Kadang Irena berpikir seandainya saja dia secantik Irene personel Red Velvet, pasti hidupnya tidak akan mengenaskan seperti ini. Di sebelahnya ada Pie—teman cewek Irena satu-satunya dan sama-sama sering di-bully, Jika mereka berjalan orang-orang akan meneriaki mereka angka sepuluh. Demi Tuhan, Irena kesal. Tapi ketidakmampuannya untuk melawan hanya membuat gadis itu diam tanpa mau membalasnya.
Pie terlalu lelah dengan hukuman kali ini, mereka harus lompat kodok sambil bernyanyi potong bebek angsa. Irena mati-matian menahan rasa bencinya pada sang kakak kelas, karena mereka seakan sengaja mengerjainya. Entah apa pun yang dia lakukan selalu salah di mata mereka. Padahal dia sudah melakukan kegiatan sesuai keinginan mereka, Irena ingin menangis tapi dia sudah janji tidak akan menangis lagi jika dibully.
Mereka kini sedang menikmati makan siang di kantin setelah mendapat hukuman yang gila, tadinya sang kakak kelas bernama Mita itu juga akan menambah hukuman buat mereka, beruntung si ketua OSIS yang baru datang dari rapatnya datang dan menyuruh mereka berhenti. Besok mereka harus mengikuti kegiatan camping sebagai akhir dari acara orientasi murid baru.
“Maneh bawa bekal lagi?” tanya Pie.
“Iya, kamu mau?”
“Mau deh, aing laper banget. Mana uang jajan gue dikurangi sama si mama.”
“Loh memangnya kenapa?”
“Gue ketahuan beli album terbaru EXO.”
Irena tertawa mendengar cerita Pie. Pie itu fans berat boyband dari negeri ginseng itu. Semua list mp3 di ponselnya adalah lagu-lagu EXO. Dia menyebut dirinya EXOL itu sebutan buat fans EXO. Sejak pertemuan di lapangan, mereka jadi dekat satu sama lain. Mungkin karena sama-sama dari Bandung, Irena dan keluarganya dulu tinggal Gedebage terus pindah ke Jakarta buat dagang dan ninggalin rumah peninggalan kakek Irena. Pak Tatang asli Betawi, sementara Mak Esih orang Gedebage.
Pie memakan bekal Irena. Irena tidak keberatan berbagi bekal dengan Pie, tidak ada yang mau berteman dengannya. Hanya Pie, Irena paham dan mengerti, kalau dirinya bukan murid populer jadi tidak akan ada yang mau mendekatinya. Apa yang dia harapkan, dia hanya seorang babi besar.
“Hai, boleh duduk di sini?” tanya seorang siswi dengan rambut panjang terurai, dia sangat cantik. Setidaknya itu pandangan Irena terhadap siswi di depannya. Dia juga sama seperti dirinya junior baru, bisa dilihat dari kalung id yang dipakai olehnya. Gadis itu duduk di depan Irena, sambil mengibaskan rambutnya ala-ala iklan sampo dia mengulurkan tangan, ngajak kenalan.
“Namaku Rara.”
“Irena.”
“Pie.” Jawab Pie cuek, entah kenapa Pie merasa tidak suka dengan Rara.
‘Duduk aja mesti ngibasin rambut, sok cakep banget sih? Kesel aing,’ batin Pie.
Tak berapa lama, setelah Rara duduk di sana, semua siswa laki-laki mengerumuni meja mereka. Rata-rata kakak kelas 3 yang cari perhatian sama Rara. Pie merasa terusik, dia sedang menikmati makan siangnya dengan tenang. Melihat kakak kelasnya yang sok kecakepan bikin Pie mual dadakan. Tolong lah, dia baru saja dihukum dan ingin menikmati es jeruknya yang segar.
“Hei! Gendut! Sana geser dikit, kita mau duduk.” Irena bergeser, Pie pun sama.
“Hai, cantik. Nama kamu siapa?” tanya salah satu kakak kelas yang berambut jigrak. Pie berdecih kesal, kakak kelas laki-laki itu sok ganteng menurut Pie. Rambutnya jigrak seperti terkena kena aliran lsitrik bertenaga tinggi, terus bajunya dikeluarkan seperti ingin terlihat badboy, mending kalau dia tampan seperti idolanya Park Chanyeol, ini bukan Chanyeol atau pun Sehun tapi bihun, Pie mendadak malas buat lanjutin makan. Dia melirik Irena, sahabatnya itu terlihat tidak nyaman tapi berusaha sopan.
Irena hanya mengumpat dalam hati, dia bersumpah kakak kelas itu menyebalkan dan sama sekali tidak tampan, yang ada dia sok tampan. Pikiran Irena sama dengan isi otak Pie, dia merasa tidak nyaman tapi berusaha sopan.
Pie baru saja ingin meminum jus jambunya, tiba-tiba datang lagi gerombolan lain, Pie semakin jengah. Dia pun meninggalkan Rara dan menarik tangan Irena, hanya saja karena Irena duduk di ujung bangku dan si kakak kelas sok ganteng di ujung sebelahnya. Saat Irena berdiri bangku itu terjungkal, membuat si kakak kelas sok ganteng itu ikut terjungkal dan menjadi bahan tertawaan semua penghuni kantin. Tidak hanya jatuh dengan tidak elit, dia juga kena double sial kesiram kuah bakso yang sedang dibawa Bu Centini.
“Eh … maaf, Kak.” Irena merasa bersalah tapi juga merasa lucu, melihat rambut si kakak kelas yang jigrak penuh gel rambut itu, sekarang jadi mirip curut kecemplung got. Kakak kelas tadi tampak kesal dan melotot tajam.
“Gendut! Berani ya sekali lu sama gue!”
“Maaf aku enggak sengaja, Kak.”
Irena buru-buru ditarik Pie dari sana, sementara kakak kelas itu terlihat kesal dan meninggalkan kantin yang kini heboh menertawakannya. Irena dibawa Pie ke taman yang berada di belakang sekolah. Di sana lebih tenang dan hanya beberapa orang kutu buku yang asyik dengan dunia mereka. Pie kembali memakan bekal Irena sambil mengomel.
“Gue enggak suka dengan Rara, dia sok cantik terus cari perhatian.”
“Tapi … dia memang cantik, Pie.”
“Huh, menyebalkan. Dia biasa saja di mataku.” Pie mengunyah sosis goreng, dibandingkan Irena justru Pie lebih banyak makannya. Irena hanya mengedikkan bahunya, dia hanya berkhayal secantik Rara, pasti akan mudah baginya mendapatkan pacar lalu menjalani kisah cinta seindah drama Korea. Sayangnya ini bukan di Korea tapi di negara +62, negara ber-followers dengan seribu haters dan nyinyiers.
***
“Irena! Pulang bareng, Yuk!” Rara tiba-tiba muncul saat Irena menunggu jemputan Mang Usep. Sementara Pie sudah pulang satu jam lalu. Irena hanya tersenyum menanggapi Rara, dilihat dari segi apa pun Rara Fazaratih memang cantik, kulitnya putih dan badannya langsing seperti model majalah yang sering Irena baca.
“Rumah kamu di mana?” tanya Rara.
“Emhh, di kampung Bojong kenyot.” Jawab Irena. Rara menganggukkan kepalanya, Irena terdiam sambil terus mencoba menghubungi Mang Usep. Sementara itu kakak kelas tadi mulai berkumpul lagi dan bertanya pada Rara, tentang nomor ponselnya.
“Rara mau pulang? Kak Igna anterin, ya.”
“Emmh tidak perlu, Kak. Lagian kasihan Irena sendirian.”
“Heh, Gendut! Lu udah biasa ‘kan sendirian?” Igna menatap Irena tajam, seakan berkata, ‘Lo bilang iya atau gue hajar!’
