Seorang gadis dengan tubuh semampai berjalan dengan anggunnya. Lenggak-lenggok gerakannya mengundang siulan dan decak kagum dari para belalang nakal yang melihatnya.
“Halo, cantik siapa namamu?”
“Hai! sayang, Abang minta nomornya dong.”“Cantik banget, siapa namanya?”Gadis dengan rambut ikal itu tidak menjawab, hanya mengibaskan rambutnya membuat semua mata terpana, sepatu hak tinggi berwarna merah, senada dengan gaun yang melekat di badannya yang kutilang (kurus, tinggi langsing). Lihatlah kaki-kakinya jenjang bak aktris dari negeri ginseng. Dia tersenyum penuh pesona, siapa yang tidak kenal dia? Gadis cantik sejuta pesona membuat siapa pun yang melihat jatuh cinta, dia adalah ….“Bangun! sudah siang, dasar kebo. Buruan bangun, ini udah waktunya berangkat sekolah, Hei!” Gadis itu mengerjapkan matanya, lalu menatap seorang wanita paruh baya dengan daster motif kembang-kembang, membawa spatula. Hancur sudah mimpinya, jadi gadis pujaan seluruh perjaka di Kampung Bojong Kenyot. ‘Ah, emak kenapa menghancurkan mimpi indahku, sih!’ gerutu gadis pemeran utama cerita ini, dia menguap lebar, mengeluarkan napas bau naga. Sementara itu emaknya pergi dari kamar sambil terus mengomel tanpa henti. Si gadis mengacak rambutnya yang seperti bulu singa jantan, hampir saja dia kembali jatuh ke ranjang karena kesusahan dengan berat badannya. Suara ranjang berderit saat kakinya turun ke lantai. Dengan susah payah berdiri dan menatap cermin di depan kamarnya, “Selamat pagi Irena. Semoga hari ini menyenangkan. Ayolah, semangat kita akan bertemu teman baru di sekolah.” Teman baru ya, dia tidak yakin dengan itu, sedikit menatap pantulan tubuhnya di cermin, lemak yang berlebih di bagian perut dan paha.Dia menghela napas panjang, bisakah kehidupan SMU-nya penuh suka cita?Irena Putri Wahyudi, anak dari pasangan Tatang Wahyudi dan Esih Sukaesih, setiap hari dia kesusahan bangun tidur karena berat badannya. Yap, Irena gadis berumur 17 tahun yang memiliki bobot tubuh, err agak besar, dengan tinggi badan 160 cm dan berat badan 80 kg. Irena mengambil handuk dan segera mandi, hari ini dia masuk SMU dan harus mengikuti kegiatan MOS. Irena mengambil seragam sekolahnya, sebuah baju putih dan rok hitam. Dia merengut kesal saat memakai roknya lalu berteriak memanggil ibunya—Mak Esih. “Mak! Ke sini, Mak!” Ia berteriak, lagi-lagi dia bermasalah dengan baju seragam.“Euleuh-euleuh aya naon, sih? Enggak muat lagi? Aduh, Gusti … ari maneh, ya sudah sini.” Irena terkekeh, emaknya sering ngomel soal berat badannya. “Allahu Akbar, makanya punya badan kecilin sedikit mah atuh, padahal ini sudah paling besar di tokonya. Heuh, ya sudahlah besok Ibu ke Mang Otong tukang jahit langganan. Emak beli kain dulu ke pasar, sementara pakai ini aja biar masuk roknya.” Emak mengambil sesuatu dari laci lemari, sebuah korset berwarna cream. Dia menatap horor korset di tangan Mak Esih. Dia paling tidak suka memakai korset, soalnya dia kudu menahan rasa lapar. Tidak bisa makan seenaknya. Sesak rasanya, bayangkan harus menahan otot perut itu menyiksa, sedangkan nasi goreng, kopi dan bala-bala tersaji dan melambaikan tangan mesra di meja. Good bye gorengan.“Sini! Emak pakaikan.” Emak menarik tanganya, lalu melingkarkan korset itu dengan kesulitan. “Tarik perutnya sedikit!”“Udah, Mak ….”“Euhh, sedikit lagi! Susah ini!” Irena menarik otot perutnya dengan susah payah, Emak memasangkan korset itu dan merekatkan perekatnya. “Nah! Coba pakai roknya.” Emak Esih mengusap keringat sebiji jagung di dahi. Emak Esih serasa habis bawa bolak-balik semen 10 kg naik turun tangga.“Fyuuhh!” Irena mengembuskan napas lega, sejak tadi ia menahan napas, dengan susah payah memasukkan rok itu dan memakai sepatu. “Neng, sarapan dulu atuh. Emak kamu teh sudah masak nasi goreng pete rasa cinta.” Pak Tatang mengajak sarapan, tapi tunggu dulu kalau dia makan perutnya bakalan kekenyangan. Korsetnya semakin sesak. Lebih baik dia melewatkan sarapan saja kali ini, di sekolah bisa membeli jajanan. Kang bakso dan kang siomay setia menunggu. Bolehkah, dia berharap Kang Daniel juga menunggunya sambil nyanyi lagu pick me? Oke lupakan.“Enggak deh, Pak. Mau langsung berangkat nanti telat. Si Mang Usep udah nunggu di depan.” “Iyakah? Ayo Bapak antar ke depan.” Pak Tatang mengantarkan anaknya sampai ke depan rumah. Di depan rumah, Mang Usep sudah menunggu dengan muka ditekuk. Mang Usep tukang ojek langganan sejak SMP. Pak Tatang tersenyum ramah sambil mengeluarkan uang dan memberikannya pada Mang Usep. Mang Usep tekanan bathin, membawa Irena seperti membawa anak sapi dan membuat motornya yang sudah tua mengalami serangan mental dadakan. “Nih, Sep. Buat ongkos ojek sama ganti ban yang pecah kemarin.” Mang Usep tersenyum kecut, sejak Irena jadi pelanggan setia, Mang Usep sudah 100 kali ganti ban dan 50 kali turun mesin. Itu gegara Irena? Ah, bukan motor Mang Usep aja yang udah menopause, tidak mampu lagi dibawa menggenjot jalanan yang tidak ramah. Irena butuh motor yang perkasa dan kekar yang mampu membawanya di tanjakan atau tikungan hidup yang penuh ketidakpastian.“Buruan naik, Mamang mau ke pasar.” Irena menerima helm dari mang Usep dan segera naik ke motor bebeknya. Ia melambaikan tangan pada Pak Tatang dan meninggalkan rumah dengan motor bebek Mang Usep yang berjalan dengan perlahan, seakan takut motornya turun mesin lagi. Sekitar 30 menit Irena sampai di gerbang SMU Bakti Pertiwi Jakarta. Dia tersenyum menatap bangunan dua lantai di depannya. Teman-teman yang lainnya sudah berkumpul di lapangan. Ia baru saja akan memulai tahun ajaran baru di SMU setelah keluar dari SMP. Seorang kakak kelas laki-laki sedang memberi pengarahan pada anak-anak yang nantinya akan menjadi junior mereka. “Kamu anak baru sudah telat masuk, gimana sih?” ujar salah satu kakak kelas menghampiri Irena, kakak kelas itu seorang gadis cantik dengan mata minimalis dan ekonomis, dibawa praktis dengan bibirnya yang melontarkan senyum segaris. “Maaf, Kak.” Irena tersenyum canggung, “Sudahlah, kamu enggak lihat badannya, Ta? Dia pasti telat karena susah payah datang ke sini.” “Ppfftt, ha-ha-ha.” Semua orang menertawakannya. Irena hanya diam, ia sudah terbiasa diolok-olok dan di-bully karena badannya yang big size. Lagipula this is Indonesia people yeah, no bullying no perpect in your life, right?