Cukup lama mereka memecah batu penjadi puing-puing kecil. Pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah, perlu tenaga lebih dan kesabaran tinggi pula. Penjual batu sudah menjadi mata pencaharian mereka sehari-hari, demi beberapa gunduk garam yang bisa mereka gunakan untuk menyambung hidup.
Seusai memecah batu dan tenaga terkuras habis, mereka berdua makan terlebih dahulu sebelum beranjak ke kota. Sang kakak menyiapkan bahan untuk membuat makanan, sedangkan sang adik bertugas untuk membuat api.
Ashoka memanggang daging rusa kering itu sembari menabur garam supaya lebih berasa. Askara hanya diam melihat apa yang dilakukan kakaknya. "Kau tidak sayang dengan garamnya? Kita bisa beli kapak baru dengan garam itu."
"Aku sengaja sisakan sedikit untuk bumbu makanan. Lagipula kita akan jual batunya. Setidaknya kita akan mendapatkan lagi garam, jangan khawatir." Ashoka menghidangkan makanannya diatas daun pisang, dan menyodorkannya kepada Askara untuk mereka makan bersama.
"Waahh! Shoka, makanannya sangat lezat ... I-ini benar-benar ... Benar-benar ..." Askara menyeka air air matanya yang tiba-tiba berbulir setelah menyantap makanannya. Ashoka sampai heran dengannya.
"Kenapa tiba-tiba kau menangis?"
"Ini benar-benar mengingatkanku pada Ibu." Askara menyembunyikan wajah di lipatan siku lengannya. Namun segera ia mengusap air matanya. "Ah, tidak ada waktu untuk menangisi itu. Yang penting makanan ini enak dan aku kenyang," ujarnya sembari menghabiskan daging panggangnya.
"Sekarang aku mengerti kenapa daging bakar buatan Ibu selalu enak. Aku sudah menemukan rahasianya."
"Kau bisa membuatnya lagi?"
"Ya nanti. Cepat habiskan, kita harus ke kota sekarang. Kau mau daging seperti ini lagi 'kan?"
"Baiklah." Askara kembali mengigit dagingnya. "O ya, lusa kemarin ada anak perempuan berumur lima tahun yang ingin mainan dari kerikil batu. Hari ini kita tawarkan batu ini ke rumahnya, kasihan kemarin kehabisan."
"Wah, syukurlah kalo begitu."
"Eh Shoka, apa kau ingat masa kecilmu? Jujur aku tidak ingat apapun dulu," tanya Askara.
Ashoka berhenti makan sejenak. Benar juga, ia sendiri tidak ingat bagaimana masa kecilnya. "Entahlah, ini cukup membingungkan. Aku sendiri tidak ingat. Yang kuingat hanyalah Ibu yang sering menceritakan dongeng cindaku."
"Aku juga heran, aku sama sekali tidak ingat saat dulu masih kecil. Apa mungkin kita hilang ingatan?" tanya Askara lagi.
"Rasanya tidak mungkin jika kita hilang ingatan. Ibu bahkan tidak mengatakan kita pernah kecelakaan atau semacamnya," bantah Ashoka.
"Apa ini ada hubungannya dengan Ayah yang tidak pernah kembali dari rantauannya?" Askara mulai menerka, pasalnya ia sangat merindukan sang ayah juga yang belum kembali.
"Kurasa tidak. Lagipula jika perantau belum pulang juga dan tidak ada kabar setelah lima tahun, tradisi kampung ini menganggap si perantau itu sudah meninggal." Ashoka mengambil minum dari ruas bambu yang sempat ia buat dua buah. "Sudahlah, jangan kau bahas lagi soal Ayah. Perantauannya sudah lebih dari tujuh tahun, Ayah sudah meninggal." Lelaki itu menekankan pembicaraannya.
Askara terdiam sejenak. Ia menolak percaya jika Ayahnya meninggal. Ditambah Ibunya juga belum kembali, lelaki itu berharap sang Ibu pulang tahun ini. "Ibu ... Cepatlah pulang, sudah hampir lima tahun kau menyusul Ayah dan tak ada kabar. Aku yakin selarang kau baik-baik saja disana," gumamnya lagi. Ashoka hanya menatap sendu sang Adik yang gundah akan kegelisahannya itu.