Irena mengangguk, dia tidak mau mendapatkan masalah lain. Tadi siang dia sudah membuat Igna malu di kantin. Rara akhirnya naik ke motor Igna, sedangkan teman-teman Igna menyoraki dari belakang. Irena hanya mengedikkan bahu dan memasukkan headset ke telinganya, mendengarkan Mama—EXO, sejak berteman dengan Pie dia jadi ikut-ikutan suka sama EXO. Wah, si Pie toxic yang berfaedah sekali. Dia bernyanyi meskipun cuma nada hmm-hmm saja, itu jauh lebih baik dan membuat moodnya yang jelek mendadak ceria kembali. Irena menarik napas lelah, sudah hampir dua jam menunggu tapi Mang Usep belum datang untuk menjemputnya. Irena menatap ponselnya yang sudah lowbat karena sejak tadi mendengarkan musik.
“Duh, Mang Usep ke mana, sih?” Irena menatap horor sekolah yang kosong. Percaya atau tidak dia berasa ada di wahana rumah hantu sekarang. Semua sudah pulang dan sebentar lagi ia jamin panggilan untuk umat muslim beribadah segera berkumandang. Bapaknya pasti belum pulang, masih bekerja di pasar bersama ibunya. Sementara Kakak laki-lakinya paling anti menjemput Irena.
Kahida Firmansyah, sering dipanggil Hida. Dia adalah kakak laki-laki Irena satu-satunya, Hida sudah kuliah dan jarang pulang, biasanya dia memilih tidur di kosan. Alasannya karena rumah jauh ke kampus. Kalau pun Hida di rumah dia bakalan malas jemput adiknya. Alasannya Hida tidak mau jika ban motornya mendadak kempes, maklum berat badan adiknya jumbo. Memang kakaknya itu patut diberi title kakak biadab. Harusnya Irena menggadaikan kakaknya, atau tuker tambah dengan kakak yang lebih ganteng dan pengertian. Kalau ada kakaknya seganteng Chanyeol atau Lay Zhang. Di usianya yang sekarang menginjak 20 tahun, masih suka mengajak Irena rebutan paha ayam. Irena melirik jam tangannya lagi, gila. Sudah hampir senja tapi belum ada kendaraan yang lewat di depannya. Oh God, bagaimana ini? pikirnya.
Irena merinding, teringat cerita almarhum neneknya tentang sejenis hantu yang suka menculik anak-anak. Tapi dia bukan anak-anak lagi, tetap saja dia merinding menatap pohon beringin besar di seberang jalan, terlihat tinggi menjulang dengan daunnya yang rindang sesekali bergerak menimbulkan suara yang membuat imajinasi terusik.
"Lebih baik aku jalan kaki." ucapnya tidak peduli pada warna langit yang mulai berubah dari jingga menjadi gelap.
