Share

3. Fakta dari Mitos

Hampir setengah hari dua saudara itu menghabiskan waktu untuk berniaga. Sang surya sedikit demi sedikit turun guna mendarat di ufuk barat. Membuat sinarnya tidak terlalu panas menyengat, bahkan terasa hangat. Menemani mereka menarik gerobak kosong dan beberapa gundukan garam. Senang rasanya karena puing-puing batu mereka habis terjual, sekarang gililan keduanya mencari bahan makanan ke hutan.

Hanya saja binatang buruan tidak ada satupun yang terlihat hari itu.

"Shoka, ini aneh. Biasanya para sekumpulan rusa ada disini, kancil juga biasanya sering terlihat. Sekarang rusa maupun kancil, tidak ada dua-duanya." Askara menyimpan kembali anak panahnya. Ia memilih jongkok dekat semak-semak bersama Ashoka.

"Aku juga berfikir begitu, ini tak biasa." Ashoka masih mengintai di balik semak-semak. Sejeli apapun ia menajamkan penglihatannya, nyatanya tidak ada satu pun buruan di hutan itu.

Pemuda itu mulai cemas, karena matahari sedikit demi sedikit mulai tenggelam. Mereka harus pulang sebelum hari mulai malam. Tetapi bagaimana? Mereka belum mendapatkan daging buruan, bahkan satu pun.

"Shoka, hari ini kita bermalam di pemukiman dekat hutan ini saja. Soalnya hari sudah mulai gelap," usul Askara yang sepertinya mulai tak nyaman dengan suasana yang sedikit mencekam.

"Benar-benar aneh." Ashoka akhirnya berdalih pada adiknya. "Aska, tanggal berapa sekarang?"

"Sekarang tanggal lima belas lunar."

Ashoka membelalak, ia terkejut dengan jawabannya. "Lima belas lunar? Sekarang malam bulan purnama?!"

"Memangnya kenapa? Bukannya itu bagus? Jalan tidak terlalu gelap saat malam nanti."

"Bukan itu!" Ashoka panik, segera ia bergegas membereskan senjata buruannya. "Kita harus segera keluar dari hutan ini," ajaknya terburu sembari menarik gerobak dan memulai perjalanan.

Melihat Ashoka pulang terburu-buru dan nyaris meninggalkannya. Askara juga bergegas menyusul sang kakak meski benaknya dipenuhi segudang pertanyaan. Dilihat dari raut wajahnya, Ashoka tengah ketakutan. Beberapa kali Askara bertanya padanya apa yang terjadi, namun ia hanya jengah sendiri karena Ashoka mendadak menulikan telinga.

Karena jengkel, Askara menghentikan langkah dan gerobaknya. Ia berencana kembali mencari binatang buruan meski hari menjelang malam.

"Kenapa kau berhenti? Cepatlah! Sudah tidak ada waktu lagi, kita harus segera keluar dari hutan ini!" peringat Ashoka, hanya saja Askara kukuh masih ingin mencari buruan.

"Hei Shoka ayolah, tadi kau sendiri yang memaksa ingin berburu."

"Situasinya berbeda sekarang. Cepatlah, jangan membuatku kesal!"

"Kalau begitu kau pulang sendiri saja, aku akan tetap disini dan pulang membawa buruan."

"Jangan bodoh, Aska! Ini hampir malam, kita harus pulang," gertak Ashoka. Ia geram dengan sifat Askara yang keras kepala.

"Aku harus membawa hasil buruan, Shoka. Kita makan apa besok?"

Ashoka mendengus kasar. Ia pun memaksa Askara pulang dengan menarik tangannya supaya ikut berjalan. Memang merepotkan, tangan yang satu ia gunakan untuk menarik gerobak. Sedangkan sebelahnya lagi guna menarik paksa sang adik untuk berjalan.

"Dengar Aska. Jika soal makanan, kita bisa membeli daging besok," kata Ashoka.

Askara memutar mata jengah. "Harga daging itu mahal. Kau yakin ingin menghabiskan semua garam hanya untuk membeli dua potong daging sebesar telapak tangan?"

"Kalau begitu, besok kita cari makanan lain saja."

Benar juga. Askara ingin mengajak Ashoka ke pegunungan Cakrabuana, lelaki itu belum tahu perihal ratusan pohon gandaria disana. Tepat sekali. Askara akan membawa sang kakak kesana besok, apalagi mereka tidak mendapat hasil buruan hari ini.

"Baiklah, berarti menu makan kita besok bukan daging. Besok kita libur jual batu dulu, aku ingin membawamu mencari makanan," ucap Askara sambil mempercepat langkahnya.

"Terserah kau saja." Ashoka sesekali menengok ke belakang. Ada sesuatu yang sangat ia takutkan. Oh tidak, apakah ia cemas perihal dongeng makhluk menyeramkan yang muncul saat malam purnama?

"Shoka, jangan bilang kau percaya dengan dongeng itu."

Ashoka terdiam. Sepertinya benar, lelaki itu percaya akan dongeng cindaku. Sampai ia cemas kala mengetahui sekarang adalah malam bulan purnama.

"Lagipula, cindaku itu tidak ada. Jadi jangan khawatir."

Tiba-tiba suara 'grusuk' terdengar dibalik semak-semak yang sedang mereka lewati. Askara yakin itu adalah binatang buruan. Segera ia tinggalkan gerobaknya dan menarik busur panahnya, ia berlari mendekati semak-semak itu tanpa memperdulikan seruan Ashoka.

Anak panah Askara siap dilesatkan. Sebelum itu, ia ingin memastikan lebih dahulu hewan apa yang akan diburunya. Maka pemuda itu memelankan langkah, mengendap-ngendap dan mengintip dibalik semak.

Hanya saja bukan binatang buruan yang ia temukan. Melainkan sesosok makhluk menyerupai kucing besar tengah menjilati tulang manusia yang penuh dengan darah. Badannya dua kali lipat lebih besar dari manusia, gerakan memakannya tak lazim seperti bangsa kucing yang lainnya. Sekilas, sosok itu seperti manusia jika dilihat dari belakang.

Kucing besar? Tidak. Makhluk itu lebih menyerupai harimau putih dengan tubuh setengah manusia.

Askara menutup mulutnya karena mual melihat tengkorak berdarah yang dijilati makhluk itu. Ia berjalan mundur dan sialnya terdengar bunyi 'krek' dari arahnya karena tak sengaja mengijak ranting pohon. Ditambah Askara menjatuhkan senjata panah saking terkejutnya.

Kuping makhluk itu bergerak, indra pendengarannya mulai bereaksi. Saat itulah makhluk itu menoleh ke belakang dan memperlihatkan wajah mengerikannya. Wajah manusia dengan struktur rupa menyerupai harimau putih. Matanya merah mengkilat, menangkap basah Askara yang diam membeku di belakangnya.

'Cindaku?! Monster ini ... Benar-benar ada!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status