangan hitam merambat di ranting-ranting pohon membuat suasana hutan pinus itu mendadak gelap dan berkabut dalam sekejap.

"Dimana ini?" Askara mengosok-gosok tangannya karena kedinginan. Pakaian dari kulit rusa miliknya tidak mampu menghangati tubuhnya. Semenjak kabut menghempas yang membuat kayu dan ranting berembun, Askara kehabisan akal untuk membuat api.

Tak terhitung lama, senandung merdu terdengar lagi dari arah barat laut. Suara perempuan yang lembut itu membuat Askara melangkahkan kakinya menerobos hutan berkabut lebih dalam. Senandung itu terdengar seperti syair sunda yang dikenal sebagai 'pupuh', cengkok lagunya jelas bernada 'maskumambang'. Askara mengukir senyum, segera ia memacu langkahnya lebih cepat guna menghampiri sumber suara itu.

Samar-samar terlihat sosok perempuan duduk menghadap sungai membelakangi Askara. Rambutnya lurus dan putih pirang berkilauan, bak seorang gadis rantauan dari negeri luar. Perempuan itu mengenakan pakaian sutera putih dengan atasan kebaya, membuatnya anggun laksana sang dewi. Askara terpukau, ia serasa seperti melihat bidadari di alam bumi.

Askara mencoba mendekati perempuan itu dan hendak menyapanya. Seiring langkah lelaki itu berpacu, senandungnya juga ikut terhenti. Perempuan itu malah berdiri tanpa menoleh unjuk wajahnya ke belakang. Detik kemudian angin kencang meniup tubuh Askara maupun perempuan itu, ia melihat rambut pirangnya tersapu-sapu angin sampai pundak perempuan itu terlihat berwarna putih susu.

Bukan hanya pundak, Askara menangkap warna kulit tangan perempuan itu juga putih susu disertai lorengan hitam dekat sela jarinya. Kukunya hitam legam juga tajam, panjangnya sekitar beberapa inchi. Jari-jari putih berloreng itu tiba-tiba menekuk membentuk cakar, sampai uratnya menjelat di punggung tangannya.

Askara panik, ia melangkah mundur guna menjauh. Hanya saja tumit kakinya melilit tanaman rambat yang ia pijak, lelaki itu pun jatuh terduduk dan tidak bisa berdiri. Keringatnya mulai bercucuran dan nafasnya memburu kala perempuan itu terdengar menggeram.

'I-itu monster!' batinnya berteriak. Segera ia berusaha lari namun tanaman rambat itu semakin melilit kakinya.

Perempuan itu menunjukan wajahnya. Dikira nan ayu, perkiraan Askara jauh meleset karena membayangkan rupa yang molek. Nyatanya tidak, wajahnya sangat mengerikan, putih dan terdapat sekitar dua belas loreng hitam di area pipi dan kening. Hidungnya amat pesek dengan kumis putih tiga baris. Yang paling menakutkan, gigi taringnya timbul dari mulut hingga panjangnya melebihi posisi dagu.

Cindaku?!

Askara berteriak kala monster itu mendekatinya. Makhluk itu unjuk gigi dan menggeram seraya menunjukan kilat netra predatornya. Manusia harimau itu pun berakhir melompat dan menerkam tubuhnya. Gigi taring setajam pisau itu berhasil mencabik-cabik tubuhnya.

"Aargghh!" Askara membuka mata. Nafasnya masih memburu dan keringat juga terasa mengembun di sekujur tubuhnya. Namun ia sedikit tenang, langit-langit bilik bambu menjadi penglihatan pertamanya. Tubuhnya juga terasa berbaring di atas ranjang kayu. Sedikit heran, ia mengedarkan matanya. Cahaya kuning masuk ke tempatnya lewat sebuah lubang persegi yang besar, sedikit demi sedikit mulai menerangi tempatnya yang agak berantakan. Sedangkan ranjang satunya lagi sudah rapi terkemas.