“Sana, ikut gabung sama temen-temen kamu!” perintah kakak kelas ber-nametag Mita. Irena duduk di sebelah seorang cewek kurus dan sejak tadi meremas-remas tangannya. Ia tampak gugup. Mungkin karena kakak kelas di depannya terlihat menyeramkan, lihat saja matanya yang menyorot tajam, tinggi menjulang bak tiang listrik, kesan pertama yang Irena katakan adalah kakak kelas tampan tapi menyeramkan. ‘Ganteng-ganteng kok galak? Sayang gantengnya, Bang.’ Irena mengomel dalam hatinya.“Hai, nama kamu siapa?” Irena bertanya sama cewek kurus di sebelahnya. Cewek itu menoleh dan sedikit tersenyum. “Namaku Pie.” “Aku Irena,” Mereka kembali fokus pada kakak-kakak kelas yang sedang memberi perintah. Mereka harus melakukan semua yang kakak kelas perintahkan. Irena dan Pie diberi karton yang sudah dibuat sedemikian rupa menjadi tanda pengenal, diberi nama dan nomor id. “Kenapa kita diberi ini?” “Ini tanda pengenal, karena kita anak baru.”“Lalu apakah nanti kita akan disuruh minta tanda tangan kakak kelas? Terus mengikuti kegiatan lainnya? Hah males aku tuh, kenapa masih ada MOS diantara kita.”Pie tertawa, sejak tadi gadis jangkung itu bingung mau mengobrol dengan siapa. Pie—nama aslinya Lemopai Natadipura, asal dari Cicendo. Ibunya menyukai pie lemon saat hamil dirinya makanya ibunya menamai dia Pie. Tinggi 160 cm bedanya dia sama Irena, dia kurang berisi. Saking kurusnya dia sering diejek dan disebut tengkorak atau ceking. Hah, serba salah memang, gendut salah, kurus salah. Beginilah bila kita mengontrak di bumi.“Kamu dari mana?”“Dari Cicendo aku, tapi sebulan lalu aku sama keluarga pindah ke sini.”“Senang berkenalan denganmu, semoga kita bisa sekelas.” Irena tersenyum ramah, lega rasanya baru pertama masuk tapi sudah dapat teman baik. “Pie! Irena Putri! Lari keliling lapangan 10 kali!” Teriakan si kakak kelas yang bertubuh tinggi itu, gadis chubby itu menyebutnya Kingkong wakanda. Irena was-was hidupnya tidak akan tenang punya kakak kelas yang galak naudzubilah. Irena dan Pie terlonjak kaget lalu saling berpandangan.“Kalian malah asyik ngobrol, buruan angkat pantat kalian dan lari!”“Mati kita, Ir.” Pie berbisik, mereka pun berdiri dan segera berlari mengelilingi lapangan tempat mereka berkumpul.Pie dan Irena keasyikan mengobrol hingga akhirnya mendapat hukuman dari kakak kelas mereka. Mereka berlari mengelilingi lapangan bersama-sama, keduanya jadi bahan tertawaan dan ejekan teman-teman yang lain dan kakak kelas mereka, bagaimana tidak? Pie yang kurus dan Irena yang gemuk sedang berlari di lapangan, mereka tampak seperti angka 10. “Pie, tungguin aku, dong!”“Ada apa? Apa kamu baik-baik saja? Lihat wajahmu pucat sekali, Ir.”“Aku—”“Hyaaa! Irena!”Pie histeris melihat Irena pingsan di tengah lapangan. Semua teman-temannya terkejut, Pie berteriak meminta tolong. Para petugas kesehatan dari kelompok kakak kelas, saling berpandangan satu sama lain, mereka bingung. Bagaimana caranya menggotong Irena, “Apa yang kalian tunggu!” sang ketua OSIS membentak temannya.“Tapi … dia anu … berat.” “Pffftt.” Semua menahan tawa mendengar jawaban mereka, sang ketua yang disebut kingkong wakanda tadi memutar bola mata malas. Melihat ketua OSIS itu marah, beberapa siswa mengangkat Irena bersama, dengan aba-aba sang ketua OSIS. Satu!Dua!Tiga!Mereka serempak mengangkat tubuh Irena bersama-sama, namun mereka kembali menjatuhkannya di lapangan, keringat bercucuran.
