Hampir setengah hari dua saudara itu menghabiskan waktu untuk berniaga. Sang surya sedikit demi sedikit turun guna mendarat di ufuk barat. Membuat sinarnya tidak terlalu panas menyengat, bahkan terasa hangat. Menemani mereka menarik gerobak kosong dan beberapa gundukan garam. Senang rasanya karena puing-puing batu mereka habis terjual, sekarang gililan keduanya mencari bahan makanan ke hutan.
Hanya saja binatang buruan tidak ada satupun yang terlihat hari itu.
"Shoka, ini aneh. Biasanya para sekumpulan rusa ada disini, kancil juga biasanya sering terlihat. Sekarang rusa maupun kancil, tidak ada dua-duanya." Askara menyimpan kembali anak panahnya. Ia memilih jongkok dekat semak-semak bersama Ashoka.
"Aku juga berfikir begitu, ini tak biasa." Ashoka masih mengintai di balik semak-semak. Sejeli apapun ia menajamkan penglihatannya, nyatanya tidak ada satu pun buruan di hutan itu.
Pemuda itu mulai cemas, karena matahari sedikit demi sedikit mulai tenggelam. Mereka harus pulang sebelum hari mulai malam. Tetapi bagaimana? Mereka belum mendapatkan daging buruan, bahkan satu pun.
"Shoka, hari ini kita bermalam di pemukiman dekat hutan ini saja. Soalnya hari sudah mulai gelap," usul Askara yang sepertinya mulai tak nyaman dengan suasana yang sedikit mencekam.
"Benar-benar aneh." Ashoka akhirnya berdalih pada adiknya. "Aska, tanggal berapa sekarang?"
"Sekarang tanggal lima belas lunar."
Ashoka membelalak, ia terkejut dengan jawabannya. "Lima belas lunar? Sekarang malam bulan purnama?!"
"Memangnya kenapa? Bukannya itu bagus? Jalan tidak terlalu gelap saat malam nanti."
"Bukan itu!" Ashoka panik, segera ia bergegas membereskan senjata buruannya. "Kita harus segera keluar dari hutan ini," ajaknya terburu sembari menarik gerobak dan memulai perjalanan.
Melihat Ashoka pulang terburu-buru dan nyaris meninggalkannya. Askara juga bergegas menyusul sang kakak meski benaknya dipenuhi segudang pertanyaan. Dilihat dari raut wajahnya, Ashoka tengah ketakutan. Beberapa kali Askara bertanya padanya apa yang terjadi, namun ia hanya jengah sendiri karena Ashoka mendadak menulikan telinga.
Karena jengkel, Askara menghentikan langkah dan gerobaknya. Ia berencana kembali mencari binatang buruan meski hari menjelang malam.
"Kenapa kau berhenti? Cepatlah! Sudah tidak ada waktu lagi, kita harus segera keluar dari hutan ini!" peringat Ashoka, hanya saja Askara kukuh masih ingin mencari buruan.
"Hei Shoka ayolah, tadi kau sendiri yang memaksa ingin berburu."
"Situasinya berbeda sekarang. Cepatlah, jangan membuatku kesal!"
"Kalau begitu kau pulang sendiri saja, aku akan tetap disini dan pulang membawa buruan."
"Jangan bodoh, Aska! Ini hampir malam, kita harus pulang," gertak Ashoka. Ia geram dengan sifat Askara yang keras kepala.
"Aku harus membawa hasil buruan, Shoka. Kita makan apa besok?"
Ashoka mendengus kasar. Ia pun memaksa Askara pulang dengan menarik tangannya supaya ikut berjalan. Memang merepotkan, tangan yang satu ia gunakan untuk menarik gerobak. Sedangkan sebelahnya lagi guna menarik paksa sang adik untuk berjalan.
"Dengar Aska. Jika soal makanan, kita bisa membeli daging besok," kata Ashoka.
Askara memutar mata jengah. "Harga daging itu mahal. Kau yakin ingin menghabiskan semua garam hanya untuk membeli dua potong daging sebesar telapak tangan?"
"Kalau begitu, besok kita cari makanan lain saja."
Benar juga. Askara ingin mengajak Ashoka ke pegunungan Cakrabuana, lelaki itu belum tahu perihal ratusan pohon gandaria disana. Tepat sekali. Askara akan membawa sang kakak kesana besok, apalagi mereka tidak mendapat hasil buruan hari ini.
"Baiklah, berarti menu makan kita besok bukan daging. Besok kita libur jual batu dulu, aku ingin membawamu mencari makanan," ucap Askara sambil mempercepat langkahnya.
"Terserah kau saja." Ashoka sesekali menengok ke belakang. Ada sesuatu yang sangat ia takutkan. Oh tidak, apakah ia cemas perihal dongeng makhluk menyeramkan yang muncul saat malam purnama?
"Shoka, jangan bilang kau percaya dengan dongeng itu."
Ashoka terdiam. Sepertinya benar, lelaki itu percaya akan dongeng cindaku. Sampai ia cemas kala mengetahui sekarang adalah malam bulan purnama.
"Lagipula, cindaku itu tidak ada. Jadi jangan khawatir."
Tiba-tiba suara 'grusuk' terdengar dibalik semak-semak yang sedang mereka lewati. Askara yakin itu adalah binatang buruan. Segera ia tinggalkan gerobaknya dan menarik busur panahnya, ia berlari mendekati semak-semak itu tanpa memperdulikan seruan Ashoka.
Anak panah Askara siap dilesatkan. Sebelum itu, ia ingin memastikan lebih dahulu hewan apa yang akan diburunya. Maka pemuda itu memelankan langkah, mengendap-ngendap dan mengintip dibalik semak.
Hanya saja bukan binatang buruan yang ia temukan. Melainkan sesosok makhluk menyerupai kucing besar tengah menjilati tulang manusia yang penuh dengan darah. Badannya dua kali lipat lebih besar dari manusia, gerakan memakannya tak lazim seperti bangsa kucing yang lainnya. Sekilas, sosok itu seperti manusia jika dilihat dari belakang.
Kucing besar? Tidak. Makhluk itu lebih menyerupai harimau putih dengan tubuh setengah manusia.
Askara menutup mulutnya karena mual melihat tengkorak berdarah yang dijilati makhluk itu. Ia berjalan mundur dan sialnya terdengar bunyi 'krek' dari arahnya karena tak sengaja mengijak ranting pohon. Ditambah Askara menjatuhkan senjata panah saking terkejutnya.
Kuping makhluk itu bergerak, indra pendengarannya mulai bereaksi. Saat itulah makhluk itu menoleh ke belakang dan memperlihatkan wajah mengerikannya. Wajah manusia dengan struktur rupa menyerupai harimau putih. Matanya merah mengkilat, menangkap basah Askara yang diam membeku di belakangnya.
'Cindaku?! Monster ini ... Benar-benar ada!'
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany