Home / Fantasi / Cindaku Sang Penguasa / 2. Ingatan Lampau

Share

2. Ingatan Lampau

Author: Bill
last update Last Updated: 2021-07-20 13:31:55

Cukup lama mereka memecah batu penjadi puing-puing kecil. Pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah, perlu tenaga lebih dan kesabaran tinggi pula. Penjual batu sudah menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari, demi beberapa gunduk garam yang bisa mereka gunakan untuk menyambung hidup.

Seusai memecah batu dan tenaga terkuras habis, mereka berdua makan terlebih dahulu sebelum beranjak ke kota. Sang kakak menyiapkan bahan untuk membuat makanan, sedangkan sang adik bertugas untuk membuat api.

Ashoka memanggang daging rusa kering itu sembari menabur garam supaya lebih berasa. Askara hanya diam melihat apa yang dilakukan kakaknya. "Kau tidak sayang dengan garamnya? Kita bisa beli kapak baru dengan garam itu."

"Aku sengaja sisakan sedikit untuk bumbu makanan. Lagipula kita akan jual batunya. Setidaknya kita akan mendapatkan lagi garam, jangan khawatir." Ashoka menghidangkan makanannya diatas daun pisang, dan menyodorkannya kepada Askara untuk mereka makan bersama.

"Waahh! Shoka, makanannya sangat lezat ... I-ini benar-benar ... Benar-benar ..." Askara menyeka air air matanya yang tiba-tiba berbulir setelah menyantap makanannya. Ashoka sampai heran dengannya.

"Kenapa tiba-tiba kau menangis?"

"Ini benar-benar mengingatkanku pada Ibu." Askara menyembunyikan wajah di lipatan siku lengannya. Namun segera ia mengusap air matanya. "Ah, tidak ada waktu untuk menangisi itu. Yang penting makanan ini enak dan aku kenyang," ujarnya sembari menghabiskan daging panggangnya.

"Sekarang aku mengerti kenapa daging bakar buatan Ibu selalu enak. Aku sudah menemukan rahasianya."

"Kau bisa membuatnya lagi?"

"Ya nanti. Cepat habiskan, kita harus ke kota sekarang. Kau mau daging seperti ini lagi 'kan?"

"Baiklah." Askara kembali mengigit dagingnya. "O ya, lusa kemarin ada anak perempuan berumur lima tahun yang ingin mainan dari kerikil batu. Hari ini kita tawarkan batu ini ke rumahnya, kasihan kemarin kehabisan."

"Wah, syukurlah kalo begitu."

"Eh Shoka, apa kau ingat masa kecilmu? Jujur aku tidak ingat apapun dulu," tanya Askara.

Ashoka berhenti makan sejenak. Benar juga, ia sendiri tidak ingat bagaimana masa kecilnya. "Entahlah, ini cukup membingungkan. Aku sendiri tidak ingat. Yang kuingat hanyalah Ibu yang sering menceritakan dongeng cindaku."

"Aku juga heran, aku sama sekali tidak ingat saat dulu masih kecil. Apa mungkin kita hilang ingatan?" tanya Askara lagi.

"Rasanya tidak mungkin jika kita hilang ingatan. Ibu bahkan tidak mengatakan kita pernah kecelakaan atau semacamnya," bantah Ashoka.

"Apa ini ada hubungannya dengan Ayah yang tidak pernah kembali dari rantauannya?" Askara mulai menerka, pasalnya ia sangat merindukan sang ayah juga yang belum kembali.

"Kurasa tidak. Lagipula jika perantau belum pulang juga dan tidak ada kabar setelah lima tahun, tradisi kampung ini menganggap si perantau itu sudah meninggal." Ashoka mengambil minum dari ruas bambu yang sempat ia buat dua buah. "Sudahlah, jangan kau bahas lagi soal Ayah. Perantauannya sudah lebih dari tujuh tahun, Ayah sudah meninggal." Lelaki itu menekankan pembicaraannya.

Askara terdiam sejenak. Ia menolak percaya jika Ayahnya meninggal. Ditambah Ibunya juga belum kembali, lelaki itu berharap sang Ibu pulang tahun ini. "Ibu ... Cepatlah pulang, sudah hampir lima tahun kau menyusul Ayah dan tak ada kabar. Aku yakin selarang kau baik-baik saja disana," gumamnya lagi. Ashoka hanya menatap sendu sang Adik yang gundah akan kegelisahannya itu.