Ayah Ashoka dan Askara pergi merantau. Sebelum pergi, pria itu mengatakan hendak menyebrang lautan selat sunda guna menuju pulau yang kayak akan emas. Pulau itu terkenal dengan 'Swarnabhumi', tetangga dari pulau pasundan. Tujuan sang Ayah bukan hanya emas saja, ada satu hal yang harus dilakukan guna keberlangsungan hidup kedua anaknya.
Hanya itu patah kata yang mereka dengar, namun sejak saat itu Sang Ayah belum kunjung kembali bertahun-tahun sampai Ashoka dan Askara beranjak remaja. Karena itulah Ibu mereka menyusul kepergian sang Ayah. Namun pencarian itu seperti buntu, bertahun-tahun kemudian si Ibu maupun si Ayah tidak pernah kembali. Hal ini menuntut kedua saudara itu hidup mandiri dan diharuskan mencari makan sendiri.
"Sudahlah jangan dibahas. Kau habiskan saja sana makanannya. Biar kita bisa segera ke kota." Ashoka menghentikan pembicaraan ini. Keduanya pun kembali fokus memakan makanannya.
"Shoka ..." panggil Askara beberapa saat kemudian, keduanya berhenti makan seketika. "Jika kita pergi kota besok saja, bagaimana?"
"Hah? Kenapa? Tak biasanya." Ashoka kembali memakan makanannya. "Masalahnya kita kehabisan makanan, besok kita bisa kelaparan."
"Begitu ya, padahal aku ingin jalan-jalan bersamamu ke pegunungan," keluh Askara.
Ashoka hanya terkekeh mendengarnya. "Bukankah kita sudah tinggal di kaki pegunungan?"
"Pegunungan Chakrabuana itu luas, Shoka. Kita belum pernah ke area hutan Lemah sugih. Katanya disana sangat subur sampai dijuluki Lemah sugih, artinya juga tanah yang kaya. Kaya karena saking beragamnya bahan makanan. Banyak pohon gandaria juga, buah sangat enak sekali. Kita bisa mengumpulkannya untuk bahan makanan," jelas Askara antusias.
"Nanti saja, sekarang kita harus bekerja. Ayo bergegas!" titah Ashoka sambil menjewer telinga adiknya.
"Ouh, telingaku tak perlu ditarik juga 'kan?" Askara dengan cepat menghabiskan daging santapan paginya.
Entah kenapa ia malas untuk berniaga ke kota hari ini. Ia ingin menjelajahi pegunungan Cakrabuana yang konon katanya dipenuhi pohon gandaria yang enak buahnya. Jika mereka pulang dari kota nanti, Askara berniat mengajak Ashoka ke sana. Buah gandaria bisa jadi penambah persediaan makan pengganti daging buruan.
Yang jelas hari ini, Askara ingin terus bersama Ashoka. Mimpi menyeramkan itu telah mengingatkan Askara pada kedua orang tuanya yang tidak kunjung kembali dari rantauan. Karena itulah hari ini Askara malas berniaga. Meski begitu ia tetap harus bekerja, padahal ia ingin menghabiskan waktu untuk bersenang-senang bersama sang kakak.
Entah kenapa hari ini perasaan Askara diliput kecemasan sampai-sampai enggan pergi ke kota.