Gadis chubby itu memutuskan untuk jalan kaki, jarak antara sekolah dan rumahnya lumayan jauh sekitar 12 KM. Irena sudah merasa lelah, sementara hari mulai gelap. Ia bahkan melihat teman-teman yang rumahnya sekitar sekolah sudah berganti baju, mereka berseliweran membawa motor lalu berhenti sejenak hanya untuk mengejek Irena, sungguh unfaedah.“Gajah, lu belum pulang? Ati-ati entar diculik genderuwo.” Celetuk seorang anak bertubuh pendek sambil tertawa.“Mana ada genderuwo mau nyulik dia, orang sejenis ha-ha-ha.” Timpal yang lainnya, Irena hanya diam, menjawab para bullyer cuma buang-buang waktu dan tenaga. Walaupun perkataan mereka memang minta dibogem mentah."Di sini ada ojeg enggak ya?" Irena bertanya pada salah satu warga yang hendak pergi ke mushola."Duh, kalau jam segini mana ada, Neng. Soalnya sudah malam, tapi coba sebentar lagi biasanya ada angkot terakhir." kata Bapak itu, Irena menghela nap
“ Selamat malam, Dek. Nak, maafkan Bapak ya, Mang Usep sakit encok makanya dia enggak bisa jemput kamu. Syukurlah kamu akhirnya pulang. Dek, ini ongkos ojeknya ya.” Pak Tatang mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikannya pada Arie, Irena terkejut dan menarik tangan bapaknya.“Pak … itu bukan tukang ojek, itu Kakak kelas aku.”“Hah? Eh maaf atuh, mau mampir dulu? Sok atuh, hampura nya. Bapak kira teh kamu tukang ojek, terima kasih sudah mengantarkan putri kecil Bapak.”“Sama-sama, Pak. Saya pulang dulu ya, permisi Pak dan putri kecil Bapak.” Arie menekankan kata putri kecil bapak, membuat Irena malu setengah mati."Eh, jangan buru-buru. Masuk dulu, tadi Si Emak bikin comro sama bakwan udang, ayo masuk dulu. Sebagai ucapan terima kasih dari Bapak." kata Pak Tatang, Arie pun turun dari motornya dan masuk ke dalam rumah Irena. Rumah sederhana bergaya khas Betawi namun ada juga khas jawa ba
Semua siswa dan siswi sudah berkumpul di sebuah area perkemahan. Mereka semua sedang mendengarkan instruksi dari sang ketua OSIS.“Kalian buatlah tenda sesuai dengan kelompok yang sudah dibagikan kemarin. Jika sudah kalian bergabung di sana. Jika kalian butuh sesuatu panggil saja kami.” Jelas Arie panjang lebar.Tak butuh waktu lama, semua sibuk membangun tenda masing-masing. Irena beruntung malam ini satu tenda dengan Pie serta dua orang lainnya. Merek bahu membahu membangun tenda hingga selesai, semua ransel dimasukkan ke tenda dan mereka berbondong-bondong ke lapangan. Arie dan beberapa kakak kelas lainnya sedang memberi pengarahan. Membagi kelompok juniornya untuk mencari kayu di hutan sekitar perkemahan dan mengumpulkannya. Selesai memberi petunjuk dan pengarahan, mereka pun berangkat mencari kayu bakar. Irena berjalan bersama Pie, mereka mengobrol sambil mengumpulkan ranting-ranting kering.“Hei, kamu kemarilah! Bantu di sini!&rdquo
Rasanya baru kemarin, Irena meninggalkan acara camping penuh kesan. Bagaimana tidak, dua hari itu ia dan Tria dekat satu sama lain. Tria pribadi yang hangat, murah senyum dan juga suka membaca manga. Selama kegiatan camping, Tria banyak membantunya dan memberi kesan yang baik.Saat berangkat kemah, dia pikir bakalan menyebalkan melihat kakak kelasnya yang galak dan Rara yang menempel padanya. Tapi semua berubah sejak avatar Aang menyerang eh maksudnya saat Tria datang. Irena sering dibuat terkejut dan terheran-heran, bukan karena Tria makan daging ayam dengan sayur kol, tapi perbuatannya selalu sukses bikin si cewek melting tingkat dewa 19.“Capek? Ya udah kamu istirahat aja dulu. Biar aku saja yang bawa airnya,” sambil senyum ala iklan pasta gigi. Siapa coba yang enggak melting digituin, berasa jadi cewek-cewek di film superhero gitu. Lagi capek bawa air, napas Rabu-Kamis terus Tria datang nolongin sungguh nikmat mana lagi yang Irena dustakan?