“Berat sekali! Ini belum bergerak, Hei! kamu pegang tangan kanannya, kamu pegang kakinya! Anak ini berat sekali, pasti dosanya banyak.” celetuk salah satu siswa. Wajahnya merah dan napasnya tersengal.Satu!Dua!Tiga! Mereka berusaha lagi, namun tetap saja tubuh Irena masih belum terangkat. Merasa kesal, salah satu anak yang menjadi petugas kesehatan berteriak kesal.“Cukup! Aku tidak kuat, minta bantuan guru saja.” Sang ketua OSIS berdecak kesal, dia pun mendorong para siswa yang lainnya, lalu meregangkan otot bicepsnya yang sudah terlatih, dia menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, lalu mengangkat tubuh Irena sendirian, oke catat sendirian. Dia menggendong gadis itu ala pengantin dan berjalan dengan santai menuju ruang kesehatan. Para siswa lain hanya menatap tidak percaya pada sang ketua OSIS, mereka berdecak kagum antara tidak percaya dan terkejut.“Ya Tuhan, dia itu manusia atau Hercules sih, kok bisa dia gendong anak gajah sendirian?” Sungut salah satu siswi dengan logat bataknnya yang kental. Pie berlari ke ruang kesehatan, di sana Irena sudah ditidurkan di kasur ruang kesehatan. Sang ketua OSIS menatap Pie yang baru saja datang, "Kamu temannya? Minta tolong belikan dia sarapan dan juga susu di kantin, ini uangnya,""B-Baik, Kak." Pie menerima uang selembar lima puluh ribu itu dan melesat ke luar untuk pergi ke kantin sekolah. Pemuda blasteran itu menatap gadis di ranjang kesehatan lalu menyadari jika gadis itu kesulitan bernapas, dia memeriksanya. Dahinya mengernyit, karena perut gadis itu tampak keras seperti menahan sesuatu, dia pun merabanya. Rasa penasarannya yang tinggi membuat dia berani membuka kancing baju sang gadis, dia terbelalak melihat perut gadis itu dibebat oleh korset hitam ketat.
"Ck, gadis bodoh ini." ucapnya lalu tanpa pikir panjang membuka korset ketat itu, membuat napas sang gadis yang tengah pingsan itu bernapas lebih baik lagi. Dia pun tersenyum, lalu mengancingkan kembali seragam si gadis, meskipun tidak tahu kenapa wajahnya mendadak panas dan bersemu merah.
Menatap wajah di bawahnya, kembali wajah blasteran miliknya tersenyum tampan. Senyum yang jarang dia tunjukkan pada siapa pun. Gadis yang pingsan itu sangat manis menurutnya, hidungnya yang mancung, alisnya yang indah dan bibirnya yang tampak mungi menggoda.
"Kamu tahu, sebenarnya kamu cantik." ucapnya terkekeh kecil, dia mendekatkan wajahnya ke wajah si putri tidur, matanya mengawasi gumpalan daging merah yang kini terkatup dengan sedikit polesan warna pink. Dia tahu ini kurang ajar, tapi bibir gemuk sensual di depannya bukan hal untuk dilewatkan, hidung mereka bersentuhan mengalirkan sengatan listrik tak kasat mata, dia bahkan mampu menghidu aroma manis dari tubuh gadis di bawahnya.
"Apakah ini manis seperti dugaanku?" ucapnya kemudian memejamkan mata dan semakin mendekatkan wajahnya yang rupawan pada wajah gadis di bawahnya.