Hampir setengah hari dua saudara itu menghabiskan waktu untuk berniaga. Sang surya sedikit demi sedikit turun guna mendarat di ufuk barat. Membuat sinarnya tidak terlalu panas menyengat, bahkan terasa hangat. Menemani mereka menarik gerobak kosong dan beberapa gundukan garam. Senang rasanya karena puing-puing batu mereka habis terjual, sekarang gililan keduanya mencari bahan makanan ke hutan. Hanya saja binatang buruan tidak ada satupun yang terlihat hari itu. "Shoka, ini aneh. Biasanya para sekumpulan rusa ada disini, kancil juga biasanya sering terlihat. Sekarang rusa maupun kancil, tidak ada dua-duanya." Askara menyimpan kembali anak panahnya. Ia memilih jongkok dekat semak-semak bersama Ashoka. "Aku juga berfikir begitu, ini tak biasa." Ashoka masih mengintai di balik semak-semak. Sejeli apapun ia menajamkan penglihatannya, nyatanya tidak ada satu pun buruan di hutan itu. Pemuda itu mulai cemas, ka
Cindaku!? 'Tidak mungkin, monster itu benar-benar ada? Ini mimpi. Ini pasti mimpi!' Askara melangkah mundur. Jantungnya berpacu dua kali lipat lebih cepat dari biasanya. Lelaki itu beradu netra dengan mosnter itu. Askara kian mundur seiring apa yang di depanya melangkah maju. Saat badannya terjerembab karena tanaman rambat yang membelit, disana Askara merasakan sakit. Berarti ini bukan mimpi. Sialan! Kenapa kejadiannya sama persis dengan mimpinya semalam? Dimana dirinya mencoba lari dari cindaku namun tanaman lilit menjadi penghambat karena membelit kakinya. Tiba-tiba anak panah melesat dan mendarat tepat di bola mata makhluk itu. Seketika terdengar raungan yang menggelegar di seisi hutan. Bersamaan dengan itu, Ashoka datang menghampiri adiknya sambil memotong tanaman rambat yang melilit kakinya. "Ayo lari!" pekik Ashoka menyeret Askara supaya lari menjauhi monster itu yang sepertinya benarlah
Ashoka banyak memuntahkan darah, saat cindaku memotong sebagian organnya. Gigi-gigi itu maju perlahan mengunyah tubuh Ashoka dari kaki hingga ke perutnya, menyisakan dada, kepala, dan dua tangan yang menggelantung. "La--ri ... A-as-ka ..." rintih Ashoka saat kondisinya sedang sekarat. Sedikit demi sedikit kesadarannya mulai menghilang. Meskipun begitu, ia masih mengingat Askara dan berusaha menyerunya dalam bentuk rintihan yang mustahil terdengar langsung oleh adiknya. Glek ... Tubuh Ashoka yang tersisa ditelan bulat-bulat dalam mulut makhluk itu. Darah sang kakak terlihat bercipratan di mulut cindaku itu. Seperti tidak menyia-nyiakan makanan lezatnya, cindaku itu menjulurkan lidah panjangnya dan menjilat bercak darah di wajahnya. "T-tidak mungkin ... Sho--ka ...?" Askara membisu, dadanya terasa sesak sampai tak sanggup berkata kala melihat jasad sang kakak tewas tepat deapn matanya. Sampai air m
Setelah melalui kehampaan yang diselimuti gelap, Askara berhasil terbangun. Ia merasakan pegal-pegal dan nyeri di sekujur tubuhnya. Beberapa detik kemudian dia menyadari punggungnya tengah terbaring di atas kayu, terasa agak geli karena kulitnya menyentuh langsung pembaringan keras nan padat itu. Askara terhentak sesaat setelah melihat kondisinya yang tak mengenakan pakaian atas. Telanjang dada sampai ke pusar. Pemuda itu mengedarkan pandangan guna mencari apapun untuk menutup tubuh kurusnya. Hanya saja setiap sendi bergerak, otot-ototnya terasa sakit sampai-sampai dirinya tak mampu bangkit bahkan untuk duduk sekalipun. Askara meringis kesakitan, tulang-tulang tubuhnya serasa remuk, menggerakan kepala pun harus disertai tenaga. Lelaki itu berakhir menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya, ia putus asa dan siap mati kapan saja. "Jangan banyak bergerak, Nak. Kau belum pulih." Askara sedikit terke