Ayah Ashoka dan Askara pergi merantau. Sebelum pergi, pria itu mengatakan hendak menyebrang lautan selat sunda guna menuju pulau yang kayak akan emas. Pulau itu terkenal dengan 'Swarnabhumi', tetangga dari pulau pasundan. Tujuan sang Ayah bukan hanya emas saja, ada satu hal yang harus dilakukan guna keberlangsungan hidup kedua anaknya.

Hanya itu patah kata yang mereka dengar, namun sejak saat itu Sang Ayah belum kunjung kembali bertahun-tahun sampai Ashoka dan Askara beranjak remaja. Karena itulah Ibu mereka menyusul kepergian sang Ayah. Namun pencarian itu seperti buntu, bertahun-tahun kemudian si Ibu maupun si Ayah tidak pernah kembali. Hal ini menuntut kedua saudara itu hidup mandiri dan diharuskan mencari makan sendiri.

"Sudahlah jangan dibahas. Kau habiskan saja sana makanannya. Biar kita bisa segera ke kota." Ashoka menghentikan pembicaraan ini. Keduanya pun kembali fokus memakan makanannya.

"Shoka ..." panggil Askara beberapa saat kemudian, keduanya berhenti makan seketika. "Jika kita pergi kota besok saja, bagaimana?"

"Hah? Kenapa? Tak biasanya." Ashoka kembali memakan makanannya. "Masalahnya kita kehabisan makanan, besok kita bisa kelaparan."

"Begitu ya, padahal aku ingin jalan-jalan bersamamu ke pegunungan," keluh Askara.

Ashoka hanya terkekeh mendengarnya. "Bukankah kita sudah tinggal di kaki pegunungan?"

"Pegunungan Chakrabuana itu luas, Shoka. Kita belum pernah ke area hutan Lemah sugih. Katanya disana sangat subur sampai dijuluki Lemah sugih, artinya juga tanah yang kaya. Kaya karena saking beragamnya bahan makanan. Banyak pohon gandaria juga, buah sangat enak sekali. Kita bisa mengumpulkannya untuk bahan makanan," jelas Askara antusias.

"Nanti saja, sekarang kita harus bekerja. Ayo bergegas!" titah Ashoka sambil menjewer telinga adiknya.

"Ouh, telingaku tak perlu ditarik juga 'kan?" Askara dengan cepat menghabiskan daging santapan paginya. 

Entah kenapa ia malas untuk berniaga ke kota hari ini. Ia ingin menjelajahi pegunungan Cakrabuana yang konon katanya dipenuhi pohon gandaria yang enak buahnya. Jika mereka pulang dari kota nanti, Askara berniat mengajak Ashoka ke sana. Buah gandaria bisa jadi penambah persediaan makan pengganti daging buruan.

Yang jelas hari ini, Askara ingin terus bersama Ashoka. Mimpi menyeramkan itu telah mengingatkan Askara pada kedua orang tuanya yang tidak kunjung kembali dari rantauan. Karena itulah hari ini Askara malas berniaga. Meski begitu ia tetap harus bekerja, padahal ia ingin menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama sang kakak.

Entah kenapa hari ini perasaan Askara diliput kecemasan sampai-sampai enggan pergi ke kota.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cindaku Sang Penguasa   142. Salah Tingkah

    Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La

  • Cindaku Sang Penguasa   141. Jangan Pergi

    Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se

  • Cindaku Sang Penguasa   140. Keturunan Istimewa

    Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b

  • Cindaku Sang Penguasa   139. Menebus Dosa

    Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti

  • Cindaku Sang Penguasa   138. Tahap Pemulihan

    "Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?

  • Cindaku Sang Penguasa   137. Tanda Segel Pundak

    Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany

  • Cindaku Sang Penguasa   136. Raja Ghaib

    "Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting

  • Cindaku Sang Penguasa   135. Tanda Menjalar

    Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu

  • Cindaku Sang Penguasa   134. Perkelahian Sesama Rekan

    "Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status