“Irena Putri Wahyudi, jelaskan soal di papan tulis.”Irena yang sedang mengkhayal iya-iya pun terkejut, soalnya bukan CEO ganteng yang ada di depannya tapi Pak Yanto dengan kacamata melorot ke hidung terus kumis nyeremin ala Pak Raden. Irena buru-buru ngusap ilernya pakai sapu tangan terus melihat ke arah Pak Yanto dengan wajah kikuk. Pak Yanto tahu muridnya ini sejak tadi melamun bukannya belajar.“Hah?! Saya, Pak?”“Ya, iya kamu memang saya panggil siapa?”“Coba Bapak ingat-ingat mungkin yang Bapak maksud bukan saya,”“Loh, kamu malah tawar menawar. Dipikir ini lagi transaksi sayuran apa? Udah sini maju!” Pak Yanto kesal lama-lama.Irena beranjak dari mejanya, lalu ke papan tulis. Dia berkeringat dingin, sebenarnya dia tidak mendengarkan penjelasan Pak Yanto, Irena menggigit bibir bawahnya. Setahu dia Pak Yanto itu kalau marah suka gebrak meja, masih mending tapi gebrak meja
Semua orang menatap ke arah meja Irena, Bu Centini ketar-ketir soalnya pangeran sekolah udah lama enggak bad mood, sekalinya dia lagi kesel bikin orang ketar-ketir enggak karuan.“Enggak usah deh, aku udah enggak lapar.” Jawab Arie meninggalkan bangku Irena, Irena menatap kepergian kakak kelasnya itu dengan bingung, sementara kakak kelas yang lain serta teman-temannya menatap Irena, seolah cewek itu melakukan kesalahan besar membuat seorang Arie bad mood. Pie tergopoh-gopoh kembali ke meja dan melihat Irena yang masih bingung.“Maneh ada masalah apa sama si ketua OSIS itu?”“Sumpah, Pie. Aku enggak ngapa-ngapain, suer deh.” Irena benar-benar bingung kenapa Arie marah.“Duh, kalau Kak Arie bete semua orang pasti kena amuk deh.”“Hah, serius? Kamu tahu dari mana, Pie?”“Semua orang tahu itu, kamu saja yang sibuk liatin Tria.” Pie mendeng
Irena entah harus merasa bersyukur atau tidak, dia bisa seharian semalaman latihan bersama Satria, meski kenyataannya Satria berada jauh dari tempatnya. Irena satu kelompok dengan Arie dan Igna, sementara Satria dengan Rara. Sementara itu dadanya terasa sesak dan patah hati, melihat Rara begitu serasi dengan Satria. Pedih banget rasanya, melihat seseorang yang kita sukai bersama orang lain. Meskipun di hadapannya ada bakso enak dan es teh manis, tetap saja Irena enggak bakal tergoda.“Mereka sangat cocok dan serasi, ah Rara memang cantik dan Satria juga tampan, mereka cocok kalau jadi pasangan kekasih.” Celetuk salah satu temannya, membuat Irena semakin miris.‘Iya sih aku mah apa atuh hanya remahan rengginang di kaleng Khong Guan.’Bukan hanya Irena yang berpikir hidup tidak adil, coba lihat Igna. Wajahnya kusut dan lingkaran hitam menghias matanya, tanda beberapa hari ini tidak bisa tidur. Igna menyukai Rara, tapi sayangn
Irena tidak sanggup lagi, lebih baik segera ke toilet, untuk menyelesaikan urusannya yang mungkin bertambah dengan menangis. Di perjalanan, dia melihat Arie bersama dengan Mita. Ah, mengapa dunia tidak adil? Irena juga ingin seperti Rara dan Mitha. Apa benar apa kata orang, orang ganteng hanya untuk orang cantik? Irena ingin sekali mematahkan persepsi itu karena benar-benar membuat dirinya atau orang lain yang mengalami hal yang sama seperti dirinya merasa tidak nyaman.“Ra, harusnya lu tahu gue suka sama lu.” Irena baru saja menyelesaikan urusannya, ia duduk sebentar di toilet tapi ia mendengar suara seorang cowok yang sedang menangis.‘Apa hantu? Kenapa ada suara cowok di toilet cewek?’ “Ra, gue sayang sama lu, kenapa sih lu milih si Satria itu.”‘Suaranya kayak Kak Igna?’ Irena membuka pintu dengan takut-takut. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, sosok cowok jangkung sedang m