Kadang Irena berpikir seandainya saja dia secantik Irene personel Red Velvet, pasti hidupnya tidak akan mengenaskan seperti ini. Di sebelahnya ada Pie—teman cewek Irena satu-satunya dan sama-sama sering di-bully, Jika mereka berjalan orang-orang akan meneriaki mereka angka sepuluh. Demi Tuhan, Irena kesal. Tapi ketidakmampuannya untuk melawan hanya membuat gadis itu diam tanpa mau membalasnya.Pie terlalu lelah dengan hukuman kali ini, mereka harus lompat kodok sambil bernyanyi potong bebek angsa. Irena mati-matian menahan rasa bencinya pada sang kakak kelas, karena mereka seakan sengaja mengerjainya. Entah apa pun yang dia lakukan selalu salah di mata mereka. Padahal dia sudah melakukan kegiatan sesuai keinginan mereka, Irena ingin menangis tapi dia sudah janji tidak akan menangis lagi jika dibully.Mereka kini sedang menikmati makan siang di kantin setelah mendapat hukuman yang gila, tadinya sang kakak kelas bernama Mita itu juga akan me
Gadis chubby itu memutuskan untuk jalan kaki, jarak antara sekolah dan rumahnya lumayan jauh sekitar 12 KM. Irena sudah merasa lelah, sementara hari mulai gelap. Ia bahkan melihat teman-teman yang rumahnya sekitar sekolah sudah berganti baju, mereka berseliweran membawa motor lalu berhenti sejenak hanya untuk mengejek Irena, sungguh unfaedah.“Gajah, lu belum pulang? Ati-ati entar diculik genderuwo.” Celetuk seorang anak bertubuh pendek sambil tertawa.“Mana ada genderuwo mau nyulik dia, orang sejenis ha-ha-ha.” Timpal yang lainnya, Irena hanya diam, menjawab para bullyer cuma buang-buang waktu dan tenaga. Walaupun perkataan mereka memang minta dibogem mentah."Di sini ada ojeg enggak ya?" Irena bertanya pada salah satu warga yang hendak pergi ke mushola."Duh, kalau jam segini mana ada, Neng. Soalnya sudah malam, tapi coba sebentar lagi biasanya ada angkot terakhir." kata Bapak itu, Irena menghela nap
“ Selamat malam, Dek. Nak, maafkan Bapak ya, Mang Usep sakit encok makanya dia enggak bisa jemput kamu. Syukurlah kamu akhirnya pulang. Dek, ini ongkos ojeknya ya.” Pak Tatang mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikannya pada Arie, Irena terkejut dan menarik tangan bapaknya.“Pak … itu bukan tukang ojek, itu Kakak kelas aku.”“Hah? Eh maaf atuh, mau mampir dulu? Sok atuh, hampura nya. Bapak kira teh kamu tukang ojek, terima kasih sudah mengantarkan putri kecil Bapak.”“Sama-sama, Pak. Saya pulang dulu ya, permisi Pak dan putri kecil Bapak.” Arie menekankan kata putri kecil bapak, membuat Irena malu setengah mati."Eh, jangan buru-buru. Masuk dulu, tadi Si Emak bikin comro sama bakwan udang, ayo masuk dulu. Sebagai ucapan terima kasih dari Bapak." kata Pak Tatang, Arie pun turun dari motornya dan masuk ke dalam rumah Irena. Rumah sederhana bergaya khas Betawi namun ada juga khas jawa ba
Semua siswa dan siswi sudah berkumpul di sebuah area perkemahan. Mereka semua sedang mendengarkan instruksi dari sang ketua OSIS.“Kalian buatlah tenda sesuai dengan kelompok yang sudah dibagikan kemarin. Jika sudah kalian bergabung di sana. Jika kalian butuh sesuatu panggil saja kami.” Jelas Arie panjang lebar.Tak butuh waktu lama, semua sibuk membangun tenda masing-masing. Irena beruntung malam ini satu tenda dengan Pie serta dua orang lainnya. Merek bahu membahu membangun tenda hingga selesai, semua ransel dimasukkan ke tenda dan mereka berbondong-bondong ke lapangan. Arie dan beberapa kakak kelas lainnya sedang memberi pengarahan. Membagi kelompok juniornya untuk mencari kayu di hutan sekitar perkemahan dan mengumpulkannya. Selesai memberi petunjuk dan pengarahan, mereka pun berangkat mencari kayu bakar. Irena berjalan bersama Pie, mereka mengobrol sambil mengumpulkan ranting-ranting kering.“Hei, kamu kemarilah! Bantu di sini!&rdquo
Rasanya baru kemarin, Irena meninggalkan acara camping penuh kesan. Bagaimana tidak, dua hari itu ia dan Tria dekat satu sama lain. Tria pribadi yang hangat, murah senyum dan juga suka membaca manga. Selama kegiatan camping, Tria banyak membantunya dan memberi kesan yang baik.Saat berangkat kemah, dia pikir bakalan menyebalkan melihat kakak kelasnya yang galak dan Rara yang menempel padanya. Tapi semua berubah sejak avatar Aang menyerang eh maksudnya saat Tria datang. Irena sering dibuat terkejut dan terheran-heran, bukan karena Tria makan daging ayam dengan sayur kol, tapi perbuatannya selalu sukses bikin si cewek melting tingkat dewa 19.“Capek? Ya udah kamu istirahat aja dulu. Biar aku saja yang bawa airnya,” sambil senyum ala iklan pasta gigi. Siapa coba yang enggak melting digituin, berasa jadi cewek-cewek di film superhero gitu. Lagi capek bawa air, napas Rabu-Kamis terus Tria datang nolongin sungguh nikmat mana lagi yang Irena dustakan?