Kali ini Askara menggeleng sembari beranjak mundur. Ia merasa aneh dengan sikap pria dewasa ini, apakah benar semua itu diberikan secara percuma? Pasti ada bayarannya. "Kenapa kau ... Memberikan semuanya padaku? Makanannya? Pakaiannya ... Sebenarnya apa yang anda inginkan dari saya?!" Suara Askara sedikit bergetar. "Aku hanya minta kau menjawab pertanyaanku," ujar Dwara dengan tenang. "Apa itu?" Dwara mengambil nafas. "Apa sebelumnya kau bertarung melawan cindaku?" Bola mata Askara terbuka lebar. Sama sekali ia tidak berfikir jika pria bernama Dwara ini berfikir sampai ke sana. Pemuda itu ragu menjawab, karena sampai saat ini pun dia berusaha menolak keberadaan cindaku. Sekalipun makhluk itu ada, dia harus membantai monster itu dengan tangannya sendiri. "Kenapa anda bertanya seperti itu? Apa menurut anda makhluk itu ada?" Askara sengaja berkilah. Lagi-lagi Dwara ters
"Kau manusia terpilih, Nak." Askara terkejut dengan apa yang dikatakan Dwara. Bukan hanya itu, mata biru pria itu membuatnya sedikit gentar. Warna mata yang tak lazim, biru berlian dengan garis pupil memutar dan bersinar. "Anda s-sebenarnya siapa?" Askara beringsut mundur dari balok ranjang kayu yang ia duduki. Mata Dwara kembali terkatup, ia membuang nafas sambil terpejam. Beberapa saat kemudian matanya kembali menjadi normal dan seperti sedia kala. "Aku sepuh pendekar Adiwira," katanya saat mata biru itu menghilang. "Pendekar Adiwira?" Alis Askara mengkerut, antara percaya dan tidak dengan pengakuan pria itu. "Jadi tokoh pendekar melegenda itu benar-benar ada?" Setelah mendengar hal itu, Dwara pun beranjak menghampiri sebuah bak air yang letaknya di bibir gua. Pinggir-pinggirnya terdapat obor api dengan asap yang lumayan mengepul. Airnya sangat jernih sampai bisa dipergunakan untuk
"Jadi anda adalah sesepuh adiwira?" tanya Askara. Dwara lagi-lagu terkekeh mendengarnya. "Sesepuh itu bisa dikatakan tetua. Peringkatku belum setinggi itu, aku hanya melatih adiwira pemula seperti dirimu." "Lalu, aku harus memanggil anda apa?" "Kau bisa memanggilku sepuh saja," ujar Dwara. Askara yang bingung karena kesulitan membedakan kata sepuh dan sesepuh hanya bisa mengangguk asal saja. "Baiklah sepuh --Dwara." Dwara kemudian menyerahkan pakaian berbahan katun itu pada Askara. "Pakailah, dan setelah ini ikuti aku," suruhnya. Awalnya Askara menghabiskan waktu karena mengagumi pakaiannya. Pernak-pernik yang mengkilap sangat menakjubkan sampai ia sendiri ragu untuk memakainya. Lengan panjang disertai celana lembut lengkap dengan kiping kain luarannya menambah kesan indah pakaian itu. Setelah pakaian itu ia kenakan, bukan lagi pakaiannya yang ia kagumi melainkan kini beralih pada dirinya sendiri. Tukang batu yang memanfa
"Jadi senjata yang akan kubawa adalah kujang?" "Yah, ini memang sedikit aneh. Belum pernah aku melatih adiwira pemula yang memegang kujang. Tapi tak apa, anggap saja aku juga latihan saat melatihmu." Dwara mulai melangkah keluar gua. "Maaf, Sepuh." Askara menghentikan langkah Dwara sampai lelaki paruh baya itu nenoleh ke belakang. "Maaf jika saya lancang bertanya. T-tapi, saya penasaran senjata apa yang sepuh pegang selama menjadi adiwira?" Merasa lucu dengan pertanyaan muridnya, Dwara malah mengulum senyum menanggapinya. "Nanti juga kau tau. Sekarang kau ikutlah denganku, kau akan masuk latihan pertama." "Baik, sepuh." Mengikuti langkah pria yang baru saja resmi menjadi gurunya itu, Askara dibawa ke pinggir sungai selepas keluar dari gua. Dwara langsung berdiri di atas batu besar yang sekilas pinggirnya terlihat memiliki ukiran yang unik. Ada dua buah batu besar yang lebih mencolok d