Askara akhirnya menyadari jika ia bermimpi buruk tadi. Diterkam dengan harimau jadi-jadian tadi seperti bukanlah mimpi saking terasa nyatanya. Askara merutuk. Mungkin terlalu sering mendengar dongeng peringatan soal cindaku, alam bawah sadarnya juga ikut menakutinya. Padahal cindaku itu hanyalah cerita rakyat belaka. Hanya legenda!

Askara mendengar bunyi bentur kapak dari luar kamarnya. Menyadari Ashoka --Sang Kakak sudah lebih dulu memecah batu, ia bergegas merapikan kamar dan menyusul kakaknya di luar.

"Ternyata kau sudah bangun ya." Ashoka menyeka keringat saat adiknya keluar menghampirinya.

"Huh dasar, kau tidak membangunkanku," rutuk sang adik.

"Aku tidak ingin menggangumu," lanjut Ashoka sambil kembali memecah batu.

Biasanya Askara langsung membantu Ashoka memecah batu, namun kali ini lelaki itu malah duduk merenung di atas batu yang harusnya ia pecahkan.

"Hei kenapa? Tak biasanya kau tak bersemangat seperti ini," tanya Ashoka.

Askara memijat keningnya. "Cindaku itu dongeng 'kan?"

Ashoka langsung berhenti memecah batu saat mendengarnya. "Kenapa tiba-tiba kau tanya itu?"

"Aku memimpikannya. Cindaku itu berwujud hampir seperti manusia, bahkan monster itu menerkamku. Untung saja hanya mimpi." Askara belum kunjung bangkit, ia malah menggerutu.

"Sudahlah, kau jangan terlalu memikirkannya. Dari pada kau duduki, batu itu lebih baik kau pecahkan supaya kita bisa cepat menjualnya ke kota." Ashoka melempar kapak yang bobotnya lumayan berat itu, tentu saja Askara dengan sigap menangkap alat yang hampir menghantam kakinya itu.

"Kau ini! Untung aku bisa menangkapnya."

"Jangan terus membahas yang tidak-tidak, kita harus menjual batu secepatnya. Ini sudah hampir siang. Setelah ke kota kita akan langsung berburu ke hutan, persediaan makanan sudah hampir habis."

"Eh? Tapi pagi ini kita masih bisa makan 'kan?" Tidak ada yang Askara khawatirkan kecuali soal isi perutnya. Bisa mati kelaparan jika ia harus menarik gerobak batu dan berjalan ke kota dalam keadaan perut kosong.

"Jangan khawatir, masih ada sedikit daging rusa kering untuk sarapan sebelum berangkat."

"Wah, Shoka! Kau pintar menghemat bahan makanan ternyata. Beruntung sekali aku punya saudara sepertimu." Askara antusias. Memang kakaknya jauh lebih dewasa dibandingnya. Ashoka lebih menyerupai sang Ibu. Dimulai sangat memperhatikan kebersihan, menghemat persediaan makan, bahkan soal tawar menawar perdagangan di kota juga ia kuasai. Sebuah karakter yang jauh berkebalikan dengannya.

"Batu-batunya sedikit keras ya?" gumam Askara sambil memecah baru-batu yang diangkut Ashoka dari sungai pagi tadi.

"Bilang saja kau malas karena tak ada tenaga. Ini masih batu-batu dari sungai Cihikeu, tidak mungkin berbeda dengan yang kemarin," sindir Ashoka pada Askara yang sepertinya malas memecah batu.

"Seperti biasanya, kau berhasil menebak isi hatiku," decak Askara.

"Wajahmu itu sangat terlihat mewakili," kekeh Ashoka.

"Jujur saja, aku tidak ingin pergi ke kota sekarang," gerutu sang adik.

Alis Ashoka bertaut. "Kenapa?"

"Perasaanku tidak enak."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status