“Irena Putri Wahyudi, jelaskan soal di papan tulis.”Irena yang sedang mengkhayal iya-iya pun terkejut, soalnya bukan CEO ganteng yang ada di depannya tapi Pak Yanto dengan kacamata melorot ke hidung terus kumis nyeremin ala Pak Raden. Irena buru-buru ngusap ilernya pakai sapu tangan terus melihat ke arah Pak Yanto dengan wajah kikuk. Pak Yanto tahu muridnya ini sejak tadi melamun bukannya belajar.“Hah?! Saya, Pak?”“Ya, iya kamu memang saya panggil siapa?”“Coba Bapak ingat-ingat mungkin yang Bapak maksud bukan saya,”“Loh, kamu malah tawar menawar. Dipikir ini lagi transaksi sayuran apa? Udah sini maju!” Pak Yanto kesal lama-lama.Irena beranjak dari mejanya, lalu ke papan tulis. Dia berkeringat dingin, sebenarnya dia tidak mendengarkan penjelasan Pak Yanto, Irena menggigit bibir bawahnya. Setahu dia Pak Yanto itu kalau marah suka gebrak meja, masih mending tapi gebrak meja
Semua orang menatap ke arah meja Irena, Bu Centini ketar-ketir soalnya pangeran sekolah udah lama enggak bad mood, sekalinya dia lagi kesel bikin orang ketar-ketir enggak karuan.“Enggak usah deh, aku udah enggak lapar.” Jawab Arie meninggalkan bangku Irena, Irena menatap kepergian kakak kelasnya itu dengan bingung, sementara kakak kelas yang lain serta teman-temannya menatap Irena, seolah cewek itu melakukan kesalahan besar membuat seorang Arie bad mood. Pie tergopoh-gopoh kembali ke meja dan melihat Irena yang masih bingung.“Maneh ada masalah apa sama si ketua OSIS itu?”“Sumpah, Pie. Aku enggak ngapa-ngapain, suer deh.” Irena benar-benar bingung kenapa Arie marah.“Duh, kalau Kak Arie bete semua orang pasti kena amuk deh.”“Hah, serius? Kamu tahu dari mana, Pie?”“Semua orang tahu itu, kamu saja yang sibuk liatin Tria.” Pie mendeng
Irena entah harus merasa bersyukur atau tidak, dia bisa seharian semalaman latihan bersama Satria, meski kenyataannya Satria berada jauh dari tempatnya. Irena satu kelompok dengan Arie dan Igna, sementara Satria dengan Rara. Sementara itu dadanya terasa sesak dan patah hati, melihat Rara begitu serasi dengan Satria. Pedih banget rasanya, melihat seseorang yang kita sukai bersama orang lain. Meskipun di hadapannya ada bakso enak dan es teh manis, tetap saja Irena enggak bakal tergoda.“Mereka sangat cocok dan serasi, ah Rara memang cantik dan Satria juga tampan, mereka cocok kalau jadi pasangan kekasih.” Celetuk salah satu temannya, membuat Irena semakin miris.‘Iya sih aku mah apa atuh hanya remahan rengginang di kaleng Khong Guan.’Bukan hanya Irena yang berpikir hidup tidak adil, coba lihat Igna. Wajahnya kusut dan lingkaran hitam menghias matanya, tanda beberapa hari ini tidak bisa tidur. Igna menyukai Rara, tapi sayangn